Nick menunduk di atas piringnya, mencoba mengunyah perlahan walau tak ada rasa apa-apa di lidahnya. Malam terasa hampa, seperti malam-malam sebelumnya sejak Eliza memilih diam di balik pintu dan Nick hanya bisa menunggu di luar tanpa kepastian.Bunyi langkah kaki di tangga mengusik keheningan yang menyiksa. Sebuah langkah ringan tapi ragu, seperti seseorang yang tengah menimbang-nimbang apakah ini keputusan yang benar. Nicholas langsung menoleh.Eliza.Ia memakai baju tidur sederhana berwarna biru muda. Rambutnya digerai, wajahnya polos tanpa riasan, dan mata itu… mata yang dulu sering menatapnya dengan marah atau bingung, kini menatapnya dengan tenang. Bukan tanpa luka—tapi juga bukan tanpa harapan.Nick refleks berdiri dari kursinya. “Saya… saya akan pergi,” katanya buru-buru, menghindari tatapan itu karena takut membuat Eliza merasa tidak nyaman.“Tetap di situ.”Suara Eliza terdengar pelan tapi mantap.Seketika Nicholas terdiam, setengah membeku. Perlahan, ia menoleh dan menemukan
Langit Jakarta berawan pekat ketika Nicholas mengangkat ponselnya dan menekan nomor Ettan. Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena jendela rumah besar itu tak lagi terbuka seperti biasa. Mungkin juga karena Eliza belum keluar dari kamarnya sejak hari itu."Ya?" suara Ettan terdengar tegas di ujung sana."Dad, aku ingin minta ijin." Suara Nicholas pelan, hampir tak terdengar."Kenapa tidak masuk kantor? Kamu CEO sekarang, Nicholas. Kamu tahu tanggung jawabmu.""Aku tahu." Nick menghela napas. "Tapi aku... perlu waktu. Untuk menyelesaikan sesuatu di rumah."Hening.Ettan mendesah. "Apa ini soal Eliza?"Nicholas tak menjawab. Tapi keheningan itu cukup sebagai konfirmasi."Baik. Tapi kamu tetap harus pegang kendali. Geri bisa bantu pantau dari kantor. Aku akan tetap cek laporan tiap sore.""Terima kasih, Dad."Telepon terputus. Nicholas menyandarkan kepala ke dinding kamarnya, menatap langit-langit kosong seolah berharap ada petunjuk tentang bagaimana caranya mem
Eliza duduk di ujung sofa di kamarnya, tubuhnya kaku, kedua tangannya menggenggam ujung bantal kecil yang disediakan di pangkuannya. Cahaya sore menyelinap masuk dari sela tirai jendela, membentuk bayangan lembut di lantai. Di seberangnya, Dr. Meira duduk dengan sikap santai namun penuh perhatian, mengenakan kemeja putih dan celana kain abu. Wajahnya ramah, tidak menghakimi.“Terima kasih sudah mau bicara, Eliza,” sapa Dr. Meira lembut.Eliza mengangguk pelan. “Saya... nggak tahu harus mulai dari mana.”“Tidak apa-apa. Di sini, tidak ada yang memaksa. Kamu boleh diam. Atau menangis. Atau marah. Kita mulai dari apa pun yang kamu mau.”Eliza menggigit bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca bahkan sebelum satu kalimat keluar.“Saya... takut,” bisiknya. “Saya nggak tahu kenapa saya bisa begini. Semalam... saya merasa tubuh saya dicuri lagi. Sama seperti waktu itu.”Air matanya menetes. “Saya pikir, pernikahan bisa jadi tempat aman saya. Tapi ternyata...”Dr. Meira mengambil selembar tisu d
Benz Group, pukul 10.34 pagiSuasana kantor yang biasanya mendukung produktivitas, pagi itu terasa sesak bagi Nicholas. Monitor di depannya hanya memantulkan bayangannya sendiri. Ia memandangi layar kosong, pikirannya jauh lebih kacau daripada spreadsheet yang tak sempat ia buka."Geri," panggilnya pelan tapi tegas.Geri yang tengah mengetik di ruang depan, langsung masuk. "Ya, Pak?"Nick mengatupkan rahangnya sejenak, lalu bersandar di kursinya. "Tolong kamu blokir semua akses yang berhubungan dengan Lidya. Email, ID visitor, bahkan nomor yang bisa dipakai buat janjian sama dia."Geri sempat ragu. "Ada sesuatu yang terjadi, Pak?"Nick mendengus, suaranya rendah, dalam. "Aku tidak mau istriku melihat wajah perempuan itu lagi. Lidya… sudah bagian dari masa lalu. Aku nggak mau dia menyentuh masa depanku."Geri mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan langsung urus."Nick mengangguk tipis. "Dan satu lagi. Kalau dia datang ke sini, suruh security antarkan pulang. Jangan sampai aku lihat dia lagi
Pagi itu, mentari belum tinggi ketika Nicholas terbangun. Pandangannya buram, napasnya berat, dan tubuhnya terasa lelah luar biasa. Selimut tersibak sebagian dari tubuhnya yang tak berbalut pakaian. Sekelilingnya berantakan—baju-baju Eliza tergeletak di lantai, lampu meja miring, bahkan cangkir teh dari malam sebelumnya terguling di sisi meja. Kamar itu menyimpan sisa-sisa badai yang bukan hanya fisik, tapi juga emosi. Nicholas menoleh ke sisi tempat tidur. Kosong. “Eliza?” Tak ada jawaban. Jantungnya mulai berdegup lebih cepat, bukan karena terkejut—tapi karena ketakutan. Potongan-potongan semalam menyeruak di benaknya—kemarahannya, luapan emosinya yang terlalu keras, dan betapa ia kehilangan kendali. Ia membenci dirinya sendiri saat itu. Ia bahkan tak yakin apakah yang terjadi semalam adalah bentuk dari cinta… atau luka yang belum selesai. Dengan cepat, Nicholas melompat dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Ia mengguyur wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menenangkan dir
"Kamu yakin ini dari CCTV tadi?” Nicholas bertanya dingin, menatap layar di tangan Geri yang menampilkan cuplikan: Eliza berjalan cepat ke arah Ricky, mereka mengobrol lalu keduanya masuk ke mobil sport berwarna hitam metalik dan pergi meninggalkan area basement kantor. Geri mengangguk ragu. “Saya sudah cek semua rekaman parkir, Pak. Hanya... itu.” Nicholas mengepal. Rahangnya menegang. “Hubungi Ricky.” Geri mendongak ragu. “Sekarang, Pak?” “Sekarang, Geri.” Geri mengangguk patuh dan mulai menelepon. Suara dering berputar sebentar sebelum akhirnya tersambung. “Halo?” suara Ricky di seberang, agak berisik seperti ditiup angin. “Ricky, ini Geri,” sapa Geri seakan santai. “Lagi di mana?” “Di sirkuit. Aku lagi latihan.” “Oke. Thanks.” Sambungan diputus. Geri menoleh perlahan ke Nicholas, yang kini berdiri dengan wajah kelam. “Sirkuit,” gumam Nick. Ia tak bicara apa-apa lagi. Hanya meraih kunci mobil dan melangkah keluar ruangan tanpa suara. --- Dua puluh menit kemudian, der