Ini terdengar seperti sebuah petir di siang bolong. Impian yang hampir saja tercapai mendadak musnah dan harus dilepaskan. Di sudut ruangan kamarnya yang penuh barang berserakan, Clara tersungkur memeluk kedua lututnya sambil terisak. Tubuhnya tergunjang, hatinya bergetar hebat.
"Kalian egois!" seru Clara sambil menendang sebuah benda yang ada di lantai.
Kini Clara mendongak dengan kedua kaki selonjor dan kedua tangan kemudian menangkup wajah.
"Selalu saja aku yang dikorbankan!" seru Clara lagi.
Tidak lama setelah itu, terdengar suara beberapa langkah kaki beriringan mendekat dan berhenti setelah masuk di kamar Clara yang bak kapal pecah.
"Cukup, Clara!" teriak suara serak dari ambang pintu. "Kau tidak usah mengamuk seperti ini!"
Clara membuka kedua telapak tangan dari wajahnya hingga kini bisa melihat dengan jelas siapa yang sudah berada di dalam kamarnya. Ayah dan ibu sudah melangkah masuk, sementara di belakang mereka terlihat sosok pria belasan tahun memasang wajah iba.
Clara kini mengusap wajah lalu berdiri tegak menatap wajah kedua orang tuanya bergantian. Tadi, sebelum kamar ini berantakan, sudah lebih dulu terjadi adu mulut ruang tamu.
Perdebatan antara anak dan orang tua yang pada akhirnya berujung pertengkaran.
"Kenapa harus aku, Ayah?" kata Clara dengan mata memerah. "Kenapa?"
"Karena memang harus kau!" jelas Bill. Di sampingnya, sang istri tengah memegang lengannya coba untuk menenangkan.
"Karena Cloe, kakakmu! Kau harus mengalah padanya!" sambung Bill lagi.
Clara mendecih dan sedikit menelengkan kepala. "Mengalah? Ini bukan mengalah, Ayah. Ini tidak jauh berbeda dengan mengorbankan!"
Bill semakin mendekat. "Memang. Apa salahnya kau berkorban untuk keluargamu? Chloe sudah banyak berkorban, kau harusnya bisa balas budi."
Clara sungguh tidak menyangka kalau kedua orang tuanya tega berbuat seperti ini. Menyuruhnya menikah dengan kekasih kakaknya, apa-apaan ini? Clara ingin memaki tapi sama sekali tidak bisa.
Bagaimana kata ayah, memang Chloe sudah banyak membantu keluarga ini termasuk dengan kebutuhan sehari-hari. Untuk Clara, bukan berarti tidak membantu. Dia hanya sedang mengejar mimpi menjadi seorang designer. Dan betapa sedihnya saat mimpi itu hampir tercapai, Clara harus mundur.
"Tidakkah ayah dan ibu kasihan padaku?" Clara menatap mereka iba. "Aku sedang coba mewujudkan mimpiku. Kenapa kalian rusak?"
Saat Bill hendak maju dan mungkin akan memarahi Clara, Tania melerai dan menyuruh Bill diam dulu. Setelah itu, Tania yang maju menghampiri Clara.
"Sayang, kita hanya butuh bantuanmu," kata Tania sembari meraih telapak tangan Clara.
Clara buang muka dan diam-diam, air mata kembali menitik.
"Kalau keadaannya tidak mendesak seperti ini, ayah dan ibu tidak mungkin berbuat sampai sejauh ini padamu," sambung Tania lagi.
Bill ingin maju dan ikut bicara, tapi dengan cepat Tania melotot lalu memberinya kode dengan sebuah kedipan mata.
"Hanya kau yang bisa menolong keluarga kita saat ini," ujar Tania memohon.
"Apa tidak ada cara lain, Bu? Ini terlalu kejam menurutku." Pria yang semula berdiri di ambang pintu ikut bicara. Dia adalah Glen yang tak lain adalah adik Clara dan Chloe.
Clara dan Cloe adalah putri dari pasangan Bill Holand dan Tania Ricardo. Mereka berdua terlahir sebagai dua anak yang kembar. Tidak terlalu identik memang, jika di amati, banyak perbedaan diantara keduanya melalui sisi wajah.
Itu tidak penting sekarang. Sekarang adalah, bagaimana Clara harus menghadapi kehidupan yang sama sekali tidak sejalan dengan keinginannya.
Bill dan Glen sudah keluar meninggalkan kamar, dan kini hanya ada Tania dan Clara.
"Nasib keluarga kita ada di tanganmu, Sayang." Sekali lagi Tania coba terus membujuk. "Ibu tidak akan memaksa jika kejadiannya tidak sekacau ini."
"Lalu bagaimana dengan perasaanku?" Clara masih sesenggukan.
"Kau tepiskan dulu sekarang. Jangan berpikir ibu kejam, tapi ibu hanya tidak ada pilihan lain. Kakakmu sudah pergi jauh dan harus menggapai mimpinya yang tertunda."
Rania mendecih lalu membuang muka. Ia melepas genggaman tangan ibunya lalu menyeka air mata. Dalam hatinya Clara tengah memaki keadaan ini.
Chloe pergi tanpa penjelasan dan hanya mengatakan akan mengejar kesempatan menjadi model internasional yang memang selama ini ia impikan. Clara juga begitu, tapi kenapa harus begini. Selalu saja Chloe yang menang.
"Ibu harusnya tahu kalau aku juga sedang mengejar mimpiku menjadi designer," kata Clara tanpa menoleh.
"Ibu tahu. Ibu sungguh tahu, Sayang." Tania membalas. "Tapi impian kakakmu jauh lebih besar akan keberhasilannya dibandingkan dirimu."
Oh astaga! Kejam sekali ini. Kenapa rasanya sakit sekali?
Clara merasa hatinya sedang disayat-sayat hanya karena sekedar mendengar kalimat sang ibu. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa pilihkasih seperti itu? Clara tidak habis pikir.
"Terserah apa mau kalian saja, aku tetap akan kalah," kata Clara kemudian.
Diam-diam Tania tersenyum. "Apa itu artinya kau setuju?"
Huh! Ibu macam apa ini!
Tidakkah dia tahu hati ini sangat sakit?
Clara ingin memaki dengan sangat keras saat ini. "Ya." Namun hanya satu kata itu yang akhirnya keluar dari mulut Clara.
Saat itu juga, Tania menghambur memeluk Clara dengan erat. "Terimakasih, Sayang."
Setelah ibu pergi dan hanya tinggal sendirian di dalam kamar, Clara kembali menggeram dan mengacak-acak rambutnya. Ketika melihat beberapa lembar kertas yang berserakan, Clara tertunduk dan diam.
Perlahan Clara turun hingga terjatuh lagi di atas lantai. Lembaran kertas itu ia pungunti lalu dipandangnya dengan derasnya air mata yang membasahi pipi.
Gambar-gambar gaun indah yang sudah ia rancang, kini tiada artinya. Keikutsertaan lomba hingga sampai di titik sepuluh besar harus ia tinggalkan begitu saja.
"Memang jahat!" teriak Clara. "Kalian jahat!"
Semua menjadi gelap dan Clara terjatuh pingsan tanpa ada yang tahu. Mereka--orangtua Clara--tengah bergembira karena akhirnya Clara mau menggantikan Chloe menikah dengan pria yang tak lain putra dari pasangan Josh Pedro dan Lilyana Wang. Mereka sepasang suami istri yang sudah sikenal banyak orang sejagad negara.
Mungkin, itu sebannya Bill dan Tania tidak berani melawan karena pada dasarnya perusahaan milik Bill bisa saja hancur karena dilengser pihak Josh.
"Aku rasa kalian memang kejam," kata Glen sebelum masuk ke dalam kamar.
"Kau tahu kalau ayah dan ibu tidak ada pilihan kan?"
"Itu karena kalian terlalu memanjakan Chloe sampai-sampai dia selalu berbuat seenaknya. Clara bukan hanya akan menjadi istri pria itu, tapi kalian juga harus ingat kalau Clara pastilah akan menjadi ibu dari anak Chloe yang sudah ditinggalkan di rumah konglomerat itu."
Bill dan Tania diam sejenak. Mereka tahu ini akan sangat berat untuk Clara. Namun, lagi-lagi rasa kasihan dan peduli itu tertepiskan oleh pentingnya perusahaan dan martabat yang harus diselamatkan.
"Dan kalian juga harus berpikir, apa nantinya pria itu akan menerima Clara dengan baik atau tidak. Sungguh tidak punya hati!"
Setelah berkata demikian, Glen pun menghilang masuk ke dalam kamar.
"Atur saja sesuka kalian," kata Noah sebelum menaiki tangga menuju lantai dua. "Asal ada wanita yang mau mengurus bayi itu, aku nurut." Obrolan berakhir sejenak diikuti helaan napas dari empat orang yang duduk di ruang tengah. Ada Bill, Tania dan kedua orang tua Noah yang tidak lain adalah Josh dan Iily. "Kalian sudah dengar jawaban dari putraku, kan?" Lily menatap serius. "Hari esok juga, maka langsungkan pernikahan untuk mereka." "Baik, Tuan," jawab Bill dengan anggukan kepala. "Ingat!" Kini Josh yang bicara. "Aku tidak ingin ada orang lain yang mengetahui akan hal ini. Jika mulut kalian berani berkoar, habislah kalian!" Seperti itukah sifat seorang penguasa? Josh seorang presdir di sebuah perusahaan yang berpusat pada pembangunan gedung-gedung perk
Pernikahan sudah tidak terhindarkan. Di sebuah kamar, Clara sedang dihias secantik mungkin seperti seorang pengantin pada umumnya. Clara duduk di depan cermin, menatapi pantulan wajahnya sembari meremas-remas jemarinya sendiri. Di sampingnya, ada seorang penata rias yang begitu telaten merias wajahnya. Meski nampak cantik, semburat wajah sendu dan pias tidak bisa terelakkan. Clara gugup, takut, panik dan juga ingin berlari. Namun, dia seperti sudah diikat dengan tali yang begitu kuat. "Nona sangat cantik," puji penata rias pada Clara. Clara kembali menatap dirinya dari pantulan cermin dan sedikit melengkungkan senyum. Ingin menangis, huh! Itu sungguh tidaklah mungkin. Martabat dan kondisi keluarga yang dipertaruhkan di sini. Sementara di ruangan lain, Noah sudah siap dengan setelan jas berwarna
Sudah berada di dalam kamar, Clara entah kenapa merasa lega. Di dalam sini tidak ada sosok Noah, yang ada rasa kagum pada ruang kamar yang megahnya tidak jauh berbeda dengan rumah ini. Clara berjalan maju dengan sedikit bibir terbuka, sementara bola mata memutar menyapu setiap sudut ruangan. "Di sinikah aku akan tidur?" gumam Clara. "Seperti di dunia dongeng." "Sedang apa kau!" "Eh!" Clara sontak berjinjit dan mendaratkan telapak tangan di dada saat dikejutkan dengan suara dari arah belakang. Begitu Clara sudah menoleh, saat itu juga Ia harus membuang muka dari hadapan pria yang saat ini berdiri di hadapannya. Noah, kini tengah berdiri di depan pintu kamar mandi hanya dengan memakai handuk yang melilit di pinggangnya.
Dari jarak cukup dekat-- sekitar tiga meter--Lily melengkungkan senyum saat memandangi Clara yang sedang berbincang dengan Jou. Bayi berumur satu bulan itu, sepertinya bisa langsung menerima kehadiran Clara. Terbukti dari cara Clara yang menggendong Jou tanpa menangis. "Kau sangat lucu," kata Clara yang terus menggendong sambil menimang-nimang baby Jou. Baby boy itu terus saja memandangi wajah Clara yang juga memandangnya sambil sesekali berceloteh macam-macam. "Sepertinya kau begitu suka dengan bayi," kata Lily ketika sudah berdiri di samping Clara. "Jou juga sepertinya nyaman denganmu." Clara tersipu. "Aku memang suka bayi, Bu. Dulu aku sering mengunjungi panti asuhan dan membantu ibu panti mengurus bayi." Lily menarik satu kursi yang semula berada
Pagi datang, Clara lumayan bisa tidur dengan nyenyak untuk pertama kali di rumah ini. Meski terdengar keterlaluan, karena Lily harus meninggalkan Jou bersama Clara, tapi sebenarnya ada maksud tertentu. Toh Clara sepertinya tidak keberatan dengan keberadaan Jou di sini. Tidur bersama Baby Jou juga terasa nyaman. "Apa Nona butuh bantuan?" tanya Mela yang baru saja datang ke kamar Clara. "Bantu siapkan air hangat untuk mandi dan pakaian ganti," sahut Clara. Di atas ranjang, Clara mulai melucuti pakaian Jou bergantian. Selesai dari itu dan Mela juga sudah mempersiapkan semua yang tadi Clara katakan, Jou ia fendong dan mengarahkan pada Mela. "Kau mandikan dia. Aku bangunkan tuan rumah dulu," kata Clara setelah Jou ada dalam gendongan Mela. "Baik, Nona."
Mau berniat dirahasiakan seperti apa, pernikahan tersebut pastilah banyak yang tahu. Meski mereka-mereka hanya menebak-nebak dan tidak seratus persen yakin, tapi gunjingan atau omongan orang-orang tetap ada. Ada yang membicarakan sisi baik, ada juga yang memihak sisi buruknya. Setelah ditinggal pergi oleh Noah ke kantor, Clara diam di rumah bersama suster dan Baby Jou. Awal pernikahan yang buka keinginannya tetaplah harus ia buat seolah tidak menjadi beban. "Mela," panggil Clara saat suster Jou itu tengah membuatkan susu untuk Jou. "Iya, kenapa Nona?" "Apa kau bekerja bersama keluarga Noah baru saat Jou ada?" "Tidak, Nona. Saya sudah ikut keluarga Tuan Josh sekitar enam tahun yang lalu." Clara manggut-mangg
"Ibu tahu aku menikah bahkan karena terpaksa. Bisa-bisa menyuruhku seranjang dengan wanita itu," cerocos Noah sambil melangkah masuk. Melangkah sampai ke ruang dalam, beberapa pelayan menunduk sopan. Noah terus saja berjalan angkuh seperti biasanya. Ia berjalan menaiki anak tangga. Ceklek! Bunyi pintu terbuka, membuat Clara yang sedang berada di ruang ganti mendadak gelagapan sendiri. Ia baru saja selesai memakai piama yang ibu mertuanya belikan. Piama tersebut terbuat dari bahan satin silk. Tidak terlalu terbuka karena dilengkapi jubah, hanya bagian roknya yang sedikit tinggi di atas lutut. "Haruskah aku seperti ini?" batin Clara. "Aku bahkan terlihat seperti wanita aneh." Ketika terdengar pintu sudah tertutup, kini Clara bisa mendengar suara tapak s
Pagi datang lagi, seperti biasanya Clara sudah terbangun sekitar pukul lima pagi. Ia belum sempat mandi apalagi berganti pakaian karena pakaian ganti semua ada di kamar atas. Clara hanua merapikan diri dengan menyisir rambut lalu menjapitnya. Semalam Clara hanya tidur sendiri. Kata Mela, dia yang akan tidur bersama Jou beberapa hari ini. Ternyata semua itu atas perintah Nyonya Lily. "Pagi semuanya!" sapa Clara pada para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan. Mereka nampak antusias menjawab sapaan dari Clara. "Pagi, Nona." Begitu jawab mereka bersamaan. "Ada yang bisa aku bantu?" Clara berjalan mendekati meja konter dapur yang terlijat ada beberapa sayuran mentah. Ke tiga pelayan itu saling pandang sejenak.