Home / Romansa / Istri Kedua Sang Presdir / Bab 5. Teguran dari Atasan

Share

Bab 5. Teguran dari Atasan

Author: Wijaya Kusuma
last update Last Updated: 2025-05-19 20:58:16

Neina tak langsung menuju ke ruang kerja. Yang dilakukan pertama kali setelah menuju ke lantai 8, di mana ruang kerjanya berada. Ia menuju ke toilet untuk membersihkan pakaiannya yang terkena kuah soto.

Neina terpaksa mencuci bagian pakaian yang basah, lalu mengeringkan di bawah hand dryer agar tidak terlalu basah. Neina menatap lengannya yang kemerahan akibat kuah panas. Saat dipegang Ia pun mendesis merasakan nyeri pada permukaan kulit. “Ini sakit sekali,” gumamnya pelan yang tak seorang akan mendengar, sebab ia seorang diri di sana. 

Ya, di lantai ini hanya ada ruang khusus petinggi perusahaan, ruang rapat direksi, dan beberapa ruang untuk staff pentingnya. Termasuk salah satunya Neina yang ada di sana. Bagian kebersihan hanya akan datang sesuai jam kerja untuk membersihkan ruangan itu. 

Setelah pakaiannya agak kering, ia menuju ke salah satu sudut ruangan dimana kotak P3K berada. Neina mencari salep untuk luka bakar agar bisa mengurangi rasa nyeri yang membuatnya tak nyaman. 

Ia oleskan salep bakar, yang memberikan rasa sejuk pada kulitnya dan berhasil mengurangi rasa nyeri. Ia pun membawa obat salep tersebut kembali ke ruangannya. Baru saja Neina berbelok menuju ke ruangannya. Suara panggilan dari sang teman menghentikan langkah dan dilihatnya Eva yang terlihat berlari menghampirinya. 

“Neina,” panggil Eva, Naina menoleh ke arah sumber suara.

“Aku bawain kamu makan siang,” ucap Eva, menunjukkan tentengan makanan yang dibawa di tangannya. 

Neina mengulas senyum, merasa terharu sebab masih ada orang yang peduli di tempat kerjanya ini.

“Terima kasih, seharusnya kamu tidak perlu repot,” jawab Neina, merasa tak enak dengan sikap baik Eva. Ia menerima uluran makanan dari Eva. 

“Jangan berterima kasih. Anggap saja ini permintaan maafku. Aku yang ajak kamu makan di kantin. Justru aku yang datang terlambat. Andai aku tidak telat, mungkin tidak akan terjadi hal yang yang seperti tadi,” ujar Eva penuh sesal.  Wajah Eva terlihat memelas. Ia menunjukkan rasa bersalah yang teramat besar pada Neina. 

Neina terkekeh. “Jangan merasa bersalah. Ini bukan salahmu. Yang terjadi hanya hal konyol, sebab mereka yang iri padaku,” tutur Neina tulus. 

“Kamu memang benar. Mereka itu  memang keterlaluan. Andai saja aku tadi ada di sana. Pasti aku bantu kamu dan menghajar wanita itu agar kapok tidak ganggu kamu lagi.” 

Eva menggeram kesal. Memang sikap karyawan yang merasa diri mereka senior di perusahaan ini sungguh keterlaluan. 

Ternyata senioritas  tak hanya didapat di bangku sekolah. Di tempat kerja, yang seharusnya semua pemikiran terbuka luas justru semakin kental, hanya karena rasa iri yang ingin selalu menjilat agar terlihat baik di mata sang atasan. 

“Sudah, biarkan. Aku nggak apa.”

“Baju kamu bagaimana?” tanya Eva yang tadi melihat pakaian kerja temannya itu basah. 

“Sudah lumayan kering. Aku keringkan menggunakan hand dryer di toilet,” terang Neina. 

Eva mengangguk, “jangan lupa makan siang ya. Pekerjaan kamu pasti lebih sulit dari aku yang hanya sekedar admin di sini.”

 Eva menghentikan sejenak kalimatnya, “belum lagi harus berhadapan dengan Pak Keandra yang terkenal tegas dan dingin itu,” ucap Eva berbisik pelan, khawatir ada orang lain yang mendengar. 

“Hust. Aku nggak pernah berhadapan langsung dengan Pak Keandra. Semua melalui Pak Felix, asistennya. Jadi aman.” Neina tersenyum pada Eva. 

Eva membelalak tak percaya, “benarkah?” Dan mendapat anggukan dari Neina. 

“I—”

“Neina, temui saya sekarang,” ucap Felix dari belakang Eva, sedang Keandra sama sekali tidak menoleh ke arah mereka dan berlalu menuju ke ruang kebesarannya. 

Eva dan Neina yang mendengar suara familiar di tempat itu pun menegang. Neina menatap Felix dan mengangguk patuh akan menemuinya sekarang. 

“Baik, Pak Felix,” jawab Neina sopan. 

“Dan kamu, untuk apa datang ke lantai ini?” tanya Felix menatap tajam ke arah Eva. Memang bukan sembarang orang yang bisa leluasa keluar masuk ke lantai petinggi perusahaan. 

Eva tersenyum kaku, “maaf, Pak. Saya ke sini untuk antar makan siang Neina sebagai penebus rasa bersalah atas kejadian di kantin tadi,” ujar Eva menjelaskan alasannya datang ke lantai petinggi perusahaan tempat mereka bekerja ini. 

“Jika begitu saya pamit, Pak Felix.” 

Felix meninggalkan Neina dan Eva. Menuju ke ruangannya dengan Neina yang mengikuti langkah Felix dari belakang. 

Di balik meja kerjanya, Felix duduk di atas kursi kebesarannya dengan tatapan tak biasanya pada Neina. Jika biasa Felix menatap ramah padanya, tidak untuk kali ini. Ya, sebab kesalahannya yang terjadi di kantin lah yang membuat Naina berada di situasi seperti ini. 

“Saya minta maaf, Pak. Tapi ini bukan kesalahan saya. Saya hanya membela diri untuk mempertahankan harga diri yang diinjak olehnya,” ujar Neina berusaha menjelaskan. Ia tak ingin disalahkan atas situasi yang memang bukan keinginannya terjadi seperti tadi. 

“Kesalahanmu sungguh fatal, Neina.” 

Sebuah kalimat yang menjadi pukulan telak bagi Neina.

Apakah dirinya akan dipecat saat ini juga? Sungguh Neina tak pernah berpikir jika hal itu sampai terjadi. Ia sangat butuh pekerjaan ini, meski harus melawan fitnah. Sebisa mungkin Neina akan bertahan untuk neneknya. Neina seketika lupa, jika telah menjadi bagian keluarga Daniswara Sakti. 

“Pak, Bu Melinda yang mencari perkara pada saya. Saya tak tahu menahu, dia yang mulai menumpahkan kuah soto panas pada tubuhku, hingga tanganku melepuh.” 

Tak ingin disalahkan, yang bisa berakibat buruk atas nasibnya. Neina menunjukkan lengan tangan kanannya yang terlihat kemerahan oleh kuah soto panas yang mengenainya. 

Felix menatap lengan Neina yang memang terlihat kemerahan. Di tangan wanita itu pun, Felix dapat melihat sebuah obat buat luka bakar. 

“Tapi, sikap yang kamu lakukan itu sudah buat Pak Keandra marah besar. Terlebih kamu adalah satu-satunya wanita yang bekerja di sekitar Pak Keandra yang bermasalah.”

“Pak, kalau Bu Melinda tidak keterlaluan saya juga tidak akan melakukan hal tersebut. Fitnah yang dilakukan olehnya bukan lagi untuk diriku. Melainkan berhubungan Pak Keandra.”

“Apa maksudmu?” tanya Felix penuh penasaran. 

Neina menunduk, memilin ujung jari, dan memberanikan diri untuk berkata. “Dia menuduhku sebagai pemuas Pak Keandra,” ucap Neina menunduk. 

Felix menghembuskan nafas kasarnya. Memang kabar itu begitu nyaring terdengar di kalangan karyawan perusahaan. Entah dari mana sumber itu berasal. Hanya karena Neina yang dengan mudah bisa masuk di sini, menjadi alasan gurih yang selalu digoreng oleh netizen yang tak senang.

“Entah, saya juga bingung apa hubunganmu dengan Tuan Besar. Sebab beliau yang memintalah, jadi mudah untukmu. Bahkan, kamu yang dengan mudah mendapat izin seperti tadi untuk masuk siang. Dan asisten beliau langsung yang justru bilang jika kamu tidak masuk kerja hari ini.”

Neina yang mendengar pun terkejut. Pantas, sepagian tadi dia yang lupa meminta izin tidak ada panggilan ataupun pesan yang masuk. 

“Pak Keandra ingin memecat kamu. Tapi, itu tak bisa dilakukan. Sebab kakek beliaulah yang yang ada di belakangmu, agar kamu bisa terus di sini.” Felix menghentikan kalimatnya, “Aku sendiri bingung. Siapa sebenarnya kamu? dan apa hubunganmu dengan Tuan Daniswara?”

Neina tak tahu harus menjawab apa. Jika boleh meminta, ia tak ingin berada  dalam situasi yang tak pernah diharapkan seperti ini. 

“Saya hanya salah satu dari sekian banyak orang yang menerima beasiswa sejak SD hingga kuliah dari perusahaan ini, Pak,” ujar Neina pada akhirnya. Kebenaran mutlak yang memang terjadi padanya selama ini. 

“Mungkin, saya yang dituntut untuk mengabdi sekarang,” lanjutnya lagi. 

Felix mengangguk, membenarkan pengakuan Neina yang baginya sangat masuk akal.

“Kembali ke ruang kerja. Jangan mengulang kesalahan sama yang buat Pak Keandra malu dan murka.”

Neina kembali dan menenggelamkan diri pada pekerjaan. Ia ingin segala beban di pikirannya itu sirna. Hanya berhenti melakukan aktivitas saat ke toilet. Ia pun kembali di jam yang sudah petang. Setelah memastikan semua pekerjaannya rapi, dan sang atasan sudah keluar dari ruang kerjanya. Barulah ia beranjak dari ruangannya. 

“Memangnya berapa banyak uang yang digunakan untuk bayar kamu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
gk enK y jadi orang misqueen plus punya utang Budi.. pas disuruh bayar y harga diri taruhannya.. kek Neina ini yg kudu merelakan dirinya.. l
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 235. Bersabar bukan Kalah

    Suara langkah kaki Keandra terdengar terburu-buru saat keluar dari kamar Neina. Napasnya berat, dadanya naik turun menahan amarah yang hampir tak bisa dibendung. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, sementara wajahnya menegang menahan kata-kata yang sebenarnya ingin ia lontarkan tapi tak ingin ia sesali. Ya, Keandra harus banyak bersabar saat Neina terus menguji kesabarannya. Tak ingin meledak di kamar sang istri.. Ia memutuskan untuk segera keluar dan tidak terus beradu mulut dengan Neina. Bibi Raras yang kebetulan baru saja menaruh nampan berisi segelas teh di meja ruang tengah langsung menatap cemas. “Tuan muda… semuanya baik-baik saja?” tanyanya hati-hati, mencoba membaca suasana yang menegang di udara. Tentu ia tahu ketegangan terjadi antara suami istri di dalam sana. Keandra menoleh sebentar, menekan rahangnya. “Iya, Bi. Semua baik.” Ia menghembuskan nafas beratnya. Membuang kesal yang bercokol di dalam hatinya. “Tapi__”Keandra cepat memotong, suaranya dingin, tegas, tapi ju

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 234. Keandra Tak Menyerah

    Malam semakin larut di rumah kecil yang kini ditinggali Neina. Rumah sederhana itu berdiri di sudut perumahan tua, jauh dari hiruk pikuk kota. Lampu ruang tamu menyala redup, hanya ditemani suara jam dinding dan tetesan air hujan dari atap.Bibi Raras duduk di sofa sambil mengupas buah, matanya sesekali menatap Neina yang tampak termenung di kursi dekat jendela. Perut Neina masih rata, ia melihat Neina yang tengah mengelus perutnya dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. “Apa yang Nona pikirkan?” tanya Bibi Raras lembut. Bibi Raras tersenyum lembut.Neina menghela nafas panjang. “Tidak, Bu. Aku cuma... mencoba tidak memikirkan apa pun. Tapi entah kenapa, saat aku ingin pergi. Tuhan memiliki rencana yang tak terduga untukku. Ia mengambil orang yang berarti dalam hidupku. Dan tak lama, ia hadirkan janin ini dalam hidupku yang begitu sunyi.”Bibi Raras mengangguk pelan. “Kadang yang pergi itu cara Tuhan membuat kita kuat. Hingga akhirnya Dia hadirkan hikmah di balik kepergian yang t

  • Istri Kedua Sang Presdir   233. Olivia Tak Menyerah

    Di dalam apartemen mewah di lantai dua puluh tiga, suara kaca pecah terdengar keras.“Dasar bodoh! Kau biarkan dia lolos begitu saja?!” Olivia berteriak, matanya menyala penuh amarah. Rambut hitamnya yang selalu rapi kini berantakan, dan gaun merah yang ia kenakan tampak mencolok di bawah cahaya lampu kristal yang bergetar karena bentakan suaranya.Marco berdiri di dekat jendela, menatap keluar tanpa ekspresi. “Olivia, itu di luar kendaliku. Dan tidak bisa diprediksi.”“Bukankah kau bilang pasang orang untuk terus mengintai Neina? Lalu apa yang terjadi? Dia bahkan bisa kembali ke Jakarta dengan keadaan yang jauh lebih baik!” Olivia tak terima saat tahu kabar Neina kembali. Bahkan, Bibi Raras, asisten rumah tangga Keandra turut serta mendampingi Neina. “Sudah kubilang, itu di luar kendaliku. Apa kau tak paham!” Marco semakin muak dengan apa yang Olivia katakan. “Atau kau yang bodoh dan lengah? Seharusnya kau tahu, satu-satunya yang harus kita pastikan adalah dia tidak boleh kembali!

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 232. Dukungan untuk Neina

    Sementara itu, di rumah Neina, siang terasa begitu sunyi. Ia duduk di ruang tamu, menatap jam dinding yang berdetak lambat. Sejak Keandra pergi beberapa jam tadi, rumah itu terasa lebih sepi dari biasanya.Hanya ada perawat dan dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan lembut terdengar di pintu. Neina menoleh ke arah sumber suara. Suara yang tak asing terdengar di indera pendengarannya. Neina bangkit perlahan. “Siapa?”“Nona Neina, ini aku, Bibi Raras.”Suara itu membuatnya terdiam sejenak. Jantungnya berdegup cepat, antara tak percaya dan haru. Ia segera membuka pintu dan benar melihat satu-satunya wanita yang begitu baik saat ia tiba di rumah Keandra, dulu. Sosok perempuan paruh baya berdiri di depan sana, mengenakan pakaian sederhana yang melekat di badannya. Senyum hangat yang telah lama tak ia lihat. Dan itu membuatnya mematung di tempat. “Ibu…” suara Neina serak.“Ya Tuhan, Nona Neina…” Bibi Raras menutup mulutnya, menahan isak. Ia lalu memeluk Neina erat, seolah melepas rindu berta

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 231. Pilihan Sulit

    Keandra hanya mampu menatap punggul kecil yang mulai menjauh dari pandangan wajahnya. Ia membuang nafas kasar, harus lebih bersabar menghadapi tuntutan yang tak mungkin ia lakukan. “Aku memang janji. Tapi, mungkin kali ini aku lebih memilih jadi pengecut, daripada harus melepas dan kehilangan kalian,” ucapnya, saat tubuh kecil itu mulai menghilang di balik gerbang sederhana tersebut. Keandra menahan diri. Ia bisa saja membalas dengan amarah, tapi kali ini, ia memilih diam. Ia menatap Neina lama—menatap perempuan yang dulu ia cintai, yang kini berdiri di hadapannya seperti orang asing.“Apa yang akan Bapak lakukan sekarang?” tanya Felix yang ikut menatap punggung yang sudah menghilang sempurna di balik pintu sederhana itu. “Aku akan ke rumah Kakek,” katanya akhirnya.“Banyak penjelasan yang harus dibahas.”“Baik. Akan saya antar ke sana,” sahut Felix sigap. Keandra menoleh, menatap datar bawahannya itu. “Tak perlu. Kau kembali ke kantor. Biar aku sendiri ke sana,” ujar Keandra, men

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 230. Rumah Kenangan

    Tiga jam kemudian, jet mendarat mulus di Jakarta. Langit cerah, tapi udara panas dan lembab menyambut begitu pintu pesawat terbuka. Di bawah tangga, seorang pria sudah berdiri menunggu dengan senyum yang merekah. Felix. Pria itu sudah sangat tak sabar menunggu kehadiran Neina. Begitu melihatnya, Neina tertegun sesaat. Ada sesuatu dalam tatapan Felix yang membuat hatinya sedikit tenang—bukan karena cinta, tapi karena rasa aman yang tulus. Ya, mereka adalah patner kerja yang baik saat bekerja sama di sekitar Keandra, dulu. “Selamat datang kembali, Neina,” ucap Felix lembut, suaranya seperti oase di tengah ketegangan. Senyumnya hangat, hingga ada tatapan datar yang memperhatikan interaksi yang dilakukannya. Neina membalas dengan senyum kecil yang sopan. “Terima kasih, Pak Felix.”Felix menatapnya dari ujung kepala sampai kaki, memastikan kondisinya baik. “Kau kelihatan lebih kurus daripada terakhir kali aku melihatmu.” Ia menggelengkan kepala, saat memperhatikan kondisi yang Neina ha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status