Hana terus berontak saat empat orang wanita sedang menyerangnya. Bagaimana tidak, mereka dengan seenaknya menanggalkan pakaiannya dan memaksanya untuk mandi. Apa-apaan banget, kan. Dikira ia anak kecil yang harus dibantuin membuka pakaian.
"Apa harus kami bantu mandinya, Nona?"
"Nggak usah!" bentaknya.
"Baiklah, kalau begitu kami akan menunggu di sini untuk membantu mengenakan pakaian Anda," jelas salah satu dari mereka.
Hana memasang wajah kesal. "Keluar sekarang!" bentaknya meminta keempat wanita itu untuk pergi.
"Maaf, Nona ... Tuan meminta kami untuk menyiapkan Anda."
Menyiapkan katanya? Dikira dirinya sejenis makanan cepat saji yang harus disiapkan.
"Keluar sekarang!" Bentakan itu kembali ia ucapkan. Dan kali ini mereka setuju dan melangkah keluar dari kamar itu.
Hana menutup pintu kamar dengan kasar dan menghentak-hentakkan kakinya sambil berteriak-teriak kesetanan. Jujur saja, ini sepertinya ia sudah mulai gila. Apa-apaan laki-laki mesum itu ... membawanya dengan paksa dan sekarang memperlakukannya seperti boneka.
"Gue nggak mau di sini!" pekiknya.
Satu jam ... dua jam ... bahkan hingga sore hari, ia tak beranjak dari posisinya. Duduk di lantai, bersandar pada dinding. Sesekali mengomel sendiri atas sikap orang tuanya hingga berujung umpatannya pada Justin.
Pintu dibuka dari arah luar, membuat Hana yang melamun langsung tersentak dan mengarahkan pandangan pada seseorang yang masuk. Beranjak dari dari posisinya dan berdiri tegak.
Seorang wanita dengan dress selutut dan hels yang dikenakannya. Siapa lagi kalau bukan Alice. Otaknya seakan mau meledak saat harus berhadapan dengan tante-tante itu lagi.
"Kenapa Tante ada di sini?" tanya Hana.
Alice tersenyum licik. Kesal rasanya saat gadis itu terus menggunakan panggilan itu padanya.
"Kenapa? Kamu heran aku ada di sini?"
"Biasa aja dan nggak penting juga bagiku," balas Hana memutar bola matanya seakan tak perduli. "Toh, aku hanya sekadar bertanya. Dijawab ya oke, nggak dijawab juga nggak masalah."
Alice bersidekap dada dihadapan Hana. "Asal kamu tahu saja ... Justin itu suamiku," ungkapnya menegaskan.
"Hah?"
Jujur saja, untuk pengakuan Alice ini ia memang kaget. Suami katanya? Apa ia tak salah dengar?
"Tante yakin?" tanya Hana tak percaya.
"Apa maksudmu bertanya seperti itu?!"
"Kalian tak seperti sepasang suami istri. Mungkin Tante, iya ... tapi dia tak seperti menganggapmu sebagai seorang istri. Aku bisa melihat itu dari sikapnya padamu semalam," jelas Hana sambil tersenyum di sudut bibirnya seolah meledek.
"Iya dan itu semua karena kamu!"
"Kok aku?" tunjuk Hana pada dirinya sendiri.
"Kamu datang dan merusak semuanya. Sikapnya berubah padaku gara-gara kamu!"
Hana berdiri dihadapan Alice dengan wajah kesal karena terus dianggap sebagai biang masalah oleh wanita ini. "Tante, aku baru semalam menatap mukanya dan sekarang malah menganggap aku adalah penyebabnya? Jangan nuduh yang enggak-enggak, ya, Tante!"
Dari semalam wanita ini selalu memojokkan dirinya dan sekarang hubungan dia tak baik dengan Justin juga menuduh ia sebagai penyebabnya? Keterlaluan! Tapi jujur, ia masih belum mengerti kenapa juga orang seperti Justin menjadikan makhluk sejenis Alice sebagai istri? Mata om-om itu sepertinya sedang mengalami katarak atau justru hatinya yang rabun?
"Pasti kamu berada di sini karena sudah berhasil menggoda Justin! Perempuan macam apa kamu ini? Masih anak MABA, kan? Apa sampai segitunya kamu mencari uang hingga menggoda suami orang?! Tak terdidik sama sekali."
Tangan Hana mengepal mendengar perkataan buruk yang keluar dari mulut Alice. Bahkan ingin rasanya ia menampar wajah licik itu.
"Jangan mengatakan hal tidak-tidak tentangku! Tak terdidik? Harusnya itu untuk Tante sendiri. Ucapan yang yang keluar dari mulut Tante, tak menggambarkan adanya didikan dan sekarang malah mengajariku tentang itu!"
Alice langsung saja menampar pipi Hana ... membuat wajah gadis itu langsung memerah. Sudut bibirnya juga mengeluarkan darah.
"Itu hukuman buat orang yang sudah merusak rumah tangga orang lain! Awas saja kalau selanjutnya kamu masih berulah, aku bakalan ngasih hal yang lebih menyakitkan lagi padamu!"
Derap langkah kaki tiba-tiba mengarah pada keduanya. Ya, lebih tepatnya berasal dari arah belakang Alice. Sedangkan Hana, dia masih memegangi pipinya yang terasa panas dan perih.
"Apa kalian berdua sudah selesai berdebat?"
Alice langsung berbalik badan dan apa yang ia dapatkan? Justin memandang tajam kearahnya seolah hendak mencakar wajahnya.
Ia tersenyum manis dan berniat hendak memeluk Justin. "Justin, kamu ..."
Belum tangannya menyentuh laki-laki itu, tapi sebuah tamparan sudah terlebih dahulu mengenai pipinya. Bahkan membuatnya tersungkur di lantai akibat tindakan Justin.
"Apa yang kamu lakukan?!" teriak Alice kesal.
"Pertanyaan yang sama untukmu. Apa yang kamu lakukan pada Hana?!"
"Aku melakukan apa yang memang seharusnya ku lakukan!"
"Jawaban yang sama ku berikan padamu! Kamu menamparnya, kan, barusan .. itupun yang ku lakukan padamu. Aku sudah memperingatkanmu untuk tak berbuat macam-macam pada dia dan apa yang terjadi? Apa ancamanku hanya kamu anggap lelucon!"
Alice bangkit dari posisinya dan berdiri dihadapan Justin. "Kenapa, sih, kamu terus membela dia? Aku ini istri kamu, Justin! Harusnya hargai aku, lihat aku sebagai pendampingmu. Bukan dia!"
"Pertama, kamu memang istriku. Tapi harus diingat, itu hanya status. Karena aku bukan milikmu dan kamu nggak akan pernah memilikiku. Kedua, aku menyukai Hana dan aku menginginkan dia untuk ku miliki," ungkapnya langsung.
Kali ini tak hanya Alice yang dibuat kaget dan seakan terkena serangan jantung, bahkan Hana yang tadinya hanya bersikap biasa saja seolah sedang berada dalam pertengkaran sepasang suami istri, jantungnya juga diajak kaget.
"Apa maksudnya?!" Hana kaget.
"Apa yang kamu katakan, Justin?" tanya Alice masih tak percaya dengan pangakuan suaminya.
"Sudahlah, ini tak penting juga bagimu," balas Justin abai.
"Om bilang apa barusan?" Giliran Hana yang bertanya. Kali aja telinganya salah dengar. Tapi, semoga saja memang salah dengar. Yakali om-om ini benar-benar menyukainya dan ingjn memilikinya. Apa kata seragam SMA yang baru beberapa waktu tak menghiasi hari harinya karena baru lulus.
Justin berjalan mendekati Hana dan memandangi gadis itu dari atas sampai bawah. Kemudian menyisipkan helaian rambut yang menutupi wajah gadis itu kearah samping.
"Ini sudah sore dan kamu masih terlihat seperti tadi pagi. Apa memang sengaja menungguku untuk membereskanmu, Han?"
Hana mendorong Justin agar menjauh darinya. "Jangan dekat-dekat padaku. Istrimu ganas, Om. Aku nggak mau diserang sama tante-tante karena dituduh merebut suaminya. Dan juga, jangan katakan hal barusan lagi. Karena aku enggak minat padamu."
"Terserah apa yang kamu katakan. Lagian, aku nggak sedang bertanya tentang perasaanmu. Karena apa yang aku katakan dan apa yang aku mau, akan terjadi. Setuju ataupun tanpa persetujuanmu, Hana," jelas Justin menegaskan.
Alice menarik lengan Justin. "Aku akan katakan ini pada orang tuamu!"
"Terserah!" Setelah mengatakan itu, ia kembali kearah Hana. Ia melonggarkan satu kancing kemejanya dibagian atas dan menyingsingkan lengannya hingga siku.
"Om mau ngapain?" tanya Hana mulai curiga dengan gerak gerik Justin.
"Sesuai permintaanmu. Menungguku membereskanmu, kan?"
"Justin!" Emosi Alice atas sikap Justin pada Hana.
Justin menarik napasnya berat saat bentakan Alice terus saja menghantui otaknya. Ia berbalik badan, kemudian menyambar lengan wanita itu dan menyeretnya keluar dari kamar dengan paksa.
"Jangan pernah merecoki apapun urusanku!" bentaknya kemudian langsung menutup pintu kamar dengan kuat hingga terhempas.
"Awas kamu Hana!!"
"Astaga! Ini menakutkan," gumam Hana saat mendengar teriakan Alice. Tapi kini yang lebih menakutkan lagi adalah menghadapi Justin yang sudah ada dihadapannya.
"Jadi, kita mulai sekarang?" tanya Justin.
"Jangan lakukan apapun juga padaku!!!!"
Semalam akhirnya yang menjaga Riga adalah Tian dan Willy bersama Justin. Sedangkan Hana, Rhea dan Vio pulang ke rumah. Itupun penuh drama malam tengah malam, karena Vio tak ingin pulang jika Riga tak pulang bersamanya. Akhirnya dengan bujukan kakaknya itu semua bisa kelar. Sudahlah, kalau Vio mulai merengek dan tak terima akan sesuatu, bersiap saja untuk mendengar dia menangis dan mewek mewek. Dan pagi ini, tepat saat sarapan bersama Hana, gadis kecil itu kembali berulah. Dia nggak mau sarapan dan sekolah, jika tak bersama Riga. Membuat Hana dibuat pusing di pagi hari. “Riga nggak pernah suka dengan apa yang kamu lakukan ini, Sayang.” “Aku mau dia di sini denganku. Aku janji, Ma ... nggak akan berbuat yang bikin dia kesal. Aku janji nggak akan merengek dan berteriak teriak lagi di dalam rumah. Tapi, bawa kakak pulang.” Lihatlah, mukanya sudah memerah, menahan air mata yang sudah mengenang di kelopak matanya. Tapi sepertinya dia sedang menahan rasa itu. “Apa sekarang kamu mau ikut
Tian mendorong kursi roda, dengan Riga yang duduk di sana. Sementara Willy memgangi tabung cairan infus, agar berada tetap di posisi lebih tinggi. TadinyaTadinya Riga meminta dokter agar infusnya dilepaskan, tapi dokter ternyata tak menginjinkan. Dikarenakan kondisi tubuhnya yang memang belum stabil.Sampai di depan sebuah ruang perawatan, Tian menghentikan langkahnya. Sedikit berjongkok dihadapan bocah 9 tahun itu.“Ga, kamu ingat, kan, apa yang dokter bilang.”Mengangguk pertanda ia paham apa yang di maksud oleh Tian.“Aku janji nggak akan bikin Papa khawatir, aku juga nggak ingin Papa sakit hanya karena memikirkanku. Kau baik baik saja, dan akan selalu baik baik saja,” terangnya.Bahkan hanya mendengar putranya berkata seperti itu saja, mampu membuat hati Hana teriris. Dia sakit, bisa dikatakan sakit parah ... tapi lihatlah, sikap yang dia tunjukkan bahkan seolah tak sedang sakit. Hal yang membuatnya benar benar bangga memiliki Riga.Willy membuka pintu ruangan itu. Melangkah masu
Sudah hampir satu jam Semuanya pergi dan sekarang tentu saja Rhea merasa was was. Apa yang tengah terjadi, kenapa semuanya belum kembali satu orang pun? Jadi makin dibuat bingung karena Riga terus bertanya kenapa orang tua dia belum kembali.“Tante, kenapa Papa sama Mama belum kembali?”Rhea tersenyum manis pada Riga, kemudian mengelus wajah manis itu dengan lembut.“Sabar, ya, Sayang. Mungkin Mama sama Papa kamu lagi mendengarkan penjelasan dokter dulu. Atau, mungkin dokternya lagi ada pasien, jadinya mereka harus nunggu deh.”“Alasan yang nggak meyakinkan,” responnya dengan nada tak terima akan penjelasan Rhea yang berpatokan pada kata mungkin.Ayolah, dihadapkan pada posisi di mana dirinya hanya berdua dengan Riga, itu begitu sulit. Karena dia adalah tipe anak yang punya pikiran cerdas dan nggak akan gampang dibohongi.“Perasaanku nggak enak,” gumamnya perlahan.Di saat yang bersamaan, Tian datang. Seketika Riga langsung bangun dari posisi tidurnya dan berharap jika orang tuanya j
Seperti yang sudah direncanakan semalam, hari ini Riga akan melanjutkan pemeriksaan menyeluruh termasuk tes lab. Berharap jika apa yang diperkirakan Dokter semalam tak benar benar terjadi. Entah apa yang akan ia lakukan jika hal buruk itu terjadi pada putranya.Lagi lagi hanya bisa menunggu ketika putranya harus menjalani pemeriksaan dalam waktu yang lama. Bahkan berjam jam. Sungguh, ini rasanya menyakitkan hatinya sebagai seorang ibu.Dari kejauhan tampak dua orang berjalan cepat mengarah pada Hana dan Justin. Ya, Tian da Rhea.“Han, gimana Riga?” tanya Rhea langsung pada Hana.Bukannya menjawab pertanyaannya, Hana justru langsung memeluknya erat. Tentu saja itu membuat hatinya justru tak tenang. Ditambah lagi dengan dia memasang wajah sendu. Tak hanya Hana, raut muka Justin juga tampak tak baik baik saja. seperti baru saja mendengar sebuah kabar tak mengenakkan.“Ada masalah sama Riga?” tanya Tian ikut bertanya pada Justin. “Dia baik baik aja, kan?”Justin hanya mengangguk. Ia sanga
Hana dan Justin berada di depan ruang UGD, menunggu dokter keluar dari sana untuk memberikan hasil tentang keadaan dan kondisi Riga. Raut cemas tampak begitu jelas di wajah keduanya, terutama Hana yang sedari tadi terus saja menangis.Sedangkan Justin, jangan ditanya lagi seperti apa perasaannya saat ini. Bahkan saat mendapati kondisi Riga ketika sampai di rumah, nyaris membuat otaknya seperti sedang dihantam sebuah kenyataan yang menyakitkan. Bukan berniat untuk berprasangka buruk, tapi kejadian ini membuatnya benar benar tak bisa tenang.Justin membawa Hana ke pelukannya, berharap istrinya ini bisa tenang. Karena dengan melihat dia begini, jujur saja ia semakin cemas. Dan tak berharap jika kebiasaannya juga akan ikut kambuh. Itu tentu saja membuat istrinya seakan makin bingung.“Jangan nangis terus ... anak kita akan baik baik saja, Sayang,” bisik Justin menenangkan hati Hana.“Aku takut Riga kenapa kenapa, Je. Aku nggak mau dia sampai sakit,” balas Hana.“Aku tahu, tapi kalau kamu
Hana langsung tersentak ketika mendapatkan telepon seperti itu dari putranya. Darahnya seketika berdesir hebat, saat suara ringisan putranya masih terdengar di pendengarannya.“Ada apa?” tanya Justin kaget melihat raut khawatir di wajah Hana.“Kita pulang sekarang. Terjadi sesuatu sama Riga,” jawab Hana langsung beranjak dari posisi duduknya dan membawa Vio segera mengikutinya.Justin langsung mengikuti langkah Hana yang sudah lebih dulu berlalu keluar dari restoran.“Kak Riga kenapa, Ma?” tanya Vio saat berada dalam mobil, karena bingung dengan sikap kedua orang tuanya.Tak ada jawaban yang diberikan Hana pada pada putrinya. Ia fokus menelepon seseorang, hingga mengabaikan pertanyaan Vio.“Hallo, Mbak Reni ... cek Riga di kamar sekarang, ya,” pinta Hana dengan nada cemas.“Memangnya ada apa, Bu?”“Cepetan!” emosinya ketika perintahnya malah dibalas pertanyaan.“I-iya, Bu.”Hana bisa mendengar langkah cepat sang pengasuh anak anaknya itu melangkah cepat menuju lantai atas, karena terd