“T-tentu saja, Pak Lukman,” jawab Rachel terbata-bata. Dia selalu segan pada Lukman, karena pria tua itu adalah tangan kanan Paul Pandia yang cukup disegani oleh banyak pegawai.
Dengan isyarat mata, Lukman mengajak Sierra untuk pergi menjauh dari Rachel. Lukman mengajak Sierra menuju mobilnya yang terparkir rapi di luar pagar panti.Kemudian pria itu membukakan pintu belakang mobil, mempersilahkan Sierra untuk masuk ke dalamnya. Betapa terkejut Sierra sesaat setelah pintu itu dibuka, sosok Paul tengah duduk melipat tangan. Pandangn pria tua itu lurus menatap Sierra.“T-Tuan?” seru Sierra, benar-benar terkejut. Dengan gerakan kikuk, dia perlahan masuk ke dalam mobil itu.Paul tersenyum. “Sepertinya kamu menikmati waktumu bersama Martin, eh?”Sierra hanya menyahut dengan senyuman kaku. “Kami menyempatkan makan siang bersama untuk membahas kerjaan, Tuan,” jawabnya.Paul menggeleng. Lantas menarik nafas panjang. “Tidak masalah bagiku. Kamu memang sekretaris Martin,” timpalnya.Sierra mengangguk. Dia memainkan kelima jemarinya demi menghilangkan gugup.“Jadi sekarang giliranku, kan?” Tiba-tiba Paul bertanya. “Kamu bersedia menemaniku makan malam?”Dada Sierra terasa sesak, seakan oksigen di dalam mobil itu tidak cukup untuk dihirup olehnya. Dia ingin menolak, tapi dia tahu itu bukan pilihan yang baik. Meski dia bekerja untuk perusahaan Martin, tapi Paul adalah pemilik utama perusahaan Martin. Itu artinya, Sierra juga bawahan Paul.Sierra sama sekali tidak berani memandang langsung ke mata Paul. Karena setiap dia berusaha melawan perasaannya, kepingan kenangan di vila malam itu selalu menyeruak di depan mata. Membuat hati Sierra berdesir, membayangkan betapa panasnya malam itu.“Argh!” Tanpa sadar Sierra memekik, menyalahkan dirinya yang tengah berimajinasi liar.“Ada apa?” tanya Paul heran, karena Sierra tiba-tiba menampar pipinya sendiri.“T-tidak ada apa-apa, Tuan,” jawab Sierra gugup.Awalnya Paul hanya diam, berusaha mencari celah kejujuran dari wajah Sierra. Tapi tak lama dia pun tersenyum penuh maksud. Seakan tahu apa yang tengah dipikirkan Sierra.“Jangan khawatir, Si,” ucap Paul. “Kita bisa menghabiskan malam berdua lagi hari ini,” rayunya. Tangan Paul berusaha meraih tangan Sierra.Tapi tiba-tiba wanita itu menghindar. Dengan gerakan cepat, dia menjauhkan posisi duduknya dari Paul. Dengan kepala terus menunduk, dia berusaha membangun pagar pembatas agar tidak dilewati Paul.“Maafkan saya, Tuan,” ucapnya. “Saya tidak bisa,” Sierra berusaha mengumpulkan keberaniannya sendiri. “Saya–” Dia menelan ludah demi melancarkan ucapannya. “Saya sudah setuju untuk berkencan dengan Martin,”Paul menautkan kedua alisnya saat mendengar jawaban Sierra. Untuk kemudian menghela nafas dan mengangguk.“Jika itu memang pilihanmu, Si,” ujar Paul pelan. “Aku tidak bisa memaksamu,”Paul membuka pintu dan bangkit berdiri. Sementara Sierra masih berada di dalam mobil itu, mulai sedikit takut karena berani menolak permintaan Paul.Tak lama, pintu di samping Sierra terbuka. Sosok Paul yang tegap membukakan pintu untuk Sierra, sembari tersenyum amat berwibawa.“Istirahatlah, Si. Aku tahu kamu lelah,” ucap Paul.Sierra mengangguk. Dia keluar dari mobil itu masih dengan tatapan menunduk, sama sekali tak berani memandang ke arah Paul.Kemudian Paul menyerahkan kartu namanya pada Sierra. “Aku tidak ingat apa aku pernah memberimu kartu namaku. Tapi simpanlah ini, dan hubungi aku jika kamu butuh kehangatan,”Sierra yakin dirinya tidak akan lagi mengulangi kesalahan di vila malam itu. Tapi dia memutuskan untuk menerima kartu nama Paul, demi menjaga perasaan pria tua itu.“Maafkan saya, Tuan,” sesal Sierra. “Tapi terima kasih atas jamuannya kemarin,”Paul mengangguk, kemudian menyuruh Lukman untuk mengantar Sierra kembali ke panti. Dan Lukman beserta Sierra pun berjalan beriringan menuju Panti yang ada di depan mereka.“Pak Lukman,” Sierra menahan tangan Lukman yang hendak pergi setelah mengantarnya sampai di depan panti.Lukman berhenti dengan penuh tanda tanya.“Pak Lukman, kumohon, jangan sampai Martin tahu,” Sierra memasang wajah serius sekaligus memelas di hadapan Lukman.Lukman menarik nafas. “Kamu sudah mengenalku belasan tahun, Sierra. Kamu tentu tahu aku,” jawab Lukman, sedikit kesal.Sierra menggigit bibir. “Aku takut Martin akan menganggapku buruk … “ ucapnya lirih.“Sebaiknya kamu harus mulai memilih. Tegaslah pada dirimu sendiri,” saran Lukman. Nada bicaranya terdengar seperti orang tua yang menasehati anaknya.Sierra mengangguk, dengan hati yang mendadak sejuk. Seumur hidup dia tidak pernah merasakan figur orang tua, dan sikap Lukman yang selalu bijak padanya membuat hati Sierra tenang.“Kenapa Tuan Paul mencarimu?” tegur Rachel pada Sierra, sesaat setelah Lukman pergi.Sierra sedikit gelagapan. Tapi dia berusaha bersikap senormal mungkin. “Dia hanya menanyakan kondisi perusahaan Martin,” jawab Sierra.Rachel mengangguk paham. “Bisa dimaklumi, karena Martin baru beberapa tahun dipercaya mengelola Pandia Prestige,” timpal Rachel.Tanpa disadari Rachel, Sierra bernafas lega karena jawabannya yang asal itu tidak membuat Rachel curiga.***Keesokan paginya, Martin benar-benar datang menjemput Sierra di panti. Mereka berdua berangkat bersama menuju kantor, dengan Martin yang mengemudi. Meski sebelumnya mereka memang sering berangkat bersama, tapi Sierra selalu menjadi sopir untuk Martin dan Martin juga duduk di belakang. Tapi kali ini, mereka duduk berdampingan selayaknya pasangan.“Kamu tidak takut Elisha akan melihat kita?” tanya Sierra ketika mereka berdua sudah sampai di parkiran mobil.Martin tampak menegang. “Memangnya dia punya hak apa?”Sierra menggigit bibir. “Kamu tidak perlu bohong padaku. Tidak mungkin kamu sudah melupakannya,” tanggap Sierra. Meskipun saat mengucapkannya, dia merasakan hatinya pedih.Yang ada Martin justru meraih tangan Sierra, dan dia genggam dengan erat. “Aku sudah memutuskan untuk berkencan denganmu. Jadi mari kita lupakan dia,”Setitik harapan menyeruak di dalam hati Sierra. Dengan senyum tipis yang tampak manis, dia mengikuti langkah Martin keluar dari dalam mobil.Martin kembali menggandeng tangan Sierra bahkan saat mereka mulai memasuki kantor. Tidak peduli meski seluruh pasang mata karyawan tertuju pada mereka. Sierra berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman Martin, tapi kelewat kuat seakan Martin tidak mengijinkan.“Martin, orang-orang mengawasi kita,” bisik Sierra dalam perjalanan mereka menuju ruangan Martin.Martin menggeleng sekilas. “Itu tidak penting. Memangnya mereka akan melakukan apa?”Sierra melipat dagunya, berusaha menghindari tatapan para karyawan. Dia memang sekretaris Martin yang selalu mendampingi bosnya itu kemanapun. Tapi bukan berarti mereka harus bergandengan tangan.“Sierra?” panggil Elisha, yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.Martin dan Sierra secara bersamaan menoleh ke belakang. Martin diam membeku sementara mata Sierra membelalak. Tanpa disadari pegangan tangan Martin melemah, membuat Sierra dapat lepas dengan mudah.Ada raut kecewa dan sedih di balik mata Elisha, meski dia berusaha bersikap wajar. Ketika tatapannya dengan Martin saling bertemu, ada getaran rasa sakit yang teramat dalam.“El, ini tidak … ““Aku dan Sierra berkencan!” sambar Martin tegas.“Kenapa kamu lakukan ini?” tuntut Martin, dengan mata membulat sempurna.Bola mata Sierra bergetar. Dia masih tidak bisa mempercayai penglihatannya. “Kamu … kamu benar Martin?”“Apa maksudmu?” sentak Martin.Pria itu lantas mengguncang bahu Sierra. Sambil menjauhkan botol larutan penyegar mulut itu, sejauh mungkin.“Jangan lakukan hal bodoh ini lagi. Anakmu tidak berdosa,” ucap Martin lantang.Tangis Sierra pecah. Dia makin yakin jika Martin yang ada di depannya ini bukanlah ilusi. Tangisan Sierra begitu memekakkan, hingga wanita itu bersimpuh demi meredakan ngilu di ulu hatinya.“Kenapa kamu ada di sini?” isak Sierra. Dia masih bersimpuh. Tidak sanggup berhadapan dengan Martin.“Apa aku sudah tidak punya hak ke rumah ayahku?”Pertanyaan yang bagai peluru itu dilontarkan Martin tanpa beban. Tidak peduli meski perasaan Sierra sedang sensitif karena hamil.“Kukira kamu pergi,” timpal Sierra. Malas berdebat.“Memang,” sambar Martin cepat. “Aku memang berjanji akan pergi. Aku datang hanya
Sierra hampir limbung. Untungnya Violet dengan sigap mundur menghadang tubuh Sierra agar tidak semakin jatuh. Untuk wanita seusianya, Violet memang cukup tangguh. Karena merasa geram, kepala pelayan itu pun maju dengan tatapan geram ke arah Salome.“Nyonya, maafkan saya jika lancang. Tapi ada urusan apa Nyonya datang ke sini?” tanya Violet pada Salome.Salome merengut. “Apa salah jika aku datang ke sini? Ini rumah suamiku,”“Benar, Nyonya. Ini rumah kediaman suami Nyonya,” timpal Violet. “Tapi bukan rumah Nyonya Salome,” imbuhnya, dengan senyum tipis. Sengaja Violet ingin menyerang Salome dengan cara yang elegan.“Apa?” Salome tidak terima. “Sejak kapan kamu … ““Maaf jika saya memotong,” sambar Violet, tidak memberi Salome kesempatan untuk lanjut bicara. “Tapi Tuan Paul memerintahkan saya untuk mengambil alih seluruh pengawasan rumah ini selama Tuan bekerja,” Dia membusungkan dada, berdiri berhadapan dengan Salome. “Dan sebagai penanggung jawab, saya minta Nyonya Salome segera pergi
Sierra membuka mata. Hanya untuk menyadari jika semuanya hanyalah mimpi. Kini dia terbaring hanya mengenakan selimut sutra di atas tubuhnya. Ketika dia menoleh ke sisi ranjang, Paul sedang tertidur pulas. Sierra merasa tubuhnya menggigil, untuk kemudian sadar jika jendela besar di depan balkon kamarnya belum ditutup. Angin dingin tepi pantai menelisik tipis, masuk ke dalam pori-pori.Sierra mendesis. Dia ingin menutup jendela itu, namun dia tidak bisa meraih apapun untuk menutupi tubuhnya. Maka mau tak mau dia berjalan sedikit berlari menuju jendela, hanya menutupi tubuh sekenanya dengan kedua tangan.Ketika dia berbalik, Paul sudah duduk dengan senyum nakal saat melihat tingkahnya. Pria tua itu menggeleng geli, karena Sierra berusaha memeluk tubuhnya sendiri.“Apa kamu pikir aku tidak bisa melihat?” komentar Paul.“Saya hanya takut ada orang di pantai, Tuan,”“Tidak ada siapapun,” sahut Paul. “Tempat ini khusus untuk kita,”Sierra menutup rapat bibirnya. Merasa begitu bodoh karena me
Pesta pernikahan itu akhirnya berakhir. Sierra membuang pandangan jauh menembus kaca mobil Rolls-Royce Phantom warna hitam. Tidak ada Lukman yang mengantarnya dan Paul menuju lokasi villa tempat mereka akan menghabiskan waktu. Sierra tidak mengenal sopir yang duduk di depannya. Sementara Paul, di luar berdiri mengobrol dengan seseorang sebelum berjabat tangan dan masuk ke dalam mobil, menyusul Sierra.Paul mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana khaki. Tak bisa dipungkiri jika dia teramat tampan untuk pria paruh baya seusianya. Jika dibandingkan dengan Martin, ketampanan Paul lebih teduh dan dewasa. Cocok untuk Sierra yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendapat perlindungan seorang ayah.“Maaf lama menunggu, Si,” Paul mengecup punggung tangan Sierra.Sierra menggeleng. “Dia kolega Tuan?”“Oh, dia karyawanku yang akan mengurusi semuanya bersama Lukman selama aku menghabiskan bulan madu denganmu,” jelas Paul. Wajahnya tampak begitu bahagia. Berbanding terbalik
Pernikahan Paul dan Sierra tetap dilangsungkan, tepatnya seminggu setelah kejadian di apartemen Martin. Pernikahan itu digelar di sebuah vila mewah yang terletak di pinggir pantai. Mereka hanya mengundang beberapa kerabat dekat serta kolega Paul, sebisa mungkin menjaga agar pernikahan itu tetap intim demi menutup privasi. Itu semua atas permintaan Sierra yang masih belum terbiasa menjadi bagian dari dunia Paul yang kaya raya.Sebuah tenda putih besar didirikan di tengah taman vila, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar putih dan merah di setiap sudutnya. Di bawah tenda, kursi-kursi tertata rapi dengan pita satin putih. Di dekat pantai, sebuah altar kecil disiapkan dari kayu dengan latar belakang laut biru yang berkilauan. Altar tersebut dihiasi dengan bunga-bunga tropis dan kain sutra yang berkibar lembut tertiup angin.Sierra mengenakan gaun putih dengan desain yang anggun dan elegan. Gaunnya panjang tampak mengalir, dengan detail renda di bagian tulang selangka dan lengan. Rambutnya
“Martin … lepaskan,” rintih Sierra, sebisa mungkin mendorong mundur tubuh Martin dari tubuhnya.Semakin Sierra berontak, semakin adrenalin Martin terpacu. Dia sudah terlalu gelap mata untuk menyadari bahwa tindakannya itu salah dan bisa saja membahayakan kandungan Sierra. Jika saja Sierra masih sama seperti dia yang dulu, masih mencintai Martin tanpa menanggung beban mengandung bayi Paul, dia pasti akan menikmati ciuman Martin. Tapi segalanya telah berubah diantara mereka.“Martin!” Tiba-tiba dari arah belakang Paul datang. Pria tua itu menarik tubuh Martin sekencangnya dan dia pukul tepat di pipi kiri Martin. Tanpa pertahanan, Martin seketika ambruk ke lantai.“Si, kamu tidak apa-apa?” Paul berusaha menolong Sierra yang masih sangat ketakutan. Dia mendekap wanita itu begitu erat.Sementara Martin yang jatuh perlahan bangkit. Tubuhnya gemetar melihat sang ayah begitu mencemaskan Sierra, dan dengan tega menyingkirkannya layaknya sampah. Sedari kecil, Martin selalu merasakan penolakan