Share

3. Putus Asa

Author: Merah
last update Last Updated: 2024-06-19 10:49:30

“Keira harus gimana, Pa?” desah Keira dengan lesu. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu-sedu.

Setelah mengetahui dirinya tengah berbadan dua, Keira merasa dunianya runtuh. Segala semangat hidupnya seolah lenyap seketika. 

Janji yang telah ia buat pada mendiang Papanya, kini tak mampu lagi menggerakkannya untuk bangun dan berangkat kuliah. 

Bagaimana mungkin di usianya yang baru 20 tahun, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini? Tiga tahun memasuki dunia perkuliahan, dan kini harus mengandung di tengah perjalanan itu.

Keira mengurung dirinya di kamar. Sudah hampir seminggu ini ia absen dari perkuliahan. Setiap hari, ia hanya duduk di sudut kamar, memeluk lututnya, memandang hampa ke arah jendela.

Keira takut kehamilannya diketahui orang lain, yang pada akhirnya bisa mencoreng nama baik almarhum Papanya. Ketakutan dan rasa malu itu begitu mendalam, menghantui setiap sudut pikirannya. 

Terkadang ia teringat kembali malam itu. Semua rasa bersalah yang bercampur ketakutan kembali menyeruak, menghancurkan sisa-sisa kekuatannya. 

Bagaimana mungkin ia bisa melanjutkan hidup setelah semua ini? Bagaimana mungkin ia bisa menghadapi kenyataan bahwa ia hamil, hasil dari kesalahannya satu malam yang terjadi akibat kebodohan dan kesalahannya sendiri.

Saat air mata terus mengalir, Keira merasa hampa dan tak berdaya. Ia ingin berteriak, ingin mengusir semua rasa sakit ini, tapi suaranya tercekik dalam kerongkongan. 

Di tengah kepedihan yang mendalam, ia hanya bisa berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera berakhir. 

Namun, kenyataan tetap membayanginya dengan kejam, menolak memberinya kesempatan untuk lari.

Dalam kebingungan dan keputusasaan, Keira merasakan kekosongan yang semakin dalam. Ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi. 

Segala rencana dan cita-cita yang pernah ia miliki, kini terancam hilang selamanya. Sambil memeluk lututnya, Ia hanya bisa menangis, meratapi nasib yang begitu kejam mempermainkannya.

******

“Keira ada, Bi?” tanya Kevin, khawatir dengan kekasihnya yang tak terdengar kabarnya selama seminggu ini.

Semula, Kevin menahan diri untuk tidak datang ke rumah Keira. Terakhir kali mereka bertemu, Kekasihnya itu mengatakan tidak enak badan.

Namun, lama-lama kekhawatirannya semakin besar. Teleponnya tak pernah diangkat. Pesan-pesannya tak pernah dibalas. Akhirnya, ia tak tahan lagi dan memutuskan untuk mencari tahu sendiri.

“A-anu, Den, Non Keira sedang tidak ada di rumah. Terakhir kali Non Keira pamit sama Bibi, katanya mau liburan keluar kota,” jawab Bi Darmi, pembantu rumah tangga di rumah Keira, dengan gugup. Kebohongan yang terpaksa dilontarkannya membuat hatinya tidak tenang.

Bi Darmi masih ingat jelas permintaan Keira beberapa hari lalu. “Tolong beberapa hari ini jangan ke atas, Bi. Keira lagi enggak mau diganggu. Terus kalau ada yang cari Keira, bilang aja kalau Keira enggak ada di rumah dan lagi keluar kota.”

Mata Keira yang sembab dan wajahnya yang penuh kesedihan membuat Bi Darmi tak bisa menolak permintaan itu.

“Bibi tahu Keira pergi ke mana? Atau kira-kira kapan Keira pulang?” tanya Kevin lagi, suaranya semakin cemas. Tak biasanya Keira pergi tanpa memberitahu dirinya.

“Maaf, Den. Non Keira sama sekali tidak bilang apa-apa lagi sama Bibi,” jawab Bi Darmi sambil menundukkan kepala, merasa bersalah karena harus berbohong lagi.

“Ya udah, Bi. Nanti kalau ada kabar dari Keira atau Keira sudah pulang, tolong hubungi saya,” pinta Kevin dengan nada kecewa, sembari menyerahkan nomor teleponnya kepada Bi Darmi.

Dari balik jendela kamarnya, Keira diam-diam memperhatikan interaksi yang terjadi antara pembantunya dan Kevin. Matanya berkaca-kaca, hatinya tersayat melihat kekhawatiran di wajah kekasihnya.

"Maafin aku, Kevin. Bukannya aku enggak mau ketemu kamu, tapi aku ngerasa enggak pantes lagi ketemu kamu dengan keadaan aku yang sudah begini," bisiknya lirih, air mata mengalir di pipinya. 

Melihat Kevin berbalik meninggalkan rumahnya, rasa bersalah dan putus asa semakin menekan dadanya.

Kehadiran Kevin hari ini membuat perasaan Keira semakin terguncang. Rasa depresi dan kebencian terhadap kehamilannya semakin membesar. 

Kehamilan ini adalah mimpi buruk yang tak pernah dibayangkannya. Seumur hidup, ia tak pernah berpikir akan berada dalam situasi seperti ini, hamil di luar nikah, tanpa ikatan pernikahan.

Pikiran untuk melenyapkan nyawanya dan menggugurkan kandungannya terus menghantuinya. Setiap hari, bayangan untuk mengakhiri semua ini semakin kuat. 

Keira tahu bahwa aborsi adalah perbuatan dosa, tetapi ia juga merasa tidak siap untuk hamil.

Beban rasa malu dan ketakutan menjalani hidup sebagai wanita yang hamil di luar pernikahan, membuatnya merasa lebih baik jika ia menyusul Papanya. 

Menuntut pertanggungjawaban Om Bara pun rasanya tak pentas dan tak tahu malu. Bagaimana pun Keira lah yang malam itu memohon-mohon pada Om Bara, sampai pada akhirnya membuat Om Bara terpaksa melakukan perbuatan itu demi menolongnya.

Lagi pula Om Bara juga sudah beristri. Sebagai seorang wanita, ia tak sampai hati menjadi duri dalam rumah tangga Om Bara dan Tante Vera.

Kematian tampak seperti jalan keluar yang paling mudah dari semua rasa sakit dan penderitaan ini.

Dengan netra penuh air mata, Keira bergumam dalam hati, “Lebih baik aku mati saja, daripada harus menanggung malu ini seumur hidup.” Kepedihan yang dirasakannya begitu dalam, dan dunia seakan menutup semua pintu harapan untuknya.

Keputusan Keira untuk merampas nyawanya sendiri sudah bulat. Perlahan, ia bangkit dari lantai dan berjalan tertatih-tatih ke arah tempat obat di sudut kamarnya. 

Tangannya yang gemetar membuka lemari obat, mengeluarkan berbagai macam jenis obat yang tersimpan di sana. Ia menuangkan dan menyatukan berbagai obat itu ke dalam sebuah botol obat yang sama.

Sambil menangis tersedu-sedu, ia menggenggam botol obat itu erat-erat, seolah botol itu adalah satu-satunya jalan keluar dari penderitaannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kedua Om Bara   Ekstra Part The Last

    Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p

  • Istri Kedua Om Bara   Ekstra Part 3

    "Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga

  • Istri Kedua Om Bara   Ekstra Part 2

    "Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny

  • Istri Kedua Om Bara   Ekstra Part 1

    "Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m

  • Istri Kedua Om Bara   110. Malam Pengantin

    "Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji

  • Istri Kedua Om Bara   109. Tanpa Dendam Kebencian

    Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status