Karena kebodohannya, Keira terjebak dalam mimpi buruk yang menghancurkan hidupnya. Satu malam penuh kesalahan dengan Om Bara membawa Keira ke jurang putus asa yang tak pernah ia bayangkan. Hanya janji kepada sang Papa yang membuatnya masih mampu bertahan, tetapi ketika benih kesalahan malam itu mulai tumbuh di rahimnya, Keira merasa semua kekuatan dan harapannya lenyap. Perasaan takut dan cemas mengimpitnya dari segala arah. Bagaimana Keira akan menghadapi ini semua? Sanggupkah ia bertahan dengan kenyataan pahit yang tiba-tiba datang menghantam hidupnya?
View MoreKeira terbangun dengan kepala berdenyut dan tubuh terasa lemah. Cahaya matahari yang menembus celah gorden membuatnya meringis.
Ia membuka mata perlahan, menatap sekeliling kamar hotel yang asing. Seketika, ingatan-ingatan semalam menyerbu pikirannya seperti badai yang tak terkendali. Ia ingat keramaian klub malam, tarian, tawa, dan minuman yang membuatnya merasa aneh.
Namun, yang paling jelas dalam ingatannya adalah sentuhan Om Bara, desahan lirihnya, dan perasaan yang mengaduk-aduk di dalam dirinya. Ia merasa jijik dan marah pada dirinya sendiri. Rasa bersalah menghantamnya seketika.
"Bagaimana bisa aku melakukan ini?" batinnya, menutup wajah dengan tangan untuk menahan tangis yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak bisa menghadapi kenyataan ini, tidak bisa menerima bahwa ia telah memohon pada Om Bara untuk menyentuhnya.
Dengan hati-hati, ia melirik ke arah tempat tidur. Om Bara masih tertidur lelap, wajahnya terlihat lelah. Keira merasa semakin terhimpit oleh rasa bersalah dan keputusasaan. Ia tak bisa berlama-lama di sini.
Dengan langkah terseok-seok, Keira mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai. Ia mengenakannya dengan tergesa-gesa, berharap Om Bara tidak terbangun saat ini.
Setelah semua pakaian terpasang dengan benar, ia memandang sekali lagi ke arah Om Bara yang masih tertidur.
"Aku harus pergi sekarang sebelum Om Bara bangun dan aku takut tidak akan bisa pergi sama sekali," bisiknya pada dirinya sendiri, sebelum melangkah cepat keluar dari kamar hotel.
Saat berada di lorong, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa paniknya. Ia harus keluar dari tempat ini secepat mungkin.
Di sepanjang perjalanan pulang, Keira hanya bisa menutup wajah dengan tangan, berusaha menyembunyikan tangis yang terus menerus mengalir.
Semua perasaan bercampur aduk di dalam dirinya—rasa bersalah, marah, sedih, dan jijik. Wajah ayahnya, Kevin, dan Tante Vera berkelebat di benaknya, membuatnya semakin merasa bersalah.
Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamar mandi. Air dingin dari shower menghantam kepalanya, mengalir deras di tubuhnya yang gemetar. Keira berharap air dingin ini bisa menghapus segala beban yang ia rasakan.
"Kenapa aku begitu bodoh?" gumamnya di antara isak tangis yang menggema di kamar mandi.
Saat air mengalir di tubuhnya, ingatan tentang omelan Om Bara kembali menghantamnya.
“Apa yang Om dengar tentangmu belakangan ini sangat mengecewakan, Kei. Bi Darmi bilang akhir-akhir ini kamu selalu pulang malam! Padahal sudah berkali-kali Om bilang padamu untuk pulang tepat waktu dan berhenti keluar malam hanya untuk bersenang-senang.”
Keira memicingkan matanya sengit dan membalas perkataan Om Bara dengan keras kepala saat itu. "Kenapa sih Om Bara ngatur-ngatur terus?! Waktu Papa masih hidup saja, Papa enggak segininya sama Keira! Lagian Keira udah besar dan bisa jaga diri dengan baik, Om!"
“Om begini karena ingin memastikan kamu baik-baik saja selama dalam pengawasan Om, Kei. Bagaimanapun juga Om punya tanggung jawab yang besar untuk menggantikan Mahesa, menjagamu agar tidak salah jalan.”
“Apa sih, Om?! ribet banget kayak enggak pernah muda aja!”
“Pergaulan sekarang dan zaman dulu itu—”
“Terserahlah, Om. Kali ini Keira enggak mau dengerin Om. Keira ngerasa udah cukup dewasa untuk melakukan apapun dan berhubungan sama siapapun yang Keira mau,” potong Keira dengan sengit.
“Bukan maksud Om membatasi apa yang kamu inginkan dan mengekang jiwa mudamu yang masih membara. Tapi kalau sampai terjadi hal buruk padamu, Om pasti merasa bersalah pada Mahesa karena tidak bisa menjaga putrinya dengan baik. Karena itu, Om terpaksa bersikap begini.”
“Tapi Keira enggak suka dengan sikap Om yang mengekang kayak gini! Hanya karena Om diminta Papa untuk menjaga aku, bukan berarti Om berhak ngatur-ngatur Keira sejauh ini!”
Waktu itu, Keira benar-benar tak bisa menerima perkataan Om Bara dan telinganya selalu pengang mendengar celotehan Om Bara yang tiada henti tiap kali datang ke rumahnya.
Namun, sekarang Keira menyadari betapa benar nasihat Om Bara kala itu. Keira benar-benar menyesal karena menganggap omongan Om Bara hanya angin lalu dan malah mendebatnya.
Padahal, Om Bara sudah berusaha keras untuk menjaganya dengan baik, tetapi Keira malah dengan tidak tahu dirinya mengabaikan semua nasihatnya dan menganggapnya sebagai omelan yang menyebalkan.
"Om Bara, maafin Keira," lirihnya. "Seharusnya Keira sadar, kalau selama ini Om selalu bilang kayak gitu karena berusaha menjaga Keira dan memastikan agar hal buruk seperti semalam tak terjadi pada Keira. Tapi Keira terlalu bodoh dan keras kepala untuk bisa menerima ucapan Om dengan lapang dada."
***
Setelah dirasa sudah cukup lama ia mengguyur tubuh kotornya, dengan langkah gontai Keira keluar dari kamar mandi, merasa seakan beban berat menggantung di pundaknya. tangis Keira belum berhenti.
Matanya tidak sengaja tertuju pada bingkai foto dirinya bersama ayahnya yang terletak di atas meja. Ia mengambil bingkai itu dengan tangan gemetar, mengusap foto ayahnya dengan perasaan bersalah yang mendalam.
"Papa, maaf, Pa" rintihnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Air mata terus mengalir, mengaburkan pandangannya. "Keira sudah menghancurkan semua harapan Papa pada Keira. Keira juga tidak bisa menjaga diri dan malah membuat kesalahan besar. Keira benar-benar minta maaf atas segalanya."
Ia merasa telah gagal menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh mendiang ayahnya. Keira merasa dirinya tidak lebih dari sampah, karena ia bisa-bisanya meminta Om Bara, sahabat baik ayahnya sendiri, untuk menyentuhnya.
Didera penyesalan begitu dalam, Keira memutuskan untuk tidak ingin bertemu dengan Om Bara lagi. Ia merasa tidak punya muka untuk berhadapan dengannya, setelah apa yang terjadi.
Masih segar di benaknya, ingatan saat Om Bara menyelamatkannya dari tatapan nakal lelaki hidung belang di klub malam. Suara Om Bara yang marah dan penuh kekhawatiran bergema di kepalanya. "Keira! Kamu gila?! Apa yang kamu lakukan di sini?!"
Malam itu, Keira hampir tidak sadar saat Om Bara menariknya keluar dari kerumunan dan Om Bara membawanya ke hotel dengan tergesa-gesa.
Saat mereka sampai di hotel, Keira merasa tubuhnya memanas dan terdapat keinginan yang tak tertahankan dalam dirinya.
Meski Om Bara sudah membantunya dengan memberikan dan merendam tubuhnya dalam air dingin, tetapi sama sekali tak berpengaruh. Sepertinya efek obat itu terlalu kuat, hingga membuat tubuh Keira makin kepanasan dan mengelinjang tak karuan.
"Keira benar-benar enggak bisa tahan lagi… Om, tolong lakukan sesuatu untuk membantu Keira." Dalam kebingungan dan kepanikan, Keira memohon dengan suara yang hampir putus asa, tangannya terus menyentuh tubuh Bara begitu erat, hingga lelaki itu mengeram seperti menahan sesuatu agar tidak keluar.
"Shhh! Maafkan Om, Kei. Sepertinya, hanya cara terakhir ini yang dapat Om lakukan untuk membantumu. Semoga dengan cara ini, dapat segera menghilangkan pengaruh obat bercampur alkohol di tubuhmu."
Bisikan terakhir Om Bara malam itu masih terngiang samar di telinga Keira dan terputarnya ingatan semalam bersama Om Bara, membuat Keira merasa begitu menyesal telah datang ke pesta ulang tahun temannya dan mabuk-mabukan.
Jika saja ia tidak pergi ke klub malam, jika saja ia tidak minum-minum dan sembarangan menerima minuman, kejadian semalam yang membuatnya tak sengaja tidur bersama Om Bara pasti tidak akan terjadi.
Namun, Keira tahu bahwa Om Bara tidak bisa disalahkan dalam hal ini. Ia lah yang memohon agar Om Bara menyentuhnya, meskipun ia dalam keadaan setengah sadar. Om Bara hanya berusaha membantunya menghilangkan rasa panas yang mendera tubuhnya. Tapi tetap saja, ia merasa sangat hina dan berdosa.
Bayangan kejadian semalam terus menghantuinya. Ia merasa semakin terpuruk setiap kali mengingat tatapan Om Bara yang penuh kekhawatiran dan rasa bersalah. Ia tidak bisa melupakan apa yang telah terlanjur terjadi antara ia dan Om Bara.
Keira merasa sangat bersalah pada Om Bara dan Tante Vera. Bagaimana mungkin ia bisa bertatap muka dengan mereka setelah ini?
Kini, Keira merasa begitu hancur didera seribu kesalahan dan penyesalan. Ia benar-benar merasa kecil hati pada dirinya sendiri. Setiap kali melihat cermin, Keira tampaknya hanya melihat seorang gadis yang telah mengecewakan banyak orang.
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments