"Atur saja sesuka kalian," kata Noah sebelum menaiki tangga menuju lantai dua. "Asal ada wanita yang mau mengurus bayi itu, aku nurut."
Obrolan berakhir sejenak diikuti helaan napas dari empat orang yang duduk di ruang tengah. Ada Bill, Tania dan kedua orang tua Noah yang tidak lain adalah Josh dan Iily.
"Kalian sudah dengar jawaban dari putraku, kan?" Lily menatap serius. "Hari esok juga, maka langsungkan pernikahan untuk mereka."
"Baik, Tuan," jawab Bill dengan anggukan kepala.
"Ingat!" Kini Josh yang bicara. "Aku tidak ingin ada orang lain yang mengetahui akan hal ini. Jika mulut kalian berani berkoar, habislah kalian!"
Seperti itukah sifat seorang penguasa? Josh seorang presdir di sebuah perusahaan yang berpusat pada pembangunan gedung-gedung perkantoran maupun perhotelan yang sudah mendirikan berbagai anak perusahaan lainnya. Tiada yang tidak tahu dengan keluarga ini, akan tetapi mengenai kehidupan sang putra belumlah banyak yang tahu.
Noah Pedro, itulah namanya. Pria gagah berpawakan tinggi dengan bibir tidak terlalu tipis. Senyumnya yang sinis, terkadang bisa membuat setiap wanita luluh dan ingin memilikinya. Namun, tidak semudah itu untuk bisa menggapai hati sosok Noah. Selain dikenal pendiam, dia juga termasuk pria kejam. Ya, begitulah menurut kabar yang beredar.
Satu wanita yang berhasil meluluhkannya, dialah Chloe. Wanita pertama yang membuat Noah bersimpuh, dan pada kenyataannya dia juga yang membuat Noah terjatuh.
"Kau berani meninggalkanku, lihat saja apa yang akan aku lakukan pada kembaranmu!" Di depan jendela kaca, Noah berdiri dengan tangan mengepal kuat.
Usai melemaskan tulang rahang dan membuka kepalan itu, Noah berbalik kemudian menghampiri box ranjang kayu berbentuk kotak berukuran sekitar satu meter persegi kurang di dekat ranjangnya. Noah menundukkan kepala lalu mencengkeram tepian box tersebut dengan tatapan penuh arti.
"Kalau tidak ada dirimu, aku tidak perlu menikahi wanita itu," kata Noah saat memandangi bayi berumur sekitar satu bulan di dalam box tersebut.
"Untung saja kau laki-laki. Setidaknya aku masih punya hati."
Noah berbalik lalu keluar dari kamar tersebut. Ia melangkahkan kaki menuruni tangga, dan terlihat sudak tidak ada siapapun di ruang tengah. Noah membelokkan langkah menuju dapur lalu terlihatlah ayah dan ibu tengah makan malam.
"Kemari, Noah!" panggil Lily.
Noah acuh tapi akhirnya ikut duduk.
"Makanlah. Kau belum makan dari siang kan?" kata Lily.
Noah masih acuh dan hanya mengangguk.
Di hadapannya, Josh terlihat masih mengunyah makanan. Setelah tertelan dan meneguk air putih, Josh kini memandang ke arah Noah.
"Tidak perlu murung begitu," kata Josh. "Semua ini sudah menjadi resiko untukmu. Kau yang sudah memulai, kau juga yang harus bertanggung jawab."
"Aku sangat bertanggung jawab. Aku bahkan siap merawat bayi itu, jadi untuk apa menikah segala?"
Josh nampak menghela napas. Ia kembali meneguk air putih sebelum kembali bicara.
"Ayah tahu, tapi nama keluarga kita lebih penting. Ayah tidak mau keluarga ini tercoreng karena ulahmu!" Josh mendadak tegas.
Noah tahu ayahnya sangatlah keras kepala, Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sifat dirinya. Noah juga keras kepala, angkuh, dan tidak mau tertandingi.
"Apakah harus dengan menikah?" tanya Noah.
"Tentu saja," jawab Josh dengan cepat. "Ayah juga mau mereka bertanggung jawab. Biar bagaimanapun juga, bayi itu adalah cucu mereka. Dan menyangkut Chloe, ayah harap wanita itu menghilang selamanya."
Noah berubah datar. Ia membuang muka dan memilih menikmati makan malamnya yang terabaikan.
"Jangan bilang kau masih mencintainya." Kini Lily ikut bicara. "Ibu tidak mau ya, kalau kau terus-terusan memikirkannya!"
Klunting!
Noah menjatuhkan sendok di atas piring membuat ayah dan ibunya sedikit kaget. Tanpa bicara apapun, Noah berdiri lalu pergi begitu saja. Josh dan Lily saling pandang sebelum akhirnya sama-sama menghela napas.
"Kalau saja dulu dua nurut untuk tidak berhubungan dengan wanita itu, pasti kejadiannya tidak begini," kata Josh.
"Kau benar, dia memang keras kepala," sahut Lily. "Tidak jauh berbeda denganmu, wahai suamiku." Kalimat tersebut tentunya cuma Lily ucapkan dalam hati.
Beralih ke Noah, pria itu kini sudah berada di dalam mobil yang melaju. Noah menambah kecepatan hingga mobilpun berhenti di sebuah kelab malam.
"Datanglah! Temani aku minum."
Selesai bicara dengan seseorang di balik ponsel, Noah pun segera turun dari mobil. Ia menaikkan kancing hodienya lalu menangkupkan tudung di atas kepala. Noah tidak mau ada orang yang tahu dirinya berada di sini.
Sampai di dalam, Noah masuk ke ruang vip. Dia duduk di sana dengan berbagai macam minuman. Tidak lama setelah duduk, terdengar pintu terbuka.
"Cepat sekali," kata Noah.
Wanita yang baru masuk itu segera ikut duduk. Ia meletakkan tas di ruang kosong di sampingnya lalu tanpa menjawab pertanyaan Noah lebih dulu, dia justru meneguk minuman kaleng dengan lahap.
"Kau kesurupan?" cibir Noah.
Wanita bernama Angela itu terlihat melotot dan meletakkan kaleng minuman itu cukup keras di atas meja. "Aku haus."
"Tapi tidak perlu sampai meneguk cepat begitu, kalau kau tersedak bagaimana?"
"Tidak akan," sahut Angela enteng. "Ada apa kau memintaku datang?"
Noah membuang napas lalu duduk bersandar dengan kedua tangan telentang. Angela yang melihat reaksi itu sudah bisa menebak-nebak apa yang kemungkinan terjadi.
"Jadi benar?" tanya Angela.
Dengan malas, Noah mengangguk. Ia kini terduduk sedikit mencondong sambil meraup wajahnya sesaat. "Ayah ibuku terus memaksa. Aku tidak bisa menghindar."
Terlihat jelas ada raut masam di wajah Angela. "Kapan?"
"Besok."
Angela tidak bereaksi apapun selain mendesah dan bersandar. Ia seolang enggan dan tidak suka mendengar berita ini.
"Kenapa kau diam saja!" sungut Noah. "Aku datang untuk meminta bantuanmu."
Angela mendengkus. "Memang aku bisa apa?"
"Setidaknya berilah aku solusi!"
"Kau tahu keluargamu itu sangatlah berkuasa. Kau sendiri tidak bisa melawan, bagaimana aku?"
Noah kembali membuang napas. Memang benar, nama Josh Pedro terlalu mustahil untuk dilawan sekalipun itu putranya sendiri. Siapapun yang memulai masalah, maka harus siap bertanggung jawab. Begitulah prinsip keluarga Pedro.
"Jadi, kalau sudah begini aku tetap akan menikah?"
"Yap! Memang apa lagi. Toh mereka kembar, meski bukan Chloe si cinta matimu itu, wanita itu tetap mirip dengannya. Benarkan?"
"Brengsek!" sembur Noah. "Kau pikir sesimple itu?"
Angela angkat bahu. Ia seolah enggan membahas pernikahan dadakan yang akan terjadi pada Noah di hari esok. Andai saja Noah tahu bagaimana perasaan Angela sedikit saja, mungkin Angela tidak terlalu sakit.
"Lama aku menanti kesempatan ini, tapi nyatanya tetap kau tidak akan bisa aku miliki."
"Hei!" Noah menjentikkan jari di depan wajah Angela yang tengah melamun. "Kenapa diam saja! Bantulah sahabatmu ini!"
"Kau turuti saja kemauan kedua orang tuamu. Hanya itu jalannya saat ini."
Noah tidak lagi bisa berkata-kata, karena pada akhirnya memang pernikahan itu tetap akan terjadi.
Pernikahan sudah tidak terhindarkan. Di sebuah kamar, Clara sedang dihias secantik mungkin seperti seorang pengantin pada umumnya. Clara duduk di depan cermin, menatapi pantulan wajahnya sembari meremas-remas jemarinya sendiri. Di sampingnya, ada seorang penata rias yang begitu telaten merias wajahnya. Meski nampak cantik, semburat wajah sendu dan pias tidak bisa terelakkan. Clara gugup, takut, panik dan juga ingin berlari. Namun, dia seperti sudah diikat dengan tali yang begitu kuat. "Nona sangat cantik," puji penata rias pada Clara. Clara kembali menatap dirinya dari pantulan cermin dan sedikit melengkungkan senyum. Ingin menangis, huh! Itu sungguh tidaklah mungkin. Martabat dan kondisi keluarga yang dipertaruhkan di sini. Sementara di ruangan lain, Noah sudah siap dengan setelan jas berwarna
Sudah berada di dalam kamar, Clara entah kenapa merasa lega. Di dalam sini tidak ada sosok Noah, yang ada rasa kagum pada ruang kamar yang megahnya tidak jauh berbeda dengan rumah ini. Clara berjalan maju dengan sedikit bibir terbuka, sementara bola mata memutar menyapu setiap sudut ruangan. "Di sinikah aku akan tidur?" gumam Clara. "Seperti di dunia dongeng." "Sedang apa kau!" "Eh!" Clara sontak berjinjit dan mendaratkan telapak tangan di dada saat dikejutkan dengan suara dari arah belakang. Begitu Clara sudah menoleh, saat itu juga Ia harus membuang muka dari hadapan pria yang saat ini berdiri di hadapannya. Noah, kini tengah berdiri di depan pintu kamar mandi hanya dengan memakai handuk yang melilit di pinggangnya.
Dari jarak cukup dekat-- sekitar tiga meter--Lily melengkungkan senyum saat memandangi Clara yang sedang berbincang dengan Jou. Bayi berumur satu bulan itu, sepertinya bisa langsung menerima kehadiran Clara. Terbukti dari cara Clara yang menggendong Jou tanpa menangis. "Kau sangat lucu," kata Clara yang terus menggendong sambil menimang-nimang baby Jou. Baby boy itu terus saja memandangi wajah Clara yang juga memandangnya sambil sesekali berceloteh macam-macam. "Sepertinya kau begitu suka dengan bayi," kata Lily ketika sudah berdiri di samping Clara. "Jou juga sepertinya nyaman denganmu." Clara tersipu. "Aku memang suka bayi, Bu. Dulu aku sering mengunjungi panti asuhan dan membantu ibu panti mengurus bayi." Lily menarik satu kursi yang semula berada
Pagi datang, Clara lumayan bisa tidur dengan nyenyak untuk pertama kali di rumah ini. Meski terdengar keterlaluan, karena Lily harus meninggalkan Jou bersama Clara, tapi sebenarnya ada maksud tertentu. Toh Clara sepertinya tidak keberatan dengan keberadaan Jou di sini. Tidur bersama Baby Jou juga terasa nyaman. "Apa Nona butuh bantuan?" tanya Mela yang baru saja datang ke kamar Clara. "Bantu siapkan air hangat untuk mandi dan pakaian ganti," sahut Clara. Di atas ranjang, Clara mulai melucuti pakaian Jou bergantian. Selesai dari itu dan Mela juga sudah mempersiapkan semua yang tadi Clara katakan, Jou ia fendong dan mengarahkan pada Mela. "Kau mandikan dia. Aku bangunkan tuan rumah dulu," kata Clara setelah Jou ada dalam gendongan Mela. "Baik, Nona."
Mau berniat dirahasiakan seperti apa, pernikahan tersebut pastilah banyak yang tahu. Meski mereka-mereka hanya menebak-nebak dan tidak seratus persen yakin, tapi gunjingan atau omongan orang-orang tetap ada. Ada yang membicarakan sisi baik, ada juga yang memihak sisi buruknya. Setelah ditinggal pergi oleh Noah ke kantor, Clara diam di rumah bersama suster dan Baby Jou. Awal pernikahan yang buka keinginannya tetaplah harus ia buat seolah tidak menjadi beban. "Mela," panggil Clara saat suster Jou itu tengah membuatkan susu untuk Jou. "Iya, kenapa Nona?" "Apa kau bekerja bersama keluarga Noah baru saat Jou ada?" "Tidak, Nona. Saya sudah ikut keluarga Tuan Josh sekitar enam tahun yang lalu." Clara manggut-mangg
"Ibu tahu aku menikah bahkan karena terpaksa. Bisa-bisa menyuruhku seranjang dengan wanita itu," cerocos Noah sambil melangkah masuk. Melangkah sampai ke ruang dalam, beberapa pelayan menunduk sopan. Noah terus saja berjalan angkuh seperti biasanya. Ia berjalan menaiki anak tangga. Ceklek! Bunyi pintu terbuka, membuat Clara yang sedang berada di ruang ganti mendadak gelagapan sendiri. Ia baru saja selesai memakai piama yang ibu mertuanya belikan. Piama tersebut terbuat dari bahan satin silk. Tidak terlalu terbuka karena dilengkapi jubah, hanya bagian roknya yang sedikit tinggi di atas lutut. "Haruskah aku seperti ini?" batin Clara. "Aku bahkan terlihat seperti wanita aneh." Ketika terdengar pintu sudah tertutup, kini Clara bisa mendengar suara tapak s
Pagi datang lagi, seperti biasanya Clara sudah terbangun sekitar pukul lima pagi. Ia belum sempat mandi apalagi berganti pakaian karena pakaian ganti semua ada di kamar atas. Clara hanua merapikan diri dengan menyisir rambut lalu menjapitnya. Semalam Clara hanya tidur sendiri. Kata Mela, dia yang akan tidur bersama Jou beberapa hari ini. Ternyata semua itu atas perintah Nyonya Lily. "Pagi semuanya!" sapa Clara pada para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan. Mereka nampak antusias menjawab sapaan dari Clara. "Pagi, Nona." Begitu jawab mereka bersamaan. "Ada yang bisa aku bantu?" Clara berjalan mendekati meja konter dapur yang terlijat ada beberapa sayuran mentah. Ke tiga pelayan itu saling pandang sejenak.
Tania pulang sekitar pukul lima sore. Seharian dia di sini, lebih banyak mengagumi keadaan rumah dari pada mengobrol atau sekedar bertanya bagaimana keadan Clara selama tinggal di sini. Yang Tania temui sambil tersenyum-senyum tentunya Baby Jou. Kalau dengan Clara, ya … tidak ada yang istimewa selain obrolan yang tidak terlalu penting. "Ibu bahkan sama sekali tidak menanyai bagaimana kabarku," dengus Clara. Clara menggerutu sambil coret-coret kertas putih. Ia biasanya mengisi kesuntukan dengan menggambar sesuatu. Misalnya gaun atau model baju yang sedang trend. "Apakah ibu tidak peduli bagaimana keadaanki di sini?" lanjut Clara lagi. Ia meletakkan pensilnya di atas kertas lalu bersandar pada kursi. Ia meraup wajahnya dan membuang napas seolah ingin melepas segala penat yang ada.