Nicholas tak pernah menyangka sebuah gulungan banner yang jatuh bisa menjadi awal dari sesuatu yang terus tinggal dalam memorinya bertahun-tahun ke depan.Sore itu, langit kota terlihat kelabu, dan siswa-siswa SMA Kencana perlahan mengosongkan gedung sekolah. Hanya segelintir yang masih bertahan di ruang kelas, OSIS, dan tentu saja—perpustakaan.Itu tempat favorit Nicholas. Sunyi, tenang, tidak ada yang memperhatikan. Ia menyukai aroma kertas tua, denting jam dinding, dan bunyi samar halaman-halaman buku yang dibalik. Bagi Nicholas, perpustakaan adalah tempat yang tidak menuntutnya untuk bicara.Sampai akhirnya, hari itu…Sebuah banner besar tiba-tiba jatuh dari atas pintu saat ia hendak masuk. Nicholas reflek menunduk. Gulungan kain itu menyentuh sepatunya. Ia menatap ke dalam ruangan dan melihat seorang siswi berdiri di atas meja dengan selotip dan senyum kikuk.Rambutnya panjang dan dikuncir tinggi. Wajahnya sedikit berkeringat tapi tetap cerah. Ia menatap Nicholas dengan tatapan m
Sarapan pagi itu seperti biasanya—hening, tapi tidak setegang minggu-minggu lalu.Eliza duduk di sisi meja, mengaduk teh jahe hangat tanpa benar-benar berniat meminumnya. Nicholas di seberangnya, membaca sesuatu di layar tablet sambil sesekali menyuap potongan roti panggang. Tidak ada yang berbicara lebih dari tiga kalimat dalam satu waktu. Tidak ada topik besar. Tidak juga ada pertengkaran. Dan bagi mereka berdua, itu sudah cukup baik.Setelah menyelesaikan sarapannya, Nick bangkit lebih dulu. Ia membereskan piringnya sendiri, lalu menghampiri Eliza sebentar.“Saya ke kantor dulu,” ucapnya singkat, suaranya datar tapi tidak dingin.Eliza hanya mengangguk pelan, “Hati-hati.”Nicholas menoleh sebentar, lalu pergi. Tak ada kontak mata. Tapi saat ia sudah keluar dari pintu, Eliza diam-diam menatap punggungnya… cukup lama.---Hari itu, di kantor, Nicholas sibuk seperti biasa. Tapi sekitar pukul tiga sore, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Anita.[Nick, maaf. Mama nggak bisa temenin El
Nick menunduk di atas piringnya, mencoba mengunyah perlahan walau tak ada rasa apa-apa di lidahnya. Malam terasa hampa, seperti malam-malam sebelumnya sejak Eliza memilih diam di balik pintu dan Nick hanya bisa menunggu di luar tanpa kepastian.Bunyi langkah kaki di tangga mengusik keheningan yang menyiksa. Sebuah langkah ringan tapi ragu, seperti seseorang yang tengah menimbang-nimbang apakah ini keputusan yang benar. Nicholas langsung menoleh.Eliza.Ia memakai baju tidur sederhana berwarna biru muda. Rambutnya digerai, wajahnya polos tanpa riasan, dan mata itu… mata yang dulu sering menatapnya dengan marah atau bingung, kini menatapnya dengan tenang. Bukan tanpa luka—tapi juga bukan tanpa harapan.Nick refleks berdiri dari kursinya. “Saya… saya akan pergi,” katanya buru-buru, menghindari tatapan itu karena takut membuat Eliza merasa tidak nyaman.“Tetap di situ.”Suara Eliza terdengar pelan tapi mantap.Seketika Nicholas terdiam, setengah membeku. Perlahan, ia menoleh dan menemukan
Langit Jakarta berawan pekat ketika Nicholas mengangkat ponselnya dan menekan nomor Ettan. Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena jendela rumah besar itu tak lagi terbuka seperti biasa. Mungkin juga karena Eliza belum keluar dari kamarnya sejak hari itu."Ya?" suara Ettan terdengar tegas di ujung sana."Dad, aku ingin minta ijin." Suara Nicholas pelan, hampir tak terdengar."Kenapa tidak masuk kantor? Kamu CEO sekarang, Nicholas. Kamu tahu tanggung jawabmu.""Aku tahu." Nick menghela napas. "Tapi aku... perlu waktu. Untuk menyelesaikan sesuatu di rumah."Hening.Ettan mendesah. "Apa ini soal Eliza?"Nicholas tak menjawab. Tapi keheningan itu cukup sebagai konfirmasi."Baik. Tapi kamu tetap harus pegang kendali. Geri bisa bantu pantau dari kantor. Aku akan tetap cek laporan tiap sore.""Terima kasih, Dad."Telepon terputus. Nicholas menyandarkan kepala ke dinding kamarnya, menatap langit-langit kosong seolah berharap ada petunjuk tentang bagaimana caranya mem
Eliza duduk di ujung sofa di kamarnya, tubuhnya kaku, kedua tangannya menggenggam ujung bantal kecil yang disediakan di pangkuannya. Cahaya sore menyelinap masuk dari sela tirai jendela, membentuk bayangan lembut di lantai. Di seberangnya, Dr. Meira duduk dengan sikap santai namun penuh perhatian, mengenakan kemeja putih dan celana kain abu. Wajahnya ramah, tidak menghakimi.“Terima kasih sudah mau bicara, Eliza,” sapa Dr. Meira lembut.Eliza mengangguk pelan. “Saya... nggak tahu harus mulai dari mana.”“Tidak apa-apa. Di sini, tidak ada yang memaksa. Kamu boleh diam. Atau menangis. Atau marah. Kita mulai dari apa pun yang kamu mau.”Eliza menggigit bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca bahkan sebelum satu kalimat keluar.“Saya... takut,” bisiknya. “Saya nggak tahu kenapa saya bisa begini. Semalam... saya merasa tubuh saya dicuri lagi. Sama seperti waktu itu.”Air matanya menetes. “Saya pikir, pernikahan bisa jadi tempat aman saya. Tapi ternyata...”Dr. Meira mengambil selembar tisu d
Benz Group, pukul 10.34 pagiSuasana kantor yang biasanya mendukung produktivitas, pagi itu terasa sesak bagi Nicholas. Monitor di depannya hanya memantulkan bayangannya sendiri. Ia memandangi layar kosong, pikirannya jauh lebih kacau daripada spreadsheet yang tak sempat ia buka."Geri," panggilnya pelan tapi tegas.Geri yang tengah mengetik di ruang depan, langsung masuk. "Ya, Pak?"Nick mengatupkan rahangnya sejenak, lalu bersandar di kursinya. "Tolong kamu blokir semua akses yang berhubungan dengan Lidya. Email, ID visitor, bahkan nomor yang bisa dipakai buat janjian sama dia."Geri sempat ragu. "Ada sesuatu yang terjadi, Pak?"Nick mendengus, suaranya rendah, dalam. "Aku tidak mau istriku melihat wajah perempuan itu lagi. Lidya… sudah bagian dari masa lalu. Aku nggak mau dia menyentuh masa depanku."Geri mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan langsung urus."Nick mengangguk tipis. "Dan satu lagi. Kalau dia datang ke sini, suruh security antarkan pulang. Jangan sampai aku lihat dia lagi