LOGINMobil Kaiden melaju dengan kecepatan sedang.
Anna duduk di jok belakang bersama Kaiden. Keheningan menguasai keduanya. Pandangan Anna terus tertuju pada pemandangan di luar jendela, memperhatikan distrik-distrik yang ia lalui, sampai kemudian matanya melebar melihat perbatasan yang mengarah ke ibu kota. Perbatasan dibatasi oleh dinding beton dan pagar besi yang menjulang. Tempat itu dijaga ketat oleh pengawal yang akan selalu melakukan pemeriksaan. Mereka membawa senapan panjang dan tak segan menembak jika ada sesuatu yang mencurigakan. Hanya warga tertentu yang bisa bebas keluar masuk dari perbatasan, seperti orang-orang yang bekerja di pemerintahan. Kaiden sendiri memiliki mobil hitam khusus dengan inisial namanya di bagian depan, sehingga para pengawal tidak perlu mengecek identitasnya lagi. Kaiden selalu menggunakannya saat keluar dari ibu kota. Anna mencoba untuk terlihat biasa saja ketika mobil melewati perbatasan, tetapi tetap saja ia tidak bisa menahan rasa takjubnya. Meskipun, kebencian akan mewahnya tempat ini masih bersarang di hatinya. Ibu kota dipenuhi warna-warna yang cerah dan berkilau, gedung-gedung tinggi nan mewah yang menjulang, dan orang-orang yang berlalu lalang dengan wajah angkuh. Pakaian mahal dan perhiasan yang mereka kenakan nyaris membuat mata Anna sakit. Sungguh berbanding terbalik dengan apa yang ada di luar perbatasan. Kebanyakan adalah daerah kumuh dengan warna abu-abu, cokelat, dan hitam yang mendominasi. Ini bukan pertama kalinya Anna ke ibu kota, tetapi ia tetap merasa takjub dan benci di saat yang sama. Ia hanya bisa ke sini setahun sekali untuk menjenguk ayahnya. Terhitung, ini yang ketiga kalinya. “Kita akan segera sampai,” ucap Kaiden dengan suara pelan. Anna menoleh, tetapi pria itu sudah memalingkan wajah ke arah lain. Pandangan Anna kembali terarah keluar jendela, dalam hati ingin tahu apakah Kaiden mengizinkannya untuk menjenguk ayahnya. Anna meliriknya, tetapi ia merasa ragu untuk bertanya. Mungkin nanti, pikirnya. Sebuah bendera hitam yang berkibar kemudian menarik perhatiannya. Itu adalah bendera negara Mosirette, dengan lambang kepala singa putih di bagian tengah. Singa adalah simbol keberanian—favorit Pemimpin Shelton. Anna kembali melirik Kaiden, menduga kalau mansion megah tempat bendera itu berkibar adalah milik Kaiden. Dan benar saja, mobil berbelok ke dalam halaman mansion yang sangat luas. Anna menurunkan kaca mobil dan memperhatikan bunga bakung putih yang memenuhi halaman depan. Aromanya semerbak dan memenuhi penciuman. Tanpa sadar Anna terus memperhatikan pemandangan halaman depan, sampai kemudian suara Kaiden terdengar. “Ayo keluar,” panggil Kaiden, membukakan pintu. Anna cukup tersentak saat pria itu sudah berada di hadapannya. Anna segera keluar, mungkin terlalu terburu-buru sampai kepalanya hampir terantuk pintu mobil. Untungnya, Kaiden dengan cepat menahan kepalanya dan membantunya berdiri. Anna lagi-lagi tersentak saat Kaiden menyentuh pinggangnya. “Terima kasih,” ucap Anna cepat, lalu beringsut menjauh. Ia membenci Kaiden, tetapi ia masih punya sopan santun setelah ditolong. Anna menyalahkan gaun dan heels runcing yang ia pakai sekarang. “Sama-sama,” balas Kaiden, seringai tipis terbentuk di bibirnya. Anna yakin pria itu merasa besar kepala setelah mendengar ucapan terima kasihnya. “Nah sekarang, tunjukkan senyumanmu, calon istriku. Jangan buat ayahmu malu," bisik Kaiden ketika mengulurkan tangannya. Anna mau tak mau menerimanya, kemudian memaksa sudut bibirnya untuk membentuk senyum tipis. Ini semua semata-mata demi ayahnya, bukan Kaiden. Kaiden menariknya menuju pintu utama, di mana para pengawal dan pelayan berjejer untuk memberi sambutan. Mereka membungkuk hormat ketika Kaiden dan Anna melangkah memasuki mansion. Bangunan berlantai tiga itu dipenuhi ukiran abstrak berwarna emas, dengan hiasan batu mulia di permukaan dindingnya. Kaiden langsung membawa Anna menuju aula utama. Kandelar emas raksasa yang menggantung menjadi hal pertama yang menarik perhatian Anna. Ini lebih terlihat seperti istana, pikir Anna. Ini hanya mansion Kaiden. Kediaman milik Pemimpin Shelton sudah pasti jauh lebih mewah. Bahkan, rumah sakit tempat ayahnya dirawat memiliki desain yang tak kalah luar biasa, dengan segala peralatan mahal dan canggih. Bisakah ia mengunjungi ayahnya besok? Anna tidak tahu jalurnya. Seorang pengawal pemerintahan selalu mengantarnya. Mereka melewati jalanan kecil berkelok, bukan jalan utama seperti yang ia lalui bersama Kaiden. Anna hanya bisa memperhatikan pemandangan ibu kota sekilas, sebelum ia dibawa ke jalan yang dipenuhi pepohonan selama berjam-jam. Ia pikir jalan utama akan membuatnya tiba lebih cepat di rumah sakit. Anna hendak bertanya ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Matanya menangkap sepatu heels putih yang elegan, lalu pandangannya naik pada gaun silver dengan potongan yang seksi. Terakhir, mata Anna bersirobok dengan iris cokelat yang terlihat licik. Selena Benheiton—istri pertama Kaiden. “Ah, kau sudah datang, Kaiden.” Selena buru-buru mengamit lengan suaminya dan menariknya menjauh dari Anna. Dia memperhatikan penampilan Anna dari atas sampai ke bawah. Tatapan menghina itu muncul, hanya sekilas dan Selena dengan cepat menampilkan senyum manisnya. “Annalise, ini Selena. Aku pikir kau sudah tahu dari berkas yang kukirim sebelumnya,” ucap Kaiden. Anna mengangguk dengan senyum palsu. Selena lantas mengulurkan tangannya dan Anna menjabatnya. “Kalian berdua mengobrol lah. Aku harus mengurus sesuatu dan akan kembali dalam beberapa menit,” imbuh Kaiden. Anna melotot dan ingin menahan pria itu, tetapi Kaiden sudah berlalu pergi menyusuri lorong yang mengarah ke ruangan lain. ‘Astaga. Bagaimana bisa dia meninggalkannya begitu saja bersama istrinya?’ Selena langsung menjaga jarak dan menampilkan wajah angkuhnya. Matanya bergerak memperhatikan penampilan Anna sekali lagi, kemudian ia mendecih. “Yah, kau terlihat seperti ekspektasiku.” Anna mengerutkan kening. “Maaf?” Selena tersenyum miring. “Gadis miskin kotor dari tempat kumuh. Bahkan gaun mahal itu tidak bisa membantumu. Statusmu masih terlihat rendah.” Anna tahu kalau statusnya memang sangat rendah di Mosirette, tetapi ia tidak menyangka istri Kaiden akan mengatakannya di pertemuan pertama keduanya. Ternyata benar. Selena tidak semanis apa yang majalah dan koran bicarakan. “Aku tidak mengerti kenapa Pemimpin Shelton harus memilih wanita rendahan sepertimu.” Selena kembali berbicara, melanjutkan olokannya. “Pertama-tama, kau harus tahu diri di mansion ini. Posisiku akan tetap sama dan kau hanya penghasil anak untuk Kaiden. Jadi, jangan coba-coba untuk bersikap seperti tuan rumah di sini.” Lalu, Selena berbalik pergi dengan sepatu hak tingginya yang menubruk keras lantai keramik. ‘Selena membencinya’, batin Anna. Kehadirannya di rumah ini membuat reputasi Selena tercoreng karena tidak bisa memiliki anak. Tetapi, bukan Anna yang menginginkannya. Pemimpin Shelton yang menetapkan segalanya. Anna memperhatikan kepergian Selena dan seutas pemikiran muncul di benaknya. Selena jelas tidak menginginkan pernikahan antara Anna dan Kaiden terjadi. Jadi... bisakah ia memanfaatkan hal itu? Mungkinkah kebencian Selena padanya bisa membuat pernikahannya dengan Kaiden batal? Anna tersenyum sumringah. Ya, itu terdengar luar biasa.Pestanya baru berakhir menjelang pukul delapan malam.Anna kembali ke kamarnya dengan kaki pegal luar biasa. Ia melepas heels-nya dengan asal dan duduk di tepi tempat tidur.“Astaga, kakiku bisa patah jika terus memakai heels itu,” keluhnya, memijat-mijat kakinya yang sakit. Otot-ototnya terasa tegang dan kram.Bagaimana mungkin mereka menyelenggarakan pesta dari pagi sampai malam? Di wilayah luar ibu kota, pesta pernikahan hanya berlangsung sampai tengah hari.Anna beralih membaringkan tubuhnya ke belakang dan mendesah lega. Gaunnya memang tidak berat, tetapi berdiri selama berjam-jam membuat punggungnya sakit bukan main. Kasur yang empuk ini sedikit melemaskan otot-ototnya.Mungkin ia bisa mandi air hangat, lalu tidur——tunggu dulu.Apakah ia dan Kaiden harus melakukan malam pertama itu? Apakah itu termasuk dalam perjanjian?Iris birunya terpaku menatap langit-langit kamar. Perasaannya tak karuan memikirkan ia harus melakukan itu bersama Kaiden.Anna belum siap. Dan mungkin tidak ak
Dominic terlihat sangat akrab bercengkerama dengan Lysa, bahkan mereka tertawa-tawa bersama. Sementara Vargaz hanya sesekali bicara saat Lysa mengajaknya, itu pun terlihat enggan.Apakah ini sebabnya Lysa mencoba akrab dengannya walaupun mereka tidak saling kenal? Sepertinya, Dominic telah bercerita sesuatu tentangnya.Anna meraih jus di atas meja dan menyesapnya. Di sampingnya, Kaiden mengambil segelas anggur putih. Baru beberapa detik, beberapa pria kelas atas mulai mengajak Kaiden mengobrol.Anna menyibukkan diri dengan minumannya, mencoba untuk tidak menarik perhatian para tamu wanita. Ia tahu mereka semua hanya ingin berbasa-basi agar terlihat di mata Kaiden.Beberapa kali Anna bertemu pandang dengan teman sekelasnya saat berada di akademi. Tetapi mereka tampak segan untuk menyapa dan hanya hanya menatapnya dari jauh.Lagi pula, Anna sama sekali tidak akrab dengan mereka lagi. Setelah lulus dari akademi, ia menyibukkan diri dengan bekerja demi bertahan hidup.Setelah berita perni
Anna pikir, hanya Nyonya Brighton yang akan memberi selamat khusus pada mereka. Rupanya, Selena dan Genevi juga terhitung di dalamnya.Selena mendekatinya dengan senyum manis penuh kepalsuan. Seluruh atensi dengan cepat berpindah pada mereka. Para tamu mulai saling berbisik-bisik.Tampaknya, mereka berharap ada sedikit drama yang terjadi.Selena berhenti di depannya dan tanpa diduga menarik tubuhnya ke dalam pelukan. “Selamat untuk pernikahanmu ya, Anna. Aku harap kita bertiga bisa bahagia bersama. Aku minta maaf soal sikapku waktu itu, tapi kuharap setelah ini, kita bisa menjadi ‘teman baik’.”Selena dengan sengaja menekankan kata ‘teman baik’. Pelukannya mengerat, terlalu erat, sampai Anna merasa bahwa Selena berusaha mencengkeramnya.“Tentu saja kalian akan menjadi teman baik,” timpal Nyonya Brighton dengan senyum sumringah.“Terima kasih, Selena,” balas Anna, ikut menunjukkan senyum manis palsunya.Kepura-puraan harus dibalas dengan kepura-puraan. Tentunya, Selena harus menunjukka
Jantung Anna berdebar layaknya genderang.Meskipun ia mencoba untuk tenang, menarik napas berulang kali, tetapi keringat dingin tetap menjalari tubuhnya. Ia merasa baru saja ditenggelamkan ke kolam air es.Dalam balutan gaun pengantin putih yang ia pilih sendiri, ia seolah melihat orang lain. Camila memberikan riasan glamor yang elegan dan natural, tak lupa menutupi bekas luka di lehernya. Matanya tampak lebih tegas dengan hiasan yang berkilauan di kelopaknya. Rambutnya disanggul ke belakang, penuh dengan hiasan mutiara kecil.Terakhir, Camila memasangkan kerudung pengantin di kepalanya.“Nona, Anda adalah pengantin yang sangat-sangat cantik. Saya tidak bisa berkata-kata,” ucap Camila dengan wajah penuh haru.Anna tidak bisa mengatakan apa-apa selain menarik sudut bibirnya untuk tersenyum.Perasaannya tidak karuan. Sepertinya ia akan pingsan.‘Hanya setahun,’ ucap Anna dalam hati, mengingat perjanjiannya dengan Kaiden.Pintu terbuka dan Letnan Vargaz muncul di sana. “Silakan, Nona,” u
“Kaiden...”Yang disebut namanya melangkah keluar dari balik pohon. Kaiden berjalan mendekat dengan santai, kedua tangannya berada di belakang punggung.Ketika sinar bulan menyirami wajahnya, Anna bisa melihat goresan melintang yang masih mengeluarkan darah di pipinya.Lukanya...Anna menggigit pipi dalamnya. Tembakannya rupanya berhasil menyerempet pipi Kaiden. Pria itu tidak bereaksi apa-apa, meskipun Anna tahu goresan tipis itu membawa rasa perih dan juga terbakar yang tajam di wajahnya.Kenapa dia tidak menghindar sepenuhnya? Dia bukan prajurit kelas bawah yang tidak bisa menghindari peluru yang datang secara jelas ke arahnya.“Tapi akurasimu masih kurang,” imbuh Kaiden, berhenti tepat di depan moncong peredam yang Anna pasang di pistolnya. Pandangan Kaiden kemudian terarah ke paha Anna. Tatapannya adalah campuran rasa geli dan juga takjub. “Siapa sangka kau akan menyembunyikan pistolmu di bawah rokmu?”Anna spontan mundur dan menurunkan pistolnya. “Kau mengikutiku?”Kaiden tersen
“Apa kau menyukai Dominic?” Anna menaikkan satu alisnya. Nada suara Kaiden terdengar sangat serius dan ekspresinya tertutup. “Aku menyukainya atau tidak, memangnya kenapa?” tanya Anna, menyilangkan tangannya di depan dada. “Kau sendiri bilang, orang sepertiku tidak akan pernah bisa mencintai seseorang. Jadi, apa kau berpikir aku akan berselingkuh di belakangmu?” Salah satu sudut bibir Kaiden tertarik membentuk senyum miring. Ia mengangkat gelas yang seharusnya diberikan pada Anna dan menenggak isinya sampai habis. “Tenang saja, aku tidak akan mencoreng reputasimu Tuan Jenderal yang terhormat,” ucap Anna, meraih botol alkohol dan kembali menuangkannya ke gelas. Kali ini, Kaiden menyodorkannya pada Anna. “Kau bicara seperti itu seolah kau peduli dengan reputasiku. Kupikir kau akan senang jika aku mendapat masalah, bukan begitu?” Anna mengedikkan bahunya. “Ya, aku ingin melihat kau menderita. Tapi, kau mungkin saja menggunakan ayahku sebagai pelampiasan.” “Kau memang hanya m







