Kafka mengulurkan segelas kopi panas untuk Cara.
"Dokter, bagaimana operasi Ibu? Semua berjalan lancar, kan?"
"Makanlah dulu, Cara. Aku tahu sejak tadi siang kamu belum makan." Kafka memberi Cara sebungkus nasi campur yang dibelinya dari kantin rumah sakit.
Cara menggeleng. "Saya tidak lapar, Dokter. Tolong cepat beri tahu saya bagaimana keadaan Ibu?"
"Aku akan memberitahu semuanya tapi sebelum itu kamu harus makan dulu."
"Dokter, please ...." Cara memohon tapi Kafka menggeleng tegas. Dia akan memberi tahu kondisi Ibu jika Cara sudah makan.
Cara berdecak kesal. Dia meraih sebungkus nasi dari tangan Kafka dengan sedikit enggan, lalu cepat-cepat memakannya agar Kafka segera memberi tahu kondisi
Alvaro terbangun karena mendengar ponselnya yang berada di atas meja bergetar. Dia beranjak dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Cara lalu beranjak ke balkon untuk menerima telepon. Senyum cerah menghiasi bibirnya ketika melihat nama si penelepon. My Lovely Wife. Tanpa menunggu waktu lama Alvaro pun segera menerima telepon tersebut. "Kenapa kamu baru menelepon, Sayang. Apa kamu tidak tahu kalau aku sangat merindukanmu?" Angela malah terkikik geli di seberang sana. "Apa kamu sedang tidur saat aku menelepon?" Alvaro pun melihat jam yang menempel di dinding kamar Cara. Ternyata sekarang sudah jam tiga pagi. "Iya. Kenapa kamu baru menelepon, Sayang?
Andini seketika berdiri dari tempat duduknya begitu melihat Kafka memasuki ruangannya. "Apa kamu sudah menunggu lama?" Andini melihat jam tangannya sebelum menjawab pertanyaan Kafka. Dia sengaja datang ke ruangan tunangannya itu karena ada hal penting yang ingin dia tanyakan. "Em, tidak lama. Baru tiga puluh menit. Bagaimana operasi usus buntu Tuan Nathaniel? Apa semuanya berjalan lancar?" "Iya," Kafka mengangguk seraya meraih kemejanya yang tergantung di dekat rak buku. "Syukurlah." Andini mengembuskan napas lega. "Kita pulang sekarang?" "Iya," jawab Andini. Mereka berjalan bersama menuju parkiran sambil sesekali balas menyapa rekan medis yang kebetulan berpapasan di koridor rumah sakit. Kafka membuka pintu Audy RS7 Sportback miliknya begitu tiba di parkiran, lalu mempersilakan Andini untuk duduk di kursi samping kemudi. "Terima k
Cara memotong wortel dengan kesal sambil menatap Alvaro yang sedang duduk di meja. Rasanya gadis itu ingin sekali memotong tubuh Alvaro menjadi potongan-potongan kecil untuk dijadikan makanan anjing karena sudah dua kali membohonginya.Alvaro mengalihkan pandang dari tablet yang ada di tangannya sekilas untuk menatap Cara. "Fokus saja dengan masakanmu, Caramell. Jangan menatapku seperti itu!"Cara menggeram kesal. Gadis itu merasa menjadi manusia paling bodoh yang pernah Tuhan ciptakan karena mudah percaya dengan apa yang Alvaro katakan."Kenapa Tuan tega bohongin saya?" sengit Cara menatap Alvaro tajam."Aku tidak pernah berbohong. Memangnya kapan aku membohongimu?" Alvaro malah balik bertanya dengan wajah tanpa dosa.Cara mendesah panjang. Gadis itu berusaha mati-matian menahan diri agar tidak melempar pisau di tangannya ke kepala Alvaro. "Di sini tidak mungkin ada Ultramen Tiga. Tuan su
Alvaro langsung menarik tengkuk Cara lantas menyatukan bibir mereka setelah menjawab pertanyaan gadis itu. Sesuai dengan kesepakatan, satu pertanyaan, satu kecupan. Namun, Alvaro tidak hanya mengecup, dia melumat bibir atas dan bawah Cara dengan lembut. Bibir Cara terasa begitu manis, seperti candu yang membuatnya ketagihan. Sambil terus berciuman perlahan tangannya bergerak, melepas kancing baju gadis itu satu-persatu.Cara melepas pagutan bibirnya dengan paksa. "Tunggu!" ucapnya dengan napas terengah sambil menahan tangan Alvaro yang ingin melepas kancing terakhirnya."Kenapa Tuan melepas baju saya? Bukankah kesepakatan awal kita tidak seperti ini?"Alvaro menatap Cara dengan alis terangkat sebelah. "Kamu nggak terima?"Cara mendesah panjang sambil membenahi kembali pakaiannya, tapi Alvaro malah melepas bajunya dengan paksa lalu membuang benda itu entah ke mana, membuat dua buah
Alvaro tertegun di tempat duduknya menatap gadis bermata zamrud yang duduk di meja dekat jendela bersama seorang lelaki yang terlihat tidak asing di matanya. Alvaro tahu betul siapa lelaki yang bersama Cara. Dia, Aditya Kafka, dokter yang merawat ibu Cara. Apa yang Cara dan Kafka lakukan? Apa mereka sedang pergi berkencan? Alvaro tanpa sadar mendengkus kesal. Dia tidak suka melihat Cara pergi bersama pria lain tanpa seizinnya. "Aku tidak pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan Caramell. Felix terlihat begitu senang, dia segera menghampiri Cara sambil membawa piringnya, meninggalkan Alvaro yang masih bergeming di tempat. "Hai, Caramell!" sapa Felix terdengar ramah. Kedua mata Cara sontak membulat. "Tu-Tuan Felix?" pekiknya. Gadis itu benar-benar tidak pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan lelaki berkulit tan tersebut. "Long time no see, Caramell. Bagaimana kabarmu?" "Em, kabar saya baik," jawab Cara terdengar gugup. Gadis itu takut Felix akan berbuat kurang ajar lagi pada d
Cara cepat-cepat membuka kaca mobil di sampingnya, lantas menyembulkan kepalanya keluar untuk melihat ponsel jadulnya yang tergeletak di jalan. Sedetik kemudian gadis itu berteriak keras karena sebuah truk melindas ponselnya hingga hancur tak berbentuk. "Ponselku!" teriaknya dramatis. Cara pun meminta Alvaro untuk menghentikan mobilnya. Namun, lelaki itu malah semakin menambah kecepatan kendaraan roda empat miliknya. "Tuan Alvaro, saya bilang berhenti!" pinta Cara. Dia ingin mengambil kartu selulernya karena semua nomor penting ada di sana. "Berisik! Aku akan membelikanmu ponsel baru," sengit Alvaro tanpa menghiraukan Cara yang terlihat sangat kesal. "Tapi semua nomor penting ada di kartu itu. Tolong hentikan mobilnya, Tuan. Saya harus turun ...." Alvaro melirik Cara sekilas. "Nomor penting siapa? Apa nomor Dokter itu?" Cara mengangguk. Selain nomor Angela dan Elish, nomor Kafka termasuk kontak penting karena dia harus menghubungi Dokter itu jika ingin tahu bagaimana kondisi sang
Cara mengerjabkan mata perlahan saat cahaya matahari jatuh mengenai wajah cantiknya. Gadis itu pun bangun, lalu mendudukkan diri di atas tempat tidur. Dia memandang sekitar dengan bingung. Seingatnya dia semalam menunggu Alvaro pulang di ruang tamu hingga larut malam lantas ketiduran. Siapa yang membawanya ke kamar? Apa mungkin Alvaro?"Kamu sudah bangun?""Kenapa Tuan tidak pakai baju?" Cara refleks menutup kedua wajahnya dengan kedua telapak tangan karena melihat Alvaro keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahanya. Dada bidang dan perut lelaki itu terlihat jelas oleh kedua matanya.Alvaro terlihat err ... sangat sexy. Apa lagi dengan tubuh dan rambut yang sedikit basah. Aroma laut dan kayu manis yang menguar dari tubuh Alvaro membuat Cara megap-megap. Gadis itu lupa bagaimana caranya bernapas.Alvaro malah terkekeh. "Memangnya kenapa? Apa kamu tergoda melihat tubuhku
Terhitung sudah lebih dari sepuluh kali Cara mengelilingi ruangan Alvaro. Dia melihat-lihat rak buku, setelah itu lukisan yang tertempel di dinding, kemudian menengok pemandangan di luar dari balik kaca jendela yang berukuran sangat besar. Jika lelah dia akan mengempaskan diri ke sofa pojok yang ada di sudut ruangan. Hanya itu yang dia lakukan sejak dua jam yang lalu.Embusan napas panjang kembali lolos dari bibir mungil Cara. Gadis itu sudah mulai bosan. Tidak terasa sudah dua jam lebih dia menunggu Alvaro yang sedang menghadiri rapat. Rasanya dia ingin sekali mengelilingi kota Seoul untuk mengusir bosan. Namun, Alvaro tidak memberinya izin untuk pergi keluar.Cara sontak berdiri dari tempat duduknya karena seorang lelaki memasuki ruangan. "Apa pekerjaan Tuan Alvaro sudah selesai?"Alvaro mengangguk. Untung saja dia cepat mene