*Kutipan: “Kenali musuhmu dan kenali dirimu sendiri, maka dalam seratus pertempuran, kau tidak akan pernah kalah.” Dari buku ‘Seni Berperang’ karya Sun Tzu.
Penjara bawah tanah.Apa ini hanya tempat terbengkalai atau masih digunakan? Biasanya, penjara bawah tanah di tempat seperti ini terhubung ke suatu ruangan.Apakah mungkin kamar Kaiden?Anna maju beberapa langkah. Hawanya tidak mengenakkan. Sunyi dan dingin. Belum lagi dengan bau busuk yang menyengat hidungnya.Ia menyipitkan matanya, mencoba melihat lebih jauh ke dalam kegelapan. Namun, hanya jeruji besi yang samar-samar terlihat. Siapa yang tahu hewan apa yang menatap di tempat seperti ini?Haruskah ia memeriksa jerujinya?Anna memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh ketika suara langkah terdengar di belakangnya, disusul geraman kesal Kaiden.“Apa yang kau lakukan di sini?!”Anna berbalik cepat, matanya melebar. “A-ku—”“Keluar,” perintah Kaiden dengan suara dingin. Anna bisa merasakan amarah yang berkobar di sekeliling tubuh pria itu, membuat jantungnya mulai berdebar tidak nyaman.Anna menelan ludah dan bergegas menaiki undakan batu. Kaiden menyusul, lalu mengunci pintu itu.
“Apa dia sudah makan?”Anna melangkah mendekat dan menatap macan kumbang yang tengah memanjat pohon dengan cekatan. Cakar-cakarnya menancap di sana, meninggalkan bekas dalam yang jika itu adalah kulit manusia, maka sudah dipastikan akan robek.“Sudah, Nona. Saya memberikan daging mentah sesuai porsinya,” jawab Phoenix. Dia hendak membungkuk hormat saat Anna berhenti di depannya, tetapi Anna menahannya.“Sudah, duduk di sini saja. Kau hanya perlu melakukan penghormatan di depan Kaiden. Selain itu, santai saja, ya?” pinta Anna, menarik tangan Phoenix mendekat agar duduk satu bangku dengannya.Phoenix mengangguk dan dengan canggung duduk di sampingnya. Macan kumbang itu sudah berada di puncak salah satu dahan, membaringkan tubuhnya dengan santai. Mata kuningnya berpendar seperti cahaya matahari yang menaungi mereka.Setelah makan siang, Anna memutuskan untuk mengunjungi macan kumbang itu. “Aku berpikir untuk memberinya nama,” ucapnya.Phoenix menatapnya. “Nama apa, Nona?”“Panther. Bagai
Perpustakaan utama di pusat kota terbilang jauh lebih lengkap dibanding perpustakaan di akademi. Rak-rak buku menjulang sampai ke langit-langit dengan berbagai koleksi, baik fiksi maupun non-fiksi.Anna berjalan-jalan memutari rak demi rak, berharap bisa menemukan buku yang membahas para pemberontak, terutama Panthera Kroy. Tetapi seperti sebelumnya, bahkan perpustakaan ini pun tidak menyediakan hal itu.Mungkin hanya Kaiden atau Pemimpin Shelton yang menyimpan data-data tentang mereka. Lalu... ayahnya. Seandainya Anna dibiarkan masuk ke gudang belakang, maka ia akan mengambil semua berkas itu.Pada akhirnya, Anna hanya mengambil 5 buku fiksi sebagai hiburan dan 3 buku tentang ilmu militer.Ketika ia melangkah ke penjaga perpustakaan, mata para pengunjung kembali tertuju padanya.Anna berusaha mengabaikan mereka sejak tadi. Mereka menatapnya dengan aneh, seakan ia adalah makhluk yang datang dari antah-berantah. Mereka tidak mengatakan apa-apa, tetapi mata mereka terus mengekorinya.“A
“Seorang prajurit kelas atas akan mengantar Anda ke perpustakaan utama, Nona.”Camila berkata setelah menata sarapan di atas meja. Anna mengangguk dan memperhatikan penampilannya sejenak. Ia kembali memakai gaun sutra yang ketat membentuk tubuh, juga rambut yang disanggul ke belakang. Camila menambahkan anting-anting panjang yang berayun setiap kali ia bergerak.Persis jenis anting yang sering Selena pakai, pikirnya.Seperti yang ia perhatikan, para wanita ibu kota selalu ingin terlihat sempurna—anggun, berkelas, dan glamor.Menurut Anna sendiri, penampilan itu hanya sebuah paksaan karena tekanan sosial yang tinggi. Kenyataannya, semua orang saling menjatuhkan agar terlihat lebih baik dari yang lain. Setidaknya itulah yang Anna perhatikan selama berada di akademi setelah wilayah Mosirette dibagi dua.Tangan Anna mengelus gaunnya sejenak, kemudian ia berbalik ke arah Camila. Ditatapnya sarapan di atas meja dan ia mengernyit.“Kenapa menunya berubah?” tanya Anna, mendekat dan memperhati
“Jangan berani-berani.” Anna mendelik tajam dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kaiden mendengus. Sudut bibirnya berkedut menahan tawa dan ekspresinya terlihat geli. “Kau bertingkah seolah itu adalah ciuman pertamamu.” Anna mengalihkan pandangan dengan raut masam dan tidak mengatakan apa-apa. Ya, itu memang ciuman pertamanya. Tetapi Kaiden mungkin mengira ia mencium semua pria yang ditemuinya. Kaiden menatap terkejut. “Dan kukira ada banyak pria yang tertarik padamu selama di akademi?” “Bukan berarti aku akan membuka bajuku untuk mereka semua. Bahkan aku tidak pernah bergandengan tangan dengan mereka,” ucap Anna dengan suara ketus. Entah kenapa ia merasa malu, padahal dulu ia tidak pernah peduli dengan hal itu. Teman-temannya setidaknya memiliki satu kekasih sebelum lulus di akademi. Anna terlalu menutup diri—itu kata mereka. Kaiden terdiam dan hanya menatap Anna untuk waktu yang lama, seolah-olah pria itu merasa bersalah telah mencuri ciuman pertamanya. Setelah naik pangk
Anna tidak bisa tidur.Memikirkan pernikahannya yang dipercepat, kunjungan ke rumah sakit, dan eksekusi terbuka itu terus membayangi pikirannya, membuat kepalanya terasa pusing.Sudah berjam-jam berlalu, mengganti posisi, dan mencoba tidur, tetapi mimpi tak kunjung menariknya ke alam bawah sadarnya. Matanya kembali terbuka dan ia berdecak frustrasi.Mungkin ia butuh angin segar.Bulan purnama bersinar terang di atas langit. Cahayanya menelusup masuk ke dalam kamarnya yang temaram. Ia beringsut bangun dan memutuskan untuk pergi ke halaman belakang.Ia mungkin bisa melihat macan kumbang itu tidur di kandang barunya. Phoenix katanya akan datang setiap hari untuk mengurus hewan yang satu keluarga dengan singa gurun itu.Macan itu jauh lebih jinak dari apa yang Anna bayangkan. Nyaris seperti kuda yang selama ini familier dengannya. Sepertinya tidak butuh waktu lama sampai Anna terbiasa dengan... hadiahnya.Menyebutnya sebagai hadiah terdengar agak kejam. Ia berencana untuk memberikan sebua