Tiga minggu telah berlalu sejak malam bersama Om Bara waktu itu. Malam yang membuat Keira merasa seperti gadis paling hina di dunia. Bisa-bisanya malam itu, ia seperti jalang murahan yang begitu mendamba sebuah sentuhan.
Namun, Keira tetap bertekad untuk melanjutkan hidupnya, meskipun bayangan kejadian tersebut masih menghantuinya.
Bagaimanapun, ia masih memiliki janji kepada Papanya yang sudah tiada. Janji untuk menyelesaikan kuliahnya dan membantu mengelola perusahaan peninggalan Mahesa.
Hal itu menjadi alasan utama mengapa Keira tetap tegar menjalani rutinitasnya dan melanjutkan kuliah di tengah duka kehilangan sang Papa.
Meski begitu, Keira memutuskan menghindar agar tak bertemu dengan Om Bara lagi. Keira merasa begitu malu untuk bertemu pandang lagi dengan Om Bara. Ia segan untuk bertemu dengan lelaki yang pernah menjamah tubuhnya. Parahnya ia lah yang meminta dan menghendakinya.
Pagi itu, Keira duduk di bangku perpustakaan kampus, matanya menerawang jauh, pikirannya melayang ke berbagai hal. Tiba-tiba, suara yang familiar menyapanya, membuyarkan lamunannya.
“Masih pagi, kamu udah ngelamun aja, Sayang. Jangan sering-sering, nanti bisa-bisa kamu kesambet hantu penunggu perpus kampus kita,” tegur Kevin, sambil menaruh tangannya di pundak belakang Keira.
Sentuhan lembut Kevin di pundaknya seolah menyentak kembali kesadaran Keira. Jika bukan karena suara dan sentuhan pria itu, Ia mungkin tidak akan menyadari kehadiran kekasihnya yang berdiri di belakangnya.
“Aku enggak ngelamun. Cuma lagi mikir tugas kuliah aja, Sayang,” kilah Keira, meraih tangan Kevin agar duduk di sampingnya.
Sebenarnya Keira berbohong. Pikirannya sama sekali tidak terfokus pada tugas kuliah, tetapi lebih kepada kejadian naas yang menimpanya dan kenangan bersama Papanya. Bayangan-bayangan itu terus menghantuinya, membuat hatinya terasa berat.
“Kasiannya.” Kevin mencubit hidung bangir Keira dengan gemas. “Tapi, jangan terlalu sibuk sama tugas. Aku perhatiin akhir-akhir ini kamu makannya jadi sering enggak habis, pasti gara-gara kamu terlalu memforsir urusan tugas kuliah.”
Keira menggelang. “Bukan karena tugas, Sayang. Akhir-akhir ini, aku cuma lagi enggak nafsu makan aja.”
Jawaban Keira memang tidak sepenuhnya bohong. Belakangan ini, setiap kali mencoba makan, perutnya selalu terasa mual, dan ia sering kali merasa ingin muntah. Namun, ia tidak ingin membuat Kevin khawatir dengan menceritakan hal itu.
“Pantes aja muka kamu kelihatan pucet, Kei. Sekarang, mending kamu ikut aku! Mulai hari ini, aku bakal pastiin nafsu makan kamu kembali!”
Dengan cepat, Kevin memasukkan semua buku dan laptop Keira ke dalam tas, lalu menarik tangan kekasihnya menuju kantin yang tidak jauh dari perpustakaan kampus.
Keira mengerutkan kening dan memberengut, merasa kesal dengan tindakan Kevin yang tiba-tiba itu.
“Kita mau ngapain di sini? Aku kan udah bilang enggak nafsu makan, Sayang. Kenapa kamu malah bawa aku ke kantin?!” seru Keira dengan nada yang agak tinggi, emosinya meledak tanpa bisa ditahan.
Keira merasa akhir-akhir ini dirinya jauh lebih sensitif dari biasanya. Emosinya sering kali tidak stabil, padahal biasanya ia tidak pernah bersikap seperti ini.
Biasanya, ia tidak akan kesal dengan ajakan Kevin, tetapi entah kenapa sekarang ia merasa sangat terganggu.
Kevin menghela napas panjang, berusaha sabar menghadapi Keira. “Kamu ini kayak lagi PMS aja, Kei. Aku ajak kamu ke sini karena aku mau beliin makanan kesukaan kamu. Siapa tahu nafsu makan kamu balik.”
Setelah mengatakan itu, Kevin langsung pergi ke konter untuk memesan makanan kesukaan kekasihnya.
Sementara itu, Keira tiba-tiba diam membeku. Kata-kata pria itu yang menyinggung PMS membuatnya teringat akan sesuatu yang penting: tanggal menstruasinya sudah lewat. Ia telah terlambat menstruasi.
Dingin seketika menjalari punggung Keira yang tengah menggigit bibirnya dengan gelisah. Ia terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia menstruasi, dan semakin menyadari bahwa sudah beberapa minggu sejak tanggal yang seharusnya.
Pikiran Keira mulai berputar cepat, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi. Apakah mungkin ini akibat dari stres yang berkepanjangan? Atau mungkin benih Om Bara sedang tumbuh di rahimnya.
Keira menggelengkan kepalanya dengan kuat. Tidak ingin memikirkan kemungkinan buruk itu…
“Enggak…enggak mungkin kejadian malam itu membuahkan sesuatu di perutku,” gumam Keira pada dirinya sendiri sambil meremas perutnya.
Namun, ketakutan itu seakan tidak bisa pergi dari hatinya. Dengan gelisah, Keira pun menggigit bibirnya dan mencengkram jari-jemarinya sendiri.
Kevin kembali dengan senyum lebar dan nampan berisi makanan favorit Keira. “Nih, Sayang. Semoga setelah makan ini, nafsu makan kamu balik lagi.”
Ketika menyadari Kevin datang, Keira berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya. Keira mencoba tersenyum, tapi hatinya masih buncah.
“Makasih, Sayang,” ucapnya pelan, mencoba mengalihkan perhatian dari kegelisahan yang melanda.
Keira mengambil sendok dan mulai menyuap makanan ke mulutnya, berusaha menahan mual yang tiba-tiba menyerang.
Kevin duduk di depannya, memperhatikan setiap gerak-gerik Keira dengan penuh perhatian.
“Kenapa? Kamu masih enggak ada nafsu buat makan?” tanyanya, seolah bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dari kekasihnya.
Keira menatap mata Kevin, merasakan kehangatan dan kepedulian di sana. Air mata hampir saja tumpah dari matanya, tapi ia menahannya. “Enggak tahu nih. Kayaknya perutku lagi bermasalah.”
“Mau aku beliin obat?” tawar Kevin dengan penuh perhatian.
Keira menggeleng. “Enggak usah, aku masih bisa tahan.”
Namun, setelah beberapa suap, Keira merasa tidak tahan lagi. “Sayang, aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya buru-buru, meletakkan sendok dan beranjak dari kursi.
Di dalam kamar mandi, Keira mencoba memuntahkan segala isi perutnya yang tak mau mengeluarkan apapun selain air liur.
Setelah membasuh mulutnya, Keria menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah dan wajahnya pucat. “Apa yang harus aku lakukan kalau yang aku takutkan benar terjadi?” tanyanya pada bayangan di cermin.
Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Ketakutan yang ia rasakan semakin nyata. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya. Segera.
Ketika Keira keluar dari kamar mandi, ia melihat Kevin yang menatapnya dengan cemas.
“Kamu baik-baik saja, Kei?” tanyanya dengan suara lembut.
Keira menggeleng dan tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulut Keira. Ia hanya bisa menangis.
Tak kuasa menyaksikan air mata Keira, membuat Kevin langsung merengkuh tubuh Keira ke dalam dekapan tubuhnya.
Dibiarkannya Keira menumpahkan air mata di dada bidangnya, tanpa ada rasa jijik pada cairan yang keluar dari mata dan hidung kekasihnya.
Puas menumpahkan tangisnya, Keira mengusap air matanya dan melepaskan diri dari rangkulan Kevin.
“Aku mau pulang,” bisik Keira sambil menundukkan kepalanya. Ia berbalik, lalu melangkah pergi.
Namun, baru beberapa langkah, tangan Kevin sudah melingkari pergelangan tangan Keira untuk menahan gadis itu agar jangan pergi dulu.
“Biar aku anter. Aku enggak akan biarin kamu pulang sendiri dalam keadaan begini!” pungkas Kevin menurunkan tangannya, menggenggam jari jemari Keira.
*****
Keira berpura-pura santai saat meminta Kevin mampir ke apotek, dengan alasan membeli vitamin.
Dengan susah payah, ia menahan Kevin agar tidak ikut masuk. "Tunggu di mobil aja ya, Sayang. Aku cuma sebentar," katanya dengan senyum dipaksakan. Setelah akhirnya berhasil, ia segera membeli tespek dengan hati berdebar-debar.
Selama dalam perjalanan pulang. Keira hanya terdiam. Ia memilih memejamkan matanya, agar Kevin tidak bisa melihat kecemasannya.
“Makasih ya udah anter aku pulang,” ucap Keira sambil menyembunyikan getar dalam suaranya saat mobil Kevin berhenti di depan rumahnya.
Kevin mengangguk sambil tersenyum hangat. “Everything for you, Sayang. Jangan lupa dipaksa buat tetap makan dan diminum juga vitamin yang tadi kamu beli di apotik. I want you always to be fine and healthy.”
“Makasih untuk hari ini, Sayang.” Keira tersenyum kecil, dua lesung pipi yang manis terlihat jelas di wajahnya. “Aku masuk sekarang, ya.”
Sebelum keluar dari mobil Kevin, Keira menyempatkan diri untuk meremas tangan Kekasihnya yang menggenggam tangannya, seolah sedang mencari kekuatan di tengah kegelisahan hatinya.
Kevin membalas sentuhannya. Sentuhan yang seakan mampu memberikan sedikit kehangatan di hati Keira yang tengah dirundung dinginnya rasa takut.
“Hati-hati di jalan, ya,” kata Keira setelah turun dari mobil. Ia melambaikan tangannya sambil memaksakan senyumnya.
Setelah Kevin berlalu, Keira bergegas masuk ke rumah. Rasa gelisah membungkus hatinya, mengiringi setiap langkahnya menuju kamar mandi.
Kini, Keira bergerak gelisah di depan pintu kamar mandi. Gadis itu mondar-mandir tanpa arah yang jelas, meremas gaun yang dikenakannya sambil menggigit bibirnya dengan gelisah.
Hatinya berdebar-debar setengah mati menunggu hasil tespek yang telah ia celupkan ke dalam gelas berisi urinnya.
Sebenarnya Keira tidak ingin melakukan tes kehamilan. Takut menghadapi kemungkinan hasil yang positif. Tetapi rasa penasarannya yang tak tertahankan membuatnya nekat memastikan apakah benar ia hamil.
Dengan mata terpejam, Keira menanti dengan harap cemas. Semoga saja tak ada dua garis merah yang muncul di sana, gumamnya penuh harap.
Namun, harapan tinggallah harapan. Saat Keira dengan takut-takut memeriksa tespek yang sudah di tangannya, dua garis merah jelas terpampang di beberapa alat tes kehamilan itu. Semua hasilnya sama. Dirinya hamil…
Tespek jatuh dari tangannya, tubuh Keira luruh ke lantai. Air matanya tak kuasa ia bendung. Kenyataan pahit menghantamnya dengan keras.
“Enggak! Ini enggak mungkin terjadi!” pekiknya sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menjambak rambutnya penuh histeris.
Keira merasakan dunia di sekelilingnya runtuh. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.
Hatinya terasa remuk, seolah semua impiannya hancur berkeping-keping. “Kenapa? Kenapa ini harus terjadi?” isaknya lirih, memeluk lututnya sendiri di lantai kamar mandi.
Keira merasa seolah terjebak dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Kenangan pahit malam itu kembali menghantui pikirannya, memperparah luka di hatinya. Ia merasa tak berdaya, terjebak dalam pusaran emosi yang tak bisa ia kendalikan.
Tangis Keira semakin menjadi. Ia merasakan beban yang begitu berat di pundaknya. Perasaan takut dan cemas menghimpitnya dari segala arah. Bagaimana ia akan menghadapi ini semua? Bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya pada orang-orang terdekatnya? Sanggupkan Keira mengungkapkan yang telah menimpanya ini pada orang lain?
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia