Share

BAB : 2

Seorang wanita berjalan cepat menghampiri Hana yang masih berada dalam pangkuan cowok bernama Justin itu. Ya, tentu dengan wajah penuh emosi.

"Apa yang kamu lakukan dengan gadis ini?! Kamu keterlaluan, Justin!" Ia benar-benar kesal dan emosi saat mendapati hal yang tak terduga di depan matanya.

Bahkan saat wanita itu berkoar-koar dengan penuh emosi di depannya, tak terbesit rasa takut atau rasa bersalah di wajah Justin. Toh, ia juga tak melakukan apa-apa. Oke ... mungkin hanya sekadar ciuman.

Perlahan ia berjalan menuju tempat tidur, memindahkan Hana yang masih tak sadarkan diri dalam pangkuannya. Kemudian, berjalan menuju kamar mandi seolah mengabaikan wanita itu.

Keluar dengan pakain casual lengkap. Oke ... dan justru kali inilah dirinya malah terlihat kaget. Karena apa? Di dalam kamarnya sudah terlihat beberapa orang berkumpul, termasuk kedua orang tuanya. Apa mereka semua tak ingat, kalau ini adalah kamarnya. Apa mereka semua lupa, kalau ia tak suka ada orang lain yang masuk ruang pribadinya tanpa izin?

"Ada apa ini?" tanya  Justin heran. "Aku sudah bilang, kan, jangan memasuki kamarku tanpa ijin. Apa perlu ku buat di depan pintu agar semua orang bisa membacanya?!" Bicara dengan nada emosi.

"Apa yang sudah kamu perbuat pada gadis itu?" tanya seorang laki-laki paruh baya, sambil menunjuk kearah Hana yang tak sadarkan diri di kasur.

Justin tersenyum di sudut bibirnya, kemudian duduk di sofa dengan sikap cuek. "Ayolah ... kalian jangan ikut berpikiran aneh-aneh seperti yang dilakukan Alice," balasnya melirik kearah wanita yang memergokinya sedang mencium Hana.

"Aneh-aneh apanya? Justin ... aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kamu sedang berciuman dengan gadis itu!" Kalau bisa mengeluarkan api dari mulutnya, bisa dipastikan semua yang ada di kamar ini akan hangus disambar.

"Dan masalahnya buat kamu, apa?" tanya Justin balik.

"Tentu saja ini masalah besar buatku, Justin. Karena kamu adalah ..."

"Hentikan!" bentak Justin saat Alice ingin melanjutkan perkataannya. Iya, ia tak suka dengan kalimat yang akan dikatakan wanita itu selanjutnya.

Justin beranjak dari kursinya, kemudian berdiri dihadapan Alice. "Ralat," ucapnya. "Aku bukan sedang berciuman dengannya, tapi lebih tepatnya lagi justru aku yang menciumnya. Aku yang menciumnya, Alice. Paham?!"

Alice berniat menampar Justin, tapi tentu saja ia tak akan membiarkan itu terjadi. Dengan cepat Justin menyambar tangan wanita itu dan menghentakkannya dengan kasar.

"Jangan coba-coba menyentuhku!"

"Jangan bersikap seburuk itu pada Alice, Justin," lerai Arum, mamanya.

"Kalau Mama mau membelanya, di tempat lain saja ... jangan dihadapanku. Karena itu tak akan mempan untukku," komentarnya atas tindakan mamanya.

Di sana ada orang tuanya dan juga orang tua Alice. Bahkan beberapa kekuarga terdekat pun juga hadir. Sepertinya wanita ini dengan cepat menghubungi semua orang untuk mengadilinya. Hanya beberapa saat di kamar mandi, buktinya semua orang sudah berkumpul.

"Justin! Kamu sudah begitu keterlaluan memperlakukan Alice begitu buruk," tambah papanya Alice.

"Diam! Jangan ikut campur jika tak tahu kejadiannya!"

Satu bentakan, mampu membuat kucing liar diam seketika.

"Kalian siapa?" tanya Hana yang tiba-tiba sadar dengan ekspressi kaget di wajahnya. Ya ... bagaimana ia tak kaget, tiba-tiba malah dihadapkan dengan banyak orang. Bahkan tak ada yang dikenalinya satupun.

Semua mata kini memandang kearahnya.

Hana ingin bangun, tapi dengan cepat Justin kembali mendorong gadis itu hingga kembali ke posisi tidurnya. "Ingat, kan, kalau kamu tak mengenakan pakaian?"

Matanya langsung membola, selimut yang tadinya berniat ia singkirkan, kini justru ia tarik hingga kembali menutupi seluruh tubuhnya dan menyisakan wajahnya yang terlihat.

"Tuh, benar, kan ... dengar apa kata Justin. Pasti diantara mereka sudah terjadi sesuatu. Aku yakin sekali." Alice lagi-lagi tak terima dengan apa yang terjadi pada Justin dan Hana.

"Heyyy ... Tante, apa yang kamu katakan?!" tanya Hana bingung. Seakan-akan sebuah tuduhan terburuk sedang ditujukan padanya.

"Diam kamu! Gara-gara kamu semua ini terjadi. Kamu, kan, yang menggoda Justin hingga semua ini terjadi?!"

"Apa? Menggoda? Yang benar saja ngomongnya, Tante. Yakali aku godain om-om. Otakku masih normal, berjalan pada jalur yang lurus. Harusnya saya yang marah ... kenapa dia tiba-tiba tidur di sebelahku dan meluk-meluk aku?" tunjuk Hana mengarah pada Justin.

"Apa kamu bilang, Tante? Kamu pikir saya ini Tante kamu?"

"Bukan Tanteku, tapi lebih tepatnya mirip tante-tante," ungkap Hana jujur. Kalau bohong, kan, dosa. Ya kan gaes.

Justin hanya bisa memijit kepalanya dengan semua yang terjadi malam ini. Iya, ini masih tengah malam dan semua keluarganya malah membuat masalah di kamarnya.

"Semuanya keluar!" perintah Justin.

"Apa?!" Alice malah kaget mendengar suruhan Justin.

"Apa kamu nggak dengar? Keluar dari kamarku, sekarang!"

"Justin! Gadis itu ..."

"Keluar sekarang!"

Iya, semua keluar dari kamar itu, termasuk Hana yang dengan cepat beranjak dari posisinya. Dengan masih melilitkan selimut di badannya, ia berjalan menuju pintu keluar. Sungguh, saat mendengar perintah Justin yang terkesan menakutkan itu membuatnya bergidik ngeri juga. Layaknya mendengar auman seekor singa jantan yang siap mengamuk.

"Aku tidak memintamu keluar, kan?"

Langkah Hana terhenti seketika, kemudian berbalik badan mengarahkan pandangannya pada Justin. Semua orang yang posisinya juga sudah berada di luar kamar menatap aneh perkataan Justin. Termasuk Alice.

"Siapa?" tanya Hana.

"Kamu."

Mendengar perkataan Justin, membuat Alice seakan ingin mengeluarkan taring panjang.

"Om, aku ini seorang gadis. Dan kini hidupku sudah punya masalah besar denganmu. Jadi, apalagi mau mu? Apa belum cukup mengambil ciumanku? Apa belum cukup dengan tidur dan memelukku?"

Astaga! Keingat ciuman membuat otaknya jadi seakan begeser. Tak tahukah laki-laki ini kalau itu adalah ciuman pertamanya?

"Kalian berdua keterlaluan!!" pekik Alice.

Justin mendekati Hana dan tersenyum licik. "Nanggung, kan? Lebih baik ciptakan masalah besar sekalian," komentar Justin sambil menaik-turunkan alisnya menatap dan menghampiri Hana.

Hana hanya membalas perkataan Justin dengan ekspressi bingung. "Apa maksudmu?"

Tak menjawab pertanyaan Hana, ia justru menarik gadis itu kembali dan menutup pintu kamarnya dengan cepat.

"Justin!!"

Itu adalah teriakan terakhir dari Alice yang terdengar. Kemungkinan besar wanita itu sedang heboh di luar sana mengeluarkan omelan dan kekesalannya. Ya ... ia sudah hapal betul seperti apa kepribadian buruk seorang Alice. Sudah tak diragukan lagi.

"Om maunya apa, sih?!" Hana berteriak-teriak di depan Justin "Sudah cukup masalah tadi, jangan ditambah lagi. Sekarang, buka pintunya karena aku mau keluar!"

"Sudahlah, aku juga nggak akan berbuat macam-macam padamu," ujar Justin menyentil dahi Hana dan berjalan menuju tempat tidur.

Apa yang dia katakan? Nggak mau berbuat macam-macam padanya, tapi malah mengurungnya di sini. Apa dia tak berpikir kalau orang-orang yang ada di luaran sana lah yang sedang memikirkan apa yang tengah terjadi di dalam sini.

"Sebenarnya maumu apa, sih? Aku bingung, loh."

"Sudah ku katakan, kan ... aku hanya ingin membuatmu dalam masalah yang lebih besar saja," jawab Justin santai.

Haruskah ia menertawakan dirinya sendiri yang punya banyak masalah, tapi om-om ini malah kekurangan masalah.

"Apa hidupmu kurang bermasalah, hingga ingin menciptakan sebuah masalah? Terserah. Tapi jangan mengajakku dalam masalahmu!"

Justin duduk di pinggiran tempat tidur. Menatap gadis yang masih terlihat cemas di depannya. "Sadarlah. Sebenarnya bukan aku yang membuat masalah, tapi kamu. Ini kamarku, apa otakmu sedang tak beres hingga sampai memasuki kamarku?"

Hana sedikit terdiam dan tertunduk dengan tampang bersalahnya. "Oke, aku minta maaf dibagian itu. Soalnya di acara tadi dikerjai teman-temanku hingga mabuk dan ..."

Justin berdecak sambil bersidekap dada. "Waww ... apa ini tak terlalu berlebihan? Masih SMA, kan ... dan sudah minum-minum?"

Hana memandang kesal kearah Justin. "Om, bisa dengar apa yang ku jelaskan, tidak? Aku dikerjai teman-temanku. Paham?"

"Tak meyakinkan," balas Justin kembali berfokus pada ponsel di tangannya.

Hana sekarang bingung harus berbuat apa. Berteriak? Yakali. Di depan pintu kamar ada keluarga laki-laki ini saja, mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Hana menyambar pakaian miliknya yang tergeletak di lantai dan berjalan menuju kamar mandi. Setidaknya ia tak membuat mata laki-laki ini terus berfokus pada tubuhnya. Mengatakan bodynya tak menggairahkan, tapi malah menciumnya? Apa maksudnya coba.

Setelah mengenakan pakaiannya, ia menyambar ponsel miliknya yang ada di nakas. Kemudian mencari kontak orang tuanya. Apa-apaan maksud orang ini mengurungnya di sini? Apa dia seorang pembunuh berdarah dingin? Atau, pedofil?

"Hallo, Pa ..."

Mendengar itu, Justin yang tadinya abai, langsung beranjak dari duduknya dan merebut ponsel milik Hana dengan cepat. Tapi tak berhasil karena gadis itu malah mempertahankannya.

"Berikan padaku," pintanya memaksa.

"Papa ... bantuin aku! Aku dikurung sama cowok ..."

Belum selesai perkataannya, Justin berhasil mengambil alih ponsel miliknya. Kesal, dengan cepat ia mengambil sebuah bantal dan memukuli Justin dengan benda itu.

"Keluarin aku dari kamar ini, Om. Aku nggak mau di sini!" teriaknya masih memukuli Justin.

Justin dengan sengaja mendorong Hana ke tempat tidur ... kemudian dengan cepat menindih gadis itu agar tak bisa berbuat apa-apa.

"Lepasin aku!!" pekiknya terus berontak saat kedua tangannya ditahan oleh Justin.

"Ya ampun, kenapa kamu seliar ini, hem?"

"Biarin!"

"Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu," komentar Justin.

"Kenapa? Apa aku harus tersenyum manis padamu? Apa aku harus menunjukkan sikap lembutku padamu? Nggak akan!"

Justin tersenyum. "Hana," gumamnya mengarah pada bandul kalung yang melingkar di leher Hana. "Nama yang bagus," tambahnya memuji.

"Terimakasih. Tapi maaf, pujianmu tak membuat rasa kesalku padamu hilang, Om. Jadi, lepasin aku! Aku nggak mau di sini denganmu. Orang tuaku pasti nyariin," jelasnya kembali heboh.

"Jangan bicara lagi, aku pusing mendengar suaramu yang cempereng itu."

"Om ... lepasin aku," rengeknya berlanjut.

Justin semakin mendekatkan wajahnya pada Hana. "Apa aku harus menciummu lagi, agar bibirmu itu bisa diam seketika?"

Belum kejadian, tapi ancaman Justin sukses membuatnya bungkam seketika sambil menggigit bibir bawahnya.

"Awas saja kalau sampai melakukannya lagi," umpat Hana.

"Jangan mengancamku balik."

"Kenapa? Om pikir aku takut padamu?"

Justin lagi-lagi tersenyum mendapatkan sikap seperti itu dari Hana. Biasanya nggak ada wanita yang berani melawannya, bahkan Alice sekalipun. Tapi kali ini, ia seolah kalah oleh seorang anak SMA.

"Jangan menatapku dengan tatapan mesum seperti itu," komentar Hana saat merasa kalau Justin terus menatapnya. Ia tertawa receh. "Jangan bilang kalau tiba-tiba Om ..."

"Benar sekali, aku menyukaimu," timpalnya langsung mencium bibir Hana.

Hana kaget dengan apa yang dilakukan Justin padanya. Bahkan, saking kagetnya ia seolah hanya bisa diam membatu. Seperti sebuah aliran listrik sedang menjalar memasuki aliran darahnya, hingga ia dibuat tak sanggup untuk bergerak sekalipun.

Justin yang tadinya mencengkeram pergelangan tangan Hana, perlahan beralih pindah ke telapak tangan gadis itu ... seolah menautkan dengan tangannya. Ya, ia merasakan rasa kaget Hana dari genggaman tangan itu yang mengerat.

Justin awalnya hanya berniat membuat Hana diam, tapi lama kelamaan ia malah menikmati ciuman itu. Rasa yang benar benar membuatnya seakan tak ingin melepaskan.

Hana seolah bingung dengan apa yang ia rasakan. Perasaan apa ini? Kenapa ia malah seolah pasrah mendapatkan perlakuan ini dari Justin?

Sebuah hantaman di pintu kamar, sontak membuat keduanya kaget. Bahkan ciuman yang dilakukan Justin pun terhenti seketika dengan posisinya yang masih berada di atas tubuh Hana.

"Hana!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status