Pagi hari pasangan suami istri ini penuh dengan kecemasan. Bagaimana tidak? Pagi-pagi sekali Rayan sudah bolak-balik ke kamar mandi. Ini semua karena ia menghabiskan dua posri sate ayam sendirian dua hari yang lalu. Sedangkan Allura, ia terus merasa mual dan harus bergantian dengan Rayan untuk memakai kamar mandi. Jadilah mereka berdua ke rumah sakit bersama. Rayan akan ada rapat penting sore nanti. Tidak mungkin kalau ia harus menunggu selama beberapa hari hanya untuk sembuh dari diare. Saat mengantre, Rayan melihat wajah Allura sangat pucat.
“Dek, wajah Adek terlihat sangat pucat. Ayo kita periksa sekarang,” pinta Rayan.
“Ah, tidak Mas. Ini hanya karena mual saja. Adek juga belum makan apa pun dari pagi,” jelas Allura.
“Tapi, Dek, mumpung kita di rumah sakit. Apa salahnya memeriksakan diri?”
“Adek tidak apa-apa, Mas.” Allura mencoba m
Hari pertemuan sudah tiba. Allura harus fokus untuk meyakinkan Safiya. Bagaimana pun caranya, Safiya harus setuju. Ia tidak ingin gagal lagi.Allura sudah menunggu selama beberapa menit di kafe dekat perusahaan Safiya bekerja. Ia tidak ingin terlambat sedikit pun. Tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan wanita seperti Safiya. Dari pesan yang Allura terima, Safiya akan sampai sebentar lagi. Dengan penuh kecemasan Allura terus mengelus perutnya. Ia harus yakin, ia akan berhasil meyakinkan Safiya. Instingnya tidak akan salah, Safiya lah wanita yang selama ini dia cari. Wanita yang akan membuat misinya berhasil.“Mbak Allura?” tanya seorang wanita dengan jaz abu-abu dan rambut hitam panjangnya.“Iya. Safiya, terima kasih sudah setuju untuk bertemu!” Allura langsung memeluk Safiya tanpa aba-aba.Safiya yang terkejut dengan perlakuan Allura pun hanya bisa diam di pelu
Usai bertemu dan mengobrol dengan Allura, Safiya merasa dilema berat. Sebelum ini ia sangat bersikukuh menolak alasan apa pun yang Allura berikan. Ia tidak ingin menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Namun, selalu lagi polemik stigma masyarakat soal perawan tua menghantuinya. Hidup di tengah masyarakat yang suka menilai memang sangat sulit. Apalagi jika penilaian itu tergolong penilaian yang buruk. Sebaik apa pun kita ingin mengubahnya, tetap saja, penilaian masyarakat akan terus menempel seperti bayangan kita sendiri.“Safiya, ini adalah adik saya, namanya Brian. Brian, ini Safiya, sekretarisku di sini. Dia akan menjelaskan tentang tugas dan kantor ini padamu,” ujar Hans–CEO perusahaan Safiya bekerja.“Baik, Pak.” Allura mengangguk paham. “Mari Pak Brian.” Safiya pun mengajak Brian untuk mengelilingi perusahaan terlebih dahulu sembari menjelaskan fungsi-fungsinya.
Pagi hari seperti biasanya, Allura sedang menyiapkan sarapan untuk Rayan. Ia masih sering teringat pada Safiya, masih menunggu pesan darinya. Tetapi Safiya tidak mengiriminya satu pesan pun. Allura pikir Safiya sedang sibuk. Ia hanya perlu bersabar. Jika pun Safiya menolak, pasti ia sudah mengatakan tidak saat itu juga–saat bertemu dengan Allura.“Oh, iya, Mas. Adek lupa bilang kalau nanti siang Adek ingin bertemu dengan Lysha. Adek merindukannya, berdiam diri di rumah saja juga membuat Adek jenuh.”“Baiklah, Mas temani ya. Mas bisa mengambil cut–““Jangan!” jawab Allura dengan cepat memotong kalimat Rayan.“Kenapa?”“Maaf, Mas. Adek hanya tidak ingin merepotkan Mas saja. Lagi pula, Adek ingin bersenang-senang dengan Lysha berdua saja. Jadi, biarkan Adek pergi ya.” Allura memohon dengan sangat manis. Bagaimana Rayan bisa menolak wajah i
Rayan POVKulihat wajah Allura yang pucat pasi, Aku pun mulai kembali khawatir. “Adek, ayo kita ke dokter saja,” ajakku padanya.“Kenapa Mas? Adek baik-baik saja. Bukankah tadi Mas sudah setuju kalau kita tidak perlu ke dokter?” jawabnya dengan pertanyaan.Aku merasa aneh dengan sikapnya. Ia selalu menolak jika kuajak ke dokter. Padahal kesehatannya terus menurun selama hamil. Sungguh, aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa padanya. “Wajah Adek terlihat pucat,” tuturku.“Ini karena seharian Adek terus bergerak. Jalan-jalan bersama Lysha begitu menyenangkan, sampai Adek lupa waktu. Dan Adek lupa kalau Adek sedang hamil, hehe,” jelasnya.Aku sama sekali tidak suka mengganggu kebahagiaannya. Apa lagi kalau harus berdebat hanya karena masalah sepele. Tapi aku benar-benar mengkhawatirkan soal kesehatannya. Bagaimana aku katakan padanya, bahwa aku sangat takut kehila
Hari-hari yang dilewati pasangan suami istri ini mulai berubah. Rayan dan Allura sudah berniat menjadi hamba yang lebih baik dari sebelumnya. Allura menjadi lebih sering bersholawat ketika sedang mengerjakan sesuatu. Ia bahkan tetap memakai hijabnya ketika berada di rumah.“Adek benar-benar berubah banyak,” ujar Rayan pada Allura yang sedang menyiapkan sarapannya.“Berubah bagaimana Mas?”“Mulai dari penampilan hingga sikap Adek terhadap Mas, sebagian besar berubah.”“Lalu katakan pada Adek, apa perubahan ini bagus? Apa Mas senang dengan perubahan yang Adek lakukan?”“Tentu saja semua ini bagus, Dek. Adek mengingatkan Mas akan bekal ke akhirat nanti. Sungguh, Mas merasa sangat senang dengan itu sayang.”“Terima kasih sudah mau mendukung keputusan Adek, Mas.”“Kembali kasih, kita sama-sama belajar ya. Kita juga harus
“Bagaimana denganmu Safiya? Kenapa sampai sekarang masih single?” tanya Allura penasaran. Raut wajah Safiya sedikit berubah menjadi murung. “Mulai dari mana harus aku ceritakan Mbak? Takdir cintaku begitu buruk. Seolah-olah aku hanyalah mainan baginya ....” Beberapa memori di masa lalu muncul di kepala Safiya. Membuatnya ingat akan kenangan pahit yang berusaha ia tutupi selama ini. Kenangan yang selalu berhasil membuat hatinya perih. Nyatanya kenangan itu sudah membuat luka abadi di hati Safiya. Belum ada yang berhasil membuat luka itu sembuh selama ini. Safiya sudah berusaha mencari seseorang itu, orang yang dengan ajaib akan membuatnya lupa akan kenangan-kenangan buruknya dalam cinta. Flashback on. Hari itu Safiya tengah berbunga-bunga hatinya. Ia baru saja menjalin asmara dengan pemuda yang ia idam-idamkan selama ini. Risky Fardiano, pria yang acap kali dip
Cuaca mulai mendung. Awan hitam sudah menutupi matahari tepat di atas kepala. Safiya terus memperhatikan rintik hujan yang perlahan mulai turun. Sampai akhirnya ia tersadar kalau mobil Iky sudah berhenti. “Kita sudah sampai?” tanya Safiya heran. “Iya,” jawab Iky dengan senyum khasnya. Ia pun turun dan membukakan pintu untuk Safiya. “Ayo,” ajaknya dengan mengulurkan tangan. Safiya pun memberikan tangannya pada Iky. Ia digandeng menuju sebuah toko. “Toko perhiasan?” tanyanya bertambah bingung. “Duduk di sini, tunggu sebentar ya.” Iky memanggil seorang penjaga toko lalu entah berbicara apa padanya. Kemudian penjaga toko itu mengambil satu kotak merah berukuran kecil. Ia memberikannya pada Iky dan Iky pun memberikan uang padanya. “Sudah. Ayo kita pergi,” ajak Iky lagi. Safiya lagi-lagi menurut tanpa bertanya. Ia tahu Iky akan menjawabnya seperti saat di mall tadi.
Safiya POV “Aku akan mempertemukanmu dengan Rayan hari ini,” ujar Mbak Allura ketika hendak pulang dari kafe. “Apa? Mbak bersungguh-sungguh?” tanyaku terkejut tak percaya. “Tentu saja Safiya. Tujuanku untuk menikahkanmu dengan Rayan juga bersungguh-sungguh.” “Tetapi dia adalah suami Mbak. Bagaimana bisa aku melakukan hal itu pada Mbak. Aku tidak ingin menyakiti perasaan Mbak Allura.” “Sudahlah, ini hanya perkenalan biasa.” Mbak Allura mulai mengetik di layar ponselnya. Mengirim pesan singkat agar Mas Rayan menjemputnya. Tidak sampai lima menit, Mas Rayan pun menyetujui permintaan istrinya itu. “Finish, Rayan akan datang beberapa menit lagi, bersabarlah.” Aku hanya terdiam. Entah mengapa hatiku berdebar. Mungkin grogi akan bertemu dengan laki-laki yang kusukai dari aplikasi dating? Ak