Elrick menatap pantulan dirinya di depan cermin besar kamarnya. Celana panjang dan kemeja yang serba longgar, serta jas yang baru sekali ini ia lihat mereknya, yang jelas bukan dari desainer ternama.
Belum lagi kacamata bulatnya, serta tompel buatan di pipi kanannya, “
Oh my God! Saya jadi terlihat nerd seperti ini, jangan sampai salah satu kolega saya melihat saya seperti ini!" gerutunya, lalu menghela napas kesal sebelum menambah lagi rentetan gerutuannya,
"Dan jas ini? Darimana kau mendapatkannya? Saya akan membakar pabriknya karena sudah membuat jas yang tidak berkualitas seperti ini!" geram Elrick kesal.
"Astaga, Tuan. Ini hanya sementara sampai kita mendapatkan kepastian tentang anak itu," timpal Jack sambil mendecakkan lidahnya.
Elrick langsung balik badan, dan memberikan tatapan tajam ke arah Jack, "Apa yang saya dengar barusan adalah gerutuanmu, Jack? Kalau kau sudah bosan bekerja dengan saya ... Ajukan segera surat pengunduran dirimu!" ancamya dengan nada dingin.
Jack langsung terlihat panik, "Tidak, Tuan. Saya tidak akan berani menggerutu pada anda. Tadi ada sisa makanan yang menyangkut di atas langit-langit mulut saya," elaknya.
"Baiklah, saya tidak akan menyuruhmu untuk mengundurkan diri. Tapi gajimu tetap akan saya potong!" tegas Jack, kemudian kembali menatap pantulan dirinya di cermin.
Sementara Jack, menghitung berapa kali bulan ini bossnya itu memotong gajinya, total potongannya hampir setengah dari gajinya.
"Kapan saya kayanya, Tuan? Kalau setiap bulan saya hanya menerima setengah dari gaji saya, karena setengahnya lagi habis anda potong tiap kali anda marah!" rutuk Jack lebih ke diri sendiri, tapi Elrick mendengarnya.
"Setengah gajimu saja sudah sebesar gaji CEO perusahaan lain, Jack! Jadi berhentilah menggerutu, atau saya akan benar-benar meminta surat pengunduran dirimu!" hardik Elrick, dan Jack langsung mengunci mulutnya rapat-rapat.
****
AS Group.
"Appa sudah menyeleksi calon asisten pribadi untukmu, Na. Sisanya Appa serahkan padamu untuk memilihnya, coba kamu cek emailmu!" seru Appa Alex, dan Aliana langsung membuka email-nya, terlihat lah tiga buah resume dari calon asisten pribadinya.
"Kenapa semuanya pria, Appa?" tanya Aliana.
"Itu karena selain mereka berpengalaman di bidangnya, mereka juga ahli beladiri, pemegang sabuk hitam lebih dari satu cabang beladiri. Jadi bisa sekalian menjagamu sayang," jawab Appa Alex.
"Aku sudah bisa karate. Eomma sendiri yang mengajarkanku," desah Aliana pelan, ia merasa Appanya terlalu mengkhawatirkannya.
"Bahkan Eommamu pemegang sabuk hitam karate, masih bisa di jebak pria hidung belang di kafe saat di Paris," ujar Appa Alex mengingatkan Aliana.
"Ya, Appa. Aku mengerti sekarang."
"Ya sudah, selamat bekerja. Jangan ragu bertanya pada Daddy kalau ada trouble."
"Baik."
Setelah memutus sambungan teleponnya, Aliana berdiri dari kursi kerjanya, lalu beranjak ke jendela besar yang memberikan pemandangan gedung-gedung pencakar langit, yang mendominasi area perkantoran ini.
"Pria ya? Aku masih trauma jika berhubungan dengan pria, selain keluargaku tentunya. Tapi wajar Daddy mengkhawatirkanku, mengingat apa yang pernah menimpaku tiga tahun lalu," gumam Aliana dalam hati.
Sejurus kemudian ada yang mengetuk pintu ruang kerjanya, dari jumlah ketukannya, Aliana tahu sekretarisnya lah yang mengetuk pintu itu.
Pintu langsung terbuka, dan Cintya masuk dengan beberapa map di tangan kanannya."Ini data ketiga calon asisten pribadi anda, Bu Ana. Apa bisa kita mulai proses interview itu sekarang?" tanyanya.
Aliana kembali duduk di meja kerjanya, dan membuka lembar demi lembar catatan pengalaman panjang para pelamar posisi asisten pribadinya itu.
Job desk Asisten Pribadi atau Personal Assistant tidak lah mudah. Dengan ruang lingkup yang lebih luas dari seorang sekretaris, dan harus mengurus keperluan pribadi bossnya, seperti membaca dan membalas surat dari klien, dan menghandle akun media sosial bossnya.
Dan seorang Asisten Pribadi harus mempunyai kualifikasi yang tidak boleh kalah jauh dari bossnya. Itu makanya Aliana harus memilih sendiri Asisten Pribadinya, karena ia akan menghabiskan banyak waktu dengan asprinya nanti.
"Panggil yang pertama datang terlebih dahulu." perintah Aliana.
"Baik, Bu," balas Cintya.
Tidak lama setelah Cintya keluar dari ruang kerjanya, pintunya kembali di ketuk,
"Masuk!" teriak Aliana.
Aliana paling tidak suka kalau harus berteriak, maka dari itu tiap karyawan yang berhubungan langsung dengannya, memiliki jumlah ketukan yang berbeda-beda, tadi Aliana sudah menginstruksikan secara langsung kepada mereka.
Sampai akhirnya masuklah pria ketiga, yang terlihat berbeda sekali dengan dua pria sebelumnya yang terlihat tampan dan gagah seperti Asisten Pribadi pada umumnya. Pria ketiga ini memang jauh lebih tinggi dari kedua pria tadi, hanya saja pria ini mengenakan kacamata, dengan gaya rambut belah pinggir macam pria jaman dulu, hingga terlihat seperti seorang kutu buku. Tapi pengalaman yang pria itu miliki jauh lebih banyak dari pelamar sebelumnya.
Dan kalau kedua pria tadi tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari Aliana, pria ini justru asik mengamati ruang kerja Aliana, seperti team Appraisal saja.
"Aku akan memilih pria ini, memang terlihat nerd dan kurang menarik, tapi setidaknya matanya tidak jelalatan seperti kedua pria tadi. Justru pria seperti ini lah yang akan lebih fokus bila diberi pekerjaan. Dia juga cenderung pendiam, jadi tidak akan membuatku pusing dengan segala tuntutannya," gumam Aliana dalam hati.
“Baiklah umm … " Aliana kembali melihat data diri pria itu,
"Ricko Vandenberg! Apa kau ada keturunan Belanda?" tanya Aliana.
Pria itu membetulkan letak kacamatanya sebelum menjawab Aliana, "Ibu saya orang Indonesia dan Ayah saya Belanda," jawabnya singkat.
"Bagus, menjawab sesuai dengan yang aku tanyakan, tanpa berbelit-belit, berarti dia hanya mengerjakan apa yang aku perintah, tanpa harus banyak drama lagi," ujar Aliana dalam hatinya.
"Saya tidak akan meragukanmu dengan banyaknya pengalamanmu ini. Saya hanya akan bertanya, siapkah kau bekerja satu kali dua puluh empat jam? tujuh hari seminggu dan tidak mengenal tanggal merah? Karena kamu harus tetap standby Jika sewaktu-waktu saya memerlukanmu, Itupun hanya bersiap-siap saja, jika ada pekerjaan dadakan nantinya."
Pria itu mengangguk dengan penuh antusias, "Iya saya setuju."
"Baiklah kalau begitu, besok kamu sudah bisa mulai kerja, dan di sanalah letak meja kerjamu!" seru Aliana lalu menunjuk meja kerja yang akan di tempati pria itu.
"Baik, Nona."
Aliana merapikan map berisi data pria itu, lalu menyerahkannya padanya, "Serahkan data ini ke bagian HRD, dan kamu sudah boleh langsung pulang," perintah Aliana.
Sekilas Aliana mendengar desahan kesal pria itu, tapi saat melihat wajah pria itu yang sedang tertunduk sambil mengambil map yang Aliana berikan tadi, Aliana jadi merasa kalau pendengarannya lah yang bermasalah.
"Saya permisi dulu kalau begitu, Nona. Sampai jumpa besok. Dan bisa saya pastikan, anda tidak akan menyesal karena telah memilih saya sebagai Asisten Pribadi anda!" seru pria itu penuh semangat.
Aliana mengibaskan tangannya dengan tidak sabar, "Iya, segera kasih berkas data itu ke HRD, atau kamu tidak akan bisa menerima gaji," kata Aliana dengan nada setengah mengusir.
Pria itu langsung balik badan, dan baru saja mengayunkan kakinya dua langkah ketika Aliana kembali memanggilnya.
“Ricko … "
pria itu balik badan ke arah Aliana, "Ya, Nona."
"Ketuk pintu dua satu dua tiap kali kamu mau masuk ke ruangan ini, supaya saya tahu kalau itu adalah kamu!" tegas Alaiana.
"Dua satu dua?" tanya pria itu dengan kening berkerut bingung.
"Ketuk pintu dua kali, jeda sebentar lalu ketuk satu kali, jeda sebentar lagi baru ketuk dua kali lagi."
"Oh I See, Saya akan selalu mengingat kode saya itu, Nona," sahut pria itu, kemudian melanjutkan lagi langkah kakinya hingga keluar dari ruangan kerja Aliana.
‘Kenapa aku melihat pria itu sepertinya orang yang angkuh ya? Ada kesan berkuasa di dalam dirinya, tapi mana mungkin pria itu berkuasa? Kalau iya, kenapa pria itu melamar pekerjaan untuk menjadi menjadi Asisten Pribadi alih-alih pria itu lah yang seharusnya memiliki Asisten Pribadi. Dan, Ya Tuhan, pria itu bahkan tidak mengucapkan terima kasih sedikit pun saat di terima bekerja di sini!’ gumam Aliana dalam hatinya dengan rasa dongkol.
Dengan perasaan tidak tenang, Leuis berjalan hilir-mudik di depan pintu kamar daddy Elrick dan mommy Aliana, ia harus menjelaskan semua yang mengganjal di dalam dirinya pada orang tua angkatnya itu. Tidak ada yang perlu ia takutkan lagi saat ini karena Leia kini telah resmi menjadi istrinya. Jadi apapun resiko yang akan ia terima nantinya ia akan menerimanya. Setelah membulatkan tekadnya, Leuis berniat mengetuk pintu kamar orangtuanya itu, tapi tangannya tertahan di udara karena pintu itu telah terbuka terlebih dahulu, "Leuis, ada yang ingin kau bicarakan?" tanya daddy Elrick dengan mommy Aliana yang berada di sisinya dengan lengan daddy Elrick yang merangkul pinggangnya, "Ya, Dad ... Apa aku bisa meminta waktu kalian sebentar?" "Ok, masuklah!" seru daddy Elrick sambil membuka lebar pintu kamarnya. Leuis membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu tapi menutupnya lagi. Setelah sekian lama terdiam di bawah tatapan penuh tanda tanya daddy Elrick dan mommy Aliana ia pun kembal
"Ya Tuhan, sebenarnya kamu dan Leon telah melewati malam pertama kalian atau belum sih? Karena saat pertama untuk wanita pasti akan mengeluarkan darah, dan juga rasa sakit setelah melakukannya. Bahkan aku masih merasa nyeri hingga saat ini," jelas Leia."Benarkah?" Aletta berpaling menatap Leon yang tengah asik berbincang dengan Axel dan Dritan, kenapa ia tidak merasakan itu semua? Kenapa tidak ada darah di atas sprei mereka? Apa sebenarnya mereka tidak pernah melakukannya?"Apa memang seharusnya aku mengeluarkan darah?" tanya Aletta lirih."Well, memang ada beberapa wanita dengan satu dan lain alasan tidak mengeluarkan darah saat selaput darahnya sobek. Tapi semuanya pasti akan merasakan sakit saat melakukannya untuk pertama kalinya. Seluruh badanmu akan terasa remuk, seperti kamu telah bekerja kefas selama satu hari penuh," jawab Leia.Ia memberengut kesal sebelum melanjutkan,"Padahal, Leuis sudah melakukannya dengan sangat lembut. Tapi tetap saja aku merasa sakit juga. Rasanya mi
"Maaf kami telat!" seru Leon yang melangkah ke arah keluarganya yang sudah berkumpul untuk makan siang bersama sambil menggandeng Aletta. Mommy Aliana yang melihat kedatangan putranya itu tersenyum lembut menyambutnya, "Wajar, pengantin baru. Kalian pasti enggan kan meninggalkan tempat tidur kalian?" "Ah, Mommy memang pengertian sekali," kekeh Leon sambil mencium pipi kanan dan kiri mommy Aliana sebelum beralih memeluk daddy Elrick. Aletta pun turut serta mencium pipi kanan dan kiri mommy Aliana, lalu memeluk daddy Elrick dan menyapa yang lainnya sebelum duduk di samping Leia. "Nah, karena semua sudah berkumpul, kita bisa mulai makan siangnya, silahkan dinikmati!" seru daddy Elrick. Semua anak, menantu, sepupu dan juga keponakannya mulai menikmati hidangan makan siang di restoran mewah itu, yang sengaja daddy booking khusus untuk acara keluarga mereka saja. "jadi, apa kamu mau menetap di Paris atau memboyong Aletta ke sini, Leon?" tanya mommy Aliana. "Kami belum memutuskan ba
Sebenarnya rasa kantuk masih sangat menguasai Leia, tapi ia memaksakan diri membuka kedua matanya yang masih terasa berat saat merasakan belaian halus punggung tangan seseorang di pipinya, yang ternyata adalah punggung tangan Leuis. Leia tersenyum lembut pada suaminya itu sebelum kembali menutup kedua matanya, dan baru saja akan kembali lagi ke alam mimpinya ketika terdengar suara serak Leuis, "Sudah siang, Sayang. Mau sampai jam berapa kamu tidur?" tanyanya. "Aku lelah sekali, Leuis," desah Leia masih tidak mau membuka kedua matanya yang masih terasa berat, belum lagi rasa pegal di seluruh tubuhnya terutama di area pangkal pahanya. "Apa aku yang membuatmu lelah?" Perlahan kedua mata leia membuka, ia kembali tersenyum pada Leuis, "apa kamu sudah bangun sejak tadi?" tanyanya sebelum menguap lebar. "Ya," jawab Leuis. "Kamu saja yang sudah bangun sejak tadi masih santai di tempat tidur, jadi biarkan aku tidur dulu ya," pinta Leia. "Karena aku terlalu senang ketika perta
'Keluarkan saja, Sayang, jangan ditahan-tahan," bisik Leuis yang berusaha menahan gairahnya sendiri. Ia harus membuat Leia sampai puncaknya lebih dulu untuk melancarkan dirinya saat akan menembus milik wanita itu nantinya. Dan tidak lama kemudian Leia meneriakkan namanya saat wanita itu telah mencapai puncaknya, Leuis pun menangkup wajah Leia, "Tahan sebentar, Sayang. Aku akan masuk sekarang ... " Seketika itu juga Leia yang telah kembali menjejak bumi menjadi panik, tubuhnya seketika menegang, "A ... Aku takut!" ia mulai mendorong Leuis meski tanpa hasil. "Apa yang kamu takutkan?" tanya Leuis, gairahnya sudah berada di ujung tanduk, tapi Leia malah terus berusaha mendorongnya. "Aku takut tidak muat," jawab Leia sambil terus mendorong Leuis. "Sstt Leia, tatap mataku!" "Apa kamu percaya padaku?" tanya Leuis saat mata mereka telah terkunci. "Iya, tapi ... " "Awalnya memang akan terasa sakit, tapi rasa sakitnya tidak akan sesakit jarimu teriris pisau, Sayang." "Aku
"Eitss ... Mau ke mana buru-buru sekali?" tanya Axel mencegah Leia dan Leuis yang sedang menuju lift yang akan membawa mereka ke kamar mereka. "Tentu saja melakukan malam pertama kami!" jawab Leia tanpa malu-malu lagi, tapi segera menggigit lidahnya saat melihat siapa yang berada di belakang Axel, tante Keizaa dan om Alson yang tengah mengapit putri mereka, Alexa, sementara Alarik yang beberapa bulan lebih tua dari Leia melangkah di belakang mereka, "Astaga, tamu masih banyak, kenapa tidak bersabar dulu?" keluh tante Keizaa, kulit putih bersihnya yang tanpa noda itu menurun pada putri satu-satunya, Alexa. "Biarlah, Snow ... Melarangnya sama dengan melarang Eomma, tidak akan bisa," kekeh om Alson. Ini bukan kali pertama omnya itu menyamakan Leia dengan oma Sonya. Tidak ada satupun anak oma Sonya yang mengambil sifat bar-barnya, sifatnya itu malah menurun pada cucunya, Leia. Sementara sifat dingin dan cuek opa Alex menurun pada cucunya juga, Alarik. Pria itu seperti memiliki d