Share

Part 6

PART 6

Sejak bangun, aku tak ada menyapa Kakak. Hati masih terasa sedih karena sikapnya tadi malam, beberapa kali membentakku. Biasanya ia tak pernah bersikap kasar, selalu baik walaupun otaknya sedang kacau. Seberat apa pun masalahnya, ia berusaha menahan emosi, tetapi tidak untuk tadi malam. Bukan seperti Kakak yang kukenal.

Aku menjalani hari seperti biasanya, membereskan pekerjaan rumah sampai semuanya selesai. Kali ini rasanya lebih lelah karena tidak dibantu Mbak Rena sama sekali. Kalau berdua akan lebih cepat selesai, bukan? Lagian tumben jam segini istri Kakak belum bangun. Kasihan memang, ia tetap bangun subuh walaupun enggan menjalankan salat. 

Entahlah, kasihan dan sedih jadi satu. Baru tiga tahun usia pernikahan mereka, tetapi kenyataannya sekarang seperti tak saling cinta. Terlalu cuek dan tidak perduli.

“Mbak, bangun. Siti udah selesai masak, kalau mau sarapan sudah siap.” 

Tok! Tok!

“Mbak, bangun. Mbak kecapean?” 

Tak ada jawaban apa-apa. Biasanya Mbak Rena pasti menyahut dari dalam, kali ini ia hanya diam. Kupasang telinga di daun pintu agar bisa mendengar kalau-kalau ada suara tangisan. Hening, tak terdengar apa-apa. 

“Mbak Rena lagi ngambek apa, ya? Apa sakit?” gumamku sendirian.

Ya, sudahlah. Mungkin ia ingin menyendiri dan istirahat. Aku menuju meja makan dan sarapan bareng Kakak. Tak banyak obrolan, kaku. Kakak makan lebih cepat dari biasanya, cepat-cepat ia kembali ke depan hendak berdagang.

Aku hanya duduk sembari merapikan kacang kedelai yang sedikit berantakan, Kakak mencatat beberapa nota pesanan beras. 

“Siti, kamu mengapa selalu diam?” tanya Kak Heru sambil tangannya terus menggerakkan pena.

“Kaget aja, gak biasanya dibentak-bentak,” jawabku sedih.

“Maaf soal tadi malam, ya. Kakak lagi benar-benar pusing, ada masalah yang harus segera diselesaikan. Panik sekali.”

Aku menoleh. Melihat wajah Kakak yang sepertinya penuh beban, aku merasa tak tega. Banyak kekacauan kepalanya yang tak mampu kupahami, menjalani rumah tangga yang dingin bukanlah keinginan setiap orang. Namun, sampai saat ini aku tak tahu apa alasan sikap mereka masing-masing. 

“Enggak, Kak. Siti gak pa-pa.” 

“Kamu ingat, kan? Alasan orang tua kita memintamu ke sini adalah agar kamu kuliah. Kakak siap menanggung semua biayanya. Sama sekali tidak keberatan, masalah uang bukanlah sulit. Kuliahlah,” ujarnya. 

Memang benar, orang tua kami meminta Kakak untuk membiayai kuliahku. Bukan tanpa alasan, kehidupan Kakak sudah meningkat jauh. Masalah uang bukan perkara, baru berapa hari di sini, aku tahu omset penjualan toko beras ini. Terlihat juga kendaraan di garasi, ada dua mobil dan dua motor.  

“Iya, Siti mau kuliah. Belum sekarang, Kak. Masih mau tenang dulu, libur setahun. Tahun depan janji mau kuliah.”

“Baguslah, kamu harus sukses sebagai anak bungsu. Apalagi untuk menjalani rumah tangga nanti tidaklah mudah, jangan seperti Kakak. Perkara ekonomi membuat orang banyak rela melakukan apa pun.” 

Kakak menghentikan aktivitas menulisnya. Ia mendatangi dan mengelus pucuk kepalaku. Ia seperti menaruh harapan besar di pundakku. Apa yang dipikirkannya? Mengapa membahas perkara ekonomi. Uang Kakak sudah banyak, tak seharusnya ia bersedih hati. Kalaupun ia tak berdagang selama beberapa bulan pun, tak akan kekurangan hidupnya. 

“Maafin Siti, Kak. Tahun depan akan kuliah, tapi mau ambil kesehatan. Terus mengapa bahas perkara ekonomi, Kak? Kakak sudah sukses begini.”

Kak Heru diam. Ia tak menjawab, malah berdiri dan menghitung uang dalam laci. 

“Kamu masih terlalu muda untuk paham soal itu. Kakak hanya berpesan agar kamu tak menyia-nyiakan masa muda. Menyesal selalu di belakang.” Kakak menjawabnya setelah satu jam berlalu. Terlalu lama untukku.

***

“Mang, es tebunya tiga bungkus,” ucapku pada lelaki yang memunggungi meja kedainya.

Ia menoleh, rupanya lelaki yang kukira sudah tua ternyata seorang lelaki muda. Usianya kutebak tak jauh dariku. Ia memakai topi dan handuk kecil di pundak, benar-benar persis gaya bapak-bapak penjual cilok. Aduh-aduh, wajahnya manis juga. 

“Saya masih muda. Jangan panggil Mamang, nanti kalau didengar orang malah kamu jadi menghambat jodoh saya!” sahutnya serius.

“Eh, iya, maaf.”

“Gak pa-apa, duduk dulu. Es tebunya saya buatin.”

Aku duduk menunggu. Tempat ini sejuk sekali, jadi ngantuk. Angin berembus dari sela pepohonan membuat anak rambutku terbang.  Saat menoleh lagi, rupanya lelaki yang tak kuketahui namanya itu juga melihat. Aku membuang wajah kala sadar mata kami bertemu. di meja lain ada beberapa orang duduk sambil menikmati minuman. Di sini menjual banyak jenis minuman, tapi kali ini aku sedang ingin es tebu saja.

“Bang, kok, lama betul. Saya capek nunggu.” Aku rasanya hendak marah, cukup lama menunggu. Mana ngantuk.

“Sabar, ya. Tadi mesinnya agak ngadat, ini barusan selesai. Jangan ngambek, nanti cantiknya luntur,” ucapnya.

Kembali harus menunggu, tak apalah. Suara mesin penggiling tebu sudah mulai bersuara. 

Datanglah sepasang suami istri duduk di sampingku. Mereka tampak kelelahan dan memesan es kelapa. Tampaknya mereka habis belanja, terlihat dari obrolannya tentang nota-nota belanjaan. 

“Aduh-aduh, kenapa tadi kita beli beras lagi, ya?” Suaminya menggeleng sembari menatap sisa uang dalam dompet.

“Iya, mengapa beli beras lagi. Di rumah masih ada dua karung, kita malah beli lagi dua karung.” Istrinya menyambung seolah menyesalkan.

“Ya, gak tahu. Ibu tadi ngajak ke toko beras, ya sebagai sopir ikut ajalah bapak.” Lelaki itu menghempaskan kasar nota ke meja sampai terdengar suara.

“Ibu lupa, Pak. Benar-benar selalu lupa kalau masih ada beras di rumah. Entahlah, pokoknya kalau lewat toko itu pasti mau mampir terus bawaannya.”

“Sudah sering kita berdebat soal ini, tapi masih aja kecolongan. Modal selalu kurang karena kecolongan beli beras terus. Ya, sudahlah, buk. Tak apa, kan beras banyak gunanya. Lagian tak akan busuk seperti sayuran,” ucapnya untuk menenangkan istrinya.

Aku menguping pembicaraan mereka. Toko beras yang mana? Di sini toko beras ada tiga, begitu yang diceritakan Mbak Rena. Banyak saingan Kak Heru berebut pelanggan. Aku mengendikkan bahu. 

Tiba-tiba wanita hamil yang duduk depan meja pasangan itu pun mengerutkan kening. Wanita itu tak sendirian, ia bersama anak kecil sekitar umur enam tahun. Di mejanya ada es kopyor.

“Kok, sama? Suami saya juga sering beli beras. Satu bulan bisa sampai empat kali beli beras. Kami selalu punya tumpukan beras, entah kapan habisnya. Sudah saya ingatkan jangan kebanyakan beli beras, eh, malah suami saya marah. Katanya lupa,” ucapnya.

Mendengar ucapan wanita itu, pasangan itu menoleh. Mereka mulai ngobrol karena punya masalah yang sama.

“Ternyata bukan kita aja, Pak. Ada juga yang sering lupa.”

“Ya, tapi, aneh aja. Masa lupa terus perkara beras. Belanjaan lain yang lebih banyak aja kita gak pernah kecolongan gitu.” 

Aku tetap menguping walaupun sambil menunduk. Jurus menguping tanpa membuat orang sekitar risih. Heran juga, mengapa bisa begitu? Masa, iya lupa sampai segitunya. Memangnya mereka belanja di toko beras yang mana? Ada tiga toko beras yang jaraknya cukup berdekatan. Sejauh ini, obrolan hanya berfokus pada keanehan, bukan tokonya.

“Neng? Nguping, ya?” 

“Eh, enggak.” Aku mengangkat wajah gugup.

PART 6

Sejak bangun, aku tak ada menyapa Kakak. Hati masih terasa sedih karena sikapnya tadi malam, beberapa kali membentakku. Biasanya ia tak pernah bersikap kasar, selalu baik walaupun otaknya sedang kacau. Seberat apa pun masalahnya, ia berusaha menahan emosi, tetapi tidak untuk tadi malam. Bukan seperti Kakak yang kukenal.

Aku menjalani hari seperti biasanya, membereskan pekerjaan rumah sampai semuanya selesai. Kali ini rasanya lebih lelah karena tidak dibantu Mbak Rena sama sekali. Kalau berdua akan lebih cepat selesai, bukan? Lagian tumben jam segini istri Kakak belum bangun. Kasihan memang, ia tetap bangun subuh walaupun enggan menjalankan salat. 

Entahlah, kasihan dan sedih jadi satu. Baru tiga tahun usia pernikahan mereka, tetapi kenyataannya sekarang seperti tak saling cinta. Terlalu cuek dan tidak perduli.

“Mbak, bangun. Siti udah selesai masak, kalau mau sarapan sudah siap.” 

Tok! Tok!

“Mbak, bangun. Mbak kecapean?” 

Tak ada jawaban apa-apa. Biasanya Mbak Rena pasti menyahut dari dalam, kali ini ia hanya diam. Kupasang telinga di daun pintu agar bisa mendengar kalau-kalau ada suara tangisan. Hening, tak terdengar apa-apa. 

“Mbak Rena lagi ngambek apa, ya? Apa sakit?” gumamku sendirian.

Ya, sudahlah. Mungkin ia ingin menyendiri dan istirahat. Aku menuju meja makan dan sarapan bareng Kakak. Tak banyak obrolan, kaku. Kakak makan lebih cepat dari biasanya, cepat-cepat ia kembali ke depan hendak berdagang.

Aku hanya duduk sembari merapikan kacang kedelai yang sedikit berantakan, Kakak mencatat beberapa nota pesanan beras. 

“Siti, kamu mengapa selalu diam?” tanya Kak Heru sambil tangannya terus menggerakkan pena.

“Kaget aja, gak biasanya dibentak-bentak,” jawabku sedih.

“Maaf soal tadi malam, ya. Kakak lagi benar-benar pusing, ada masalah yang harus segera diselesaikan. Panik sekali.”

Aku menoleh. Melihat wajah Kakak yang sepertinya penuh beban, aku merasa tak tega. Banyak kekacauan kepalanya yang tak mampu kupahami, menjalani rumah tangga yang dingin bukanlah keinginan setiap orang. Namun, sampai saat ini aku tak tahu apa alasan sikap mereka masing-masing. 

“Enggak, Kak. Siti gak pa-pa.” 

“Kamu ingat, kan? Alasan orang tua kita memintamu ke sini adalah agar kamu kuliah. Kakak siap menanggung semua biayanya. Sama sekali tidak keberatan, masalah uang bukanlah sulit. Kuliahlah,” ujarnya. 

Memang benar, orang tua kami meminta Kakak untuk membiayai kuliahku. Bukan tanpa alasan, kehidupan Kakak sudah meningkat jauh. Masalah uang bukan perkara, baru berapa hari di sini, aku tahu omset penjualan toko beras ini. Terlihat juga kendaraan di garasi, ada dua mobil dan dua motor.  

“Iya, Siti mau kuliah. Belum sekarang, Kak. Masih mau tenang dulu, libur setahun. Tahun depan janji mau kuliah.”

“Baguslah, kamu harus sukses sebagai anak bungsu. Apalagi untuk menjalani rumah tangga nanti tidaklah mudah, jangan seperti Kakak. Perkara ekonomi membuat orang banyak rela melakukan apa pun.” 

Kakak menghentikan aktivitas menulisnya. Ia mendatangi dan mengelus pucuk kepalaku. Ia seperti menaruh harapan besar di pundakku. Apa yang dipikirkannya? Mengapa membahas perkara ekonomi. Uang Kakak sudah banyak, tak seharusnya ia bersedih hati. Kalaupun ia tak berdagang selama beberapa bulan pun, tak akan kekurangan hidupnya. 

“Maafin Siti, Kak. Tahun depan akan kuliah, tapi mau ambil kesehatan. Terus mengapa bahas perkara ekonomi, Kak? Kakak sudah sukses begini.”

Kak Heru diam. Ia tak menjawab, malah berdiri dan menghitung uang dalam laci. 

“Kamu masih terlalu muda untuk paham soal itu. Kakak hanya berpesan agar kamu tak menyia-nyiakan masa muda. Menyesal selalu di belakang.” Kakak menjawabnya setelah satu jam berlalu. Terlalu lama untukku.

***

“Mang, es tebunya tiga bungkus,” ucapku pada lelaki yang memunggungi meja kedainya.

Ia menoleh, rupanya lelaki yang kukira sudah tua ternyata seorang lelaki muda. Usianya kutebak tak jauh dariku. Ia memakai topi dan handuk kecil di pundak, benar-benar persis gaya bapak-bapak penjual cilok. Aduh-aduh, wajahnya manis juga. 

“Saya masih muda. Jangan panggil Mamang, nanti kalau didengar orang malah kamu jadi menghambat jodoh saya!” sahutnya serius.

“Eh, iya, maaf.”

“Gak pa-apa, duduk dulu. Es tebunya saya buatin.”

Aku duduk menunggu. Tempat ini sejuk sekali, jadi ngantuk. Angin berembus dari sela pepohonan membuat anak rambutku terbang.  Saat menoleh lagi, rupanya lelaki yang tak kuketahui namanya itu juga melihat. Aku membuang wajah kala sadar mata kami bertemu. di meja lain ada beberapa orang duduk sambil menikmati minuman. Di sini menjual banyak jenis minuman, tapi kali ini aku sedang ingin es tebu saja.

“Bang, kok, lama betul. Saya capek nunggu.” Aku rasanya hendak marah, cukup lama menunggu. Mana ngantuk.

“Sabar, ya. Tadi mesinnya agak ngadat, ini barusan selesai. Jangan ngambek, nanti cantiknya luntur,” ucapnya.

Kembali harus menunggu, tak apalah. Suara mesin penggiling tebu sudah mulai bersuara. 

Datanglah sepasang suami istri duduk di sampingku. Mereka tampak kelelahan dan memesan es kelapa. Tampaknya mereka habis belanja, terlihat dari obrolannya tentang nota-nota belanjaan. 

“Aduh-aduh, kenapa tadi kita beli beras lagi, ya?” Suaminya menggeleng sembari menatap sisa uang dalam dompet.

“Iya, mengapa beli beras lagi. Di rumah masih ada dua karung, kita malah beli lagi dua karung.” Istrinya menyambung seolah menyesalkan.

“Ya, gak tahu. Ibu tadi ngajak ke toko beras, ya sebagai sopir ikut ajalah bapak.” Lelaki itu menghempaskan kasar nota ke meja sampai terdengar suara.

“Ibu lupa, Pak. Benar-benar selalu lupa kalau masih ada beras di rumah. Entahlah, pokoknya kalau lewat toko itu pasti mau mampir terus bawaannya.”

“Sudah sering kita berdebat soal ini, tapi masih aja kecolongan. Modal selalu kurang karena kecolongan beli beras terus. Ya, sudahlah, buk. Tak apa, kan beras banyak gunanya. Lagian tak akan busuk seperti sayuran,” ucapnya untuk menenangkan istrinya.

Aku menguping pembicaraan mereka. Toko beras yang mana? Di sini toko beras ada tiga, begitu yang diceritakan Mbak Rena. Banyak saingan Kak Heru berebut pelanggan. Aku mengendikkan bahu. 

Tiba-tiba wanita hamil yang duduk depan meja pasangan itu pun mengerutkan kening. Wanita itu tak sendirian, ia bersama anak kecil sekitar umur enam tahun. Di mejanya ada es kopyor.

“Kok, sama? Suami saya juga sering beli beras. Satu bulan bisa sampai empat kali beli beras. Kami selalu punya tumpukan beras, entah kapan habisnya. Sudah saya ingatkan jangan kebanyakan beli beras, eh, malah suami saya marah. Katanya lupa,” ucapnya.

Mendengar ucapan wanita itu, pasangan itu menoleh. Mereka mulai ngobrol karena punya masalah yang sama.

“Ternyata bukan kita aja, Pak. Ada juga yang sering lupa.”

“Ya, tapi, aneh aja. Masa lupa terus perkara beras. Belanjaan lain yang lebih banyak aja kita gak pernah kecolongan gitu.” 

Aku tetap menguping walaupun sambil menunduk. Jurus menguping tanpa membuat orang sekitar risih. Heran juga, mengapa bisa begitu? Masa, iya lupa sampai segitunya. Memangnya mereka belanja di toko beras yang mana? Ada tiga toko beras yang jaraknya cukup berdekatan. Sejauh ini, obrolan hanya berfokus pada keanehan, bukan tokonya.

“Neng? Nguping, ya?” 

“Eh, enggak.” Aku mengangkat wajah gugup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status