Share

Bab 2: Mengatur Pertemuan

Tepat pada pukul 07:00 pagi, Darish membantu anaknya Azka mengenakan seragam sekolah serta memakaikan dasi berwarna biru di kerah bajunya dengan rapi. Anak berusia empat tahun itu memiliki wajah yang tampan seperti ayahnya. Ia juga pandai bercakap dan tingkahnya begitu menggemaskan.

“Papa.” Azka memanggilnya dengan nada lembut.

“Iya, Sayang,” jawab Darish juga lembut.

“Kenapa Azka nggak punya mama?” tanya Azka dengan raut wajah yang polos.

Darish terdiam sejenak sambil menatapnya. “Azka punya mama, Sayang.”

“Kalau Azka punya mama, kenapa mama sekarang nggak ada di sini? Mama nggak sayang Azka, ‘kan?” tanya Azka lagi dengan raut wajah sedih dan nada bicara yang masih terbata-bata.

“Mama sayang Azka,” jawab Darish singkat karena kebingungan untuk menjelaskannya pada Azka yang masih terlalu kecil.

Bu Fatimah tidak sengaja mendengar pembicaraan anak dan cucunya itu saat ingin menghampiri mereka di kamar dan hanya berdiri di depan pintu. Hatinya sangat sakit mendengar ungkapan sedih cucunya yang menanyakan keberadaan ibu kandungnya. Ekspresi wajah Bu Fatimah menyimpan amarah yang begitu besar kepada wanita yang merupakan ibu kandung Azka.

“Aku tidak akan memaafkanmu, Claudia.” Bu Fatimah menggenggam kedua telapak tangannya dengan kuat.

***

Sontak Ulfa tiba-tiba menghentikan mengaduk adonan kue sambil menatap Larissa dengan raut wajah terkejut. “Apa? Kamu dijodohkan mamamu?”

“Iya. Tapi, aku nggak setuju, Fa. Aku nggak bisa menikah dengan seorang duda. Aku nggak bisa, Fa.” Larissa berbicara sambil menggerak-gerakkan tangannya.

“What? Duda?”

Larissa mengangguk dengan raut wajah sedih. “Eum.”

Ulfa tercegang kaget mendengar perjodohan sahabatnya itu. “Jangan-jangan, duda tua lagi. Kamu kenal nggak?”

Larissa menggeleng kepalanya, lalu memajukan bibir bawahnya untuk menunjukkan kesedihan yang mendalam pada sahabatnya itu. Ia terlihat gelisah dengan perjodohan ini karena ia tidak mengenal pria tersebut.

***

“Kau kira ibuku akan membiarkan ini? Aku yakin kali ini ibuku serius akan menjodohkanku dengan pilihannya,” kata darish pada sahabatnya, Jeremi.

“Ya sudah. Kau setuju saja,” jawab lelaki berkulit sawo matang itu begitu gampang.

“Aku nggak bisa, bro. Sampai kapan pun pernikahan bukan jaminan kebahagiaan untukku dan Azka. Apa kau lupa yang dilakukan Claudia padaku? Sakit, bro.” Darish mengungkapkan sakit hati yang mendalam pada istrinya.

Tiga tahun yang lalu pada tangal 27 januari 2018, Darish bertengkar hebat dengan istrinya, Claudia. Darish sangat marah saat Claudia memutuskan pergi meninggalkannya. Ia memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper dengan buru-buru.

“Kamu akan pergi meninggalkanku dan anak kita?” tanya Darish begitu marah saat melihat Claudia memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper.

“Iya, aku akan pergi. Dan, kamu nggak ada hak untuk larang-larang aku!” jawab Claudia kasar.

“Nggak ada hak? Aku ini suami kamu, Claudia!”

Claudia menutup resleting koper, lalu menatap Darish sambil menyeringai dan pergi meninggalkannya.

“Oke, bro. Pilihan itu hanya kau yang boleh putuskan. Aku hanya bisa mendoakanmu,” ucap Jeremi mengerti akan perasaan Darish.

***

Keesokan harinya tepat pada hari minggu, Larissa dan pegawai toko terlihat begitu sibuk melayani pelanggan yang menunggu pesanan. Tak lepas tangan, Larissa, Ulfa dan seorang asisten bernama Dewi memiliki tugas masing-masing pada proses pembuatan keik.

Larissa pengaduk adonan, Dewi pemanggang keik dan Ulfa pemberi topping. Mereka kadang bertiga bertukar tempat untuk saling membantu. Larissa memilih Ulfa dan Dewi sebagai orang terpercayanya di area dapur. Sebagai mahasiswa lulusan tataboga, Larissa ingin menjalankan usahanya ini dengan kerja keras.

Di sisi dalam kafe, pegawai-pegawai terpercaya Larissa lainnya adalah Soraya sebagai karsir, Gia sebagai pelayan 1, Intan sebagai pelayan 2, dan Indah sebagai pengantar makanan. Pegawai-pegawai Larissa begitu ramah dan sopan santun saat melayani pelanggan. Berakhlak baik, berpakaian rapi, bersih dan menarik merupakan salah satu trik untuk menarik perhatian konsumen.

Ulfa merebahkan punggungnya di atas sofa di ruang kerja Larissa. “Hari ini sangat melelahkan.”

Larissa berjalan menuju kursi kerjanya dan membuka buku harian kerja yang sudah banyak ditulis banyaknya pesanan harian. Setelah menulis, ia menutup buku tersebut dan bersandar di atas kursi sambil menutup kedua mata.

Tiba-tiba Ulfa bangun dari sandarannya. “Eh, Ris. Ini sudah sore, loh. Bukankah tadi kamu bilang, mamamu suruh kamu mampir ke super market sebentar.”

Sontak Larissa membuka kedua matanya, “Ya Allah. Aku hampir lupa.” Larissa bangun dari sandarannya dan mengambil tas serta kunci mobil, “Aku pergi dulu.”

Larissa pergi dengan buru-buru dan meninggalkan Ulfa sendirian di ruangannya.

Ulfa menghela napas berat saat melihat tingkah Larissa yang sering lupa akan sesuatu. Ia merebahkan kembali badannya ke atas sofa. “Sifat lupanya nggak pernah hilang.”

***

“Azka mau eskrim, Mba.” Azka menyuruh baby sisternya yang bernama Kak Asi, untuk mengambil eskrim di Freezer. Azka dan Kak Asi sedang mampir ke super market.

“Azka nggak boleh makan eskrim, nanti papa marah. Jangan ya, Azka. Bagaimana kalau Kak Asi belikan susu untuk Azka," bujuk kak Asi

“Nggak mau. Azka mau eskrim, Kak!” teriak Azka kesal dan menangis.

Orang-orang di super market mendengar teriakan anak kecil yang sedang marah. Sangat kebetulan sekali Larissa berada di super market yang sama dan ia menuju ke arah pizer saat melihat sosok anak kecil sedang menagis.

“Hai, adik tampan. Kenapa kamu menagis?” tanya Rissa sedikit menunduk dan menyentuh pipi kanan Azka dengan lembut.

“Azka mau eskrim,” tunjuk Azka ke arah gambar eskrim di Freezer.

“Baiklah. Kakak akan belikan eskrim yang sangat besar untuk Azka. Tapi, Azka jangan nangis lagi." Rissa menghapus air mata Azka.

“Maaf. Tapi, Azka tidak diizinkan untuk makan eskrim,” larang kak Asi.

“Kak, belikan sekali saja untuknya. Kasian dia,” pinta Larissa sambil menatap kak Asi dengan tatapan memohon.

Permintaan Larissa akhirnya bisa meluluhkan hati Kak Asi. Walaupun Kak Asi terlihat cemas, namun ia tidak tega melihat Azka terus bersedih. Azka sangat gembira dan memilih eskrim kesukaannya yang dibantu oleh Larissa.

***

Malam pun tiba. Suasana di rumah Larissa terlihat begitu tenang karena hanya dia dan kedua orang tuanya yang tinggal di rumah itu. Ia dan kedua orang tuanya berkumpul di kursi sofa dan membicarakan perkara yang serius, yaitu tentang perjodohannya.

Bu Anita memperlihatkan gambar Darish dan Azka di ponselnya pada Larissa. Hati Larissa langsung tersentuh saat melihat ketampanan Darish. Kegembiraannya tiba-tiba semakin kuat saat melihat Azka, sosok anak kecil yang baru saja ia temui di super market tadi sore.

“Ini siapa, ma?” tanya Rissa menunjuk Azka.

“Ini anaknya, Azka. Darish memiliki seorang anak laki-laki pada pernikahannya dulu,” jelas Bu Anita.

“Bagaimana? Apa kamu sudah siap menjadi istri kepada Dokter Darish Iskandar?” tanya papanya yang bernama Pak Hasballah.

“Rissa nggak siap, pa,” jawab Larissa berterus terang untuk menolak.

Bu Anita dan Pak Hasballah, kedua orang tua yang kuat agama. Mereka sangat menyayangi anak tunggalnya ini. Jadi, mereka juga bisa merasakan kebahagiaan yang akan menghampiri anaknya.

“Nak. Tidak ada takdir yang lebih baik kecuali takdir Allah. Kamu jangan takut menikah dengan pria yang sebelumnya pernah gagal menikah. Dia seorang pria yang baik. Percayalah. Allah akan melindungi mu, Nak,” ujar Pak Hasballah mulai menasehati Rissa.

“Kamu jangan khawatir. Ridha orang tua adalah ridha-Nya Allah.” Bu Anita mulai membujuk Larissa.

Larissa terdiam sejenak dan menghela napas halus dan tenang. “Jika memang ini yang terbaik, Rissa setuju untuk menikah dengannya, ma, pa.”

Bu Anita sangat terharu dengan keputusan Larissa yang begitu bijak. Ia tak menyangka Larissa akan sepatuh ini kepada orang tuanya. Bu Anita dan Pak Hasballah sangat bangga kepada Larissa.

***

Satu minggu kemudian. Bu Anita terlihat gelisah karena ia belum mendapatkan berita apa pun dari Bu Fatimah tentang perjodohan itu. Dan, secara kebetulan Bu Fatimah malah tiba-tiba menelponnya.

“Assalamua’laikum, Anita.” Bu Fatimah sedang duduk di sofa ruang tamu seorang diri.

“Waa’laikum salam, kak Fatimah. Kenapa kamu akhir-akhir ini jarang telfon?” tanya Bu Anita tanpa basa-basi.

“Maaf, Nit. Akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Kamu tahu ‘kan Darish itu sangat keras kepala. Tapi, kamu tenang saja. Aku yakin jodoh mereka kuat. Eh, bagaimana kalau kita pertemukan mereka berdua di Kafe Sanger yang lagi terkenal itu?”

“Memang bisa?”

Bu Fatimah dan Bu Anita mengatur sebuah pertemuan untuk Larissa dan Darish di kafe Sanger Banda Aceh tanpa sepengetahuan mereka.

***

Pada pukul 3:30 sore, Larissa sedang menikmati segelas minuman Lemon Tea dingin kesukaannya, di Cafe Sanger seputaran kota Banda Aceh. Ia duduk seorang diri di meja nomor 27, di samping dinding kaca yang mengarah ke meja lainnya dan membelakangi pintu masuk.

Beberapa menit kemudian, Darish sampai di parkiran Cafe Sanger. Ia segera turun dari mobil dan berjalan memasuki kafe sambil mencari meja nomor 27. Sontak langkahnya terhenti saat ia melihat bagian punggung seorang wanita yang begitu asing baginya. Ia mengerutkan alis sambil berpikir. Lalu, ia tersenyum sinis dan menghampiri gadis itu.

Sontak Larissa terkejut seraya menggenggam ponselnya kuat saat melihat seorang pria yang sama persis di ponsel ibunya beberapa hari yang lalu. Kini, sosok pria itu berada tepat di hadapannya.

‘Darish Iskandar’

Penampilan Darish terlihat menarik di mata Larissa yang mengenakan pakaian kasual kaos putih berlengan pendek, celana jins berwarna hitam, dan sepatu sneaker putih. Saat Darish membuka kacamata hitam yang menutupi matanya, Larissa semakin terpikat dengan aura karismatik calon suaminya itu dan membuat jantungnya berdegup kencang.

Pada hari pertemuan itu, Larissa juga terlihat cantik. Ia mengenakan blus kemeja hijau army, celana kulot dan jilbab segi empat krem muda. Wajahnya kemerah-merahan dengan aura yang berseri. Wajahnya berbentuk hati, bibir bawah agak tebal, hidung mancung, dan matanya berbentuk kacang almond dengan bulu yang tebal. Larissa memberikan senyuman manis kepada calon suaminya itu.

“Hai, calon suamiku,” sapa Larissa tanpa sungkan sambil tersenyum manis kepadanya.

Sontak batin Darish terkejut, mengerutkan alisnya sambil menatap Larissa dengan heran. Sebelum pertemuan, Darish sempat berpikir Larissa akan cuek dan menolak kehadirannya. Tapi, ternyata Larissa menyambut kedatangannya dengan baik.

BERSAMBUNG🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status