Beranda / Rumah Tangga / Istri Kedua yang Diinginkan / Part 7. Layaknya Istri Sungguhan

Share

Part 7. Layaknya Istri Sungguhan

Penulis: Loyce
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-19 07:46:44

“Apa maksud Bapak mengatakan itu?” 

Sinar mundur dengan jantung terasa terguncang mendengar ucapan Praba pagi ini. Sungguh, ini sangat mengejutkan untuknya. Tiba-tiba saja Sinar mengelus perutnya seolah dia tengah melindungi janin yang ada di dalamnya. 

“Kalau Bapak tidak ingin memiliki anak dengan Bu Talita, kenapa … Bapak pada akhirnya menerima rencana itu?” Sinar sungguh merasa hampir gila karena pasangan tersebut. Ini baru berjalan beberapa hari, tetapi semua sudah seperti benang kusut yang semakin terpaku satu sama lain. 

“Dan inilah permainannya, Sinar.” Setelah mengatakan itu, Praba lantas pergi meninggalkan rumah satu lantai yang ditempati oleh Sinar itu menggunakan mobilnya. 

Sinar masih mematung di tempatnya dengan jantung yang masih berdetak dengan kencang. Dia mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Praba. Akan tetapi jika dia mengingat bagaimana Praba dan Talita, bagaimana interaksi dua orang tersebut satu sama lain, Sinar merasa segala yang diucapkan oleh Praba adalah sebuah kebenaran. 

Penolakan itu bukan karena Praba mencintai Talita, melainkan karena dia memang tidak mencintai istrinya. Lelaki itu tidak ingin memiliki anak dengan orang yang tidak dicintainya. Sebuah ingatan tentang pertengkaran Praba dan Talita malam itu membuat Sinar kembali mencerna. 

Sinar tidak salah mendengar jika Praba mengatakan dia tak akan pernah meninggalkan Talita meskipun perempuan itu tak bisa memberinya anak. Semuanya terasa seperti sebuah teka-teki bagi Sinar. 

“Bu Sinar.” 

Segala lamunan yang baru saja menggelung Sinar itu kini buyar begitu saja. Bibi mendekat dan menatap Sinar, memastikan jika majikannya baik-baik saja. 

“Ibu baik-baik saja?” tanya Bibi. “Ibu sudah berdiri di sini beberapa menit dan tidak bergerak.” 

“Saya baik-baik aja, Bi. Tolong apa pun yang terjadi pagi ini jangan kasih tahu Bu Talita, ya, Bi. Ucapan Pak Praba itu …” Sinar menarik napasnya panjang. “Birkan kita saja yang tahu.” 

Bibi mengangguk ragu. “Lalu bagaimana dengan Bu Talita, Bu? Kalau beliau tahu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga meskipun itu hanya masak, saya yang akan mendapatkan teguran.” 

“Biarkan nanti saya yang bicara. Sebelum ini saya bekerja sebagai asisten chef dan memasak adalah hal yang sangat saya sukai. Dan mengurus suami tentu untuk pertama kali akan aku lakukan.” Kalimat terakhir itu tentu saja Sinar ucapkan di dalam hati. 

Apa pun yang baru saja didengar dari mulut Praba sebelumnya, dia akan menutupinya. Biarkan saja itu menjadi rahasianya. Yang penting baginya sekarang adalah dia bisa melindungi janin yang ada di dalam kandungannya. 

*** 

“Maaf, Bu, ini ada beberapa barang milik Pak Praba. Saya diminta mengantarkan ke rumah ini.” 

Sinar bisa melihat satu koper besar yang pasti berisi pakaian beserta tiga box barang yang Sinar tidak tahu apa isinya, diletakkan di tengah-tengah ruang tamu. Dia tadinya sedang beristirahat di dalam kamarnya ketika Bibi memberitahukan tentang kedatangan dua orang pengantar barang. 

Sinar bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa. Praba ternyata bersungguh-sungguh akan tinggal di rumah ini. Sinar pikir, mungkin saja lelaki itu akan membagi waktunya dengan tinggal di rumah ini dan di rumah Talita. 

“Terima kasih, Pak. Tolong bilang kepada Pak Praba kalau saya sudah menerimanya.” Pada akhirnya, Sinar bersuara dan memberikan senyum ramahnya. 

“Baik kalau begitu, Bu. Kami pamit dulu.” 

Sinar mengangguk dan memberikan jawaban singkat berupa, ‘Ya’ Sebelum dia menarik napasnya panjang. Meminta Bibi agar membawa barang-barang Praba ke dalam kamar yang ditempati lelaki itu. 

Jika sudah begini, maka yang harus dilakukan Sinar adalah bersabar menghadapi ‘suaminya’ tersebut dengan hati yang lapang. Belum lagi masalah Talita yang pasti akan membuatnya semakin sakit kepala. 

Hidup Sinar benar-benar berubah hanya dalam waktu satu bulan. Segalanya menjadi semakin rumit dan memusingkan. 

Deringan ponsel yang ada di genggaman Sinar bergetar dan memunculkan nama Surya di sana. Sinar sampai lupa mengabari adiknya setelah sampai di rumah barunya. 

“Sur.” Dia membuat nada bahagia agar adiknya tidak terdengar dia sedang banyak pikiran. 

[Kakak sepertinya bahagia di sana.] Suara Surya sedikit lemah seperti biasa. 

“Bagaimana dengan kamu? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” Sinar menutup matanya dan bibirnya bergetar karena mengingat adiknya. Ada tangis yang ingin sekali keluar dari netranya yang berusaha ditahannya. 

[Keadaanku juga baik. Aku terus memikirkan Kakak. Kakak sudah berbuat begitu banyak buat aku.]

“Sudah seharusnya.” Sinar menjawab lembut. “Oh, ya, Kakak harus kembali bekerja. Nanti setelah Kakak pulang, Kakak telepon kamu lagi. Jangan lupa, bulan depan kita akan bertemu.” 

[Ya. Kakak selalu jaga kesehatan. Aku sayang Kakak.]

Sambungan itu terputus dan membuat Sinar tergugu di sofa ruang keluarga. Segalanya berubah hanya dalam waktu singkat. Sinar selalu mengatakan kepada dirinya sendiri jika semuanya akan baik-baik saja. Dia akan bertahan demi adik yang disayanginya. 

Tenggelam dalam kesedihan, membuat Sinar lupa waktu. Dia hanya terus melamun sampai matahari tengelam dan dia memutuskan untuk beranjak untuk membersihkan tubuhnya. Perutnya juga terasa lapar. Bayangan ayam pedas manis sudah menari di dalam kepalanya. 

Sinar memasak dibantu dengan Bibi dan Bibi selalu memastikan jika Sinar tidak kelelahan. “Bu Sinar kalau sudah capek, berhenti aja. Biar Bibi aja yang meneruskan.” Begitulah kata Bibi. 

Sinar hanya tersenyum kecil melihat kekhawatiran yang ditunjukkan Bibi kepadanya. “Saya baik-baik saja, Bi.” 

Sinar hanya mencoba untuk mengenyahkan segala pikiran buruk yang ada di dalam kepalanya. Setelah mendengar suara Surya, dia merasa ingin pulang dan menemui adiknya tersebut. Bagaimanapun, selama ini mereka tidak pernah terpisah kecuali saat Sinar sedang bekerja. 

Suara deruan mesin mobil membuat Sinar dan Bibi saling pandang, tak lama setelah itu, Praba masuk dengan wajah yang kusut dan tampak lelah. Sinar tidak ingin terlalu dekat dengan lelaki itu sehingga dia meminta Bibi untuk mendekat dan membawakan minuman. 

“Minumnya, Pak.” Begitu kata Bibi. 

“Kenapa Bibi yang bawakan? Saya punya istri dan seharusnya dia yang melayani saya.” Praba duduk dengan tenang di sofa sambil melepas jasnya. “Di mana Bibi meletakkan pakaian-pakaian saya?” tanya Praba lagi. 

“Di kamar yang Bapak tempati semalam.” Bibi sedikit bergetar ketika mendengar pertanyaan Praba. 

“Suami istri macam apa yang tidur di kamar terpisah?” Praba menoleh pada Bibi dengan ekspresi dingin. “Letakkan di kamar Sinar, saya akan tidur sekamar dengannya.” 

“Nggak!” Sinar yang mendengar pernyataan Praba itu segera mematikan kompor dan mendekati Praba setengah berlari. “Pak, tolong jangan memperumit saya. Saya sudah bilang ….” 

“Saya tidak butuh izin dari kamu dan saya tidak butuh persetujuan kamu, Sinar!” Praba memotong ucapan Sinar dengan tegas. “Mulai malam ini, kita akan tidur di kamar yang sama. Atau bahkan, lakukan tugasmu sebagai seorang istri.” 

Praba berjalan mendekati Sinar dan lagi-lagi menatap penuh pada gadis itu. “Melayani saya selayaknya seorang istri sungguhan.” 

*** 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 125. End

    Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 124

    “Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 123

    “Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 122

    Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 121

    Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 120

    “Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status