Hidup di tengah-tengah kemewahan, apa pun yang diinginkan pasti langsung ada di depan mata, tetapi apa jadinya jika harus mengorbankan harga diri menjadi istri ketiga? Itulah yang dirasakan Dara Arum Puspita, seorang gadis desa yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di kota demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Dara adalah gadis yang baik, tidak pernah terlintas di pikirannya ingin masuk ke dalam urusan rumah tangga orang lain. Akan tetapi, situasi mendesak itu membuatnya terpaksa menerima pinangan majikannya sendiri. Majikannya itu sudah belasan tahun menikah, tetapi belum memiliki keturunan. Endara Respati, namanya, seorang lelaki yang sebenarnya tidak mau menikah untuk yang ketiga kalinya, tetapi demi rasa cinta untuk istri pertamanya, lelaki itu rela menyakiti hatinya sendiri. Endara telah berjanji tidak akan pernah mencintai istri kedua dan ketiga, karena rasa cintanya itu hanya untuk istri pertama. Dara, gadis manis yang malang hanya dimanfaatkan rahimnya untuk melahirkan seorang anak untuk Endara, setelah melahirkan gadis itu akan langsung diceraikan. Apakah nantinya ada keadilan untuk Dara?
View MoreDua minggu telah berlalu. Hari ini adalah hari pernikahan Endara dan Dara. Kebanyakan orang akan menyambut hari pernikahannya dengan rasa bahagia, tetapi berbeda dengan Dara. Andai saja gadis itu tidak memikirkan keluarganya di kampung pastilah Dara tidak mau menikah dengan majikannya sendiri.
Bagi Dara menikah harus sekali seumur hidup, tetapi apa jadinya jika menikah hanya memanfaatkan rahimnya kemudian diceraikan begitu saja?
“Dara, sudah dong jangan menangis terus nanti riasannya luntur,” ujar Afifa, sambil mengusap air mata Dara menggunakan tisu.
“Kamu jangan terus bersedih seperti itu, setelah satu tahun pernikahan ini kamu akan bahagia hidup di kampung,” ucap Vega.
Dara tidak menanggapi, gadis itu masih menangis memikirkan naspnya menjadi istri ketiga majikannya yang sudah berbaik hati kepadanya memberikan pekerjaan selama lima tahun ini.
“Permisi Nyonya, ijab kabulnya sudah selesai dan Dara sudah diperbolehkan untuk keluar,” ucap salah satu asisten rumah tangga yang juga bekerja di sana.
“Ayo Dara.”
Di sisi kanan dan kiri Dara terdapat dua wanita yang menggandengnya pebuh kelembutan siapa lagi kalau bukan Vega dan Afifa. Kedua wanita itu mengautkan batinnya masing-masing untuk melihat suaminya duduk bersanding bersama dengan perempuan lain.
“Angkat wajahmu, Dara. Jangan sampai orang-orang yang hadir berpikiran buruk tentang kita,” bisik Vega, terdengar tegas di telinga Dara.
Dara langsung menghadap ke depan dengan senyum terpaksa. Ketika sudah duduk di dekat Endara, Dara tidak berani menatap mata lelaki itu yang dulunya menjadi majikan dan sekarang menjadi suaminya.
Dara yang telah resmi menjadi istri ketiga dari Endara pun mencium punggung tangan lelaki itu dengan tubuh gemetar. Tidak pernah terlintas di pikiran Dara untuk menikah di usia 23 tahun masih banyak cita-cita yang belum dia capai untuk membahagiakan keluaarganya di kampung.
“Ingat, pernikahan ini hanya bersifat sementara,” bisik Endara, saat Dara mencium punggung tangannya.
Mendengar ucapan Endara membuat Dara hanya bisa menangis di dalam hati. Setelah pengambilan foto selesai Dara langsung melepaskan tagannya dan memberi sedikit jarak agar tidak duduk terlalu dekat dengan suaminya.
Acara pernikahan itu tentu Endara menghadirkan kedua orang tua Dara dari kampung. Ketika Endara melamar Dara pada orang tua gadis itu mereka setuju asalkan ada uang bulanan untuk mereka hidup di sana. Akan tetapi, kedua orang tua Dara tidak lama berada di sana hanya sampai acara selesai Endara langsung meminta mertuanya untuk pulang.
***
Setelah seharian penuh menyambut para tamu undangan yang datang ke acara pernikahan itu akhirnya Dara bisa istirahat dengan tenang sekarang. Gadis itu merasakan tidak hanya tubuhnya saja yang lelah, tetapi batinnya juga.
Untuk malam ini Endara dan kedua istrinya setuju Dara tidur di lantai dua karena nanti Dara akan dibuatkan rumah secara terpisah di halaman belakang.
Saat ini Dara sedang duduk di depan cermin untuk menghapus sebagain riasannya yang masih menempel di tubuhnya. Tiba-tiba saja terdengar suara pintu terbuka yang membuatnya terkejut.
“Jangan lupa menandatangani surat perjanjian ini.” Endara menaruh beberapa lembar kertas di depan Dara.
“Iya, Pak, tapi nanti setelah Dara selesai mandi,” ucap Dara, masih menundukkan kepalanya belum berani menatap suaminya.
“Saya ini suami kamu atau Bapak kamu?” tanya Endara, nadanya terdengar tidak suka.
“Su-suami,” jawab Dara, terbata-bata.
“Lalu kenapa masih memanggil saya seperti itu?” nada Endara sedikit meninggi karena kesabarannya hampir habis menghadapi Dara.
Dara menggelengkan kepalanya tanda gadis itu tidak tahu.
“Panggil aku seperti Vega dan Afifa memanggilku dan kamu harus memanggil mereka Mbak, jangan Ibu lagi. mengerti?”
“I-iya Mas, mengerti,” jawab Dara, terbata-bata dan terdengar lirih.
“Bagus. Sekarang kamu bersih-bersih, lalu kita akan membicarakan tentang perjanjian ini. Jika kamu keberatan dengan salah satu point perjanjian itu kamu boleh menolaknya, tapi dengan cacatan alasannya harus masuk ke dalam logika saya.” Lalu Endara keluar dari kamar Dara membiarkan gadis itu membersihkan diri terlebih dahulu.
Dara menghela napasnya kasar ketika dirinya ditinggal sendirian di kamar itu. Dara masih tidak percaya dengan statusnya sekarang yang sudah menjadi istri, tetapi sayang menjadi istri ketiga majikannya. Gadis itu menghela napasnya kasar mencoba menerima takdir yang sekarang ia jalani. Setidaknya setelah perceraian nanti Dara bisa kembali ke kampung dan sudah tidak pusing lagi memikirkan soal keuangan.
***
Sepuluh menit telah berlalu, akhirnya Dara keluar dari kamar mandi dalam keadaan segaar dan sudah lengkap memakai baju tidur yang kebesaran.
Dara berhenti ketika melihat Endara sudah duduk di atas kasur. Tiba-tiba saja kegugupan melanda dirinya membuat Dara tidak bisa mengontrol detak jantungnya.
“Kenapa kamu masih ada di sana?” tanya Endara, menatap Dara tajam.
“Cepat ke sini, surat perjanjian ini harus segera ditandatangani,” sambung lelaki itu.
Dara mengangguk lalu kembali melangkah menuju kasur. Gadis itu duduk di sana jaraknya cukup jauh dari tempat Endara duduk. Lelaki itu mengeluarkan kertas yang berisi perjanjian meminta Dara untuk membacanya ulang.
Perjanjian poin pertama
Pihak pertama yaitu Endara, mencukupi seluruh kebutuhan pihak kedua yang bernama Dara tanpa terkecuali.
Poin kedua
Pihak kedua harus setuju melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk melayani suami. Termasuk sentuhan fisik dan lain-lain.
Ketiga
Selama pernikahan terikat perjanjian, pihak kedua tidak boleh keluar atau berkencan bersama laki-laki lain, berlaku juga untuk pihak pertama. Akan tetapi, kedua belah pihak berhak atas privasi masing-masing. Pihak kedua boleh mencintai laki-laki lain, asal tidak menjalin hubungan selama pernikahan kontrak berlangsung.
Keempat
Setelah pihak kedua dinyatakan positif hamil, maka pihak kedua bebas meminta apapun kepada pihak pertama.
Kelima
Setelah pihak kedua melahirkan, pihak pertama berhak mengambil penuh hak asuh dan pihak kedua tidak boleh ikut campur tangan. Setelah perjanjian selesai, maka semua imbalan akan diberikan sepenuhnya. Setelah perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, tidak bisa dibatalkan dengan alasan apapun.
“Apa ada poin yang harus diubah?” tanya Endara, setelah Dara selesai membaca isi perjanjian itu.
Dara menggeleng, lalu berkata dengan suara pelan, “Tidak ada Mas.
“Bagus,” ucap Endara.
Endara memberikan pena hitam agar Dara bisa langsung menandatangani surat perjanjian itu di atas materai. Dara telah selesai menandatangani surat perjanjian itu dan ia pun mengembalikan pena itu kepada sang pemilik.
“Saya dan kamu masing-masing membawa surat ini dan simpan baik-baik jangan sampai hilang,” kata Endara.
Dara mengangguk patuh dan menerima surat perjanjian itu tanpa ada rasa ragu di dalam hatinya. Setelah membahas perjanjian itu Endara meminta Dara langsung istirahat sementara lelaki tu menyibukkan diri seperti biasanya ketika lelaki itu sedang tidak ingin tidur.
Dari lima poin yang dijabarkan, ada satu poin yang begitu berat untuk Dara tandatangani. Poin kelima.
[Setelah pihak kedua melahirkan, pihak pertama berhak mengambil penuh hak asuh dan pihak kedua tidak boleh ikut campur tangan. Setelah perjanjian selesai, maka semua imbalan akan diberikan sepenuhnya, mulai dari rumah mewah dan seisinya, biaya kuliah sampai sarjana, dan 100 hektar sawah. Setelah perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, tidak bisa dibatalkan dengan alasan apapun.]
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments