Share

BAB : 8

Dalam perjalanan, Hana terus bertanya dan bertanya kemana dirinya akan dibawa. Tapi Justin seolah tak berminat untuk menjawab pertanyaannya. Jangan-jangan ini om-om mau membawanya ke tempat penjualan anak? Duh, yang benar saja kalau iya.

Mobil kini berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar. Tak jauh berbeda dengan rumah milik laki laki ini. Pikiran Hana mulai berkecamuk, karena antara rasa takut dan penasaran seolah jadi satu di dalam otaknya.

"Ini rumah siapa, Om?" tanya Hana saat Justin memaksanya untuk turun dan masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi pertanyaannya tak mendapatkan jawaban. Padahal tinggal menjawab, apakah jawabannya begitu sulit?

Sampai di dalam, ia langsung memasang ekspressi kaget. Ada beberapa orang di sana yang sedang mengarahkan pandangan padanya. Parahnya lagi, di antara mereka semua ada kedua orang tuanya juga.

"Loh, Mama sama Papa kok ada di sini?" tanyanya bingung.

Ia memang senang bercampur haru, tapi tentu saja masih bingung dengan semua ini. Nggak mungkin, kan ... Justin mengembalikannya pada orang tuanya. Sepertinya dia tak sebaik itu.

"Aku yang meminta mereka datang ke sini," ungkap Justin.

Hana berniat menghampiri Emil dan Arini, tapi Justin malah tak melepaskan pegangan di tangannya sama sekali. Seakan-akan hendak mencengkeram dengan kuat.

"Lepasin aku, Om," pintanya.

"Diam, Han!" bentak Emil pada putrinya.

"Aku sudah bilang, kan, kalau aku meyukaimu. Jadi, sepertinya sebuah ungkapan kata saja tak cukup untuk membuktikan itu semua," ujar Justin pada Hana.

Dahi Hana berkerut mendapat perkataan seperti itu. "Maksudmu apa, Om?"

"Aku mau kamu jadi milikku, seutuhnya."

Demi apa Justin mengatakan hal itu padanya? Sungguh, pendengarannya benar-benar tak sehat lagi. Sepertinya ia harus memeriksakan diri ke THT. Kalau ini semua mimpi, tolong buat dirinya segera bangun. Ini mimpi yang mengerikan.

Hana tertawa receh. 

"Jangan bercanda, Om. Mau memiliki diriku seutuhnya? Jangan bilang kalau kamu mau menikahiku. Astaga! Jujur, ini benar-benar lucu," jelas Hana masih dengan tawanya.

Hanya ia yang tertawa, tapi tidak dengan yang lain. Bahkan Emil dan Arini saja hanya diam membisu memandang kearahnya.

Tiba-tiba tawanya terhenti seketika itu juga layaknya direm mendadak. Kemudian memandang tajam ke arah Justin yang ada di sampingnya.

"Kamu pikir aku sedang bercanda?" Justin tersenyum simpul. "Maaf, Hana ... aku bukan orang yang seperti itu. Apa yang ku mau, harus ku dapatkan. Termasuk kamu sekalipun. Aku inginkan sekarang, itupun harus terjadi," jelasnya.

"Pa ... Ma, apa semua ini?" tanya Hana pada kedua orang tuanya.

"Benar, Han ... kamu akan menikah dengan Justin. Sekarang," jelas Arini agar meyakinkan putrinya.

"Apa?! M-menikah?" Sontak, perkataan mamanya itu membuat napasnya tercekal.

"Kamu sudah membuat keluarga kita dalam masalah yang besar dan hanya Justin yang bisa menghandle semua itu," tambah Emil.

Hana menggeleng, berusaha melepaskan pegangan Justin di tangannya. Jangankan lepas, bahkan pegangan itu seolah tak beringsut sedikitpun. Seperti dilem d3ngan kuat.

"Itu sama saja kalian menjualku!" Emosinya pada kedua orang tuanya.

Dua orang laki-laki berbadan kekar mengambil alih pegangan Justin di tangannya. Sudah jelas sekali ia tak akan bisa kabur.

"Aku hanya butuh restu papamu, terserah kamu mau setuju atau tidak," balas Justin santai. Mengarah pada dua orang yang memegangi Hana. "Bawa dia ke kamar," perintahnya.

"Lepasin aku! Aku nggak mau nikah sama kamu! Aku nggak mau!"

Teriakan itu akhirnya hilang dari pendengaran saat pintu itu ditutup rapat. Bahkan sekuat apapun dia berteriak di dalam, tak akan berpengaruh ke luar kamar.

"Yakin dengan keputusan Anda, kan?" tanya Justin pada Emil.

"Mungkin memang ini yang terbaik," balas laki-laki paruh baya itu.

Jujur saja, dalam hati ia tak rela jika Hana jatuh pada Justin. Tapi, ia juga tak ingin bisnis turun temurun keluarganya hancur begitu saja dalam hitungan menit akibat ulah putrinya. Dan lagi ... dilihat sari sikap Justin, dia sepertinya benar benar menginginkan Hana. Sudahlah, yang terpenting sekarang bisnisnya aman terkendali.

Tak ada yang sulit ia lakukan. Termasuk menikahi Hana saat ini juga. Hanya meminta orang suruhannya menyiapkan semuanya dan beres.

Sementara Hana, ia hanya bisa menangis terkurung di dalam kamar, tanpa bisa berbuat apa-apa. Berniat kabur? Bahkan tak ada jalan yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri dari sini.

"Kenapa semuanya jadi begini, sih," kesalnya merutuki semuanya. "Bisa-bisanya Papa sama Mama memilih untuk mempertahankan harta daripada anak sendiri!"

Kesalahannya yang hanya salah masuk kamar, hingga harus melebar sampai separah ini. Jujur saja ia tak pernah menyangka kalau semuanya jadi begini. Harusnya ia masih bisa have fun sama teman-temannya, harusnya ia masih bisa jalan bareng sama kekasihnya, tapi semuanya malah berubah.

Satu jam kemudian, pintu dibuka dari arah luar. Ia yang tadinya hanya duduk di sudut tempat tidur, segera bangkit dan menghampiri seseorang yang masuk.

Ingin menghindari, tapi langkahnya ditahan. Ya, siapa lagi pelakunya kalau bukan Justin.

"Lepasin aku!"

"Ayolah, Hana ... mulai detik ini kamu nggak bisa pergi dariku."

Justin memperlihatkan sesuatu yang ada di tangannya, kemudian menyambar tangan Hana. Tak hanya itu, sebuah cincin langsung saja ia sematkan di jari manis gadis itu.

Melihat benda yang dengan seenaknya dipasangkan Justin di tangannya, tentu saja ia kesal. Berusaha kembali melepaskan, tapi sialnya benda itu tak bisa lepas.

"Lepasin cincin ini dari tanganku!"

Justin memang menyambut uluran tangan Hana, tapi bukan untuk melepaskan cincin, melainkan mencium punggung tangan dia dengan lembut. Langsung, mendapatkan sikap Justin ... Hana menarik tangannya cepat.

Melihat ke sekeliing, tapi tak ia dapati lagi kedua orang tuanya di sana.

"Mana orang tuaku?" tanyanya.

"Sudah pergi," jawab Justin.

"Apa yang sudah Om lakuin?!"

"Seperti yang ku katakan sebelum mengurungmu di kamar tadi."

"Apa?"

Justin memperlihatkan sebuah cincin yang sama dengan yang ada di jemari Hana. "Kita sudah sah menjadi suami istri, Han," ungkapnya dengan senyuman mengumbar di sudut bibirnya.

"Nggak mungkin," bantah Hana cepat.

Yang benar saja, masa iya dirinya sudah menikah dengan Justin. Sepertinya dunia sedang mempermainkannya hingga separah ini. Jangankan menikah, berpikir jika dirinya harus bertemu dengan seorang Justin seperti ini rasanya tak percaya. Seakan akan ia sedang berada di alam mimpi panjang yang begitu sulit untuk bangun.

"Terserah, kamu mau percaya atau tidak, tapi memang begitulah kenyataannya. Saat ini statusmu adalah istriku. Paham!"

Hana berlalu dari hadapan Justin dan dengan langkah cepat ia pergi dari sana.

Kali ini tak ada perlawanan dari Justin. Ia hanya diam memandangi kepergian Hana sambil tersenyum.

"Kamu menikahinya, tapi kini malah membiarkan dia pergi begitu saja," komentar Arum pada Justin.

"Tetap saja, dia pasti akan kembali padaku," responnya tenang.

---000---

 

Bayangkan, ia berlari hingga sampai di rumah. Tapi rasa capek itu sama sekali tak terasa, karena perasaannya kini sedang kacau dan tak tenang. Pernyataan Justin yang mengatakan kalau keduanya sudah menikah dan cincin di jari manisnya menjadi tanda tanya besar di benaknya.

Apa semua ini? Kenapa rasanya begitu menakutkan? Bahkan beberapa kali ia mencubit lengannya demi memastikan kalau semua yang ia alami ini adalah nyata, bukan mimpi seperti yang dirinya harapkan.

Sampai di halaman rumah, ia langsung bergegas masuk ke dalam rumah.

"Loh, Hana ... kamu kenapa ada di sini?" tanya Arini saat mendapati putrinya yang malah kembali ke rumah.

Ia menghampiri kedua orang tuanya yang saat itu sedang berada di ruang tengah.

"Kenapa dia bilang kalau aku ini adalah istrinya?!"

"Han ..."

"Semuanya nggak benar, kan, Ma?" tanyanya pada mamanya. "Aku bukan istrinya, kan, Pa?" Kini ia beralih pada papanya.

"Benar," jawab Emil. "Apa yang dikatakan Justin memang benar. Kamu dan dia adalah suami istri sekarang, Han."

Sedikit tersentak saat mendengar penjelasan papanya. Ayolah, ini bukanlah kebenaran yang ia inginkan. Istri? Suami? Bahkan dua status itu belum berani ia pikirkan sedikitpun.

"Itu nggak mungkin." Hana masih tak terima.

"Papa sama Mama nggak punya pilihan lain, Sayang. Bisnis keluarga kita sedang terancam. Dia menginginkan kamu, apa salahnya jika kami kabulkan keinginannya."

Lagi lagi hati Hana dibuat retak saat itu juga mendengar penyataan papanya. Bahkan rasanya tak percaya jika yang bicara barusan adalah papanya.

"Tentu saja ini salah, Pa! Aku ini anak kalian dan dengan gampangnya malah menikahkanku dengan orang yang tak ku kenal. Kalian paham nggak, sih, bagaimana perasaannku?!"

"Kami terpaksa, Nak," balas Arini.

"Papa sama Mama tahu, dia itu sudah punya istri. Dan sekarang kalian membuatku jadi istri kedua!" Ia tersenyum dengan berat. "Ini gila!"

Hana berniat untuk menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas, tapi dihalangi oleh papanya.

"Pa, aku mau ke kamar," ujarnya.

"Sudah Papa bilang, kan, kalau kamu adalah istrinya Justin. Jadi, kamu akan tinggal bersama dia. Bukan di sini lagi, Hana!"

Hana diam, tangannya mengepal. Ada rasa sakit yang kini ia rasakan saat mendengar penjelasan papanya. Seolah mulai detik ini ia tak berhak lagi untuk menginjakkan kakinya di rumah.

"Papa sama Mama benar-benar tega padaku." Air matanya mulai berjatuhan dari kelopak matanya. Dari tadi benda bening itu ia tahan karena masih berharap kalau semua tak seburuk ini, tapi sepertinya sudah tak bisa lagi.

Arini menghampiri putrinya. 

"Hana, ini semua terpaksa kami lakukan, Sayang. Kamu nggak mau, kan, melihat Papa sama Mama menderita? Kami sudah tua. Harusnya di masa ini kami bahagia, bukan malah mendapatkan masalah. Setidaknya kamu bisa membuat kami bahagia dengan cara begini."

Hana mengumbar senyuman berat, menghapus dengan kasar kedua pipinya ... kemudian bersidekap dada di depan mama dan papanya. "Jadi, kalian berdua bahagia dengan keadaanku saat ini?"

Arini dan Emil tak berkomentar. Bingung juga mau berkata apa. Karena apapun alasan yang mereka berikan, Hana tetap tak akan terima. Apalagi untuk Hana dengan tipikal anak yang agak keras kepala.

"Papa harap kamu kembali ke rumah Justin, suamimu," suruh Emil.

Suami? Iya, suami yang tak diinginkan lebih tepatnya.

"Baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Setidaknya mama sama papa bahagia di atas penderitaanku. Itu sudah cukup! Nikmati kebahagiaan kalian!"

Dengan langkah berat, Hana meninggalkan rumah orang tuanya. Suasana sudah mulai gelap, tapi ia justru tak tahu harus pergi kemana. Menghubungi teman-temannya saja ia bingung, karena tak ada ponsel bahkan uang sekalipun tak ada.

Terbuang layaknya sampah di jalanan. Mungkin seperti itulah dirinya kini. Capek berjalan, ia berhenti dan duduk di pinggir jalan. Menutupi wajahnya sambil menangis tersedu.

"Aku tahu ini memang semua salahku, tapi kenapa hukumannya begitu berat? Aku nggak mau, aku nggak bisa jalaninnya," gumamnya sambil terus menangis.

"Papa sama Mama bahkan nggak mau menerimaku lagi. Aku sendirian sekarang, benar-benar sendirian."

"Ada aku, kan?"

Sontak, Hana mengarahkan pandangannya pada seseorang yang kini tengah berdiri dihadapannya. Mimik tak suka langsung ia tunjukkan saat mendapati siapa dia.

"Mau apalagi?!" tanya Hana saat mendapati Justin yang tiba-tiba muncul dihadapannya. Bahkan dalam pikiran pun ia tak ingin ada laki-laki ini, tapi justru yang muncul malah dia dan dia lagi.

Justin tersenyum dan duduk di samping Hana. "Han, sudah ku bilang, kan, kalau aku menyukaimu? Jadi, apapun akan ku lakukan untuk mendapatkanmu."

"Om, udah ... jangan bicara seperti itu lagi. Karena ulah Om, aku jadi begini."

"Kamu yakin karena ulahku?"

Hana diam.

"Semuanya kamu yang mengawalinya, Han ... bukan aku. Aku hanya melanjutkan apa yang kamu ciptakan," jelas Justin tak mau kalah, karena ia mulai memahami seperti apa watak Hana.

Lagi, Hana hanya diam karena tak bisa memberikan komentar. Setidaknya apa yang dikatakan Justin memang benar adanya. Tapi, tidak dengan begini. Tidak dengan mengorbankan kehidupannya.

Lama Hana diam, dengan pandangannya yang hanya lurus memandangi ke jalanan yang ramai kendaraan lalu lalang. Sementara Justin seolah tak ingin mengeluarkan kata-kata lagi.

Tiba-tiba Hana beranjak dari posisi duduknya dan berlalu begitu saja meninggalkan Justin.

"Hana, kamu mau kemana lagi?" tanya Justin, tapi pertanyaannya tak mendapat jawaban apa-apa.

Dengan cepat ia beranjak dari posisi duduknya dan mengikuti langkah Hana yang sudah berlalu pergi. Tangan gadis itu segera ia sambar.

"Lepasin aku, Om!" Bentak Hana langsung menghentakkan pegangan Justin di tangannya dengan kuat.

Kabar buruknya justru Hana tak sengaja mendorong tubuh Justin hingga cowok itu terdorong ke jalanan. Darah mengalir dari telapak tangannya yang tergores aspal. Lumayan parah, hingga ringisan itu terdengar jelas oleh Hana.

Mata Hana membulat. "Om, awas!!!!" pekiknya saat mendapati mobil yang sedang mengarah pada Justin yang posisinya masih berada di jalanan. Entah dapat kekuatan dari mana, dengan cepat ia menarik tangan cowok itu agar bisa terhindar dari mobil yang siap menghantam.

Keduanya terhempas ke pinggir jalan. Lumayan kuat, hingga Justin merasa kali ini kepalanya dibagian belakang benar-benar terasa sakit karena membentur pembatas jalan. Tapi rasa sakit itu tiba-tiba terabaikan saat mendengar isakan tangis.

"Hana," paniknya saat mendapati gadis yang kini sedang menangis memeluknya. "Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Ada yang sakit?"

Jangankan menjawab pertanyaannya, tapi justru tangisan itu yang semakin kencang. Tentu saja ia semakin cemas akan keadaan gadis itu. Dengan cepat ia berusaha bangun, membuat pelukan Hana di badannya terlepas.

"Mana yang sakit? Bilang padaku, Han," panik Justin sambil memeriksa bagian tangan dan kaki Hana yang barangkali aja ada luka atau tak sengaja terbentur.

"Aku nggak kenapa-kenapa, Om! Udah, jangan mencemaskanku!" kesalnya masih menangis.

Padahal ia tak ingin menangis, tapi heran saja kenapa air matanya malah keluar deras. Memalukan sekali rasanya menunjukkan wajah cengengnya di depan Justin.

"Lalu, apa yang kamu tangisi?"

"Ya kamu, Om!" berengutnya dengan nada jutek. Bahkan ia memukul dada bidang Justin karena kesal.

"Aku?" Justin menunjuk dirinya sendiri.

Lagi, Hana malah mengulang tangisnya. "Maaf, aku nggak sengaja mendorongmu."

Dahi Justin berkerut, mendengar perkataan Hana.

"Terlambat sedikit saja barusan, pasti kamu bakalan ketabrak sama mobil. Kalau itu terjadi, semuanya salahku lagi," jelasnya terisak. "Kemarin salahku, hingga semua harus ku bayar dengan cara menyakitkan. Kalau sampai kamu tertabrak, nyawaku mungkin yang akan kamu ambil sebagai gantinya," lanjutnya masih menangis.

Justin malah terkekeh menanggapi pernyataan Hana. "Lalu?"

Hana lagi-lagi memukul dada Justin karena kesal. Ia dalam keadaan cemas, sedangkan cowok ini malah meledeknya. Apa dia semenyebalkan itu.

"Aku sedang cemas, jangan meledekku seperti itu."

"Aku bukan sedang meledekmu, tapi aku senang saat kamu memikirkan aku. Setidaknya saat aku tak baik-baik saja, ada rasa kasihan darimu padaku."

Hana beranjak dari posisinya, ia hapus bekas air mata yang masih membasahi kedua pipinya. Kesal, air matanya malah dibalas ledekan.

Justin merasa saat ini kepalanya begitu sakait, seperti sedang dipukul oleh benda keras. Rasanya benar-benar bikin pusing, tapi mungkin masih bisa ia tahan. Karena Hana sedang tidak baik-baik saja.

"Benar, tak ada yang luka, kan?" tanya Justin pada Hana yang masih memasang wajah kesal padanya. "Jawab pertanyaanku, Han," tambahnya.

"Iya, aku baik-baik aja. Jangan mencemaskanku."

Tiba-tiba Justin malah memegang erat lengan Hana dengan satu tangannya yang memegangi kepalanya.

"Kenapa?" tanya Hana melihat reaksi Justin.

Ia kembali tersenyum. "Nggak kenapa-kenapa," jawabnya.

Hana tahu betul kalau kali ini Justin berbohong. Nggak kenapa-kenapa, katanya? Lihatlah, bahkan untuk berdiri saja dia berpegangan di lengannya. Ia juga tak buta, yang dengan jelas bisa melihat raut tak baik-baik saja di wajah itu.

"Ikut pulang denganku, ya?" pinta Justin pada Hana.

Hana tak langsung menjawab. Jujur saja, ia kesal dan marah pada cowok ini, tapi rasanya kok jadi tak tega untuk menolak. Apalagi dengan kondisi dia yang seperti ini. Berasa kejam sekali ia jika malah meninggalkan Justin di jalanan.

"Hanya karena kondisimu tak baik," ujarnya. "Mana kunci mobil," pintanya.

Justin menyodorkan kunci mobil ke tangan Hana, dengan satu tangannya yang masih bergelayut di lengan gadis itu.

"Rasanya aku ingin pingsan saja," gumamnya semakin mengeratkan pegangan di lengan Hana.

"Katamu barusan nggak kenapa-kenapa," komentar Hana.

Baru juga bicara, tiba-tiba tubuh Justin langsung ambruk begitu saja. Tentu, itu membuat Hana panik dan cemas.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
NURAFNI Maku
seru banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status