Darish dan Larissa duduk berhadapan di satu meja. Di atas meja sudah tersedia pesanan dua porsi dimsum, segelas lemon tea untuk Larissa dan sebotol air mineral untuk Darish. Namun, keduanya menunjukkan ekspresi wajah yang berbeda. Darish menatap Larissa datar. Sedangkan Larissa berusaha untuk tetap tenang di depan Darish.
“Jadi, pertemuan ini orang tua kita yang rencanakan?” tanya Rissa bersikap biasa-biasa saja.“Iya. Tapi, saya ingin membatalkan perjodohan ini,” ucap Darish cuek tanpa basa-basi.Kedua tangan Larissa saling menggenggam lembut dan kuat di balik kolong meja. Raut wajahnya terlihat kecewa saat Darish menolak perjodohan itu. Tidak ada yang bisa dilakukan Larissa kecuali diam. Namun, di dalam lubuk hatinya, Larissa berharap Darish setuju akan perjodohan ini.***Ulfa terlihat gelisah sambil mondar mandir di depan kasir dan terus menatap layar ponselnya. Karena kecemasan Ulfa yang berlebihan membuat Soraya gagal fokus saat menghitung uang dalam jumlah banyak dan berulang kali ia harus menghitung ulang.Soraya menghentikan menghitung uang dengan raut wajah gemas sambil menghela napas. “Dari tadi mondar mandir, Kak Ulfa tunggu siapa?”“Aku lagi tunggu, Larissa. Sudah jangan banyak tanya, hitung semua uang itu. Sebentar lagi kita akan tutup.” Ulfa berjalan ke arah pintu masuk dan keluar untuk memeriksa.***“Kenapa kamu diam saja? Jangan bilang kamu setuju dengan pernikahan ini?” tanya Darish mulai gelisah.“Iya. Aku memang ingin menikah dengan Abang.” Rissa memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Darish, walaupun terdengar menggoda.“Abang?”“Eum. Abang,” jawab Rissa sekali lagi dengan suara yang sangat lembut.Darish menyeringai heran ke arah Larissa. Ia terlihat gugup sambil menghela napas kesal. Ia berdiri dari tempat duduknya dengan penuh emosi. Lalu ia mendekatkan sedikit wajahnya ke arah Larissa dan menatapnya dalam.“Jangan harap pernikahan ini akan terjadi,” ucap Darish terlihat menantang Larissa.Kemudian, Darish pergi meninggalkan Larissa di Kafe seorang diri tanpa mengajaknya pulang bersama. Bahkan, Darish tidak menoleh kembali ke arah Larissa yang tengah diperhatikan pengunjung kafe lainnya.“Eh, kasian dia ditolak oleh pria tadi. Makanya, jangan sok cantik,” sindir seorang wanita di samping mejanya sambil menatap Larissa merendah.“Kasian sekali,” tambah temannya tertawa sinis.Larissa tetap duduk di kursinya tanpa bergerak sedikit pun. Ia bahkan melanjutkan makan dan minumnya sampai habis. Tidak peduli orang berkata apa, Larissa berusaha percaya diri agar tidak terlalu memalukan di depan semua orang.***Malam pun tiba. Darish kembali berjumpa dengan Jeremi di rumahnya. Mereka duduk sambil menikmati kopi di halaman belakang rumah dengan suasana angin malam yang begitu sejuk. Darish dan Jeremi berbarengan meneguk seteguk kopi dan menaruhnya kembali di atas meja.“Kau tahu, apa yang membuatku heran? Bisa-bisanya dia menggodaku dengan nada bicaranya yang lembut itu. Begini, nih. ‘Abang’,” ucap Darish mempraktekkan kembali penyebutan Larissa kepadanya. Ia menghela napas kesal. “Kau kira?”“Kau tak terpikat sama sekali? Kalau aku sih, pasti.” Jeremi memancing emosi Darish.Darish tertawa kesal. “Tak akan.”***“Sombong banget! Kenapa kamu nggak siram dia pakai air saja. Biar sombongnya itu hilang,” kata Ulfa yang kesal mendengar cerita Larissa dengan Darish tadi sore.Larissa sedang memakai serum pada wajahnya sambil berdiri di depan cermin.“Tidak, Fa. Aku harus terlihat dewasa dan bersikap tenang di depannya,” kata Rissa membalikkan badannya ke arah Ulfa yang sedang duduk di atas kasur.“Kamu yakin, Ris? Aku khawatir kamu nggak akan bisa bahagia dengan laki-laki itu.” Naluri Ulfa berkata seperti itu.Larissa terdiam saat Ulfa menanyakan keyakinannya yang memutuskan untuk menikahi sosok pria berhati dingin itu. Tak butuh waktu lama dalam menjawab, Larissa menatap Ulfa sambil tersenyum tipis dengan tatapan yang berbinar seakan-akan ia sudah jatuh cinta.Ulfa menyeringai heran. “Aku hanya bisa mendoakanmu. Semangat!”***Pada hari minggu, seperti biasanya Bu Fatimah bergegas siap-siap untuk pergi berbelanja ke pasar tradisional bersama Darish dan Azka. Setelah selesai bersiap-siap Darish dan Azka keluar kamar sambil bergandengan tangan. Terlihat jelas dari raut wajah mereka yang kurang bersemangat dan berjalan lambat untuk mengulur waktu.“Darish! Ibu sudah terlambat. Ayo, cepat.” Bu Fatimah menunggu Darish dan Azka di depan pintu rumah.“Aduh, bu. Kenapa pasar tradisional lagi? Darish nggak bisa,” keluh Darish keluar dari rumah. Ia terlihat kurang suka jika Bu Fatimah mengajaknya pergi ke pasar tradisional.“Cepat, nggak ada bantah!” perintah Bu Fatimah menatapnya tajam. Lalu, Bu Fatimah menggedong Azka dan membuka pintu mobil di jok baris kedua. “Ayo, Azka. Kita duduk di belakang.”Darish membengong menatap ibunya karena tidak duduk di kursi depan. “Di belakang? Emang Darish sopir, apa?”“Kalau nggak mau jadi sopir, segera menikah dengan Larissa,” sindir Bu Fatimah setiap ada kesempatan.Darish menghela napas kesal. “Larissa lagi, Larissa lagi.”Darish segera menaiki mobil setelah mendengar perkataan ibunya yang membuatnya kesal. Ia segera menaiki mobil dan pergi menuju pasar tradisional.***Beramai-ramai orang berbelanja di pasar tradisional kota Banda Aceh, karena kualitas sayur mayurnya masih segar dan bagus. Sebagai ibu rumah tangga, pastinya Bu Anita selalu mengunjungi pasar ini. Dan, hari ini Bu Anita mengajak Larissa untuk menemaninya.“Sayur! Sayur, bu!” tawar penjual sayur itu.Bu Anita mendekati tong penjual sayur dan mengambil sayur bayam yang masih berakar. “Sayur yang seperti ini masih baru dan segar, ya ‘kan, bu?”“Iya, bu. Ini masih segar karena baru dipetik tadi pagi,” jawab penjual itu dengan ramah.Bu Anita memperlihatkan bayam itu pada Larissa. “Kalau mau beli yang seperti ini nanti, oke?”“Iya, ma,” jawab Larissa singkat sambil tersenyum tipis. Lalu, ia memilih sayur yang lainnya.Larissa seorang anak yang penurut. Walaupun ia jarang menemani ibunya untuk berbelanja karena sibuk di toko, tapi ia tetap berusaha mensisakan waktu untuk keluarga. Begitu juga dengan Darish yang selalu setia menemani ibunya yang sudah single mother.“Anita?” panggil Bu Fatimah menepuk bahu Bu Anita yang tidak sengaja bertemu di pasar.Bu Anita menoleh dan membalikkan badannya. “Eh, kak Fat.”Darish hanya tersenyum tipis ke arah Bu Anita sebagai sapaan biasa. Ia berdiri di samping kiri Bu Fatimah sambil menggendong Azka. Pada saat itu, raut wajahnya biasa saja karena ia belum mengenal Bu Anita. Dan, Larissa sedang memberikan bayaran kepada penjual sayur dan menunggu kembalian.“Rissa, cepat. Ini ada Mak mertua. Eh, maksudnya ada Wak Fatimah dan Darish," ucap Bu Anita sengaja sambil mengedipkan mata ke arah Bu Fatimah.Sontak Darish mengerutkan alisnya dan menyadari perkataan dari ibu itu. “Rissa? Mak mertua?”Sedangkan, Larissa tidak mendengar perkataan ibunya karena terdengar terlalu berisik.“Iya, ma. Mama bilang apa tadi?” tanya Larissa mendekati ibunya tanpa melihat karena sedang memeriksa sayur di dalam plastik.“Kamu!?” tunjuk Darish menggunakan tatapan tajamnya. Ia memundurkan kakinya selangkah karena terkejut.Larissa menaikkan kepalanya dan menatap sang calon suami. Ia juga terkejut sambil tersenyum ke arah Darish yang sedang menggendong anak kecil, tapi ia tidak terlalu memperhatikannya. Lalu, ia melihat ke arah bu Fatimah."Assalamu'alaikum, Wak," ucap Larissa memanggil dengan sebutan pengganti tante orang Aceh. Dan, ia bersalaman mencium tangan.“Kakak cantik!” panggil Azka.Larissa menoleh ke arah anak kecil yang hanya sekilas diperhatikannya tadi karena begitu fokus pada Darish. Larissa mengerutkan alisnya berusaha mengingat wajah anak kecil itu. “Azka? Hai, Azka," sapa Larissa sangat senang.Azka meminta untuk diturunkan dari gendong sambil menepuk bahu papanya. Darish menurunkan Azka dann bergegas lari ke arah Larissa juga memeluknya.“Hah? Kamu kenal anak saya?” tanya Darish pada Rissa yang tercegang kaget hingga mulutnya terbuka.“Iya," jawab Larissa singkat dan mencubit pipi tembem Azka.Karena tidak menyukai perlakuan Larissa terhadap anaknya, Darish menarik Azka kembali dengan memegang lengan tangannya, "Jangan sentuh anak saja!"***Beberapa saat kemudian. Bu Fatimah sedang berada di pantri dapur rumahnya sambil mengeluarkan barang-barang belanjaan dari plastik. Wajahnya cemberut dan terlihat kesal dengan sesuatu hal yang membuatnya sakit hati.“Memang anak tak punya abad. Dari kecil aku sudah ajarkan dia sopan santun, tapi apa yang dia lakukan. Dia malah sakitkan hati aku. Ibunya sendiri.” Bu Fatimah berbicara seorang diri di dapur sambil mencurahkan kekesalannya.Darish yang hendak menuju ke dapur menemui ibunya dengan raut wajah yang gugup, ia malah tidak berani menemui ibunya untuk minta maaf. Ia berdiri di samping pintu dapur yang sesekali melihat apa yang sedang di lakukan ibunya. Darish sangat khawatir karena ibunya memotong daging ayam dengan sembarangan karena kesal. “Aku pun nggak bisa kontrol emosi aku. Sekarang, ibu sangat marah padaku.” Darish menghela napas berat untuk menenangkan dirinya dan memberanikan diri mendekati ibunya sambil tersenyum. “Ibu.” “Kamu sengaja bikin malu Larissa di tempat umum seperti itu?” tanya Bu Fatimah sedikit menunjuknya dengan pisau karena memang ia sangat kesal.Darish mengangkat kedua tangannya. “Bu-bukan seperti itu, bu. Di-a masih muda sekali. Nggak cocok sama Darish, ‘kan?”“Cuma itu alasannya?”Darish tertawa bodoh. “Letakkan pisau dulu, bu. Bahaya,” ucap Darish perlahan-lahan mengambil pisau di tangan ibunya dan menaruhnya di pantri.“Ibu mohon, Darish. Mungkin ini permintaan ibu untuk terakhir kalinya. Manalah tahu mungkin ibu akan susul bapakmu,” ucap Bu Fatimah begitu kekeh.“Bu!”“Kenapa? Ingat ya, Darish. Sampai kapan pun, ibu nggak akan terima Claudia di keluarga ini lagi. Apa kamu masih berharap dia akan kembali?”Bu Fatimah mencurigai Darish yang mungkin saja masih mencintai mantan istrinya itu. Ia menatap Darish tajam.“Nggak, bu. Darish benci dia. Sebab itu Darish nggak mau menikah lagi. Darish nggak mau mengulang hal yang sama.”“Nggak. Larissa gadis yang baik. Ibu yakin, kamu akan bahagia dengan dia. Keputusan sudah muktamat dan kamu akan menikat dengan Larissa bulan depan,” pungkas Bu Fatimah kembali mengambil pisau untuk memotong ayam dengan keras.Darish ingin membantahnya lagi, tapi tidak memiliki kesempatan untuk menolak. Ia hanya bisa berdiri seraya menghela napas lemas di samping ibunya tanpa berkata apa-apa. Jika, Bu fatimah sudah memutuskan, maka tidak ada yang bisa membantahnya.BERSAMABUNG🍁Keesokan paginya, Larissa yang baru saja selesai membersihkan diri, ia langsung keluar dari kamar mandi menuju meja rias. Raut wajahnya terlihat senang. Ia duduk di atas kursi sambil menatap wajahnya di cermin."Akhirnya, ia mengaku Ya Allah. Aku sangat senang suamiku mengatakan cintanya padaku," lirihnya dalam hati sambil menyisir rambut panjangnya itu sambil tersenyum.Di sisi lainnya, Darish yang sudah berangkat ke rumah sakit langsung disibukkan dengan pasien yang mengeluh akan giginya yang sakit. Satu persatu sesuai antrean pasien memasuki ruangan dr.Darish. Sebagai dokter spesialis gigi, Darish memberikan penanganan yang baik untuk pasiennya. Ia sangat profesional dan ramah. Apalagi dr. Darish sangat ahli dalam membujuk anak kecil. Tapi, ada seorang anak laki-laki berusia 10 tahun tidak mau mencabut giginya dengan alasan sakit. Ia memberontak hingga ibunya terjatuh dari kursi."Akh!" keluh wanita itu sudah terduduk di atas lantai karena anaknya mendorongnya. "Eh, ibu," kaget Da
Malam pun tiba. Darish merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil memeluk guling dan mengeluh kesakitan di bagian perutnya. Keringatnya keluar di sekujur wajahnya karena ia tak sanggup menahan kram di perutnya itu. "Sakit perut karena minum teh?" Larissa agak terkejut dengan pengakuan sang mertua, Bu Fatimah, yang mengatakan kalau Darish tidak bisa minum teh.Ia sedang berbicara dengan Bu Fatimah lewat hp. Kata Bu Fatimah, "Darish tidak bisa minum teh karena menderita penyakit lambung yang parah. Saat Darish mencoba berkali-kali minum teh, Darish langsung sakit perut. Sejak SMP, Darish sudah tidak lagi minum teh. Dia memang tidak bisa minum teh. Sama seperti Almarhum Ayahnya.""Oh begitu. Maaf, Umi, Rissa nggak tahu kalau abang Darish nggak bisa minum teh," ucap Larissa merasa bersalah. Larissa melirik ke arah Darish yang menatapnya dari tempat tidur dengan raut wajah agak kesal. Larissa agak ketakutan jika Darish marah. "Baik Umi, Rissa akan memberikan obat untuk abang Darish. Sampai
Larissa dan Darish duduk berdampingan di sofa ruang tamu. Mereka duduk berhadapan dengan Megan dan kak Ratna. Sedangkan Bu Anita dan Pak Hasballah duduk di sofa lainnya berdekatan dengan sofa Larissa dan Darish. Bu Anita juga sudah menyiapkan beberapa teh hangat dan bolu lapis di atas meja. "Ratna, Megan, silahkan diminum tehnya. Nanti dingin," suruh Bu Anita. "Iya, terima kasih, Bu," kata Kak Ratna. Sedangkan Megan hanya tersenyum tipis ke arah Bu Anita.Kak Ratna dan Megan serentak mengambil minuman dan meneguknya seteguk saja. Lalu, menaruhnya kembali di atas meja. Megan bersikap cukup tenang di depan keluarga Larissa. Terutama sekali di depan Darish. Ia terus saja memandang Darish dan tersenyum ke arahnya. Larissa menatap Megan tanpa senyuman. Wajahnya cemberut bagai melihat musuh dan ia sangat tidak menyukainya. Begitu juga dengan Megan. Ia sengaja membuat Larissa kesal dengan tersenyum sinis. *** Ulfa berdiri di depan pagar rumahnya dengan penampilan yang sudah rapi. Ia meng
Kak Ratna merasa susah hati, jika Megan betul-betul serius akan perasaannya terhadap Darish. Tapi, ia berusaha tenang menanggapi sikap Megan yang sering kali memberontak. Kak Ratna mengambil lima piring dan membawanya ke meja makan.Megan mengikuti kakaknya dari belakang. "Tapi kak, aku mau dia yang jadi suami aku," keluh Megan berharap kakaknya membantunya."Dia suami orang, Megan. Kakak nggak mau kamu menjadi pengganggu rumah tangga orang lain. Apalagi Larissa," ucap Kak Ratna terdengar serius seraya menaruh piring di atas meja. Langkah Megan pun sontak terhenti saat mendengar kakaknya menyebut nama Larissa. "Memangnya kenapa kalau dia? Kenapa Kakak terlihat sangat menyukai wanita itu?" tanya Megan kesal. Kak Ratna menghela napas seraya membalikkan badannya ke arah Megan dan menatapnya tersenyum heran. "Bukan seperti itu. Cuma, orang tuanya itu pemilik rumah sewa ini, mengerti? Kamu mau Kakak diusir? Kakak sangat menyukai lingkungan ini, Megan. Tapi, bukan itu yang menjadi alasan t
Enggan berbaikan dengan sang suami, Larissa malah semakin cemberut menatap sang suami saat Bu Anita, Bu Fatimah dan Azka datang menjenguknya. Ia mengabaikan Darish dengan memeluk Azka yang duduk di atas ranjangnya. Azka begitu dimanjakan oleh Larissa dan Azka sangat senang. Darish memilih untuk duduk di sofa dan memerhatikan sikap perhatian Larissa pada sang anak. Walaupun ia belum berhasil membujuknya, namun ia bahagia melihat Larissa begitu menyayangi Azka. Ia menghela napas lega. 'Untung ada Azka yang menjadi pelipur lara'Sedangkan, Bu Anita dan Bu Fatimah berdiri dari sisi yang berlawanan dan saling berhadapan. Mereka merasa lega karena Larissa baik-baik saja."Kamu makan mie instan lagi 'kan, 'kan, 'kan?" Bu Anita mencubit lengan Larissa karena geram akan perbuatannya."Aduh, ma! Sakit!" keluh Larissa mengusap-usap lengannya dengan tangan kiri. "Sudah, Nita. Rissa lagi sakit, loh. Kamu mau kesehatannya memburuk lagi? Dia sedang hamil," sahut Bu Fatimah membela menantu kesayang
Darish berlari dengan cepat memasuki Supermarket, saat ia melihat seorang pria mendekati Larissa di meja. Ia mendorong pintu dengan tenaga keras dan berdiri menatap pria itu dengan tatapan tajam. "Hei, dia istri saya!" teriak Darish. Sontak pria tersebut terkejut dan menoleh ke arah Darish. "Oh, maaf. Saya hanya ingin memeriksanya. Sepertinya, istri Anda pingsan," kata pria yang bertugas sebagai pekerja Supermarket tersebut. "Pingsan?" Darish sangat khawatir dan berjalan mendekati Larissa. "Rissa? Rissa?" panggil Darish beberapa kali sambil menepuk pundaknya. Tapi, Larissa tidak sadar. "Dari tadi istri Anda kerjaannya hanya makan. Saya khawatir istri Anda pingsan karena menghabiskan semua makanan berlemak ini," lanjut pekerja itu berprasangka seperti itu. Darish memerhatikan sebentar semua bekas plastik di depan Larissa yang sudah habis tanpa sisa. Ia menghela napas cemas dan menatap Larissa yang tak bergerak sedikit pun."Apa istri saya sudah membayar semua makanan ini?" tanya Da