‘Sepertinya, rumah ini telah berpindah kepemilikan,’ batin Almeera mencoba menenangkan diri.
Hanya saja, Almeera sekarang tak tahu harus meminta tolong kepada siapa.
Dia tak punya kenalan di kota ini.
Dengan gontai, Almeera lantas memutuskan untuk berjalan menjauh dari rumah itu.
Dia bahkan tak sadar sudah melewati sederet bangunan ruko yang berjajar di pinggir jalan.
Dan … dalam kondisi yang hampir putus asa, Almeera justru melihat seorang pria tua yang sedang menyeberang jalan, tapi tak menyadari bahwa ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya.
Deg!
Hati nurani Almeera langsung terusik.
“Awas, Pak!” seru Almeera.
Sang kakek menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut.
Namun, ia masih diam di tempat.
Menyadari itu, Almeera berlari secepat kilat menuju ke arah sang kakek–mengambil tindakan penyelamatan.
Sekuat tenaga, ia menarik lengan pria tua itu, lalu memeluknya hingga mereka terjatuh dalam posisi duduk di trotoar.
Bugh!
TIN!
“Kalau jalan, pake mata dong! Ngaggetin tahu, gak?” maki orang di dalam mobil pada keduanya sebelum kembali melajukan mobilnya.
Almeera sendiri hanya bisa menggelengkan kepala.
Pengemudi itu padahal juga salah karena melajukan mobil secepat kilat seperti itu!
Tapi, Almeera menahannya kala melihat wajah pucat pria tua di pelukannya itu.
“Kakek tidak apa-apa?” tanya Almeera sembari melepaskan pelukannya.
Meski merasakan perih di area siku dan lutut, gadis itu sangat lega karena ia berhasil menyelamatkan sang kakek.
Terlebih, sorot mata pria tua itu entah mengapa begitu teduh, layaknya sosok ayah yang ia rindukan selama ini.
“Saya baik-baik saja berkat pertolonganmu. Terima kasih, kamu sudah menyelamatkan saya,” ujar sang kakek penuh ketulusan.
“Sama-sama, Kek. Mari saya bantu berdiri,” ucap Almeera sembari menolong pria tua itu untuk bangkit.
Tanpa diminta, Almeera bahkan langsung membersihkan kotoran yang menempel di baju sang kakek.
“Sudah, tidak usah dibersihkan lagi. Nanti saya bisa ganti baju di rumah,” ucap sang kakek tiba-tiba.
“Oh, ya, siapa namamu, Nak? Lalu, di mana rumahmu?”
“Saya Almeera, Kek. Saya baru saja tiba di Jakarta hari ini.”
“Almeera, nama yang sangat cantik. Kamu bisa memanggil saya, Opa Barata.”
“Opa Barata?” tanya Almeera heran.
Menurutnya, panggilan itu terlalu akrab untuk orang yang baru saling kenal.
“Iya, kebetulan saya tidak punya cucu perempuan. Mulai sekarang, saya akan menganggap kamu sebagai cucu saya,” jawab sang kakek, “Oh, iya! Kamu–”
“Tuan Besar, apa yang terjadi? Kenapa baju Anda kotor begini?”
Percakapan Opa Barata dan Almeera seketika terjeda lantaran teriakan seorang laki-laki paruh baya yang membawa kantong belanjaan besar.
Jelas sekali, dia syok melihat penampilan sang Opa.
Namun, Opa Barata malah menjawab santai. “Aku hampir saja tutup usia, Hamdan,” jawabnya pada sang asisten.
“Hah? Tutup usia? Apa penyakit vertigo Anda kambuh atau tekanan darah Anda naik? Kalau begitu kita harus kembali ke rumah sakit sekarang juga. Ini semua kesalahan saya karena sudah nekat memenuhi permintaan Anda, Tuan” ucap Hamdan langsung membungkukkan badan berulang kali.
“Kamu kira aku selemah itu? Aku tadi hampir tertabrak mobil gara-gara ingin menyusulmu ke minimarket. Kamu lama sekali meninggalkan aku di sini,” ketus Tuan Barata.
“Saya tadi harus berpindah ke tiga minimarket, karena es krim rasa mangga yang Anda minta tidak ada. Tapi, sekarang saya sudah berhasil membelinya,” ujar Hamdan menunjukkan bungkus es krim dengan gambar buah mangga dengan bangga.
“Es krim itu untukmu saja. Aku sudah tidak berminat.”
“Untuk saya?” ulang Hamdan sembari menggaruk belakang kepalanya.
“Iya. Sekarang, panggil saja taksi dan bawa aku serta gadis ini pulang ke rumah.”
Hamdan nampak terkejut mendengar perkataan Tuan Barata itu.
Seketika, dia sadar keberadaan gadis di samping pria tua itu.
“Maaf, tapi siapa gadis ini, Tuan Besar? Kalau kita membawa pulang sembarang orang, nanti Tuan Muda akan ….”
“Ssshhh, diam dulu! Gadis ini sudah menyelamatkan hidupku. Jadi, aku ingin membalas budi. Sekarang, lebih baik kamu pesan taksi, atau gajimu akan kupotong,” potong Tuan Barata–tak mau diganggu gugat.
“Pokoknya, Almeera ikut kita ke rumah!”
Hah?
“Maaf, saya tidak bisa ikut ke rumah Opa,” tolak Almeera memberanikan diri meski tak enak menyela percakapan itu.
“Kenapa, Almeera? Siku dan lututmu lecet, kamu harus ikut ke rumah Opa supaya bisa diobati,” tanya Tuan Barata.
“Saya bisa mengobatinya sendiri nanti. Terlebih, saya masih ada keperluan di rumah sakit, Opa,” ucap Almeera apa adanya.
“Siapa yang sakit? Orangtuamu?”
Almeera menggeleng. “Bukan, Opa, adik saya yang sakit. Saya harus kembali untuk mengurus prosedur administrasi yang belum saya selesaikan.”
Jujur, ia sangat mencemaskan kondisi sang adik yang masih terkatung-katung di rumah sakit. Apalagi, hingga detik ini ia belum mendapatkan pinjaman uang untuk perawatan Rifki.
Di sisi lain, Tuan Barata terdiam.
Dia menatap lamat ekspresi Almeera, seolah sedang menyelami pikiran gadis itu.
“Begini saja, kamu ikut Opa ke rumah. Setelah itu, Opa akan menyuruh Hamdan untuk mengantarmu dan menyelesaikan urusan rumah sakit. Opa janji ini tidak akan lama,” ajak Tuan Barata.
“Tapi–”
“Mohon ikut saja, Nona. Tuan Barata harus segera pulang dan istirahat,” timpal Hamdan.
Almeera ragu.
Namun, Tuan Barata dan asistennya tak henti membujuknya.
Jadi, di sinilah Almeera–di rumah Opa Barata ternyata begitu mewah.
Pilar-pilar tinggi bergaya Yunani dengan tiga buah balkon besar, membuat bangunan ini lebih mirip sebuah istana daripada rumah.
Rasanya, Almeera tidak layak di sana.
Terlebih, kala dua orang security yang menyambut Tuan Barata dan dirinya dengan penuh hormat!
“Selamat datang, Tuan Besar,” sapa mereka. Mata Almeera membelalak. Sebenarnya siapa kakek tua yang tak sengaja ditolongnya ini?
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham