"Mas Rayan ingin makan apa?" tanya Safiya.
"Tidak perlu, mungkin sebaiknya aku pulang sekarang," jawab Rayan sembari menyesap teh cahmomile-nya yang sudah tinggal sedikit.
"Eh, tapi Mas Rayan belum makan apa pun. Biar aku pesankan sesuatu atau masakkan sesuatu?"
"Itu hanya akan merepotkanmu."
"Tidak Mas, anggap saja ini rumah Mas sendiri. Mana mungkin aku membiarkan rekan kerjaku pulang dengan perut kosong," ujar Safiya meyakinkan Rayan.
"Terserah padamu saja. Sebenarnya aku pun belum ingin pulang."
"Baiklah, biar kumasakkan spageti saja, ya."
"Tentu, apa pun yang kamu ingin masak sekarang."
"Baik, tunggu sebentar biar kumasakkan. Kalau Mas Rayan merasa bosan, Mas bisa setel saja televisi di kamar."
"Ah, tidak. Bagaimana kalau aku mengecek kembali data projek kita?"
"Boleh, laptopnya ada di kamar, di atas ranjangku."
"Oke."
Rayan menuju kamar Safiya dengan tenangnya. Ia se
Sinar matahari dari jendela mengenai tepat di wajah Rayan. Laki-laki idaman itu langsung membuka matanya dan tersadar. Padahal tidak sampai satu jam ia tertidur. Mungkin baru setengah jam saja karena ia masih ingin menunggu dan menyambut Allura pulang. Meskipun netranya masih terasa berat, Rayan memaksa dirinya untuk tetap terjaga. Apa lagi medapati rumah masih hanya ada dirinya saja. Allura belum juga pulang sejak kemarin. Rayan semakin cemas. Ia menelepon ke nomor ponsel Allura tapi masih tidak bisa dihubungi. Rayan tidak ingin diam saja kali ini. Ia beranjak membersihkan diri di kamar mandi lalu segera mengendarai mobilnya.Beberapa belakangan hari ini tampaknya Rayan mengendarai mobilnya lebih cepat dibandingkan kelajuan normalnya. Emosinya pun menjadi naik turun. Mungkin ia lebih sering bersikap normal pada Safiya. Sedangkan bersama Allura, ia lebih sering merasa aneh. Semenjak Allura mengenalkannya dengan Safiya waktu itu, Allur
"Jangan menyerah, Mas. Ayo kita cari ke tempat selanjutnya," ajak Safiya pada Rayan yang bersender pada pintu mobilnya. Rasanya ia enggan masuk ke dalam mobil lantaran bingung harus mencari Allura ke mana sekarang."Aku benar-benar mengkhawatirkannya. Bagaimana kondisinya sekarang? Apa dia sudah makan? Kenapa dia tidak menghubungiku sama sekali? Bagaimana kalau hal buruk sedang menimpanya?""Sssttt, Mas Rayan tidak boleh berpikiran seperti itu. Kita harus percaya kalau Mbak Allura baik-baik saja sampai kita bertemu dengannya. Aku tahu Mbak Allura adalah wanita yang tangguh." Safiya tersenyum dan menguatkan bahu Rayan."Huft, baiklah.""Ayo." Safiya mengisyaratkan untuk segera masuk ke dalam mobil."Tapi aku masih tidak tahu kita harus mencari Allura ke mana.""Mmm." Safiya menempelkan ibu jari dan jari telunjuknya di dagu. "Sepertinya Mbak Allura pernah bilang kalau kalian adalah teman kuliah dulu. Apa kalian tida
Badai terbangun. Ia langsung melirik jam di tangannya yang menunjukkan pukul empat pagi. Ia melihat Allura masih tertidur pulas. Badai hendak keluar ruangan dan pergi untuk membelikan beberapa roti untuk Allura. Badai pikir kalau Allura mungkin bosan dengan masakan rumah sakit. Ia pun pergi dan menyuruh seorang perawat untuk menjaga Allura selagi ia pergi. Sebelum benar-benar pergi, tentu saja Badai membersihkan dirinya terlebih dahulu.Badai pergi ke swalayan dekat rumah sakit. Ia tidak perlu menggunakan mobilnya untuk sampai di swalayan itu. Hitung-hitung olahraga pagi dan menikmati sunrise yang indah. Sesekali Badai mengambil beberapa gambar langit yang mulai menguning itu. Hobi memotretnya tidak akan diam saja jika melihat pemandangan seindah itu. Apa lagi dengan keahlian fotografernya Badai bisa mengambil foto yang sangat memukau.Setelah membeli beberapa roti dan juz, Badai langsung memberikannya pada
Dear Diary ....Aku tidak tahu tentang perasaanku sendiri. Aku merasa benar-benar sudah jatuhhati padanya. Tetapi aku tidak yakin akan itu. Aku takut ... takut jika cintaku akan bertepuk sebelah tangan lagi. Takut kisah cintaku kali ini pun akan gagal. Benarkah ini semua takdirku?Parahnya sekarang aku mencintai seorang lelaki yang sudah memiliki istri. Kau tahu? Dia sangat mencintai istrinya itu. Dia begitu cemasnya untuk menemukan istrinya. Ia bahkan tidak peduli akan makanan maupun wakti istirahatnya. Dan bodohnya aku, aku mengingatkan dan menemaninya layaknya seorang istri. Bahkan aku selalu memasakkan makanan untuknya beberapa hari terakhir ini.Jujur saja aku senang bisa bersamanya. Namun, aku pun merasa khawatir akan kepergian Mbak Allura. Mungkinkah ini bagian dari rencananya? Pergi selamanya tanpa berpamitan? Lalu Mas Rayan akan semakin dekat denganku dan menikah denganku? Astaga, pikiranku memang sudah gila. Tetapi kenapa ak
Rayan membukakan pintu mobil untuk Allura. Sedangkan Safiya hanya melihat kejadian itu dengan perasaan campur aduk. Rayan dan Allura duduk di bangku depan. Sedangkan Safiya di belakang. Melihat pasangan suami istri itu pasti membuatnya merasa tidak nyaman. Apa lagi suasana menjadi canggung karena tidak ada yang memulai percakapan sama sekali. Rayan tampak serius menyetir dan tidak berniat mengatakan apa pun. Sedangkan Allura dan Safiya sama-sama tidak tahu apa yang harus mereka katakan. Kejadian yang terjadi terakhir kali membuat mereka bertiga menjadi enggan untuk bicara. Takut salah bicara lalu memicu perdebatan maupun kejadian yang tidak diinginkan. Setelah melewati waktu yang terasa sangat lambat, sampailah mereka bertiga di tempat tujuan. Masih dengan hal yang sama, Rayan membukakan pintu untuk Allura dan membantunya berjalan masuk ke dalam rumah. Rayan kembali keluar untuk memarkirkan mobilnya. Ia lupa kalau masih ada mobil
Hari-hari yang menegangkan telah berlalu. Rayan dan Allura kembali menjalani hari-hari sebagai suami istri dengan bahagia. Mereka berdua sudah melupakan semua masalah yang sudah terjadi. Saling memaafkan dan kembali beraktifitas dengan penuh cinta. Rayan semakin perhatian pada istrinya, begitu pun Allura yang semakin mencintai Rayan. Tidak hanya itu, mereka berdua pun kembali memperbaiki pribadi masing-masing sebagai umat islam. Seperti pagi buta tadi, Allura membangunkan Rayan untuk sholat subuh berjamaah.Allura terbangun seperti biasa setiap jam tiga pagi. Wanita itu memang rutin bangun tanpa menggunakan alarm. Mungkin Allah memang sangat menyayanginya sehingga Allura selalu dibangunkan sebelum adzan subuh berkumandang."Sayang ... bangun, sebentar lagi azdan subuh." Allura menepuk lembut pundak suaminya. Ia mengalihkan tangannya untuk menyisir rambut Rayan menggunakan jemarinya."Mmm," gumam Rayan.
Masih dengan keadaan memar di wajah sebelah kiri --karena pukulan Rayan yang membabi buta-- Badai pergi menemui pamannya. Dia harus tahu bagaimana kondisi Allura saat ini. Apa wanita itu masih bisa bertahan. Berapa kemungkinan waktu untuk Allura bisa berada di dunia ini. Sungguh, jika mengingat keputusan bodoh Allura --menurut Badai-- dia sangat kesal. Apalagi laki-laki yang dicintai oleh Allura sangat tidak pantas mendapatkan pengorbanan sebesar itu. Lagi-lagi, ini menurut Badai.Dengan napas memburu, Badai mengetuk pintu ruangan pamannya.Tok tok tok!"Masuk!" Terdengar jawaban dari dalam sana. Badai menghela napas sebelum memutar kenop lalu mendorong benda yang terbuat dari kayu itu."Badai?" Dokter Albert cukup terkejut melihat keponakannya. Bukan karena Badai tak pernah menemuinya --justru sebaliknya-- melainkan sesuatu yang baru di wajah Badai mencuri perhatiannya. "Kenapa dengan wajahmu? Kau berkelahi?" Dokter Albert lan
Pulang dari pemotretan yang sama sekali tidak menghasilkan apa pun, Badai tidak langsung ke apartemennya, dia justru pergi ke klub malam untuk menghilangkan pikiran tentang Allura yang terus mengisi kepalanya.Kebetulan tadi ---Ibnu--- sahabat karibnya menghubungi, Badai segera membawa mobilnya untuk membelah jalanan malam Jakarta.Suara dentuman musik yang memekakkan telinga mengisi seluruh ruangan itu. Lampu kerlap-kerlip seakan menambah semaraknya malam. Semakin waktu menuju pagi, semakin meriah pula keadaannya, orang-orang yang terbiasa bergumul dalam kepenatan hidup seakan memenuhi tempat itu hanya untuk sekedar menenangkan pikiran. Termasuk Badai. Dia menatap lega saat melihat Ibnu datang lebih dulu darinya, hingga ia langsung menghampirinya."Bro! Sudah lama?!" tanyanya sambil memukul pelan punggung Ibnu dengan suara yang cukup keras.Ibnu menoleh sebentar lalu tersenyum dan menyambut uluran tangan Badai."Belum l