Share

Bab 7 Hubungi Aku

“T-tentu saja, Pak Lukman,” jawab Rachel terbata-bata. Dia selalu segan pada Lukman, karena pria tua itu adalah tangan kanan Paul Pandia yang cukup disegani oleh banyak pegawai.

Dengan isyarat mata, Lukman mengajak Sierra untuk pergi menjauh dari Rachel. Lukman mengajak Sierra menuju mobilnya yang terparkir rapi di luar pagar panti.

Kemudian pria itu membukakan pintu belakang mobil, mempersilahkan Sierra untuk masuk ke dalamnya. Betapa terkejut Sierra sesaat setelah pintu itu dibuka, sosok Paul tengah duduk melipat tangan. Pandangn pria tua itu lurus menatap Sierra.

“T-Tuan?” seru Sierra, benar-benar terkejut. Dengan gerakan kikuk, dia perlahan masuk ke dalam mobil itu.

Paul tersenyum. “Sepertinya kamu menikmati waktumu bersama Martin, eh?”

Sierra hanya menyahut dengan senyuman kaku. “Kami menyempatkan makan siang bersama untuk membahas kerjaan, Tuan,” jawabnya.

Paul menggeleng. Lantas menarik nafas panjang. “Tidak masalah bagiku. Kamu memang sekretaris Martin,” timpalnya.

Sierra mengangguk. Dia memainkan kelima jemarinya demi menghilangkan gugup.

“Jadi sekarang giliranku, kan?” Tiba-tiba Paul bertanya. “Kamu bersedia menemaniku makan malam?”

Dada Sierra terasa sesak, seakan oksigen di dalam mobil itu tidak cukup untuk dihirup olehnya. Dia ingin menolak, tapi dia tahu itu bukan pilihan yang baik. Meski dia bekerja untuk perusahaan Martin, tapi Paul adalah pemilik utama perusahaan Martin. Itu artinya, Sierra juga bawahan Paul.

Sierra sama sekali tidak berani memandang langsung ke mata Paul. Karena setiap dia berusaha melawan perasaannya, kepingan kenangan di vila malam itu selalu menyeruak di depan mata. Membuat hati Sierra berdesir, membayangkan betapa panasnya malam itu.

“Argh!” Tanpa sadar Sierra memekik, menyalahkan dirinya yang tengah berimajinasi liar.

“Ada apa?” tanya Paul heran, karena Sierra tiba-tiba menampar pipinya sendiri.

“T-tidak ada apa-apa, Tuan,” jawab Sierra gugup.

Awalnya Paul hanya diam, berusaha mencari celah kejujuran dari wajah Sierra. Tapi tak lama dia pun tersenyum penuh maksud. Seakan tahu apa yang tengah dipikirkan Sierra.

“Jangan khawatir, Si,” ucap Paul. “Kita bisa menghabiskan malam berdua lagi hari ini,” rayunya. Tangan Paul berusaha meraih tangan Sierra.

Tapi tiba-tiba wanita itu menghindar. Dengan gerakan cepat, dia menjauhkan posisi duduknya dari Paul. Dengan kepala terus menunduk, dia berusaha membangun pagar pembatas agar tidak dilewati Paul.

“Maafkan saya, Tuan,” ucapnya. “Saya tidak bisa,” Sierra berusaha mengumpulkan keberaniannya sendiri. “Saya–” Dia menelan ludah demi melancarkan ucapannya. “Saya sudah setuju untuk berkencan dengan Martin,”

Paul menautkan kedua alisnya saat mendengar jawaban Sierra. Untuk kemudian menghela nafas dan mengangguk.

“Jika itu memang pilihanmu, Si,” ujar Paul pelan. “Aku tidak bisa memaksamu,”

Paul membuka pintu dan bangkit berdiri. Sementara Sierra masih berada di dalam mobil itu, mulai sedikit takut karena berani menolak permintaan Paul.

Tak lama, pintu di samping Sierra terbuka. Sosok Paul yang tegap membukakan pintu untuk Sierra, sembari tersenyum amat berwibawa.

“Istirahatlah, Si. Aku tahu kamu lelah,” ucap Paul.

Sierra mengangguk. Dia keluar dari mobil itu masih dengan tatapan menunduk, sama sekali tak berani memandang ke arah Paul.

Kemudian Paul menyerahkan kartu namanya pada Sierra. “Aku tidak ingat apa aku pernah memberimu kartu namaku. Tapi simpanlah ini, dan hubungi aku jika kamu butuh kehangatan,”

Sierra yakin dirinya tidak akan lagi mengulangi kesalahan di vila malam itu. Tapi dia memutuskan untuk menerima kartu nama Paul, demi menjaga perasaan pria tua itu.

“Maafkan saya, Tuan,” sesal Sierra. “Tapi terima kasih atas jamuannya kemarin,”

Paul mengangguk, kemudian menyuruh Lukman untuk mengantar Sierra kembali ke panti. Dan Lukman beserta Sierra pun berjalan beriringan menuju Panti yang ada di depan mereka.

“Pak Lukman,” Sierra menahan tangan Lukman yang hendak pergi setelah mengantarnya sampai di depan panti.

Lukman berhenti dengan penuh tanda tanya.

“Pak Lukman, kumohon, jangan sampai Martin tahu,” Sierra memasang wajah serius sekaligus memelas di hadapan Lukman.

Lukman menarik nafas. “Kamu sudah mengenalku belasan tahun, Sierra. Kamu tentu tahu aku,” jawab Lukman, sedikit kesal.

Sierra menggigit bibir. “Aku takut Martin akan menganggapku buruk … “ ucapnya lirih.

“Sebaiknya kamu harus mulai memilih. Tegaslah pada dirimu sendiri,” saran Lukman. Nada bicaranya terdengar seperti orang tua yang menasehati anaknya.

Sierra mengangguk, dengan hati yang mendadak sejuk. Seumur hidup dia tidak pernah merasakan figur orang tua, dan sikap Lukman yang selalu bijak padanya membuat hati Sierra tenang.

“Kenapa Tuan Paul mencarimu?” tegur Rachel pada Sierra, sesaat setelah Lukman pergi.

Sierra sedikit gelagapan. Tapi dia berusaha bersikap senormal mungkin. “Dia hanya menanyakan kondisi perusahaan Martin,” jawab Sierra.

Rachel mengangguk paham. “Bisa dimaklumi, karena Martin baru beberapa tahun dipercaya mengelola Pandia Prestige,” timpal Rachel.

Tanpa disadari Rachel, Sierra bernafas lega karena jawabannya yang asal itu tidak membuat Rachel curiga.

***

Keesokan paginya, Martin benar-benar datang menjemput Sierra di panti. Mereka berdua berangkat bersama menuju kantor, dengan Martin yang mengemudi. Meski sebelumnya mereka memang sering berangkat bersama, tapi Sierra selalu menjadi sopir untuk Martin dan Martin juga duduk di belakang. Tapi kali ini, mereka duduk berdampingan selayaknya pasangan.

“Kamu tidak takut Elisha akan melihat kita?” tanya Sierra ketika mereka berdua sudah sampai di parkiran mobil.

Martin tampak menegang. “Memangnya dia punya hak apa?”

Sierra menggigit bibir. “Kamu tidak perlu bohong padaku. Tidak mungkin kamu sudah melupakannya,” tanggap Sierra. Meskipun saat mengucapkannya, dia merasakan hatinya pedih.

Yang ada Martin justru meraih tangan Sierra, dan dia genggam dengan erat. “Aku sudah memutuskan untuk berkencan denganmu. Jadi mari kita lupakan dia,”

Setitik harapan menyeruak di dalam hati Sierra. Dengan senyum tipis yang tampak manis, dia mengikuti langkah Martin keluar dari dalam mobil.

Martin kembali menggandeng tangan Sierra bahkan saat mereka mulai memasuki kantor. Tidak peduli meski seluruh pasang mata karyawan tertuju pada mereka. Sierra berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman Martin, tapi kelewat kuat seakan Martin tidak mengijinkan.

“Martin, orang-orang mengawasi kita,” bisik Sierra dalam perjalanan mereka menuju ruangan Martin.

Martin menggeleng sekilas. “Itu tidak penting. Memangnya mereka akan melakukan apa?”

Sierra melipat dagunya, berusaha menghindari tatapan para karyawan. Dia memang sekretaris Martin yang selalu mendampingi bosnya itu kemanapun. Tapi bukan berarti mereka harus bergandengan tangan.

“Sierra?” panggil Elisha, yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.

Martin dan Sierra secara bersamaan menoleh ke belakang. Martin diam membeku sementara mata Sierra membelalak. Tanpa disadari pegangan tangan Martin melemah, membuat Sierra dapat lepas dengan mudah.

Ada raut kecewa dan sedih di balik mata Elisha, meski dia berusaha bersikap wajar. Ketika tatapannya dengan Martin saling bertemu, ada getaran rasa sakit yang teramat dalam.

“El, ini tidak … “

“Aku dan Sierra berkencan!” sambar Martin tegas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status