Justin mendekat kearah Hana. Tadi saat Alice berada di sana, dia hanya melonggarkan satu kancing kemejanya, tapi sekarang lihatlah, dia malah menanggalkan benda itu dari tubuhnya.
"Om, jangan melakukan apapun padaku!" teriak Hana mendorong Justin yang mendekat padanya. Bagaimana ia tak histeris dengan sikap Justin yang seperti itu.
"Han ... aku sudah memintamu untuk bersiap dari tadi tadi pagi dan kini sudah sore haripun kamu masih seperti ini. Apalagi kalau bukan menungguku yang harus turun tangan menyiapkanmu."
Matilah ia kini. Itulah yang ada dalam pikiran Hana saat berhadapan dengan Justin. Demi apa jika sampai cowok ini bersikap aneh aneh padanya. Mana sampai buka baju lagi. Aduh, matanya sudah tak baik-baik saja saat ini.
Justin menarik Hana menuju kamar mandi, meskipun gadis itu terus berteriak-teriak menolak.
"Jangan bilang kalau Om mau mandiin aku?" Hanya menebak.
"Tepat sekali," sahut Justin.
"Aku nggak mau! Aku bisa mandi sendiri, Om!" Teriak Hana.
"Telat! Kenapa saat aku sudah ada di sini? Kamu memiliki waktu yang panjang dari pagi hingga sore hari untuk melakukan itu, tapi malah mengabaikan perintahku."
Benar ternyata, tak ada yang bisa lepas dari tangan seorang Justin. Ia bahkan tak bisa kabur saat om-om mesum ini menyeretnya ke kamar mandi.
Sampai di dalam kamar mandi, Justin langsung mengguyur Hana dengan shower. Meskipun gadis itu berteriak-teriak saat mendapatkan serangan darinya, tetap saja tak membuatnya berhenti. Melihat tingkah Hana malah membuatnya ingin tertawa.
"Udah, Om!!! Stop!"
Setelah puas, barulah Justin menghentikan aksinya itu. Tapi tiba-tiba ia malah terdiam, membatu, membisu. Menatap kearah gadis yang adi dihadapannya ini dari atas hingga bawah. Oke, sepertinya kali ini ia sudah melakukan sesuatu yang malah menguji matanya sendiri.
Hana menyadari itu. Berniat menyambar handuk, ia malah terpeleset. Tak ingin berakhir di lantai, dengan cepat ia malah berpegangan pada lengan Justin. Iya, benar sekali ... dirinya tak jatuh ke lantai, tapi malah jatuh ke pelukan Justin.
Kini tangan Justin berada di pinggang Hana, menahan agar gadis itu tak jatuh. Tak salah lagi, memang sudah terjadi sesuatu pada hatinya. Dalam posisi yang sedekat ini dengan Hana, bahkan seolah membuatnya dibuat mati rasa.
Keduanya diam, bahkan Hana yang tadinya berontak pun, kini dibuat membisu saat berada sedekat ini dengan Justin. Apa yang terjadi? Entahlah.
Terbawa suasana malah membuat Justin tak bisa menahan tubuhnya dengan Hana yang bersandar padanya. Yap, endingnya keduanya malah berakhir di dalam bathup penuh busa.
"Om!!!!" teriak Hana kesal saat Justin jatuh, malah ikut mengajaknya.
"Kamu yang salah," balas Justin dengan teriakan Hana yang seakan memecahkan telinganya.
Hana langsung mengoceh laksana sebuah mobil yang rem nya blong. Berhenti saat Justin membekap mulutnya dengan tangan.
"Aku pusing mendengar ocehanmu. Kamu satu orang, tapi suaramu ramai seperti berada di tengah pasar."
Hana menyingkirkan tangan Justin yang masih membekap mulutnya. "Biarin," gerutunya singkat.
Justin beranjak dari dalam bathup. Sementara Hana, ia masih duduk diam. Jangan mengira kalau dirinya akan keluar, tidak akan. Tahu, kan, apa penyebab keduanya jatuh barusan? Yap, gara-gara Justin menatapnya dalam keadaan basah dan pakaiannya menerawang.
"Masih mau dilanjutkan?" tanya Justin menatap kearah Hana.
"Nggak mau," tolaknya langsung sambil menyiramkan air kearah Justin.
Justin tersenyum puas saat berhasil membuat Hana kesal. "Yasudah. Aku tunggu di bawah," balasnya sambil berlalu pergi dari sana ... meninggalkan gadis yang masih diam di dalam bathup.
Iya, diamnya bukan hal yang biasa. Tapi justru karena tiba-tiba saja ia malah jadi terpesona pada Justin. Gila memang. Yakali sekarang hatinya belok jadi pencinta om-om.
"Aduh, malapetaka kalau sampai itu terjadi. Bisa dipastikan kalau gue udah stress," umpatnya.
****
Justin tengah duduk di ruang tengah, dengan sebuah buku yang ada dihadapannya. Seperti biasa dia adalah tipe orang yang fokus dalam setiap aktifitasnya. Bahkan buku yang dianggap begitu tebal layaknya kamus ratusan ribu pun, bakalan tetap dia baca dengan tenang.Alice keluar dari kamarnya dan berjalan kearah Justin ... kemudian duduk di samping cowok itu.
Awalnya Justin tak perduli, mau apapun yang dilakukan wanita itu. Tapi fokusnya buyar saat Alice malah duduk semakin mendekatinya.
"Masih ada kursi yang lain, kan, kenapa juga harus duduk di sini?" Ketus Justin tak suka. Ya memang kenyataannya dia tak suka.
"Memangnya kenapa kalau aku duduk di sini? Apa kamu merasa keberatan?"
"Sudah tahu jawabannya, kan ... jadi, tunggu apalagi?" Justin menatap dingin kearah Alice dengan tatapan tak sukanya..
Dengan rasa kesal, Alice menuruti perkataan Justin yang merupakan suaminya itu. Tak terima, sih, sebenarnya dengan perlakuan Justin padanya, tapi apa mau dikata ... daripada mencari masalah dengan laki-laki ini mending ia menurut saja.
"Aku mau nanya satu hal sama kamu," ujar Alice kembali buka suara. Memang tak diladeni, tapi ia yakin kalau Justin mendengar perkataannya. "Apa maksud kamu membawa gadis itu ke dalam rumah ini?"
Justin menutup buku yang ada dihadapannya dengan paksa. Ya, terdengar dari suara hempasan benda itu saat tertutup. Kemudian meletakkan di meja. Kini, pandangannya mengarah pada Alice.
"Urusan denganmu, apa?"
"Aku istrimu. Aku berhak bertanya."
"Tak perlu buang-buang waktu, karena ini bukan urusanmu. Istri? Sudah ku katakan, kan ... itu hanya status, bukan berarti kamu bisa mengatur dan mengurusi semua kehidupanku!"
"Justin, aku nggak tahu salahku apa ke kamu, aku nggak tahu kenapa sikapmu padaku selalu begini. Selalu dingin, marah-marah nggak jelas. Aku ini seorang istri yang juga ingin di mengerti seperti kebanyakan wanita lain."
Justin tersenyum licik mendengar penjelasan Alice. "Kamu paham atau tidak ... tentang kamu di sini yang hanya sekadar status?"
"Tapi aku cinta dan sayang sama kamu, Justin. Bisa, kan, rasa itu berubah?"
"Nggak bisa dan nggak akan pernah!"
"Tapi kenapa?! Kita sudah satu tahun menikah, bahkan kamu nggak pernah bersikap baik padaku."
Suara ocehan Alice mengaum ke penjuru rumah. Dan ia benci saat kehebohan itu terjadi. Justin beranjak dari posisi duduknya dan berdiri dihadapan Alice.
"Jangan berharap yang lebih padaku! Aku menikah denganmu itu hanya terpaksa, Alice ... terpaksa! Jadi, kalaupun sikapku tak pernah baik padamu, mungkin itu resikomu. Karena melakukan hal licik hanya untuk mendapatkanku. Berhasil, tapi maaf jika hatiku tak bisa kamu miliki sedikitpun!" jelasnya.
Iya, ini bukan pertama kali penjelasan itu ia lontarkan, tetap saja yang nama Alice tak pernah paham dan mengerti.
"Dan kenapa pada gadis itu sikapmu begitu baik?" tanya Alice berdiri dihadapan Justin.
Sebenarnya ia begitu takut menghadapi Justin, hanya saja rasa kesalnya akan sikap suaminya pada Hana, membuatnya menahan rasa takut itu. Ia tak ingin gadis itu merebut suaminya, karena itu artinya dia juga akan merebut hartanya.
"Dia beda sama kamu."
"Tentu saja beda," timpal Alice langsung. "Dia itu gadis penggoda, Justin. Kamu sudah termakan rayuannya!"
"Kamu nggak punya hak mengatakan itu tentang Hana! Sok suci. Mendapatkanku dengan cara licik, apa itu baik menurutmu?!"
"Kenapa aku dibawa-bawa?"
Pertanyaan itu berasal dari Hana yang tiba-tiba muncul. Pandangan Justin dan Alice langsung mengarah padanya.
"Iya, semua gara-gara kamu! Harusnya kamu sadar diri, Justin itu adalah suamiku. Tapi apa? Dengan tak tahu malunya kamu ..."
"Cukup, Alice!!"
Ia benar-benar tak tahan dengan sikap Alice yang terus-terusan menyalahkan Hana. Bahkan dia membuat gadis itu tersudut, meskipun di sini tak salah apa-apa. Hana di sini kehendak dirinya, ia yang membawa dan memaksanya.
"Diam dan jangan banyak bicara lagi. Aku muak mendengar ocehanmu! Hana di sini karena aku, jadi jangan menyalahkan dia. Perihal rasa, tak bisa dipaksakan, bukan. Aku menyukai dia, bukan kamu!"
Justin seolah menekankan kata-kata terakhirnya pada Alice. Berharap wanita itu bisa menempelkannya langsung di pikirannya. Agar bisa terus mengingat.
Hana yang masih berdiri, merasa kepalanya seolah dipukul dengan kata-kata yang diucapkan Justin barusan. Menyukainya? Apa ia tak salah dengar? Bahkan ini sudah yang kesekian kalianya Justin mengatakan hal itu, tetap saja ia kaget.
"Om Justin ... Tante ini istrinya, Om loh," ujar Hana mengingatkan Justin. Bagaimanapun, Alice pasti sakit hatilah mendengar perkataan dia barusan.
"Cukup jadi pendengar, aku tak suka saat seseorang terus membantahku," balas Justin atas perkataan Hana.
"Jangan jadi penjilat!" umpat Alice pada Hana.
Hana tak menyangka kalau dirinya kini yang masih berstatus sebagai mahasiswi baru, harus dihadapkan dengan drama percintaan sepasang suami istri. Dan masalah besarnya adalah, ia justru diajak masuk ke dalamnya. Bodoh, sih, semua ini memang terjadi karena kejadian semalam.
Justin mendekati Hana dan menyambar tangan gadis itu. "Ikut aku," ajaknya membawa Hana pergi dari sana.
"Aku mau dibawa kemana, Om?" tanya nya. Tetap saja itu tak mendapatkan jawaban.
Alice hanya bisa mengumpat dengan level tinggi melihat sikap Justin pada Hana. Hanya ada dua pilihan yang harus diambilnya. Pertama, menyingkirkan Hana. Kedua, pasrah dan ia yang tersingkir. Tentu saja yang kedua bukanlah hal yang ia ambil.
"Berani mendekati Justin, itu sama dengan berani melawan Alice," gumam Alice menahan amarah.
Dalam perjalanan, Hana terus bertanya dan bertanya kemana dirinya akan dibawa. Tapi Justin seolah tak berminat untuk menjawab pertanyaannya. Jangan-jangan ini om-om mau membawanya ke tempat penjualan anak? Duh, yang benar saja kalau iya.Mobil kini berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar. Tak jauh berbeda dengan rumah milik laki laki ini. Pikiran Hana mulai berkecamuk, karena antara rasa takut dan penasaran seolah jadi satu di dalam otaknya."Ini rumah siapa, Om?" tanya Hana saat Justin memaksanya untuk turun dan masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi pertanyaannya tak mendapatkan jawaban. Padahal tinggal menjawab, apakah jawabannya begitu sulit?Sampai di dalam, ia langsung memasang ekspressi kaget. Ada beberapa orang di sana yang sedang mengarahkan pandangan padanya. Parahnya lagi, di antara mereka semua ada kedua orang tuanya juga."Loh, Mama sama Papa kok ada di sini?" tanyanya bingung.Ia memang senang bercampur haru, tapi tentu saja masih bingung dengan semua ini. Nggak mungkin, ka
Tak ingin panik, tak ingin cemas dan berharap tak ingin menghiraukan keadaan Justin. Entah kenapa rasanya kok sulit sekali ia lakukan. Bahkan rasanya seolah tak ingin beranjak sebelum dia sadarkan diri. Setidaknya ia akan ada di sini hingga Alice datang.Duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Justin, kini matanya justru memandang kearah cincin yang melingkar di jari manisnya. Kemudian beralih pada cincin yang ada di jari cowok yang belum sadarkan diri itu. Berniat menyentuh tangan dia, tapi dorongan pintu dengan kasar membuatnya tersentak kaget."Justin! Kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu, sih?"Hana sampai menutup kedua telinganya saat mendengar rentetan panjang dengan volume level tinggi itu. Ya, siapa lagi yang punya mulut serombeng itu kalau bukan Alice.Kini fokus Alice beralih pada Hana dan berjalan mendekat. "Kamu ... pasti semua gara-gara kamu! Benar, kan? Apa yang kamu lakukan pada Justin?! Dasar gadis penggoda! Perusak rumah tangga orang. Harusnya kamu tak data
Justin melepaskan Hana dari pelukannya, memastikan keadaan gadis yang tiba-tiba saja membuatnya jatuh cinta. "Ada apa? Kenapa menangis? Katakan padaku, Han?" tanya Justin. Hana melepaskan tangan Justin yang bertengger di kedua pundaknya. "Om, jangan bersikap seperti ini terus padaku! Aku capek dengan masalah yang ku hadapi. Apa perlu aku bersujud di kaki mu, agar mau melepaskanku dari semua ini?!" "Melepaskan? Maksudmu melepaskan kamu dari tanganku. Begitukah?" Justin terkekeh. "Jangankan melepaskan kamu dari kehidupanku, membiarkanmu lepas dari genggamanku beberapa detik saja tak akan ku biarkan. Jadi, jangan berharap banyak untuk itu, Hana." Hana berniat pergi dari sana, tapi dengan cepat Justin kembali menarik lengan dan mendorongnya hingga jatuh ke sofa. Tak hanya itu, kini Justin mencengkeram kedua lengannya dan menindihnya. "Sudah ku katakan, kan ... kamu nggak akan pergi dan nggak akan bisa kemana-mana tanpa ijin dariku. Paham?!" "Lepasin, Om ... ini sakit," ringisnya saa
Justin sibuk di ruang kerjanya dengan setumpuk kertas dan map dihadapannya. Tak ke kantor, bukan berarti ia akan tidur-tiduran nggak jelas. Ayolah, ini adalah kebiasaan yang sudah ia lakukan semenjak lama. Jadi, tak akan ada keluhan dengan semua ini. Malah lebih heran lagi jika semua pekerjaan tak berada di sekelilingnya.Sebuah ketukan pintu membuat fokusnya buyar. Diam, tak merespon dan kembali menatap tumpukan kertas dihadapannya.Lagi, ketukan itu kini membuatnya rada kesal. Berani-beraninya orang di rumah ini merusak konsentrasinya bekerja.Beranjak dari kursi dan dengan langkah cepat berjalan menuju pintu. Ia ingin tahu, siapa pelaku dan calon korban kemarahannya kali ini.Pintu dibuka, hendak langsung emosi, tapi semua itu seolah menghilang dari niatnya saat mendapati siapa yang ada dihadapannya kini."Hana," gumamnya."Maaf aku mengganggu. Aku cuman mau nganterin ini," ujarnya menyodorkan satu gelas teh hangat pada Justin.Justin langsung menerima itu."Takutnya Om masuk angin
Setelah selesai berbenah diri, Hana turun dan berjalan menuju meja makan ... dengan tas ransel yang ia jinjing. Saat sampai, terlihat Justin sudah ada di sana, begitupun dengan Alice. Ayolah, pagi ini ia disambut tatapan menjengkelkan dari wanita itu. Kalau tak ada Justin di sini, mungkin ia akan dicekek oleh tante-tante itu.Hana tak langsung duduk, tapi malah menghampiri Justin ... berdiri dihadapan laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu."Om Justin, aku ...""Jangan berpikir untuk tak sarapan," timpal Justin menyanggah perkataan Hana. "Ayo duduk dan sarapanmu," perintahnya seakan tahu saja niat Hana.Jujur saja, ia tak nyaman berada di sini. Apalagi dengan adanya Alice, seolah ia sedang dihadapkan dengan orang yang paling membencinya di dunia. Ya, pada kenyataannya memang begitu.Hana duduk di kursi yang ada di sebelah Justin dan mulai menikmati sarapan yang sudah tersedia. Diam, bahkan ia tak melemparkan pandangan ke arah Alice ataupun Justin sedikitpun. Ingin menghabiskan
Hana berjalan menuju kelasnya yang terletak di lantai dua. Yap, baru beberapa hari tak datang ke kampus, membuat ia rindu. Apalagi para sahabat dan juga ... kekasihnya.Langkahnya semakin ia percepat saat hendak mencapai kelas, tapi seolah mobil yang direm ... langkahnya terhenti seketika saat melihat sebuah adegan. Iya, ini bukan adegan mesum, tapi meski begitu sukses membuatnya patah hati.Niatnya yang menuju kelas ia kesampingkan. Melangkah menghampiri seorang cowok dan cewek yang posisinya ada dekat pintu masuk kelas sebelah. Iya, hanya ngobrol, tapi jujur saja ... ia melihat ada rasa antara keduanya. Terlihat sekali dari sikap dan raut wajah mereka saat bicara dan menatap."Noval," panggil Hana.Panggilan itu membuat si pemilik nama langsung berbalik badan saat namanya dipanggil. Ya, ekspressi kaget seperti ketahuan selingkuh, itulah yang terpancar di wajah si cowok saat mendapati Hana ada dihadapannya."Hana ... kamu kok ada di sini?"Hana terkekeh mendengar pertanyaan yang ditu
"Han, lo bawa mobil atau dianterin?" tanya Rhea saat pulang."Dianterin," jawabnya."Kalau gitu ayok gue anter pulang," ajak Rhea."Eh, nggak usah ... ada yang jemput. Kok," tolak Hana cepat.Yakali Rhea mengantarkannya pulang. Sobatnya kan enggak tahu kalau ia dan orang tuanya sedang bermasalah. Bisa-bisa terbongkar semuanya termasuk hubungannya dengan Justin. Untuk saat ini ia belum sanggup untuk menghadapi kedua sobatnya."Papa lo?"Belum sempat Hana menjawab, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan kekar menghampiri Hana dan berdiri sedikit menundukkan kepalanya tanda hormat."Maaf, Nona ... Tuan meminta saya untuk menjemput," ujarnya.Clara, Rhea dan Leta memasang tampang heran. Siapa orang ini? Bahkan ketiganya mengenal sopir keluarga Hana dan yang pasti bukan laki-laki ini.Hana sudah deg-deg'an. Ya, takut sahabatnya mulai bertanya tanya."Gue balik duluan, ya," ujarnya segera pamit.Dengan cepat ia melangkah menuju di mana mobil terparkir. Sampai di dekat mobil, sang sopir langsu
Noval membuatnya sakit hati dan patah hati ... membuat air matanya seolah terbuang percuma saja. Menangisi sesuatu yang tak penting, mungkin apa yang dikatakan Justin memang benar. Ia seakan gila di sini, tapi Noval di luaran sana malah sebaliknya. Kadang ia berpikir, kalau masalah percintaan, yang tersakiti justru lebih banyak pihak perempuan.Menangis berjam-jam, itu membuat capek bathin dan perasaan. Hingga Justin datang dan menyediakan tempat bersandar. Tak bisa membohongi perasaannya, berada di dekapan cowok ini memang lebih nyaman daripada memeluk sebuah guling tak bernyawa.Tengah malam, entah kenapa ia terbangun. Mendapati dirinya tidur berbantalkan kedua paha Justin dengan posisi dia yang tertidur duduk bersandar di sandaran tempat tidur. Tangan itu berada di pucuk kepalanya, seakan akan sedang berusaha membuatnya nyaman."Ya ampun, gue ketiduran," gumamnya perlahan-lahan bangun agar gerakannya tak membuat cowok itu terbangun.Ia tahu betul kalau Justin pasti capek dengan pek