Share

BAB : 6

Hana terus berontak saat empat orang wanita sedang menyerangnya. Bagaimana tidak, mereka dengan seenaknya menanggalkan pakaiannya dan memaksanya untuk mandi. Apa-apaan banget, kan. Dikira ia anak kecil yang harus dibantuin membuka pakaian.

"Apa harus kami bantu mandinya, Nona?"

"Nggak usah!" bentaknya.

"Baiklah, kalau begitu kami akan menunggu di sini untuk membantu mengenakan pakaian Anda," jelas salah satu dari mereka.

Hana memasang wajah kesal. "Keluar sekarang!" bentaknya meminta keempat wanita itu untuk pergi.

"Maaf, Nona ... Tuan meminta kami untuk menyiapkan Anda."

Menyiapkan katanya? Dikira dirinya sejenis makanan cepat saji yang harus disiapkan.

"Keluar sekarang!" Bentakan itu kembali ia ucapkan. Dan kali ini mereka setuju dan melangkah keluar dari kamar itu.

Hana menutup pintu kamar dengan kasar dan menghentak-hentakkan kakinya sambil berteriak-teriak kesetanan. Jujur saja, ini sepertinya ia sudah mulai gila. Apa-apaan laki-laki mesum itu ... membawanya dengan paksa dan sekarang memperlakukannya seperti boneka.

"Gue nggak mau di sini!" pekiknya.

Satu jam ... dua jam ... bahkan hingga sore hari, ia tak beranjak dari posisinya. Duduk di lantai, bersandar pada dinding. Sesekali mengomel sendiri atas sikap orang tuanya hingga berujung umpatannya pada Justin.

Pintu dibuka dari arah luar, membuat Hana yang melamun langsung tersentak dan mengarahkan pandangan pada seseorang yang masuk. Beranjak dari dari posisinya dan berdiri tegak.

Seorang wanita dengan dress selutut dan hels yang dikenakannya. Siapa lagi kalau bukan Alice. Otaknya seakan mau meledak saat harus berhadapan dengan tante-tante itu lagi.

"Kenapa Tante ada di sini?" tanya Hana.

Alice tersenyum licik. Kesal rasanya saat gadis itu terus menggunakan panggilan itu padanya.

"Kenapa? Kamu heran aku ada di sini?"

"Biasa aja dan nggak penting juga bagiku," balas Hana memutar bola matanya seakan tak perduli. "Toh, aku hanya sekadar bertanya. Dijawab ya oke, nggak dijawab juga nggak masalah."

Alice bersidekap dada dihadapan Hana. "Asal kamu tahu saja ... Justin itu suamiku," ungkapnya menegaskan.

"Hah?"

Jujur saja, untuk pengakuan Alice ini ia memang kaget. Suami katanya? Apa ia tak salah dengar?

"Tante yakin?" tanya Hana tak percaya.

"Apa maksudmu bertanya seperti itu?!"

"Kalian tak seperti sepasang suami istri. Mungkin Tante, iya ... tapi dia tak seperti menganggapmu sebagai seorang istri. Aku bisa melihat itu dari sikapnya padamu semalam," jelas Hana sambil tersenyum di sudut bibirnya seolah meledek.

"Iya dan itu semua karena kamu!"

"Kok aku?" tunjuk Hana pada dirinya sendiri.

"Kamu datang dan merusak semuanya. Sikapnya berubah padaku gara-gara kamu!"

Hana berdiri dihadapan Alice dengan wajah kesal karena terus dianggap sebagai biang masalah oleh wanita ini.  "Tante, aku baru semalam menatap mukanya dan sekarang malah menganggap aku adalah penyebabnya? Jangan nuduh yang enggak-enggak, ya, Tante!"

Dari semalam wanita ini selalu memojokkan dirinya dan sekarang hubungan dia tak baik dengan Justin juga menuduh ia sebagai penyebabnya? Keterlaluan! Tapi jujur, ia masih belum mengerti kenapa juga orang seperti Justin menjadikan makhluk sejenis Alice sebagai istri? Mata om-om itu sepertinya sedang mengalami katarak atau justru hatinya yang rabun?

"Pasti kamu berada di sini karena sudah berhasil menggoda Justin! Perempuan macam apa kamu ini? Masih anak MABA, kan? Apa sampai segitunya kamu mencari uang hingga menggoda suami orang?! Tak terdidik sama sekali."

Tangan Hana mengepal mendengar perkataan buruk yang keluar dari mulut Alice. Bahkan ingin rasanya ia menampar wajah licik itu.

"Jangan mengatakan hal tidak-tidak tentangku! Tak terdidik? Harusnya itu untuk Tante sendiri. Ucapan yang yang keluar dari mulut Tante, tak menggambarkan adanya didikan dan sekarang malah mengajariku tentang itu!"

Alice langsung saja menampar pipi Hana ... membuat wajah gadis itu langsung memerah. Sudut bibirnya juga mengeluarkan darah.

"Itu hukuman buat orang yang sudah merusak rumah tangga orang lain! Awas saja kalau selanjutnya kamu masih berulah, aku bakalan ngasih hal yang lebih menyakitkan lagi padamu!"

Derap langkah kaki tiba-tiba mengarah pada keduanya. Ya, lebih tepatnya berasal dari arah belakang Alice. Sedangkan Hana, dia masih memegangi pipinya yang terasa panas dan perih.

"Apa kalian berdua sudah selesai berdebat?"

Alice langsung berbalik badan dan apa yang ia dapatkan? Justin memandang tajam kearahnya seolah hendak mencakar wajahnya.

Ia tersenyum manis dan berniat hendak memeluk Justin. "Justin, kamu ..."

Belum tangannya menyentuh laki-laki itu, tapi sebuah tamparan sudah terlebih dahulu mengenai pipinya. Bahkan membuatnya tersungkur di lantai akibat tindakan Justin.

"Apa yang kamu lakukan?!" teriak Alice kesal.

"Pertanyaan yang sama untukmu. Apa yang kamu lakukan pada Hana?!"

"Aku melakukan apa yang memang seharusnya ku lakukan!"

"Jawaban yang sama ku berikan padamu! Kamu menamparnya, kan, barusan .. itupun yang ku lakukan padamu. Aku sudah memperingatkanmu untuk tak berbuat macam-macam pada dia dan apa yang terjadi? Apa ancamanku hanya kamu anggap lelucon!"

Alice bangkit dari posisinya dan berdiri dihadapan Justin. "Kenapa, sih, kamu terus membela dia? Aku ini istri kamu, Justin! Harusnya hargai aku, lihat aku sebagai pendampingmu. Bukan dia!"

"Pertama, kamu memang istriku. Tapi harus diingat, itu hanya status. Karena aku bukan milikmu dan kamu nggak akan pernah memilikiku. Kedua, aku menyukai Hana dan aku menginginkan dia untuk ku miliki," ungkapnya langsung.

Kali ini tak hanya Alice yang dibuat kaget dan seakan terkena serangan jantung, bahkan Hana yang tadinya hanya bersikap biasa saja seolah sedang berada dalam pertengkaran sepasang suami istri, jantungnya juga diajak kaget.

"Apa maksudnya?!" Hana kaget.

"Apa yang kamu katakan, Justin?" tanya Alice masih tak percaya dengan pangakuan suaminya.

"Sudahlah, ini tak penting juga bagimu," balas Justin abai.

"Om bilang apa barusan?" Giliran Hana yang bertanya. Kali aja telinganya salah dengar. Tapi, semoga saja memang salah dengar. Yakali om-om ini benar-benar menyukainya dan ingjn memilikinya. Apa kata seragam SMA yang baru beberapa waktu tak menghiasi hari harinya karena baru lulus.

Justin berjalan mendekati Hana dan memandangi gadis itu dari atas sampai bawah. Kemudian menyisipkan helaian rambut yang menutupi wajah gadis itu kearah samping.

"Ini sudah sore dan kamu masih terlihat seperti tadi pagi. Apa memang sengaja menungguku untuk membereskanmu, Han?"

Hana mendorong Justin agar menjauh darinya. "Jangan dekat-dekat padaku. Istrimu ganas, Om. Aku nggak mau diserang sama tante-tante karena dituduh merebut suaminya. Dan juga, jangan katakan hal barusan lagi. Karena aku enggak minat padamu."

"Terserah apa yang kamu katakan. Lagian, aku nggak sedang bertanya tentang perasaanmu. Karena apa yang aku katakan dan apa yang aku mau, akan terjadi. Setuju ataupun tanpa persetujuanmu, Hana," jelas Justin menegaskan.

Alice menarik lengan Justin. "Aku akan katakan ini pada orang tuamu!"

"Terserah!" Setelah mengatakan itu, ia kembali kearah Hana. Ia melonggarkan satu kancing kemejanya dibagian atas dan menyingsingkan lengannya hingga siku.

"Om mau ngapain?" tanya Hana mulai curiga dengan gerak gerik Justin.

"Sesuai permintaanmu. Menungguku membereskanmu, kan?"

"Justin!" Emosi Alice atas sikap Justin pada Hana.

Justin menarik napasnya berat saat bentakan Alice terus saja menghantui otaknya. Ia berbalik badan, kemudian menyambar lengan wanita itu dan menyeretnya keluar dari kamar dengan paksa.

"Jangan pernah merecoki apapun urusanku!" bentaknya kemudian langsung menutup pintu kamar dengan kuat hingga terhempas.

"Awas kamu Hana!!"

"Astaga! Ini menakutkan," gumam Hana saat mendengar teriakan Alice. Tapi kini yang lebih menakutkan lagi adalah menghadapi Justin yang sudah ada dihadapannya.

"Jadi, kita mulai sekarang?" tanya Justin.

"Jangan lakukan apapun juga padaku!!!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status