เข้าสู่ระบบNeina menatap ujung sepatunya. Nafasnya berhembus lirih, seperti ingin meluruhkan gemuruh di dadanya yang tak kunjung reda. Hatinya masih belum bisa percaya bahwa semua ini nyata. Bahwa ia, seorang Neina Zalika, sedang berdiri di tengah konflik dua generasi keluarga paling berkuasa yang pernah ia kenal—dan berada tepat di pusat badai yang mereka ciptakan.
Neina pun tak mengerti. Mengapa hidupnya sejak dulu terus berurusan dengan keluarga Daniswara Sakti. Semua yang terjadi dalam hidupnya, tak luput dari campur tangan pria tua yang saat ini sedang berjuang di antara hidup dan mati.
Dari sekolah, kuliah, pekerjaan, hingga perekonomian dirinya dan sang nenek selalu ada andil dari pria tua itu. Apa memang, ia ditakdirkan untuk membalas budi? Jika ia menolak, memang patut dirinya dicap sebagai orang tak tahu balas budi.
Ia memejamkan mata, mengingat saat terakhir berbicara dengan Daniswara. Lelaki tua itu memang selalu memperlakukannya dengan hangat, terlalu hangat untuk ukuran hubungan seorang asing yang saat ini bekerja menjadi sekretaris generasi penerus satu-satunya Daniswara Sakti.
Tapi Neina tak pernah berpikir lebih dari itu. Ia selalu mengira itu karena Daniswara mengenali kerja kerasnya, kepandaiannya, ketulusannya. Ia tak pernah menduga—bahwa di balik senyum hangat dan bantuan yang selama ini ia terima, tersimpan rencana sebesar ini.
“Apa aku harus berakhir menghianatimu, Mas Raka?” Neina teringat pada Raka. Pria yang selama ini mengisi hatinya. Bahkan, rencana pernikahan sudah mereka siapkan penuh keyakinan.
Bukan sekali dua kali orang menudingnya sebagai pemanjat sosial. Tapi baru hari ini ia benar-benar merasa seolah tuduhan itu melekat di kulitnya, menempel seperti noda yang tak bisa dibasuh dengan air mata.
“Ini akan semakin membuktikan kebenaran yang dituduhkan padanya, jika sampai terjadi.” Pikiran Neina begitu penuh, saling gaduh bertarung dalam benaknya.
Tapi ini bukan tentang harga diri semata. Ini tentang rasa bersalah, sebab situasi saat ini terjadi saat ia bersikeras menolak permintaan pria tua yang begitu disegani.
“Neina.”
Suara itu membuatnya tersentak. Keandra kini berdiri hanya selangkah darinya, matanya tidak lagi setajam pisau. Masih curiga, masih menyimpan dendam, tapi ada sesuatu yang berubah. Ada rasa ragu yang sebelumnya tidak pernah hadir dalam tatapannya.
Neina mendongak. “Ya, Pak?”
Keandra menatap surat di tangannya. Suaranya serak saat berkata, “Jika kau ingin kabur dari semua ini... aku tidak akan menghentikanmu.”
Neina tersenyum miris. “Saya sendiri bingung. Tapi, saya juga takut jika tidak bisa memenuhi keinginan terakhir Pak Daniswara.” Neina menunduk dalam dalam kebingungan yang harus segera ia putuskan.
“Hutang budi saya terlalu banyak,” lirihnya pelan dalam kata yang terucap di bibir manisnya.
Lalu keheningan menyusup di antara mereka, begitu tebal dan berat hingga detak jam terasa seperti dentuman. Tak ada lagi kata yang terucap dari Keandra. Hanya keheningan yang membersamai keduanya.
Aji, yang sedari tadi berdiri dalam diam, mengambil satu langkah maju. “Tuan Muda. Tuan Besar tidak punya waktu. Kalau anda tidak siap menandatangani, saya harus mencari cara lain untuk memenuhi harapan beliau.”
“Apa maksudmu?” tanya Keandra penuh selidik.
“Kita harus menyetujui hal terburuk sekalipun, agar tuan besar tidak tersiksa dengan alat-alat bantu di sana.”
Keandra menatap nyalang pada Aji yang begitu berani atas sikapnya yang akan dilakukannya. Kenapa pria itu begitu berani mengambil keputusan untuk kehidupan kakeknya?
Keandra menatap Neina lama. Di matanya, ada badai yang berputar cepat. Kemarahan, kebingungan, dan... keputusasaan. Ia sudah masuk menemui kakeknya yang belum tersadar. Bantuan alat medis menempel ke beberapa permukaan tubuh tua di dalam sana, semakin membuatnya berada dalam dilema.
“Siapkan semuanya. Sekarang juga,” perintah Keandra pada Aji.
Aji terkejut mendengar persetujuan yang dilakukan oleh Keandra. Ia segera mengangguk untuk mempersiapkan wasiat tuannya.
Keandra menatap Neina dengan tatapan yang begitu menakutkan. “Aku tidak percaya padamu,” katanya pelan.
Neina mengangguk, tanpa tersinggung. “Aku pun tak pernah minta dipercaya.”
“Ini hanya untuk wasiat. Bukan untuk hal lain. Kamu harus tahu itu,” ujar Keandra penuh penekanan.
Neina menatap pria itu dalam-dalam. Ia tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk pelan. Entah karena lelah atau karena memang sudah tidak ada pilihan lain.
“Saya tahu, Pak. Saya sadar posisi saya,” jawab Neina pasrah dengan keadaan yang terjadi.
Aji menghela nafas panjang. Tentu saja ia merasa lega, sebab Keandra mau melakukan wasiat yang diminta oleh tuannya itu.
“Lakukan dengan rapi. Saya nggak mau ada orang lain tahu hal ini,” ujar Keandra tiba-tiba.
Aji mengangguk, “saya akan lakukan sebaik mungkin, Tuan Muda.”
Tidak membutuhkan waktu yang lama. Seorang pejabat KUA pun tiba untuk mempersiapkan pernikahan yang diinginkan oleh Daniswara. Semua dilakukan secara tertutup. Hanya ada penghulu yang menikahkan, dan satu dokter yang menangani beserta Aji yang menjadi saksi pernikahan dadakan yang terjadi di ruang ICU dengan Daniswara masih memejamkan mata ditemani bunyi alat bantu pada tubuhnya.
“Sah!”
Satu kata yang masih membuat Neina tak percaya. Kejadian bertubi sejak kemarin, hingga hari ini sungguh diluar akal sehatnya. Ia sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi dalam hidupnya kali ini.
“Neina,” panggil Aji pada Naina yang melamun sejak tadi.
Neina tersentak, menatap ke arah Aji yang memanggilnya. Penghulu yang melihat sikap Neina tersenyum, sedang Keandra menatap lurus dengan segala pikirannya.
“Cium tangan suamimu. Tuan Muda sudah sah menjadi suamimu sekarang,” pinta Aji pada Naina.
Neina yang mendapati perintah itu merasa ragu untuk melakukannya. Bagaimana untuk menyentuh kulit pria yang telah berubah status menjadi suaminya. Bahkan, ketika di kantor untuk bertemu dengannya saja, pria itu enggan melakukannya.
“Ayo,” bujuk Aji lagi, dan Neina masih dalam kebingungan dan keraguan.
Meski ragu, Neina mulai mengangkat tangannya. Diambilnya tangan Keandra, ia mencium punggung tangan pria yang dalam sekejap berubah status dari atasan menjadi suaminya.
Keandra memalingkan wajah. Enggan menatap pada Neina yang tengah mencium punggung tangannya. Dirinya sangat menyesal, harus mengkhianati Olivia, istrinya, yang saat ini sedang mengembangkan karir di Italia.
Setelah semua urusan surat menyurat selesai. Petugas KUA pamit dan menyisakan Keandra, Aji, dan Neina di ruang perawatan Daniswara.
Keandra memecah keheningan, “sebaiknya kamu pergi dari sini,” perintah Keandra pada Neina. Ia tak ingin berlama-lama berada di sekitar Neina. Meminta pergi adalah pilihan yang dilakukannya.
Neina menatap pada Aji sejenak, dan mendapati anggukan dari pria tersebut. “baik, Pak. Saya akan pergi,” putus Neina mulai beranjak dari duduknya.
“Ingat! Jangan terlalu bangga dengan statusmu sekarang. Sampai ada yang tahu kejadian ini. Kau yang harus bertanggung jawab,” peringat Keandra penuh ancaman.
Neina yang baru saja hendak memegang handle pintu itu terhenti. Menoleh pada Keandra yang bahkan bicara tanpa menatap ke arahnya.
“Saya tahu apa yang harus saya lakukan. Bapak tenang saja,” jawab Neina penuh keyakinan.
Keandra menunduk hormat kepada Pak Aji, anggukan singkat yang sarat makna, sebelum akhirnya membalikkan badan dan kembali menuju mobil. Gerakannya tenang, seolah ia baru saja menghadiri urusan bisnis biasa, bukan menyaksikan drama tembakan yang hampir merenggut nyawa.Begitu pintu mobil terbuka, aroma dingin luar yang membawa sisa bau tanah basah dan mesiu samar-samar langsung masuk, menyapu wajah Neina.“Kita pulang,” ucap Keandra singkat, suaranya kembali ke intonasi yang biasa ia gunakan, dingin dan terkontrol, saat ia duduk di samping Neina.“Bagaimana dengan Pak Aji?” tanya Neina pelan. Ia masih khawatir, meskipun Keandra tampak sudah mengambil alih kendali situasi.“Aku sudah pamit. Beliau akan mengurus semuanya. Felix akan datang juga untuk membantu. Dan aku mengantarmu pulang sekarang.” Keandra menoleh sekilas, menatap sopir melalui spion tengah. “Jalan.”Mobil perlahan bergerak, menjauhi kerumunan petugas yang masih sibuk di area pemakaman. Sirene perlahan meredup, meninggal
Sirene meraung keras, memecah senja yang sebelumnya hanya dipenuhi desis angin dan bau mesiu yang masih menggantung tipis di udara. Bukan lagi senja yang damai, melainkan permulaan malam yang diwarnai ketegangan dan kengerian. Lampu merah-biru dari mobil polisi dan ambulans, silih berganti, menyapu permukaan aspal makam yang basah oleh hujan sore tadi. Kilatan tajam itu menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di antara nisan, seolah menambah dimensi misteri pada kekacauan yang terjadi.Dua tubuh yang sudah tak lagi bergerak tergeletak tak berdaya di jalanan sempit pemakaman itu, berlumur darah yang sebentar lagi akan membeku. Gerak cepat petugas medis yang bergegas menurunkannya ke atas tandu terasa seperti balet kematian yang brutal di bawah penerangan darurat.Neina berdiri mematung. Dingin yang menjalar dari tanah basah tak sebanding dengan suhu tubuhnya yang menurun drastis. Seluruh persendiannya gemetar hebat, dan warna darah seolah telah menguras habis rona di wa
Pak Aji menelan ludah yang terasa kering. Matanya yang lelah menatap Keandra dengan pandangan serius. "Ada hal lain yang harus saya sampaikan, Tuan Muda. Sesuatu yang menjadi amanah terakhir Tuan Besar Daniswara."Keandra menoleh, rasa penasaran sekaligus kekhawatiran terlihat jelas. "Apa itu?"Dengan gerakan hati-hati, Pak Aji membuka map cokelatnya. "Semua aset milik Tuan Besar telah dialihkan kepemilikannya."Keandra mengernyitkan dahi. "Ke aku?""Tidak, Tuan," jawab Pak Aji, nadanya tegas. "Kepada calon anak Anda."Neina refleks menutup mulutnya, terkejut luar biasa. "Tapi kami bahkan belum...""Beliau percaya garis keluarga harus diteruskan," potong Pak Aji, lalu menatap Neina dalam-dalam. "Dan beliau percaya hanya anak Anda yang layak meneruskan nama itu."Keandra terdiam, otaknya perlahan memproses kejutan besar dari sang kakek."Lalu siapa yang mengelola sampai anak itu dewasa?" tanya Keandra akhirnya, suaranya tercekat.Pak Aji menundukkan kepala dengan hormat. "Ibunya."Nein
Angin senja menyapu pelan, membawa desau lembut di antara pepohonan kamboja yang menaungi kompleks makam keluarga Daniswara. Udara yang baru saja diguyur hujan terasa begitu lembap, dingin, dan menusuk hidung dengan aroma khas tanah basah. Di atas sana, langit oranye redup perlahan bergeser ke palet ungu keabu-abuan—warna teduh yang selalu muncul saat matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan.Keandra berdiri tegak di hadapan gerbang utama makam. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana dan celana kain gelap, pakaian yang meniadakan segala kemewahan namanya. Helaan napasnya terlihat berat, seolah setiap langkah yang akan ia ambil menuju nisan kakeknya adalah gumpalan beban yang sudah lama ia tunda untuk dihadapi. Tubuhnya masih rapuh setelah berminggu-minggu dalam kondisi kritis, namun wajahnya berusaha keras menampakkan kekuatan—menjadi dirinya yang dulu, sebelum badai perlahan merusak hidupnya.Neina berdiri di sisinya, memeluk lengan pria itu dengan kelembutan yang menenangkan.
Udara kamar rawat itu masih saja menggigit, terlalu dingin untuk sebuah hati yang baru saja berdetak normal kembali. Aroma tajam antiseptik rumah sakit berkelindan dengan manisnya air mawar, hasil upaya tulus Bibi Raras. Mesin monitor di sisi ranjang berdenting pelan, ritmis, seolah mengukur seberapa teguh napas itu kembali belajar berdiri.Neina duduk di kursi lipat dekat ranjang. Matanya sayu dan lelah, ia pun memilih untuk memejamkan mata. Sementara pria yang sudah tersadar beberapa jam yang lalu masih membuka mata.Keandra, akhirnya sadar. Pria itu hanya diam, menatap kosong ke langit-langit putih yang hampa. Luka di bahu yang terbalut perban tebal, jarum infus di tangan kanan—semua itu adalah bukti fisik kerapuhannya. Tapi anehnya, matanya tetap tajam, meski nyaris tak bergerak.Sudah tiga hari Neina tak menginjakkan kaki keluar ruangan. Ia melakukan segalanya di dalam kamar Keandra. Ia bahkan tak menyadari bagaimana tubuhnya sendiri mulai protes, tak nyaman, namun ia memaksanya
Malam demi malam berlalu, pagi berganti siang, dan Neina tetap berada di ruangan itu, seolah waktu benar-benar beku di sekitar dirinya. Satu-satunya irama yang terasa nyata adalah bunyi beep mesin pendeteksi detak jantung Keandra—sebuah ritme kecil yang terus mengingatkannya bahwa pria itu masih ada, masih bernafas, masih berjuang untuk kembali.Setiap pagi, Neina melakukan ritualnya. Ia membersihkan tubuh Keandra dengan gerakan yang sangat hati-hati, penuh kelembutan, seolah sentuhan ujung jarinya adalah benang gaib yang bisa menarik ruh Keandra kembali ke permukaan.“Bangunlah, Pak…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar, setiap fajar menyingsing. “Aku di sini. Aku nggak akan pergi. Kau janji untuk terus menjaga kami. Jangan lemah. Ini bukan dirimu yang ku kenal.”Tak ada sahutan. Hanya bunyi mesin yang menjawab. Tapi Neina tak pernah menyerah, suaranya menjadi penyeimbang heningnya ruangan.Bibi Raras, dengan penuh kasih sayang, rutin membawakan makanan, memastikan Neina tidak lupa







