LOGINNeina tak langsung menuju ke ruang kerja. Yang dilakukan pertama kali setelah menuju ke lantai 8, di mana ruang kerjanya berada. Ia menuju ke toilet untuk membersihkan pakaiannya yang terkena kuah soto.
Neina terpaksa mencuci bagian pakaian yang basah, lalu mengeringkan di bawah hand dryer agar tidak terlalu basah. Neina menatap lengannya yang kemerahan akibat kuah panas. Saat dipegang Ia pun mendesis merasakan nyeri pada permukaan kulit. “Ini sakit sekali,” gumamnya pelan yang tak seorang akan mendengar, sebab ia seorang diri di sana.
Ya, di lantai ini hanya ada ruang khusus petinggi perusahaan, ruang rapat direksi, dan beberapa ruang untuk staff pentingnya. Termasuk salah satunya Neina yang ada di sana. Bagian kebersihan hanya akan datang sesuai jam kerja untuk membersihkan ruangan itu.
Setelah pakaiannya agak kering, ia menuju ke salah satu sudut ruangan dimana kotak P3K berada. Neina mencari salep untuk luka bakar agar bisa mengurangi rasa nyeri yang membuatnya tak nyaman.
Ia oleskan salep bakar, yang memberikan rasa sejuk pada kulitnya dan berhasil mengurangi rasa nyeri. Ia pun membawa obat salep tersebut kembali ke ruangannya. Baru saja Neina berbelok menuju ke ruangannya. Suara panggilan dari sang teman menghentikan langkah dan dilihatnya Eva yang terlihat berlari menghampirinya.
“Neina,” panggil Eva, Naina menoleh ke arah sumber suara.
“Aku bawain kamu makan siang,” ucap Eva, menunjukkan tentengan makanan yang dibawa di tangannya.
Neina mengulas senyum, merasa terharu sebab masih ada orang yang peduli di tempat kerjanya ini.
“Terima kasih, seharusnya kamu tidak perlu repot,” jawab Neina, merasa tak enak dengan sikap baik Eva. Ia menerima uluran makanan dari Eva.
“Jangan berterima kasih. Anggap saja ini permintaan maafku. Aku yang ajak kamu makan di kantin. Justru aku yang datang terlambat. Andai aku tidak telat, mungkin tidak akan terjadi hal yang yang seperti tadi,” ujar Eva penuh sesal. Wajah Eva terlihat memelas. Ia menunjukkan rasa bersalah yang teramat besar pada Neina.
Neina terkekeh. “Jangan merasa bersalah. Ini bukan salahmu. Yang terjadi hanya hal konyol, sebab mereka yang iri padaku,” tutur Neina tulus.
“Kamu memang benar. Mereka itu memang keterlaluan. Andai saja aku tadi ada di sana. Pasti aku bantu kamu dan menghajar wanita itu agar kapok tidak ganggu kamu lagi.”
Eva menggeram kesal. Memang sikap karyawan yang merasa diri mereka senior di perusahaan ini sungguh keterlaluan.
Ternyata senioritas tak hanya didapat di bangku sekolah. Di tempat kerja, yang seharusnya semua pemikiran terbuka luas justru semakin kental, hanya karena rasa iri yang ingin selalu menjilat agar terlihat baik di mata sang atasan.
“Sudah, biarkan. Aku nggak apa.”
“Baju kamu bagaimana?” tanya Eva yang tadi melihat pakaian kerja temannya itu basah.
“Sudah lumayan kering. Aku keringkan menggunakan hand dryer di toilet,” terang Neina.
Eva mengangguk, “jangan lupa makan siang ya. Pekerjaan kamu pasti lebih sulit dari aku yang hanya sekedar admin di sini.”
Eva menghentikan sejenak kalimatnya, “belum lagi harus berhadapan dengan Pak Keandra yang terkenal tegas dan dingin itu,” ucap Eva berbisik pelan, khawatir ada orang lain yang mendengar.
“Hust. Aku nggak pernah berhadapan langsung dengan Pak Keandra. Semua melalui Pak Felix, asistennya. Jadi aman.” Neina tersenyum pada Eva.
Eva membelalak tak percaya, “benarkah?” Dan mendapat anggukan dari Neina.
“I—”
“Neina, temui saya sekarang,” ucap Felix dari belakang Eva, sedang Keandra sama sekali tidak menoleh ke arah mereka dan berlalu menuju ke ruang kebesarannya.
Eva dan Neina yang mendengar suara familiar di tempat itu pun menegang. Neina menatap Felix dan mengangguk patuh akan menemuinya sekarang.
“Baik, Pak Felix,” jawab Neina sopan.
“Dan kamu, untuk apa datang ke lantai ini?” tanya Felix menatap tajam ke arah Eva. Memang bukan sembarang orang yang bisa leluasa keluar masuk ke lantai petinggi perusahaan.
Eva tersenyum kaku, “maaf, Pak. Saya ke sini untuk antar makan siang Neina sebagai penebus rasa bersalah atas kejadian di kantin tadi,” ujar Eva menjelaskan alasannya datang ke lantai petinggi perusahaan tempat mereka bekerja ini.
“Jika begitu saya pamit, Pak Felix.”
Felix meninggalkan Neina dan Eva. Menuju ke ruangannya dengan Neina yang mengikuti langkah Felix dari belakang.
Di balik meja kerjanya, Felix duduk di atas kursi kebesarannya dengan tatapan tak biasanya pada Neina. Jika biasa Felix menatap ramah padanya, tidak untuk kali ini. Ya, sebab kesalahannya yang terjadi di kantin lah yang membuat Naina berada di situasi seperti ini.
“Saya minta maaf, Pak. Tapi ini bukan kesalahan saya. Saya hanya membela diri untuk mempertahankan harga diri yang diinjak olehnya,” ujar Neina berusaha menjelaskan. Ia tak ingin disalahkan atas situasi yang memang bukan keinginannya terjadi seperti tadi.
“Kesalahanmu sungguh fatal, Neina.”
Sebuah kalimat yang menjadi pukulan telak bagi Neina.
Apakah dirinya akan dipecat saat ini juga? Sungguh Neina tak pernah berpikir jika hal itu sampai terjadi. Ia sangat butuh pekerjaan ini, meski harus melawan fitnah. Sebisa mungkin Neina akan bertahan untuk neneknya. Neina seketika lupa, jika telah menjadi bagian keluarga Daniswara Sakti.
“Pak, Bu Melinda yang mencari perkara pada saya. Saya tak tahu menahu, dia yang mulai menumpahkan kuah soto panas pada tubuhku, hingga tanganku melepuh.”
Tak ingin disalahkan, yang bisa berakibat buruk atas nasibnya. Neina menunjukkan lengan tangan kanannya yang terlihat kemerahan oleh kuah soto panas yang mengenainya.
Felix menatap lengan Neina yang memang terlihat kemerahan. Di tangan wanita itu pun, Felix dapat melihat sebuah obat buat luka bakar.
“Tapi, sikap yang kamu lakukan itu sudah buat Pak Keandra marah besar. Terlebih kamu adalah satu-satunya wanita yang bekerja di sekitar Pak Keandra yang bermasalah.”
“Pak, kalau Bu Melinda tidak keterlaluan saya juga tidak akan melakukan hal tersebut. Fitnah yang dilakukan olehnya bukan lagi untuk diriku. Melainkan berhubungan Pak Keandra.”
“Apa maksudmu?” tanya Felix penuh penasaran.
Neina menunduk, memilin ujung jari, dan memberanikan diri untuk berkata. “Dia menuduhku sebagai pemuas Pak Keandra,” ucap Neina menunduk.
Felix menghembuskan nafas kasarnya. Memang kabar itu begitu nyaring terdengar di kalangan karyawan perusahaan. Entah dari mana sumber itu berasal. Hanya karena Neina yang dengan mudah bisa masuk di sini, menjadi alasan gurih yang selalu digoreng oleh netizen yang tak senang.
“Entah, saya juga bingung apa hubunganmu dengan Tuan Besar. Sebab beliau yang memintalah, jadi mudah untukmu. Bahkan, kamu yang dengan mudah mendapat izin seperti tadi untuk masuk siang. Dan asisten beliau langsung yang justru bilang jika kamu tidak masuk kerja hari ini.”
Neina yang mendengar pun terkejut. Pantas, sepagian tadi dia yang lupa meminta izin tidak ada panggilan ataupun pesan yang masuk.
“Pak Keandra ingin memecat kamu. Tapi, itu tak bisa dilakukan. Sebab kakek beliaulah yang yang ada di belakangmu, agar kamu bisa terus di sini.” Felix menghentikan kalimatnya, “Aku sendiri bingung. Siapa sebenarnya kamu? dan apa hubunganmu dengan Tuan Daniswara?”
Neina tak tahu harus menjawab apa. Jika boleh meminta, ia tak ingin berada dalam situasi yang tak pernah diharapkan seperti ini.
“Saya hanya salah satu dari sekian banyak orang yang menerima beasiswa sejak SD hingga kuliah dari perusahaan ini, Pak,” ujar Neina pada akhirnya. Kebenaran mutlak yang memang terjadi padanya selama ini.
“Mungkin, saya yang dituntut untuk mengabdi sekarang,” lanjutnya lagi.
Felix mengangguk, membenarkan pengakuan Neina yang baginya sangat masuk akal.
“Kembali ke ruang kerja. Jangan mengulang kesalahan sama yang buat Pak Keandra malu dan murka.”
Neina kembali dan menenggelamkan diri pada pekerjaan. Ia ingin segala beban di pikirannya itu sirna. Hanya berhenti melakukan aktivitas saat ke toilet. Ia pun kembali di jam yang sudah petang. Setelah memastikan semua pekerjaannya rapi, dan sang atasan sudah keluar dari ruang kerjanya. Barulah ia beranjak dari ruangannya.
“Memangnya berapa banyak uang yang digunakan untuk bayar kamu?”
Keandra menunduk hormat kepada Pak Aji, anggukan singkat yang sarat makna, sebelum akhirnya membalikkan badan dan kembali menuju mobil. Gerakannya tenang, seolah ia baru saja menghadiri urusan bisnis biasa, bukan menyaksikan drama tembakan yang hampir merenggut nyawa.Begitu pintu mobil terbuka, aroma dingin luar yang membawa sisa bau tanah basah dan mesiu samar-samar langsung masuk, menyapu wajah Neina.“Kita pulang,” ucap Keandra singkat, suaranya kembali ke intonasi yang biasa ia gunakan, dingin dan terkontrol, saat ia duduk di samping Neina.“Bagaimana dengan Pak Aji?” tanya Neina pelan. Ia masih khawatir, meskipun Keandra tampak sudah mengambil alih kendali situasi.“Aku sudah pamit. Beliau akan mengurus semuanya. Felix akan datang juga untuk membantu. Dan aku mengantarmu pulang sekarang.” Keandra menoleh sekilas, menatap sopir melalui spion tengah. “Jalan.”Mobil perlahan bergerak, menjauhi kerumunan petugas yang masih sibuk di area pemakaman. Sirene perlahan meredup, meninggal
Sirene meraung keras, memecah senja yang sebelumnya hanya dipenuhi desis angin dan bau mesiu yang masih menggantung tipis di udara. Bukan lagi senja yang damai, melainkan permulaan malam yang diwarnai ketegangan dan kengerian. Lampu merah-biru dari mobil polisi dan ambulans, silih berganti, menyapu permukaan aspal makam yang basah oleh hujan sore tadi. Kilatan tajam itu menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di antara nisan, seolah menambah dimensi misteri pada kekacauan yang terjadi.Dua tubuh yang sudah tak lagi bergerak tergeletak tak berdaya di jalanan sempit pemakaman itu, berlumur darah yang sebentar lagi akan membeku. Gerak cepat petugas medis yang bergegas menurunkannya ke atas tandu terasa seperti balet kematian yang brutal di bawah penerangan darurat.Neina berdiri mematung. Dingin yang menjalar dari tanah basah tak sebanding dengan suhu tubuhnya yang menurun drastis. Seluruh persendiannya gemetar hebat, dan warna darah seolah telah menguras habis rona di wa
Pak Aji menelan ludah yang terasa kering. Matanya yang lelah menatap Keandra dengan pandangan serius. "Ada hal lain yang harus saya sampaikan, Tuan Muda. Sesuatu yang menjadi amanah terakhir Tuan Besar Daniswara."Keandra menoleh, rasa penasaran sekaligus kekhawatiran terlihat jelas. "Apa itu?"Dengan gerakan hati-hati, Pak Aji membuka map cokelatnya. "Semua aset milik Tuan Besar telah dialihkan kepemilikannya."Keandra mengernyitkan dahi. "Ke aku?""Tidak, Tuan," jawab Pak Aji, nadanya tegas. "Kepada calon anak Anda."Neina refleks menutup mulutnya, terkejut luar biasa. "Tapi kami bahkan belum...""Beliau percaya garis keluarga harus diteruskan," potong Pak Aji, lalu menatap Neina dalam-dalam. "Dan beliau percaya hanya anak Anda yang layak meneruskan nama itu."Keandra terdiam, otaknya perlahan memproses kejutan besar dari sang kakek."Lalu siapa yang mengelola sampai anak itu dewasa?" tanya Keandra akhirnya, suaranya tercekat.Pak Aji menundukkan kepala dengan hormat. "Ibunya."Nein
Angin senja menyapu pelan, membawa desau lembut di antara pepohonan kamboja yang menaungi kompleks makam keluarga Daniswara. Udara yang baru saja diguyur hujan terasa begitu lembap, dingin, dan menusuk hidung dengan aroma khas tanah basah. Di atas sana, langit oranye redup perlahan bergeser ke palet ungu keabu-abuan—warna teduh yang selalu muncul saat matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan.Keandra berdiri tegak di hadapan gerbang utama makam. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana dan celana kain gelap, pakaian yang meniadakan segala kemewahan namanya. Helaan napasnya terlihat berat, seolah setiap langkah yang akan ia ambil menuju nisan kakeknya adalah gumpalan beban yang sudah lama ia tunda untuk dihadapi. Tubuhnya masih rapuh setelah berminggu-minggu dalam kondisi kritis, namun wajahnya berusaha keras menampakkan kekuatan—menjadi dirinya yang dulu, sebelum badai perlahan merusak hidupnya.Neina berdiri di sisinya, memeluk lengan pria itu dengan kelembutan yang menenangkan.
Udara kamar rawat itu masih saja menggigit, terlalu dingin untuk sebuah hati yang baru saja berdetak normal kembali. Aroma tajam antiseptik rumah sakit berkelindan dengan manisnya air mawar, hasil upaya tulus Bibi Raras. Mesin monitor di sisi ranjang berdenting pelan, ritmis, seolah mengukur seberapa teguh napas itu kembali belajar berdiri.Neina duduk di kursi lipat dekat ranjang. Matanya sayu dan lelah, ia pun memilih untuk memejamkan mata. Sementara pria yang sudah tersadar beberapa jam yang lalu masih membuka mata.Keandra, akhirnya sadar. Pria itu hanya diam, menatap kosong ke langit-langit putih yang hampa. Luka di bahu yang terbalut perban tebal, jarum infus di tangan kanan—semua itu adalah bukti fisik kerapuhannya. Tapi anehnya, matanya tetap tajam, meski nyaris tak bergerak.Sudah tiga hari Neina tak menginjakkan kaki keluar ruangan. Ia melakukan segalanya di dalam kamar Keandra. Ia bahkan tak menyadari bagaimana tubuhnya sendiri mulai protes, tak nyaman, namun ia memaksanya
Malam demi malam berlalu, pagi berganti siang, dan Neina tetap berada di ruangan itu, seolah waktu benar-benar beku di sekitar dirinya. Satu-satunya irama yang terasa nyata adalah bunyi beep mesin pendeteksi detak jantung Keandra—sebuah ritme kecil yang terus mengingatkannya bahwa pria itu masih ada, masih bernafas, masih berjuang untuk kembali.Setiap pagi, Neina melakukan ritualnya. Ia membersihkan tubuh Keandra dengan gerakan yang sangat hati-hati, penuh kelembutan, seolah sentuhan ujung jarinya adalah benang gaib yang bisa menarik ruh Keandra kembali ke permukaan.“Bangunlah, Pak…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar, setiap fajar menyingsing. “Aku di sini. Aku nggak akan pergi. Kau janji untuk terus menjaga kami. Jangan lemah. Ini bukan dirimu yang ku kenal.”Tak ada sahutan. Hanya bunyi mesin yang menjawab. Tapi Neina tak pernah menyerah, suaranya menjadi penyeimbang heningnya ruangan.Bibi Raras, dengan penuh kasih sayang, rutin membawakan makanan, memastikan Neina tidak lupa







