Endara sangat telaten membersihkan tubuh Dara menggunakan selembar kain yang sebelumnya sudah dicelupkan ke air hangat. Ya, semua baju yang ada di tubuh Dara sudah diganti. Pelaku yang menanggalkan seluruh pakaian Dara termasuk pakaian dalam Dara adalah Endara, tidak ada rasa jijik sama sekali pada saat membersihkan area privasi Dara yang sedang berdarah.
“Kamu hampir saja membuat saya jantungan, Dara,” ujar Endara, sambil memperhatikan Dara yang sedang tertidur lelap. Tangan kanan Endara menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah gadis itu agar tidak menghalangi Endara memandangi wajah lugu istri kecilnya.
“Kamu tahu, Dara, akibat perbuatanmu yang dibawah sana menjadi keras” ujar Endara, lagi-lagi pandangan matanya tidak bisa lepas menatap wajah polos Dara saat tertidur pulas.
Endara menghela napasnya kasar, sekarang ia harus berpikir bagaimana caranya membuat yang di bawah sana bisa tidur kembali. Padahal pada saat melihat tubuh Vega dan Afifa tanpa sehelai tidak sampai membuat Endara pusing seperti ini.
“Kamu itu lugu, tapi keluguanmu itu menimbulkan daya tarik sendiri sampai-sampai naluri saya ingin sekali menyentuh kamu tanpa ampun.” Endara bergumam sangat lirih agar Dara tidak mendengar ucapannya.
Seketika terjadi keheningan, Endara masih setia menatap wajah Dara yang sedang terlelap. Wajah itu terlihat sangat lugu sekali, seperti Dara yang belum mempunyai dosa sama sekali.
“Dingin.”
Mendengar racauan Dara membuat Endara semakin khawatir. Lelaki itu menyentuh kening Dara menggunakan punggung tangan untuk memeriksa suhu tubuh gadis itu. Ternyata suhu tubuh Dara semakin tinggi. Buru-buru Endara melepas bajunya dan juga melepas baju Dara tanpa tersisa. Lelaki itu ingin melakukan skin to skin untuk membantu meringankan demam tinggi yang sedang menyerang Dara.
“Tenanglah, saya ada di samping kamu,” bisik Endara, setelah lelaki itu memeluk tubuh Dara tanpa baju.
Endara pikir bersentuhan secara langsung dengan Dara tanpa baju atasan tidak membuat tubuhnya bereaksi lebih, tetapi ternyata dugaan Endara salah besar. Tubuh mungil yang sekilas tidak membuatnya bergairah itu ternyata menimbulkan efek yang sangat luar biasa besarnya. Sampai membuat Endara pusing sendiri.
Cukup lama Endara terjaga, mencoba untuk mengendalikan dirinya agar tidak berubah menjadi buas. Sementara Dara sudah kembali lelap tertidur di bawah kehangatan yang Endara berikan, sampai gadis itu mendengkur halus.
“Kamu itu cantik dan kamu baik, rasanya saya menjadi manusia paling berdosa di sini sudah membawa kamu masuk ke dalam masalah besar ini,” ujar Endara, lirih. Jemari tangan kanannya sibuk menyibakkan rambut yang menutupi wajah manis Dara.
Endara semakin mengeratkan pelukannya dan Dara juga terlihat nyaman berada di dalam pelukan lelaki itu. Malam semakin larut, perlahan kedua mata Endara sudah tidak bisa lagi terjaga, akhirnya lelaki itu ikut menjemput mimpi bersama Dara.
***
Pagi harinya, langit masih dihiasi mendung dan rintik hujan, dua insan yang sedang bergelut indah di dalam mimpi belum juga membuka mata padahal hari sudah hampir siang. Padahal jam weker sudah berbunyi puluhan kali, tetapi tidak membuat Dara dan Endara bangun, nampaknya mereka berdua nyaman dengan posisi berpelukan.
Rintik hujan tiba-tiba saja menjadi hujan deras, cuaca yang sangat dingin membuat semua orang yang tinggal di sana bermalas-malasan berada di dalam kamar. Detik, menit, dan jam sudah berubah, kini pukul sebelas siang dengan cuaca yang masih sama. Dara terlihat sedikit menggeliat, sedikit mengerjapkan matanya untuk mengumpulkan nyawa.
Sekilas di alam bawah sadarnya, Dara merasa sedang berada di bawah kungkungan seseorang dengan bau yang sangat khas dan gadis itu sangat menyukainya. Dara kembali memejamkan mata hanya untuk menikmati aroma yang sangat maskulin itu, tetapi beberapa detik berikitnya kedua mata Dara terbelalak dan langsung mendorong seseorang itu.
“Ada apa?” Endara menatap gadis di depannya bingung.
“Kenapa menatap saya seperti itu?” Endara bertanya lagi, ketika Dara menatapnya aneh.
“K-kenapa Mas Endara tidak memakai baju?” tanya Dara, gugup. Gadis itu belum menyadari jika dirinya juga sama.
“Kamu juga sama kok,” jawab Endara, seringan kapas. Kemudian lelaki itu kembali memejamkan mata untuk terlelap.
Raut wajah Dara terlihat bingung. Perlahan gadis itu melihat ke dalam selimut untuk membuktikan ucapan suaminya. Dara langsung membekap mulutnya sendiri saat melihat tubuh atasnya yang polos tanpa sehelai benang pun.
Endara membuka sedikit mata sebelah kirinya untuk melihat reaksi Dara saat mengetahui kondisi mereka berdua sedang dalam keadaan sama-sama tidak memakai baju.
“Kenapa terkejut seperti itu?” tanya Endara, mencoba menahan tawanya agar tidak lepas. Lucu saja melihat wajah Dara yang merah karena terkejut dan malu.
“M-mas, apa yang kita lakukan semalam?” Dara memberanikan diri untuk menata Endara, meskipun gadis itu sedang menahan malu.
“Kita tidak melakukan apa-apa. Semalam kamu minta dipeluk, jadi ya sudah saya peluk saja,” jelas Endara, wajahnya seperti tidak merasa bersalah telah membuat Dara yang masih polos ternoda.
“Benarkah?” gumam Dara, gadis itu menunduk mencoba untuk menyembunyikan wajahnya.
“Kenapa harus malu? Kita ini kan sudah sah menjadi suami istri.” Endara mengubah posisinya menjadi duduk bersandar pada kepala ranjang dengan mata yang masih menatap Dara, lebih tepatnya punggung mulus gadis itu yang terekspos sempurna.
Endara menggeser tubuhnya mendekati Dara, tetapi gadis itu malah berusaha untuk menjauh seketika tatapan Endara menjadi datar.
“Kenapa menjauh seperti itu?” tanya Endar, nadanya terdengar tidak suka.
“Mas mau apa?” Dara bertanya dengan raut wajah dan nada yang ketakutan.
“Saya mau periksa suhu tubuh kamu, soalnya semalam sempat demam tinggi,” jelas Endar. Lelaki itu langsung menempelkan punggung tangannya di kening Dara tanpa persetujuan gadis itu.
“Syukurlah jika sudah tidak demam lagi,” gumam Endara, lalu kembali menjauhkan tubuhnya dan menyandarkan kembali di kepala ranjang.
“Ap-apakah Mas Endara yang memakaikan semuanya?” Dara menggigit bibir bagian dalamnya, membutuhkan keberanian lebih untuk mempertanyakan hal itu.
“Iya,” jawab Endara, lagi-lagi terdengar seringan kapas.
“Termasuk ….” Dara sengaja menggantungkan ucapannya, karena gadis itu sudah benar-benar malu.
“Iya,” jawab Endara, tahu apa yang sedang ada di dalam pikiran gadis kecil itu.
“Mas tidak jijik?” tanya Dara, nadanya terdengar lirih.
“Untuk apa saya jijik? Kamu kan istri saya,” jawab Endar.a
“Sudahlah jangan banyak berbicara, saya mau mandi.” Endara langsung pergi ke kamar mandi. Terlihat sangat buru-buru, karena sebenarnya mandi hanyalah alibinya saja karena sejak tadi Endara tidak tahan melihat punggung mulus Dara yang terbuka sempurna. Mau bagaimana pun juga Endara adalah laki-laki yang normal.
Sepeninggal Endara, Dara masih menjadi patung di atas tempat tidur. Ingin rasanya Dara menangis, menjerit sekencang mungkin karena gadis itu merasa malu tubuh yang selama ini ia jaga dilihat secara langsung oleh laki-laki. Meskipun yang melihat adalah suaminya sendiri, tetapi tetap saja Dara masih merasa sangat malu dan belum terbiasa.
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-