“Erica, maaf. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita!”
Malam itu langit cerah, tapi hati Erika dilanda mendung hebat usai mendengar ucapan Kenzo, pria yang sudah menjadi kekasihnya sejak SMA tersebut. Air mata gadis itu menetes.
Mereka tengah berada di sebuah taman tempat hiburan malam.
Dan di bawah lampu-lampu taman yang berkerlap-kerlip, Erica diputuskan!
“Kenapa?” tanya Erica dengan suara bergetar menatap kekasihnya.
Kenzo menghela napas, kemudian mengalihkan pandangannya, menatap langit malam.
”Kedua orang tuaku sudah mengatur perjodohan. Bulan depan kami akan bertunangan. Maaf!”
Air mata Erica kembali tumpah. Hubungan yang dia bina sejak duduk di bangku SMA akhirnya tetap kandas, karena perbedaan kasta!
Erica tahu dia tidak sebanding dengan keluarga Kenzo yang berada, karenanya Erica hanya bisa meremas tangannya. Perasaan menyesakkan di dadanya kemudian membuatnya ingin segera pergi dari sana.
“Selamat atas pertunanganmu,” ucap Erica.
Usai mengucapkan itu, Erica memutar tubuhnya, hendak meninggalkan taman hiburan.
Namun, Kenzo mencekalnya.
“Lalu bagaimana denganmu?” tanya Kenzo. Matanya memerah. “Aku tidak tega.”
Erica menghela napas dan tersenyum miring.
”Tidak tega katamu?” ulang gadis itu tidak percaya. “Sebelum mengatakan semua ini, apa kamu sudah mempertimbangkannya? Apa kamu benar memikirkan perasaanku? Kurasa tidak!”
Tidak ada tanggapan dari Kenzo. Karenanya, Erica melanjutkan, “Semoga kamu bahagia dengan wanita yang dianggap setara oleh keluargamu itu. Tenang, aku pun akan bahagia.”
Erica menarik tangannya, melepaskan cekalan Kenzo.
“Di masa depan, jika aku bertemu dengan pria yang mencintaiku, kupastikan lelaki itu adalah lelaki terakhir yang akan menjadi kekasihku. Aku akan menikahinya, tidak peduli dia duda sekalipun!”
Kenzo tercengang mendengar kata-kata Erica. Namun, ia tidak sempat bereaksi hingga akhirnya Erica melangkah pergi.
Gadis itu menangis sepanjang jalan tanpa suara. Malam itu adalah malam yang menyakitkan bagi Erica, selama ini Kenzo yang menjadi penyemangatnya malah membuat hatinya terluka.
Erica menghentikan langkah kakinya, dia berjongkok memeluk lututnya di tengah keramaian lalu-lalang kendaraan di jalanan di malam minggu.
“Kenapa nasibku seperti ini? Aku juga ingin bahagia.”
Sejak kematian ibunya. Erica Stephanie Daphne, 21 tahun menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya sudah menikah lagi dan pria itu tidak lagi membiayai dia serta adiknya.
Erica pun harus ke sana kemari, dari magang, sampai kerja paruh waktu di berbagai tempat. Saat ini, dia bekerja di sebuah restoran demi membiayai sekolah adiknya.
Setelah menangis selama beberapa waktu, akhirnya Erica bangkit untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Namun, saat ia hendak menyeberang jalan, Erica tidak menyadari kalau lampu lalu lintas sudah hijau. Karenanya, sebuah mobil dari arah berlawanan tiba-tiba harus mengerem mendadak.
Erica terkejut dan terjatuh karena syok.
Tak lama kemudian, seorang sopir keluar dari dalam mobil menghampiri Erica.
Seorang sopir keluar dari dalam mobil menghampiri Erica.
“Non, baik-baik saja?” tanya sopir.
“Saya baik-baik saja. Maaf atas keteledoran saya,” ucap Erica karena dia yang salah.
Sopir itu membantu Erica bangun. Tubuh Erica masih gemetar karena terkejut.
Meskipun kedua kakinya terasa sangat lemas, Erika berusaha berjalan ke sisi jalan dengan bantuan sopir tadi. Banyak orang yang memperhatikan mereka.
“Non, yakin baik-baik saja? Apa tidak mau saya bantu bawa periksa ke dokter?”
Saat katup bibir Erica terbuka dan hendak terucap, seseorang keluar dari mobil itu.
Erica melihat sepatu lelaki itu milik brand ternama. Ia bisa menebak kalau pria itu pasti orang kaya, dengan tubuh tegak, gagah, dan dada bidang tampak sempurna. Lelaki itu melangkahkan kakinya dari cahaya jalanan yang sedikit redup. Hingga suaranya terdengar menyapa.
“Pak Yuda, bagaimana kondisinya?” tanya lelaki itu yang perlahan mulai terlihat semakin jelas wajahnya.
Tampan adalah kalimat pertama yang terucap di hati Erica. Namun, Erica terkejut saat menyadari kalau orang itu adalah orang yang sangat dikenalinya.
Pria itu adalah Leonel Jonathan Winston, 39 tahun, pelanggan setia di restorannya. Dia juga dijuluki customer killer! Karena, dia sangat memperhatikan kebersihan di restoran.
Selain itu, Erica tadi pagi tidak sengaja menumpahkan kopi di pakaiannya!
‘Sial! Kenapa harus om killer ini, sih!” rutuknya dalam hati.
Manik mata Leonel melihat Erica dari atas hingga ujung kaki. Tatapannya tidak bersahabat dan nyaris tidak enak dipandang.
“Kamu lagi!” ucap Leonel dengan suara pelan nan dingin.
Erica langsung menunduk takut kalau pria itu akan memperpanjang masalah.
“Pak, maafkan saya! Sekali lagi maaf,” ucapnya seraya membungkuk kepada Leonel yang saat ini berdiri di hadapannya, dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
Pak Yuda menatap Leonel dan berkata, “Pak, gadis ini baik-baik saja.”
Leonel melihat orang-orang mulai penasaran dengan apa yang terjadi. Jadi, dia tidak ingin ambil pusing. Leonel mengambil sesuatu dari balik jas yang dikenakannya, dan menyodorkan kartu nama.
“Jika kamu merasa sakit dan butuh pertanggungjawaban, kamu bisa menghubungi saya di nomor ini,” ucapnya.
Erica menggelengkan kepalanya. “Tidak usah, Pak, saya baik-baik saja, kok.”
Namun, Leonel tetap menyodorkannya hingga suara Pak Yuda terdengar.
”Sudah, Non, ambil saja buat jaga-jaga.”
Erica merasa takut dengan tatapan Leonel yang saat itu juga menatapnya dingin dengan satu alis terangkat. Erica tidak berdaya dan hanya bisa menerimanya seraya membungkuk meminta maaf lagi.
“Kita pergi sekarang,” ucap Leonel.
Saat itu juga mobil mewah keluaran Eropa berwarna merah itu menjauh dari Erica.
Erica pun menghela napas, jantungnya masih berdebar. Hampir saja malaikat maut memanggilnya!
Gadis itu kemudian melihat kartu nama di tangannya.
“Leonel Jonathan Wingston, jadi ini adalah nama dia,” gumam Erica, sebelum kemudian menarik napas dalam-dalam.
“Hampir saja,” gumamnya pada diri sendiri. “Aku tidak boleh berakhir di sini.”
Erica ingin membuktikan kepada keluarga dan saudaranya yang suka sekali menyinyir dan merendahkannya. Kalau masa depannya pasti cerah.
Malam itu Erica naik angkot pulang ke rumah.
Baru saja ia tiba di rumah di rumah, bibi Erica yang bernama Catalina sudah memasang wajah masam.
“Dari mana saja kamu!?” bentak wanita paruh baya itu. “Jam segini baru pulang ke rumah.”
“Baru pulang kerja, Bi.” Erica terpaksa berbohong.
“Alah, kerja-kerja tapi gajimu kecil. Buat makan sebulan saja susah! Jika suamiku tidak membawamu dan adikmu itu, pasti kalian sudah jadi gembel di jalan!”
Erica tidak menyahut, dia hanya bisa menunduk dan masuk ke dalam kamarnya. Selama ini dia tidur bersama dengan saudara perempuannya, saudaranya pun sering kali membuat masalah.
“Ck! Enggak tahu diri. Berangkat pagi pulang malam, dasar lo udah kaya lonte aja!” cibirnya.
“Aku kerja, Sis. Aku bukan perempuan seperti itu.”
Namun, Siska enggan peduli dengan ucapan Erica. Teriakan dari luar kamar sudah terdengar.
“Erica, cuci piring. Piring kotor sudah menumpuk di dapur!” teriak Catalina.
Erica melirik ke arah pintu kamar. Sedangkan Siska hanya asyik memainkan ponselnya. Suara teriakan itu terdengar lagi membuat Erica berlarian keluar kamar.
“Tunggu sebentar Bi.”
Malam itu Erica pergi ke dapur, dia melihat tumpukkan piring kotor di atas wastafel. Erica tidak mengeluh dan langsung mencuci piring, selain itu masih ada tugas lain ya itu mencuci pakaian milik tante dan sepupunya.
“Kak, biar Cio bantu.”
Erica menoleh dan menggelengkan kepala.”Kamu tidur saja, kakak sudah mau selesai kok.”
Lucio menatap kakaknya dengan tatapan sedih. Namun, Erica berusaha untuk gigih.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Cio, sedih saja. Sejak Ibu meninggal, kakak harus kerja banting tulang. Sedangkan Bapak sama sekali tidak peduli,” ucap adiknya sedih. “Kak, apa Cio tidak usah lanjut SMA saja?!”
Erica langsung menggenggam tangan adiknya menggelengkan kepala.
“Tidak boleh. Pendidikan sangat penting. Tugasmu hanya sekolah yang benar, mengenai biaya sekolah biar kakak yang pikirkan.”
“Tapi, kita tidak punya uang sama sekali. Kakak kan juga harus membayar uang semester?”
Erica pun sebenarnya bingung dari mana ia akan mendapatkan uang. Namun, ia tidak boleh menampakkan itu di depan adiknya.
“Tenang. Jangan cemaskan Kakak.” Pada akhirnya, hanya itu yang terucap dari bibir Erica sebelum bibinya berteriak nyaring sekali.
“Erica! Ke sini kamu!”
Hallo, salam kenal saya Caramelly. Ini buku pertama saya di GN. Semoga kalian suka, ya. Terima kasih, sudah mau menyempatkan membaca karya saya. Jangan lupa sapa saya di kolom komentar, juga. Love you all.
Satu hari telah berlalu sejak Erica dan Kenzo bertemu kembali. Pertemuan itu tak terduga, penuh kejutan dan luka lama yang mengambang di permukaan. Erica, yang kini adalah istri Leonel, tetap teguh pada keputusannya. Meninggalkan kampung halaman, keluarganya, dan masa lalunya, ia memilih untuk ikut Leonel ke luar negeri. Ada keyakinan di dalam hatinya bahwa ini adalah jalan terbaik—bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk membangun kembali kehidupannya yang baru, jauh dari bayang-bayang yang pernah meruntuhkannya.Di hari itu, Leonel memutuskan untuk berkunjung ke rumah kakaknya, Archer. Sejak pernikahannya dengan Erica, serta mengetahui hubungan Erica dan Kenzo, hubungan mereka tidak terlalu hangat.Saat ini Leonel duduk di sofa menatap Natalie, Archer dan Tiara. Archer menyadari ketegangan menyelimuti ruangan itu.“Leonel, sekarang Tiara sudah ada di sini. Jadi, apa yang ingin kamu katakan?” tanya Archer.Loenel menatap tajam Tiara. “Aku akan langsung saja. Tiara, ini peringatan
Saat ini tidak hanya Erica yang terkejut, tetapi Kenzo sama terkejutnya dengan Erica. Langkah kaki Kenzo mendekati Erica yang kini masih berdiri di posisinya.“Ca, kamu ada di sini?”“Tiara, ingin bertemu denganku. Kenapa kamu ada di sini?” Erica balik bertanya kepada Kenzo.“Kebetulan sekali Tiara juga mengajakku bertemu di sini. Dia belum datang, ya?”Erica menggeleng pelan. Mata Kenzo melirik ke arah perut Erica dari balik sweater yang dikenakannya. Erica merasa kikuk saat Kenzo memperhatikannya dan menarik sedikit sweater berwarna biru cerah, kemudian duduk di kursinya kembali.“Boleh aku duduk di sini sambil menunggu Tiara?”Erica mengangguk pelan, Kenzo duduk berseberangan dengan Erica. Dia juga mencoba menghubungi Tiara, tetapi tidak dijawab.“Bagaimana?” tanya Erica kepada Kenzo.“Tidak dijawab, sepertinya dia sedang dalam perjalanan. Aku tidak tahu apa tujuan Tiara ingin bertemu dengan kita, tapi Erica aku senang bisa bertemu kembali denganmu. Aku harap pertemukan kita tidak
Erica membalik ponselnya dan menggelengkan kepala. “Tidak ada.”Namun, mata Leonel seakan tahu kalau ada yang disembunyikan oleh Erica, tetapi dia tidak ingin memaksa sang istri untuk memberitahunya. Erica saat ini menyisip coklat panas yang dibuat oleh Leonel.Suara notifikasi ponsel Erica terus berbunyi dan membuat Leonel yang duduk di sebelahnya melirik ke arah ponselnya. Erica yang menyadari itu spontan berbicara.”Raisya, terus mengirimiku video lucu.”“OH … lanjutkan saja, saya ada kerjaan. Jika kamu lelah, kamu istirahat saja.”Erica mengangguk. Leonel berdiri dan pergi, Erica menghela napas lega. Namun, ia juga merasa bersalah karena tidak bisa memberitahu yang sebenarnya.Erica melihat kembali ponselnya, dia melihat postingan teman Kenzo sudah banyak dibagikan dan menjadi trending di grup kampus. Ada banyak sekali yang teman yang men-tag Erica di grup kedokteran. Erica hanya bisa menghela napas.“Kenzo, hubungan kita sudah usai, kenapa kamu tidak bisa melepaskanku. Kamu yang m
Mendengar jawaban Leonel, Erica cukup mengerti apa yang diinginkan Leonel saat ini. Setelah itu mereka kembali ke rumah, Leonel memangkunya menuju ke kamar. Perlahan Leonel menurunkan tubuh Erica di atas tempat tidur, Erica duduk dan melepaskan sandal rumahnya.“Kamu tidak perlu repot-repot memangku aku, aku bisa jalan sendiri.”“Aku tahu, tetapi selagi bisa aku ingin memangkumu. Mungkin saja dua tahun lagi aku tidak sanggup memangkumu. Aku sudah cukup tua, walaupun aku masih terlihat tampan dari luar.”Entah kenapa Erica tidak senang mendengarnya. Dia menarik tangan Leonel untuk duduk di sisinya, perlahan tangannya membelai wajah Leonel menatapnya lembut. Mata keduanya saling menatap begitu lekat, ada kehangatan dari kedua mata yang saling menatap.“Di mataku kamu masih muda. Jika suatu hari nanti kamu tidak sanggup bekerja lagi, jangan dipaksakan. Aku yang akan merawatmu, biar aku yang bekerja. Kamu hanya perlu berada di rumah bersama anak kita,” kata Erica.Leonel tersenyum. “Jadi
Leonel membelai rambut Erica. “Karena saya sayang kamu, dan janin di dalam perut kamu. Sekarang kamu memiliki tanggung jawab lebih, yaitu calon anak kita.”Erica diam menatap suaminya, lalu dia tersenyum. Leonel kini sudah memegangi pipi Erica yang semakin hari semakin berisi. “Terima kasih, karena sudah sayang sama aku.”“Itulah tanggung jawab seorang suami. Kamu lapar tidak, ingin makan sesuatu?” tanya Leonel.Erica mengangkat kepala, dia seperti sedang memikirkannya. Lalu, dia teringat sesuatu.”Aku ingin makan mie ayam di pinggir jalan. Mie ayam Pak Joko.”“Di mana? Biar saya belikan,” kata Leonel.“Emh, sebenarnya aku ingin makan di tempatnya. Kalau di rumah kadang rasanya agak beda gitu, boleh tidak?” tanya Erica dengan mata berbinar.Leonel yang melihat ekspresi sang istri tidak berdaya. Akhirnya dia menganggukkan kepalanya. “Baiklah kita pergi sekarang,” kata Leonel.Erica mengangguk, Leonel mengambil sebuah jaket untuk Erica kenakan.“Di luar habis hujan, cuaca pasti dingin.
Tiara terbelalak mendengarnya. Dia tidak menyangka kalau Leonel akan bersikap keras terhadapnya. Hingga membentaknya di hadapan Kenzo, saat itu juga Tiara tidak bisa menyembunyikan air matanya. Dia menangis di hadapan Kenzo.“Sejak menikahi Erica, Paman sudah banyak berubah. Bahkan sekarang membentakku hanya untuk orang asing seperti dia. Jangan-jangan anak yang dikandung Erica bukan anak Paman, tapi anak dia!” tuduh Tiara kepada Kenzo.Kenzo terkejut mendengarnya.”Kau! … Tiara, aku memang masih mencintai Erica, tetapi tuduhanmu terhadapku sangat keterlaluan.”Leonel mengepal tangannya. Darahnya mendidih, jika saja bukan keponakannya. Mungkin Tiara sudah mendapatkan tamparan dari Leonel.“Tiara, saya peringatkan padamu sekali lagi. Jangan membuat masalah dengan Erica, kedua jangan membuat ulah yang merugikan Erica, ketiga Erica bukan orang asing, dia istri saya. Keluarga saya, ibu anak saya. Saya lebih tahu anak siapa yang dikandung Erica, karena saya yang menghamilinya!” dengus Leon