“Sierra, buka pintu!” Martin menggedor dengan membabi-buta, karena Sierra mendekam di dalam kamar mandi cukup lama setelah sebelumnya sempat mendadak mual.Di dalam kamar mandi Sierra masih bersimpuh, dengan sejuta ketakutan. Dia tidak pernah mual seperti ini dan ini adalah kali pertama untuknya. Bagaimana jika dia hamil? Bayangan akan wajah Paul Pandia terus timbul tenggelam di matanya, kemudian tergantikan akan wajah Martin yang tersenyum ke arahnya.“Sierra!” Martin berteriak makin keras.Sierra segera bangun dari lamunannya sendiri, mematut diri di depan cermin dan memastikan tidak ada hal aneh di wajahnya. Setelah yakin semuanya berjalan tanpa keanehan, Sierra pun segera keluar dari kamar mandi. Dia cukup terkejut melihat raut wajah Martin yang tampak sangat cemas.“Apa yang terjadi? Kamu sakit?” Martin mencengkeram kencang dua bahu Sierra.Sierra menggeleng dan pelan-pelan melepaskan cengkeraman tangan Martin dari bahunya. “Martin, sepertinya aku harus pulang,” ucap Sierra pelan
Sebelum benar-benar menjawab teguran Rachel, Sierra yang panas dingin lebih dulu melirik ke arah Paul. Tampak pria tua berwibawa itu tersenyum tipis, seakan menertawai kebodohan Sierra.“Sierra?” panggil Rachel karena Sierra tidak menyahut. Kemudian wanita itu membungkuk hormat ke arah Tuan Paul, yang kini memilih duduk di kursi yang dipersilahkan oleh Sierra. “Selamat malam, Tuan Paul,” sapa Rachel.Bagi Rachel, Paul Pandia bak malaikat berfisik nyata. Selama hidup di panti asuhan bersama Sierra, dia sangat tahu kalau Pandia Group menjadi salah satu sponsor penting yang menyambung seluruh kehidupan para penghuni panti. Rachel menganggap Paul sebagai panutan yang wajib disegani.“Kamu baru pulang, Chel?” sapa Paul. “Apa kamu juga ingin membeli nasi goreng untuk Sierra?” Sembari bertanya, Paul melirik Sierra dengan tatapan geli.“Saya kira … Sierra sudah pulang,” jawab Rachel ragu.“Oh, begitu,” Paul bangkit berdiri. Dia menghadap ke arah Sierra. “Si, setelah selesai makan, sebaiknya k
“Kenapa kamu diam saja? Apa pertanyaannya terlalu sulit untukmu?” tanya Paul karena Sierra masih diam meski hampir satu menit berlalu.Sierra menggigit bibir sembari memainkan jemarinya. “Tuan tahu … ““Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri, Si,” sambar Paul, dengan suara tenang nyaris tanpa ada nada tinggi maupun rendah. Benar-benar seimbang.“Maafkan saya, Tuan … “ Lagi-lagi Sierra menunduk. “Semua itu kesalahan. Saya berjanji untuk tidak melakukannya lagi,”Untuk kali ini Sierra tidak menunggu dua kali, dia bergegas keluar dari mobil Paul. Tak peduli meski Paul menjadi murka atas sikapnya. Dia bahkan tidak menghiraukan Lukman yang sempat memanggil namanya, meminta penjelasan. Sierra sudah terlalu gugup dan muak kepada dirinya sendiri, serta diliputi penyesalan ketika harus mengingat malam panas waktu itu.“Tuan, apa perlu saya susul Sierra?” Lukman melongok melalui jendela untuk mengecek keadaan Paul.Paul mengangkat lima jarinya, tanda menolak. “Biarkan saja dia, Lukman. Aku ti
“Sierra?” Terdengar suara pintu toilet yang diketuk. Sierra buru-buru menghapus air matanya, segera berdiri dan berusaha membereskan kekacauan yang sempat membuatnya mengalami semacam syok ringan. Setelah menarik nafas demi menjaga ketenangan, Sierra pun membuka pintu.“Ada apa?” Sierra membuka pintu toilet dan mendapati Tasya berdiri di baliknya dengan muka masam.Tasya melipat kedua tangannya. “Kenapa lama sekali? Lima belas menit lagi kita ada rapat dengan Pak Martin,” Mendengar nama Martin disebut, entah kenapa hati Sierra terasa begitu sakit. Tiba-tiba dia teringat akan hasil tes sebelumnya, yang menunjukkan bahwa dia tengah berbadan dua. Walaupun tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun Tasya menyadari perubahan sikap Sierra yang tadi pagi begitu cerah, kini berubah sendu dan pucat. Namun karena rapat penting itu sebentar lagi dimulai, Tasya urungkan niat untuk bertanya lebih jauh pada Sierra. Keduanya berjalan cepat menuju meja masing-masing, untuk menyiapkan segala keperlu
Dari kejauhan Elisha melihat Sierra yang menabrak tubuh Lukman dan terjadi kegaduhan singkat. Dia memang memutuskan untuk mengejar Sierra, merasa cemas karena sepertinya Sierra sedang tidak baik-baik saja. Namun dia harus berhenti ketika melihat Sierra saling berhadapan canggung dengan Paul Pandia.Bagi Elisha, percakapan itu tampak tidak biasa. Apalagi Paul yang seperti melirik situasi sebelum benar-benar mengobrol dengan Sierra. Kemudian keduanya–dengan tuntunan Lukman bergegas meninggalkan lobi.“Sepertinya ini belum waktu istirahat,” tegur Martin, tiba-tiba berdiri di belakang Elisha.Elisha yang terkejut spontan menoleh. Dia kaget melihat Martin berdiri menghadapnya dengan tatapan curiga. Cepat-cepat Elisha menunduk, berusaha menutupi sebisanya agar Martin tidak bisa melihat kecanggungan antara Sierra dan Paul.“Maaf … Pak Martin,” Elisha memberi penegasan ketika menyebut nama Martin.Martin menarik nafas panjang. “Sebaiknya kamu segera menyelesaikan desain yang kumau,”“Saya sud
“Apa yang harus saya lakukan?” Sierra kembali mencengkeram perutnya. “Saya terlalu takut untuk menghadapi ini semua, Tuan. Saya … saya juga … ““Sejak kapan?” sambar Paul. Dia sengaja memotong ucapan Sierra. Kini matanya begitu tajam tertuju pada Sierra. “Sejak kapan kamu positif hamil?”Sierra berusaha mengingat kembali tanggal seharusnya dia menstruasi. “Saya tidak bisa memastikan, Tuan,” jawabnya lirih. Tangisannya sudah berhenti, namun meninggalkan bekas memerah pada wajahnya. Sembab.Paul mengusap sisa air mata di pipi Sierra. Dengan lembut dia kembali mendekap wanita itu. “Akhirnya … aku berhasil mendapatkan keturunanku. Darah dagingku sendiri,” ucap Paul sambil mengecup ujung kepala Sierra.Masih dalam dekapan Paul, Sierra bisa dengan jelas mendengar ucapan itu. Ada sedikit rasa terkejut. Tak menyangka Paul justru menyambut kabar kehamilannya dengan begitu gembira, sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Yang lebih mengejutkan, Paul menyebut seakan-akan inilah kali pertama d
Dengan senyumnya yang tenang namun misterius, Paul mengajak Sierra ke sebuah tempat yang tidak pernah dikunjungi Sierra sebelumnya. Bahkan saat Sierra masih resmi bekerja sebagai sekretaris Paul. Perjalanan mereka berakhir di depan sebuah rumah yang sangat mewah, yang berdiri megah dengan arsitektur elegan dan taman yang terawat rapi.“Ayo turun,” ajak Paul, setelah Lukman memarkir mobil.Sierra menatap ke arah rumah besar tersebut, dengan matanya membesar karena terkejut. “Ini rumah siapa, Tuan? Sepertinya ini bukan rumah Tuan,” Sierra berusaha mengingat kembali bentuk rumah mewah yang ditinggali Paul. Sangat berbeda dari rumah yang ada di depannya kini.Paul tersenyum dan menggenggam tangan Sierra. “Kamu tunggu diluar. Masuklah setelah Lukman memberimu aba-aba,” Paul sampai menangkup kedua pipi Sierra, berusaha meyakinkan wanita itu bahwa semua akan baik-baik saja.“Tapi … “Belum sampai Sierra berhasil menyelesaikan ucapannya, bibirnya sudah dikulum habis oleh Paul. “Ikuti saja per
Paul mendekap erat kedua bahu Sierra, berusaha menguatkan wanita itu. Seakan tahu jika Sierra bisa saja kabur atau tumbang kapan saja, tak kuat menghadapi Martin dan Salome secara bersamaan. Dan reaksi Martin menjadi reaksi yang paling dramatis, karena kini dia melotot sangat tajam.Martin berjalan mendekati Sierra, dengan kedua mata yang memerah dan membulat sempurna. Urat di lehernya begitu terlihat menegang. Martin yang biasanya selalu penuh kepercayaan diri dan wibawa, sekarang tampak bingung dan kecewa menjadi satu.“Apakah ini semua benar, Sierra?” Suara Martin akhirnya pecah. Tenang namun terdengar sangat tajam di telinga Sierra. Rasa pengkhianatan yang tidak terucapkan tampaknya memenuhi ruangan saat Martin mencoba memproses informasi tersebut.Sierra menunduk begitu dalam, tidak berani menatap Martin. Yang ada dia hanya terus menangis, merasa dirinya begitu kotor dan tak berperasaan.“Kapan? Kenapa?” Bola mata Martin terus bergerak, berusaha menjaga agar kewarasannya tetap be