LOGIN“Saya akan datang ke kantor, Pak. Maaf saya telat,” ucap Neina melalui sambungan telepon yang ia lakukan pada Felix.
Setelah mengatakan kalimat tersebut, ia pun menutup sambungan panggilan yang diterimanya. Setengah jam berlalu Neina pun tiba bersama ojek yang ia tumpangi.
“Yakin kalau dia masuk ke perusahaan ini tanpa main belakang?”
“Kalau gue sih ga yakin. Mana mungkin bisa langsung menjadi sekretaris Bos. Terlebih itu posisi yang paling sulit didapat oleh karyawan wanita di perusahaan ini.”
“ Lo benar. Kan kita tahu sendiri kalau selama ini pak Keandra sangat pemilih dalam menentukan orang-orang yang ada di sekitarnya.”
“Gue setuju. Bahkan rumor yang sangat kita tahu selama ini juga yang bekerja di sekeliling Pak Keandra itu karyawan laki-laki. Bukan karyawan perempuan.”
Kalimat-kalimat gunjingan dan fitnah menyambut kehadiran Neina saat tiba di kantor.
Neina baru tiba di kantor, bertepatan dengan jam istirahat. Sebab ia yang merasa lapar dengan banyaknya kejadian yang telah ia lewati pagi ini pun membuat Neina memutuskan untuk menuju kantin. Kebetulan juga, Eva, teman kerjanya mengajak makan bersama.
Langkah Neina menuju ke kantin siang ini kembali disambut dengan bisikan dan sindiran-sindiran sinis dari beberapa karyawan yang sedang beristirahat untuk makan siang. Hal itulah yang membuat Neina sangat malas pergi ke kantin.
Dia akan lebih memilih menghabiskan waktunya di ruang kerja dengan bekal sederhana yang ia bawa dari rumah. Kejadian yang terjadi sejak semalam, membuatnya tak sempat untuk sekedar membuat bekal. Hal itulah yang terpaksa membuatnya harus menginjakkan kakinya di kantin siang ini.
“Lagian apa sih yang dipertimbangkan Pak Bambang dari dia. Cantikan juga gue. Pengalaman juga ga punya kan dia.”
Kali ini kalimat gunjingan yang terdengar begitu terang-terangan. Baru 2 bulan bekerja, ia harus sekuat tenaga menahan fitnah tak berdasar.
“Atau jangan-jangan… dia wanita simpanan manager HRD yang tersebar itu.”
“Eh, bukan. Dia juga pasti ada main dengan Pak Keandra. Tahu sendiri jika istri Pak Keandra itu tak pernah ada di rumah.”
Neina semakin mempercepat langkah, mencari Eva yang mengajak makan bersama. Ia hanya menebalkan telinga, untuk tak mengambil hati atas segala tuduhan yang datang menyapanya.
Andai saja ia tak butuh pekerjaan dengan gaji yang lumayan baginya ini, mungkin Neina akan lebih memilih untuk mengundurkan diri. Daripada setiap hari ia harus menerima tatapan dan fitnah yang tak berdasar untuknya.
“Auh! Ish!”
Suara mangkuk terjatuh berhasil mengalihkan perhatian karyawan yang berada di sekitar kantin. Tak hanya itu, Neina yang menjerit pun membuat semua pasang mata menuju ke arahnya.
Semangkuk soto panas mengenai lengannya, sebab pakaian kemeja yang ia kenakan hanya sepanjang siku. Secepat mungkin Neina mengibaskan tangan. Kuah soto yang menyiram sangat panas, mungkin baru mendidih dan dituangkan ke mangkuknya.braknya.
“Aduh! Maaf ya … aku nggak sengaja,” ucap seorang wanita yang merupakan karyawan senior di kantor.
Sedikitpun tak terlihat rasa bersalah dari wanita itu, justru terkesan mengejek yang Neina lihat darinya. Ia tidak berusaha membantu, hanya berdiri dengan tatapan puas atas perbuatan yang telah dilakukannya.
“Makanya kalau jalan itu hati-hati. Padahal aku sudah minggir loh, kamunya saja yang tidak lihat-lihat.” Dengan perasaan tak bersalahnya, wanita itu justru menegur Neina.
Neina berdiri, mengabaikan rasa panas di lengannya dan menatap karyawan seniornya itu. Senyum sinis yang terpancar dari wanita di depannya itu semakin membuatnya yakin jika kuah soto yang tumpah itu disengaja terjadi.
“Saya sudah berhati-hati mbak. Mbak saja yang mungkin jalan nggak lihat-lihat,” sahut Neina, kali ini ia harus berani dan tidak takut melawan.
Entah angin dari mana yang membuatnya berani berkata seperti itu. Bahkan terlihat beberapa tatapan mata yang tak percaya atas keberanian yang dilakukan oleh Neina. Biasa, Neina yang hanya akan diam saat semua membicarakannya.
Wanita itu menganga tak percaya. Jika Neina berani melawannya.
“Maksud kamu apa? Kamu menuduh aku sengaja? begitu?” murka wanita yang memang sengaja menumpahkan kuah soto panas pada Neina.
“Ya, memang itu faktanya kan?” Dengan lantang Neina menjawab. Hal itu semakin menarik perhatian semua pasang mata yang berada di kantin.
“Jangan pakai kata ‘nggak sengaja’ untuk menutupi kelakuan rendahanmu, Mbak. Asal anda tahu, tingkah kamu itu kayak anak-anak.” Suara Neina tajam, nyaris bergetar karena menahan amarah.
Beberapa orang mulai berdiri, tertarik dengan perdebatan yang terjadi di jam makan siang ini. Suasana kantin memanas. Seseorang bahkan mulai merekam video dari belakang.
“Astaga, drama kantor edisi baru,” bisik seorang staf pria.
Melinda, nama sang senior tersenyum sinis. “Ngomongmu pinter ya. Pantas saja kalau kamu bisa merayu dan dengan mudahnya jadi sekretaris Pak Kaedra. Sejak kapan sih lo, jadi budak naf—”
Plak!
Tangan Neina tak mampu lagi untuk tidak membungkam mulut rendahan yang dilakukan oleh wanita di depannya itu. Sudah sangat keterlaluan, sebab dengan terang-terangan seniornya itu berkata yang tak sepatutnya tepat di hadapannya.
Melinda memegang pipinya, merasakan panas atas telapak tangan lawan yang baru saja mendarat dan berhasil membuatnya meradang tak terima.
“Sialan lo ya! Berani-beraninya lo nampar gue! Lo pikir lo siapa?Anak baru sudah berani kurang ajar!”
Melinda menarik rambut Neina yang tergerai sepunggung. Suasana menjadi riuh. Bukan membantu melerai, justru rekan Melinda yang justru malah mensupport temannya untuk tidak melepaskan Neina begitu saja. Beberapa ada yang mengambil gambar untuk diabadikan. Lumayan bisa menjadi bahan gosip di grup WA perusahaan.
Suasana riuh yang semula terjadi itu mendadak hening. Menyisakan Melinda yang terus menarik dengan Neina yang membalas perlakuan lawan atas tubuhnya. Tak memahami situasi ramai yang menjadi sunyi. Hingga sebuah suara bariton berhasil menghentikan tingkah kedua wanita yang seperti anak kecil berkelahi.
“Hentikan!”
Satu kata yang berhasil membuat kedua wanita yang bertikai itu berhenti. Kedua pasang mata itu menoleh ke sumber suara. Terdapat asisten pribadi dan presiden direktur yang terkenal dingin itu menatap geram ke arah keduanya.
Neina terdiam, melihat Keandra ada di sini. Bisa dipastikan jika pria itu pun pergi tak lama setelah dirinya meninggalkan rumah sakit.
“Dia yang mulai, Pak.”
“Saya minta maaf, Pak.”
“Neina. Temui saya setelah jam istirahat.” Kalimat tegas dan dingin yang terucap. Bukan dari sang presdir yang hanya menatap tajam ke arah mereka, melainkan dari sang asisten, Felix.
Keandra Dipta Sakti, Presiden Direktur, berlalu melewati keduanya tanpa sepatah kata.
“Neina, kamu nggak apa-apa.” Suara Eva, teman kerja yang mengajaknya untuk makan bersama di kantin menghampirinya.
Neina menatap Eva yang terlihat cemas kepadanya. Ia pun menggeleng pelan, dan berkata.
“Aku nggak apa,” kata Neina singkat.
“Aku tadi ke toilet dulu. Jadi telat,” ujar Eva, mengatakan sebab kedatangannya yang terlambat.
Neina mengangguk lemah. Mengulas senyum tipis, meski hati nya yang masih sedang bercampur kesal dan cemas.
“Aku pergi dulu ya,” kata Neina, ia melangkah meninggalkan kantin. Hilang sudah selera makannya.
“Kamu nggak makan dulu?” tanya Eva, menahan lengan Neina saat hendak meninggalkan kantin.
Neina menggeleng pelan, tanpa menatap ke arah sang teman. “Sudah nggak nafsu.”
Keandra menunduk hormat kepada Pak Aji, anggukan singkat yang sarat makna, sebelum akhirnya membalikkan badan dan kembali menuju mobil. Gerakannya tenang, seolah ia baru saja menghadiri urusan bisnis biasa, bukan menyaksikan drama tembakan yang hampir merenggut nyawa.Begitu pintu mobil terbuka, aroma dingin luar yang membawa sisa bau tanah basah dan mesiu samar-samar langsung masuk, menyapu wajah Neina.“Kita pulang,” ucap Keandra singkat, suaranya kembali ke intonasi yang biasa ia gunakan, dingin dan terkontrol, saat ia duduk di samping Neina.“Bagaimana dengan Pak Aji?” tanya Neina pelan. Ia masih khawatir, meskipun Keandra tampak sudah mengambil alih kendali situasi.“Aku sudah pamit. Beliau akan mengurus semuanya. Felix akan datang juga untuk membantu. Dan aku mengantarmu pulang sekarang.” Keandra menoleh sekilas, menatap sopir melalui spion tengah. “Jalan.”Mobil perlahan bergerak, menjauhi kerumunan petugas yang masih sibuk di area pemakaman. Sirene perlahan meredup, meninggal
Sirene meraung keras, memecah senja yang sebelumnya hanya dipenuhi desis angin dan bau mesiu yang masih menggantung tipis di udara. Bukan lagi senja yang damai, melainkan permulaan malam yang diwarnai ketegangan dan kengerian. Lampu merah-biru dari mobil polisi dan ambulans, silih berganti, menyapu permukaan aspal makam yang basah oleh hujan sore tadi. Kilatan tajam itu menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di antara nisan, seolah menambah dimensi misteri pada kekacauan yang terjadi.Dua tubuh yang sudah tak lagi bergerak tergeletak tak berdaya di jalanan sempit pemakaman itu, berlumur darah yang sebentar lagi akan membeku. Gerak cepat petugas medis yang bergegas menurunkannya ke atas tandu terasa seperti balet kematian yang brutal di bawah penerangan darurat.Neina berdiri mematung. Dingin yang menjalar dari tanah basah tak sebanding dengan suhu tubuhnya yang menurun drastis. Seluruh persendiannya gemetar hebat, dan warna darah seolah telah menguras habis rona di wa
Pak Aji menelan ludah yang terasa kering. Matanya yang lelah menatap Keandra dengan pandangan serius. "Ada hal lain yang harus saya sampaikan, Tuan Muda. Sesuatu yang menjadi amanah terakhir Tuan Besar Daniswara."Keandra menoleh, rasa penasaran sekaligus kekhawatiran terlihat jelas. "Apa itu?"Dengan gerakan hati-hati, Pak Aji membuka map cokelatnya. "Semua aset milik Tuan Besar telah dialihkan kepemilikannya."Keandra mengernyitkan dahi. "Ke aku?""Tidak, Tuan," jawab Pak Aji, nadanya tegas. "Kepada calon anak Anda."Neina refleks menutup mulutnya, terkejut luar biasa. "Tapi kami bahkan belum...""Beliau percaya garis keluarga harus diteruskan," potong Pak Aji, lalu menatap Neina dalam-dalam. "Dan beliau percaya hanya anak Anda yang layak meneruskan nama itu."Keandra terdiam, otaknya perlahan memproses kejutan besar dari sang kakek."Lalu siapa yang mengelola sampai anak itu dewasa?" tanya Keandra akhirnya, suaranya tercekat.Pak Aji menundukkan kepala dengan hormat. "Ibunya."Nein
Angin senja menyapu pelan, membawa desau lembut di antara pepohonan kamboja yang menaungi kompleks makam keluarga Daniswara. Udara yang baru saja diguyur hujan terasa begitu lembap, dingin, dan menusuk hidung dengan aroma khas tanah basah. Di atas sana, langit oranye redup perlahan bergeser ke palet ungu keabu-abuan—warna teduh yang selalu muncul saat matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan.Keandra berdiri tegak di hadapan gerbang utama makam. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana dan celana kain gelap, pakaian yang meniadakan segala kemewahan namanya. Helaan napasnya terlihat berat, seolah setiap langkah yang akan ia ambil menuju nisan kakeknya adalah gumpalan beban yang sudah lama ia tunda untuk dihadapi. Tubuhnya masih rapuh setelah berminggu-minggu dalam kondisi kritis, namun wajahnya berusaha keras menampakkan kekuatan—menjadi dirinya yang dulu, sebelum badai perlahan merusak hidupnya.Neina berdiri di sisinya, memeluk lengan pria itu dengan kelembutan yang menenangkan.
Udara kamar rawat itu masih saja menggigit, terlalu dingin untuk sebuah hati yang baru saja berdetak normal kembali. Aroma tajam antiseptik rumah sakit berkelindan dengan manisnya air mawar, hasil upaya tulus Bibi Raras. Mesin monitor di sisi ranjang berdenting pelan, ritmis, seolah mengukur seberapa teguh napas itu kembali belajar berdiri.Neina duduk di kursi lipat dekat ranjang. Matanya sayu dan lelah, ia pun memilih untuk memejamkan mata. Sementara pria yang sudah tersadar beberapa jam yang lalu masih membuka mata.Keandra, akhirnya sadar. Pria itu hanya diam, menatap kosong ke langit-langit putih yang hampa. Luka di bahu yang terbalut perban tebal, jarum infus di tangan kanan—semua itu adalah bukti fisik kerapuhannya. Tapi anehnya, matanya tetap tajam, meski nyaris tak bergerak.Sudah tiga hari Neina tak menginjakkan kaki keluar ruangan. Ia melakukan segalanya di dalam kamar Keandra. Ia bahkan tak menyadari bagaimana tubuhnya sendiri mulai protes, tak nyaman, namun ia memaksanya
Malam demi malam berlalu, pagi berganti siang, dan Neina tetap berada di ruangan itu, seolah waktu benar-benar beku di sekitar dirinya. Satu-satunya irama yang terasa nyata adalah bunyi beep mesin pendeteksi detak jantung Keandra—sebuah ritme kecil yang terus mengingatkannya bahwa pria itu masih ada, masih bernafas, masih berjuang untuk kembali.Setiap pagi, Neina melakukan ritualnya. Ia membersihkan tubuh Keandra dengan gerakan yang sangat hati-hati, penuh kelembutan, seolah sentuhan ujung jarinya adalah benang gaib yang bisa menarik ruh Keandra kembali ke permukaan.“Bangunlah, Pak…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar, setiap fajar menyingsing. “Aku di sini. Aku nggak akan pergi. Kau janji untuk terus menjaga kami. Jangan lemah. Ini bukan dirimu yang ku kenal.”Tak ada sahutan. Hanya bunyi mesin yang menjawab. Tapi Neina tak pernah menyerah, suaranya menjadi penyeimbang heningnya ruangan.Bibi Raras, dengan penuh kasih sayang, rutin membawakan makanan, memastikan Neina tidak lupa







