Share

BAB : 7

Justin mendekat kearah Hana. Tadi saat Alice berada di sana, dia hanya melonggarkan satu kancing kemejanya, tapi sekarang lihatlah, dia malah menanggalkan benda itu dari tubuhnya.

"Om, jangan melakukan apapun padaku!" teriak Hana mendorong Justin yang mendekat padanya. Bagaimana ia tak histeris dengan sikap Justin yang seperti itu.

"Han ... aku sudah memintamu untuk bersiap dari tadi tadi pagi dan kini sudah sore haripun kamu masih seperti ini. Apalagi kalau bukan menungguku yang harus turun tangan menyiapkanmu."

Matilah ia kini. Itulah yang ada dalam pikiran Hana saat berhadapan dengan Justin. Demi apa jika sampai cowok ini bersikap aneh aneh padanya. Mana sampai buka baju lagi. Aduh, matanya sudah tak baik-baik saja saat ini.

Justin menarik Hana menuju kamar mandi, meskipun gadis itu terus berteriak-teriak menolak.

"Jangan bilang kalau Om mau mandiin aku?" Hanya menebak.

"Tepat sekali," sahut Justin.

"Aku nggak mau! Aku bisa mandi sendiri, Om!" Teriak Hana.

"Telat! Kenapa saat aku sudah ada di sini? Kamu memiliki waktu yang panjang dari pagi hingga sore hari untuk melakukan itu, tapi malah mengabaikan perintahku."

Benar ternyata, tak ada yang bisa lepas dari tangan seorang Justin. Ia bahkan tak bisa kabur saat om-om mesum ini menyeretnya ke kamar mandi.

Sampai di dalam kamar mandi, Justin langsung mengguyur Hana dengan shower. Meskipun gadis itu berteriak-teriak saat mendapatkan serangan darinya, tetap saja tak membuatnya berhenti. Melihat tingkah Hana malah membuatnya ingin tertawa.

"Udah, Om!!! Stop!"

Setelah puas, barulah Justin menghentikan aksinya itu. Tapi tiba-tiba ia malah terdiam, membatu, membisu. Menatap kearah gadis yang adi dihadapannya ini dari atas hingga bawah. Oke, sepertinya kali ini ia sudah melakukan sesuatu yang malah menguji matanya sendiri.

Hana menyadari itu. Berniat menyambar handuk, ia malah terpeleset. Tak ingin berakhir di lantai, dengan cepat ia malah berpegangan pada lengan Justin. Iya, benar sekali ... dirinya tak jatuh ke lantai, tapi malah jatuh ke pelukan Justin.

Kini tangan Justin berada di pinggang Hana, menahan agar gadis itu tak jatuh. Tak salah lagi, memang sudah terjadi sesuatu pada hatinya. Dalam posisi yang sedekat ini dengan Hana, bahkan seolah membuatnya dibuat mati rasa.

Keduanya diam, bahkan Hana yang tadinya berontak pun, kini dibuat membisu saat berada sedekat ini dengan Justin. Apa yang terjadi? Entahlah.

Terbawa suasana malah membuat Justin tak bisa menahan tubuhnya dengan Hana yang bersandar padanya. Yap, endingnya keduanya malah berakhir di dalam bathup penuh busa.

"Om!!!!" teriak Hana kesal saat Justin jatuh, malah ikut mengajaknya.

"Kamu yang salah," balas Justin dengan teriakan Hana yang seakan memecahkan telinganya.

Hana langsung mengoceh laksana sebuah mobil yang rem nya blong. Berhenti saat Justin membekap mulutnya dengan tangan.

"Aku pusing mendengar ocehanmu. Kamu satu orang, tapi suaramu ramai seperti berada di tengah pasar."

Hana menyingkirkan tangan Justin yang masih membekap mulutnya. "Biarin," gerutunya singkat.

Justin beranjak dari dalam bathup. Sementara Hana, ia masih duduk diam. Jangan mengira kalau dirinya akan keluar, tidak akan. Tahu, kan, apa penyebab keduanya jatuh barusan? Yap, gara-gara Justin menatapnya dalam keadaan basah dan pakaiannya menerawang.

"Masih mau dilanjutkan?" tanya Justin menatap kearah Hana.

"Nggak mau," tolaknya langsung sambil menyiramkan air kearah Justin.

Justin tersenyum puas saat berhasil membuat Hana kesal. "Yasudah. Aku tunggu di bawah," balasnya sambil berlalu pergi dari sana ... meninggalkan gadis yang masih diam di dalam bathup.

Iya, diamnya bukan hal yang biasa. Tapi justru karena tiba-tiba saja ia malah jadi terpesona pada Justin. Gila memang. Yakali sekarang hatinya belok jadi pencinta om-om.

"Aduh, malapetaka kalau sampai itu terjadi. Bisa dipastikan kalau gue udah stress," umpatnya.

****

 

Justin tengah duduk di ruang tengah, dengan sebuah buku yang ada dihadapannya. Seperti biasa dia adalah tipe orang yang fokus dalam setiap aktifitasnya. Bahkan buku yang dianggap begitu tebal layaknya kamus ratusan ribu pun, bakalan tetap dia baca dengan tenang.

Alice keluar dari kamarnya dan berjalan kearah Justin ... kemudian duduk di samping cowok itu.

Awalnya Justin tak perduli, mau apapun yang dilakukan wanita itu. Tapi fokusnya buyar saat Alice malah duduk semakin mendekatinya.

"Masih ada kursi yang lain, kan, kenapa juga harus duduk di sini?" Ketus Justin tak suka. Ya memang kenyataannya dia tak suka.

"Memangnya kenapa kalau aku duduk di sini? Apa kamu merasa keberatan?"

"Sudah tahu jawabannya, kan ... jadi, tunggu apalagi?" Justin menatap dingin kearah Alice dengan tatapan tak sukanya..

Dengan rasa kesal, Alice menuruti perkataan Justin yang merupakan suaminya itu. Tak terima, sih, sebenarnya dengan perlakuan Justin padanya, tapi apa mau dikata ... daripada mencari masalah dengan laki-laki ini mending ia menurut saja.

"Aku mau nanya satu hal sama kamu," ujar Alice kembali buka suara. Memang tak diladeni, tapi ia yakin kalau Justin mendengar perkataannya. "Apa maksud kamu membawa gadis itu ke dalam rumah ini?"

Justin menutup buku yang ada dihadapannya dengan paksa. Ya, terdengar dari suara hempasan benda itu saat tertutup. Kemudian meletakkan di meja. Kini, pandangannya mengarah pada Alice.

"Urusan denganmu, apa?"

"Aku istrimu. Aku berhak bertanya."

"Tak perlu buang-buang waktu, karena ini bukan urusanmu. Istri? Sudah ku katakan, kan ... itu hanya status, bukan berarti kamu bisa mengatur dan mengurusi semua kehidupanku!"

"Justin, aku nggak tahu salahku apa ke kamu, aku nggak tahu kenapa sikapmu padaku selalu begini. Selalu dingin, marah-marah nggak jelas. Aku ini seorang istri yang juga ingin di mengerti seperti kebanyakan wanita lain."

Justin tersenyum licik mendengar penjelasan Alice. "Kamu paham atau tidak ... tentang kamu di sini yang hanya sekadar status?"

"Tapi aku cinta dan sayang sama kamu, Justin. Bisa, kan, rasa itu berubah?"

"Nggak bisa dan nggak akan pernah!"

"Tapi kenapa?! Kita sudah satu tahun menikah, bahkan kamu nggak pernah bersikap baik padaku."

Suara ocehan Alice mengaum ke penjuru rumah. Dan ia benci saat kehebohan itu terjadi. Justin beranjak dari posisi duduknya dan berdiri dihadapan Alice.

"Jangan berharap yang lebih padaku! Aku menikah denganmu itu hanya terpaksa, Alice ... terpaksa! Jadi, kalaupun sikapku tak pernah baik padamu, mungkin itu resikomu. Karena melakukan hal licik hanya untuk mendapatkanku. Berhasil, tapi maaf jika hatiku tak bisa kamu miliki sedikitpun!" jelasnya.

Iya, ini bukan pertama kali penjelasan itu ia lontarkan, tetap saja yang nama Alice tak pernah paham dan mengerti.

"Dan kenapa pada gadis itu sikapmu begitu baik?" tanya Alice berdiri dihadapan Justin.

Sebenarnya ia begitu takut menghadapi Justin, hanya saja rasa kesalnya akan sikap suaminya pada Hana, membuatnya menahan rasa takut itu. Ia tak ingin gadis itu merebut suaminya, karena itu artinya dia juga akan merebut hartanya.

"Dia beda sama kamu."

"Tentu saja beda," timpal Alice langsung. "Dia itu gadis penggoda, Justin. Kamu sudah termakan rayuannya!"

"Kamu nggak punya hak mengatakan itu tentang Hana! Sok suci. Mendapatkanku dengan cara licik, apa itu baik menurutmu?!"

"Kenapa aku dibawa-bawa?"

Pertanyaan itu berasal dari Hana yang tiba-tiba muncul. Pandangan Justin dan Alice langsung mengarah padanya.

"Iya, semua gara-gara kamu! Harusnya kamu sadar diri, Justin itu adalah suamiku. Tapi apa? Dengan tak tahu malunya kamu ..."

"Cukup, Alice!!"

Ia benar-benar tak tahan dengan sikap Alice yang terus-terusan menyalahkan Hana. Bahkan dia membuat gadis itu tersudut, meskipun di sini tak salah apa-apa. Hana di sini kehendak dirinya, ia yang membawa dan memaksanya.

"Diam dan jangan banyak bicara lagi. Aku muak mendengar ocehanmu! Hana di sini karena aku, jadi jangan menyalahkan dia. Perihal rasa, tak bisa dipaksakan, bukan. Aku menyukai dia, bukan kamu!"

Justin seolah menekankan kata-kata terakhirnya pada Alice. Berharap wanita itu bisa menempelkannya langsung di pikirannya. Agar bisa terus mengingat.

Hana yang masih berdiri, merasa kepalanya seolah dipukul dengan kata-kata yang diucapkan Justin barusan. Menyukainya? Apa ia tak salah dengar? Bahkan ini sudah yang kesekian kalianya Justin mengatakan hal itu, tetap saja ia kaget.

"Om Justin ... Tante ini istrinya, Om loh," ujar Hana mengingatkan Justin. Bagaimanapun, Alice pasti sakit hatilah mendengar perkataan dia barusan.

"Cukup jadi pendengar, aku tak suka saat seseorang terus membantahku," balas Justin atas perkataan Hana.

"Jangan jadi penjilat!" umpat Alice pada Hana.

Hana tak menyangka kalau dirinya kini yang masih berstatus sebagai mahasiswi baru, harus dihadapkan dengan drama percintaan sepasang suami istri. Dan masalah besarnya adalah, ia justru diajak masuk ke dalamnya. Bodoh, sih, semua ini memang terjadi karena kejadian semalam.

Justin mendekati Hana dan menyambar tangan gadis itu. "Ikut aku," ajaknya membawa Hana pergi dari sana.

"Aku mau dibawa kemana, Om?" tanya nya. Tetap saja itu tak mendapatkan jawaban.

Alice hanya bisa mengumpat dengan level tinggi melihat sikap Justin pada Hana. Hanya ada dua pilihan yang harus diambilnya. Pertama, menyingkirkan Hana. Kedua, pasrah dan ia yang tersingkir. Tentu saja yang kedua bukanlah hal yang ia ambil.

"Berani mendekati Justin, itu sama dengan berani melawan Alice," gumam Alice menahan amarah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status