Tidak terasa senja sudah tiba, berhubung cuacanya sangat cerah Endara berniat untuk membawa Dara pergi jalan-jalan, karena Endara yakin Dara bosan satu hari penuh hanya berada di atas kasur.
“Mau kemana, Mas?” tanya Dara, gadis itu duduk bersila di atas kasur menatap Endara penasaran.
“Perutnya masih sakit tidak?” tanya Endara, tanpa menatap Dara karena kedua matanya fokus menatap pantulan dirinya di cermin.
“Sedikit Mas,” jawab Dara, pandangan matanya tidak lepas menatap Endara.
“Cepat bersiap, aku mau ajak kamu jalan-jalan,” ujar Endara, sambil merapikan kerah kaos yang ia pakai.
“Nggak mau Mas, Dara nggak bisa bahasa Inggris.” Dara menggeleng dengan wajah memohon agar Endaru tidak membawanya keluar. Bertemu banyak orang membuat Dara minder karena gadis itu tidak bisa bahasa Inggris.
“Kan ada saya, nanti waktu keluar kamu harus tetap berada di samping saya.” Endara tetap keras kepala ingin membawa Dara keluar. Endara juga ingin Dara tahu bagaimana suasana di luar sana dengan cuaca cerah seperti ini.
Dara tetap menggeleng dan wajahnya semakin memohon. Dara menolak keluar bukan karena malu bersama Endara, tetapi gadis itu tidak mau membuat Endara malu karena telah membawa dirinya.
“Saya tidak menerima penolakan, Dara. Cepat bersiap sekarang juga!” jika tidak memaksa, bukan Endara namanya. Akhirnya Dara pun memenuhi permintaan suaminya, gadis itu masuk ke kamar mandi untuk bersiap.
Setelah menunggu Dara beberapa menit akhirnya gadis itu keluar dengan pakaian bersih dan rapi. Keduanya pun bergegas keluar dari kamar hotel.
***
Endara dan Dara berjalan santai di pinggiran trotoar khusus untuk para pejalan kaki. Tangan mungil Dara digenggam erat oleh Endara, takut jika gadis kecil itu akan hilang di telan oleh banyaknya orang yang berlalu lalang di sana.
“Mas, Dara takut.” Dara berbisik lirih, ia semakin mendekatkan tubuhnya agar mendapatkan perlindungan lebih dari Endara.
“Kenapa harus takut? Mereka juga manusia sama seperti kamu,” jawab Endara, nadanya terdengar ringan sekali.
“Sudah jangan takut, ada saya di sini.” Endara merangkul pundak Dara agar gadis itu merasa terlindungi.
Wajar saja jika Dara takut berada di keramaian seperti itu, Dara adalah gadis yang hanya bisa berada di dalam rumah, keluar pun jika ke pasar saja lalu setelah itu pulang. Namun, sangat berbeda dengan keadaan sekarang, Dara berada di balik kerumunan banyaknya orang tinggi dengan bahasa asing yang tidak Dara kuasai.
“Kamu mau makan apa?” tanya Endara, memecahkan lamunan Dara yang sejak tadi membuat fokus gadis itu terganggu.
“Terserah Mas Endara saja,” jawab Dara, karena ia tidak tahu makanan apa yang bisa dirinya makan.
“Perempuan selalu sama,” gumam Endara, melirik Dara sekilas.
Akhirnya Endara membawa Dara ke salah satu restoran halal yang ada di sana. Sengaja Endara membawa Dara ke restoran itu, karena yang Endara tahu masakannya tidak jauh berbeda rasanya seperti di Indonesia.
“Kamu duduk dulu di sini, saya akan segera kembali.” Endara pergi meninggalkan Dara sendiri di meja makan restoran itu.
Satu menit, sampai pada akhirnya sepuluh menit pun berlalu, akhirnya sosok yang Dara tunggu datang juga. Dara melihat Endara membawa sesuatu.
“Diminum dulu, saya tahu perut kamu masih sakit.” Endara meletakkan secangkir minuman hangat untuk Dara agar perut yang sakit itu bisa sedikit mereda.
“Terima kasih, Mas.” Dara tersenyum manis ke arah Endara, sebagai rasa terima kasihnya karena sudah diperhatikan seperti ini.
“Makanan sudah saya pesan. Kamu tidak perlu khawatir, karena saya sudah memilih makanan yang cocok dengan lidah kamu,” ujar Endara.
Dara mengangguk, lalu kembali menyeruput minuman hangat yang Endara berikan untuknya. Sesekali Dara menahan senyum ketika mengingat kebaikan dan perhatian Endara dibalik sifat dinginnya.
“Setelah makan kamu mau ke mana lagi?” tanya Endara, memecahkan keheningan yang sempat terjadi.
“Em … Dara mau istirahat Mas, jadi langsung pulang ke hotel saja,” jawab Dara, gadis itu kembali menyeruput minuman hangat yang Endara berikan untuknya.
“Oke.” Endara langsung diam, lelaki itu sibuk dengan ponselnya sendiri sedangkan Dara sedang sibuk meneliti gelas yang sedang ia pegang. Sekilas tidak ada yang menarik dari gelas itu, tetapi setidaknya bisa membuat Dara terhindar dari rasa bosan.
Setelah selesai makan di restoran itu, Endara memutuskan untuk membawa Dara sesuai apa yang diinginkan gadis itu. Namun, pada saat di pertengahan jalan menuju hotel, Endara menerima telepon yang mengharuskan langkah mereka berhenti.
“Sebentar Dara.” Endara langsung merogoh saku celananya mengambil ponsel dari dalam sana.
“Saya pergi sebentar untuk mengangkat telepon penting ini. Kamu tetap di sini, jangan pergi kemana-mana.” Endara langsung pergi meninggalkan Dara sendiri di tengah-tengah keramaian.
Dara ingin menolaknya pun tidak bisa. Akhirnya gadis itu pasrah dan memilih untuk menunggu suaminya di sana. Cukup lama Dara menunggu sampai gadis itu merasa bosan. Kedua matanya mengedar ke seluruh penjuru yang ada mencoba untuk menemukan hal menarik. Pandangan mata tertuju ke arah penjual boneka yang sangat lucu, Dara pun memutuskan untuk menghampiri si penjual boneka tersebut.
***
Endara berlari menuju kamar hotelnya dengan raut wajah yang terlihat khawatir. Saat membuka pintu kamar pun Endara tidak mampu biasa saja, seperti ada sesuatu hal yang membuat Endara terlihat kalut berantakan seperti itu.
“Sial, tidak ada!” Endara kembali keluar dari kamar, terlihat bergerak gelisah di koridor kamar hotel. Berkali-kali lelaki itu mengusap wajahnya frustasi dan tidak jarang juga menjambak rambutnya sendiri.
“Cepat cari Dara sampai ketemu sekarang juga!” Endara memerintahkan kepada bawahannya yang juga sedang bertugas di Amerika untuk mencari keberadaan Dara.
Pada saat Endara kembali, lelaki itu sudah tidak lagi menemukan Dara di tempat. Detik itu juga dunia Endara seakan hancur ketika mengingat Dara tidak tahu tempat dan tidak paham dengan bahasa inggris.
“Kamu kemana sih Dara? Kenapa harus melanggar ucapanku tadi.” Lagi-lagi Endara mengusap wajahnya frustasi.
Jam delapan malam, di mana hari sudah semakin gelap, tetapi Endara belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Dara. Akhirnya Endara memutuskan untuk mencari gadis itu seorang diri tepat di mana ia meninggalkan Dara sore hari tadi.
“Kalian semua ini bagaimana sih, mencari gadis satu saja tidak bisa!” Endara memarahi semua bawahannya yang ia ditugaskan untuk mencari keberadaan Dara, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menemukan gadis itu.
Rintik hujan pun mulai turun, Endara melindungi kepalanya dengan tudung jaket yang ia pakai. Bermodalkan nekat, Endara berusaha keras untuk mencari keberadaan gadis malang itu seorang diri.
“Dara, kamu dimana!” tidak peduli dengan banyaknya orang yang berlalu lalang di sana, Endara berteriak memanggil nama Dara.
Gerimis yang turun mulai berubah menjadi hujan dan angin yang cukup kencang, tetapi tidak membuat nyali Endara menciut untuk menemukan Dara. Di sebuah gang kecil dengan penerangan minim dan sepi menjadi salah satu pusat perhatian Endara untuk mendatangi tempat lembab tersebut.
“Dara.” Seiring kaki Endara berjalan, sepanjang itu pula mulutnya terus memanggil nama Dara.
“Dara, apa kamu berada di sini?” Endara menghentikan langkah kakinya ketika sudah tidak ada jalan lagi untuk berjalan maju.
Endara menghela napasnya pasrah ketika merasa perjuangannya seakan sia-sia. Di sana tidak ada Dara dan harus kemana lagi dirinya mencari gadis kecil dan malang itu? Dengan langkah gontai Endara mulai meninggalkan tempat lembab tersebut.
Buk! Langkah Endara berhenti ketika merasakan ada sebuah tangan mungil yang melingkar di pinggangnya.
“Mas, ini Dara.”
Endara langsung menoleh ke belakang dan mendapati Dara dengan wajah pucat, tubuh lemas, dan tubuh menggigil kedinginan di sana.
“Dara, syukurlah kamu kembali. Saya sangat khawatir sama kamu.” Endara langsung memeluk tubuh Dara. Dengan tubuh besarnya Endara berharap bisa menghangatkan tubuh mungil Dara yang sedang kedinginan.
“Dingin Mas.” Beberapa detik kemudian tubuh Dara lunglai, untung saja Endara sangat sigap menangkap tubuh mungilnya.
“Bertahanlah, Dara.” Endara menggendong tubuh mungil Dara. Dibawanya gadis itu langsung ke hotel agar tubuh mungil itu tidak semakin menggigil.
Endara sangat telaten membersihkan tubuh Dara menggunakan selembar kain yang sebelumnya sudah dicelupkan ke air hangat. Ya, semua baju yang ada di tubuh Dara sudah diganti. Pelaku yang menanggalkan seluruh pakaian Dara termasuk pakaian dalam Dara adalah Endara, tidak ada rasa jijik sama sekali pada saat membersihkan area privasi Dara yang sedang berdarah.“Kamu hampir saja membuat saya jantungan, Dara,” ujar Endara, sambil memperhatikan Dara yang sedang tertidur lelap. Tangan kanan Endara menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah gadis itu agar tidak menghalangi Endara memandangi wajah lugu istri kecilnya.“Kamu tahu, Dara, akibat perbuatanmu yang dibawah sana menjadi keras” ujar Endara, lagi-lagi pandangan matanya tidak bisa lepas menatap wajah polos Dara saat tertidur pulas.Endara menghela napasnya kasar, sekarang ia harus berpikir bagaimana caranya membuat yang di bawah sana bisa tidur kembali. Padahal pada saat melihat tubuh Vega dan Afifa tanpa sehelai tidak sampai membuat E
Wajah Dara terlihat cemberut sebab Endara tidak mengizinkannya untuk mandi. Padahal Dara ingin sekali membersihkan tubuhnya yang cukup lengket dan aroma yang tidak sedap akibat minyak angin yang menempel di tubuhnya.“Jangan bandel, kamu tidak mau demamnya semakin parah kan?” dari kejauhan Endara melihat Dara yang sedang berada di atas kasur. Lelaki itu menahan tawanya ketika melihat wajah istri ketiganya itu cemberut.“Tapi Dara pengen mandi, Mas.” Gadis itu tetap keras kepala ingin mandi, padahal kepalanya masih terasa pusing.“Ayo saya mandikan.” Endara berdiri bersiap menghampiri Dara tanpa senyum, padahal di dalam hati Endara tertawa geli melihat wajah Dara terlihat panik. Entah mengapa sejak saat melihat wajah Dara tidur pulas semalam membuat Endara candu untuk terus menatap wajah gadis itu.“Tidak, Dara tidak jadi mandi.” Gadis itu kembali berbaring, membungkus seluruh tubuhnya menggunakan selimut.Dara merasakan kasurnya bergoyang, karena penasaran dia pun membuka selimut, ter
Malam harinya, setelah meyakinkan diri sendiri akhirnya Endara memutuskan untuk mengajak Dara pergi jalan-jalan. Tidak terlalu jauh seperti kemarin, hanya di sekitaran hotel tempat mereka berdua menginap. Endara tidak akan membiarkan Dara lepas, ia selalu menggenggam tangan Dara setelah mereka berdua benar-benar berada di luar.“Mas, sebentar, tangan Dara kesemutan,” ujar Dara, mencoba melepaskan tautan tangan mereka. Akibat genggaman Endara terlalu kuat membuat tangan mungil Dara kesemutan.“Tidak. Saya tidak mau kamu hilang lagi.” bukannya memberi ruang agar tangan Dara bisa bernapas, justru Endara semakin mengeratkan genggamannya sampai membuat Dara meringis kesakitan.“Iya Mas, Dara tahu, tapi tangan Dara benar-benar kesemutan. Apa Mas Endara tidak bisa melonggarkan sedikit genggaman tangannya?” gadis itu menatap Endara memelas.“Baiklah, hanya melonggarkan sedikit saja.” akhirnya Endara melonggarkan sedikit genggaman tangannya.“Terima kasih, Mas.” Dara pun tersenyum lega karena
Sesampainya di hotel, Endara langsung mengobati luka gores di kaki Dara menggunakan betadine. Meskipun Dara memohon agar tidak mengoleskan cairan itu, tetapi Endara tetap melanjutkan aksinya.“Tahan, Dara, sakitnya tidak akan lama,” ujar Endara, yang sudah lelah mendengar rintihan Dara yang menurutnya sangat berlebihan.Dara langsung diam, membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara lagi. akhirnya Dara membiarkan Endara mengobati lukanya yang tidak seberapa itu, tetapi saat dibersihkan rasa sakitnya tidak bisa ditahan.“Sudah. Makanya kalau jalan itu hati-hati, matanya jangan dipakai untuk melihat laki-laki tampan saja,” ujar Endara, sambil membereskan peralatan yang ia keluarkan dari P3K.Bibir Dara maju beberapa senti, mendengar ucapan Endara membuat Dara merasa tersindir. Padahal akibat Dara jatuh adalah ulah Endara sendiri yang tidak bisa memelankan sedikit jalannya. Akan tetapi, lelaki itu tidak mau mengakuinya.“Dengar tidak apa yang saya ucapkan?” tanya Endara, kesal karena
Keesokan harinya, tepatnya jam dua belas siang, Endara sudah tiba di rumah sakit yang sebelumnya alamatnya sudah dikirim oleh Afifa. Tanpa pulang dan membersihkan tubuh terlebih dahulu Endara langsung ke rumah sakit dan Dara juga ikut serta bersamanya. Kedatangan Endara disambut oleh Vega penuh rasa bahagia, akhirnya rindunya bisa terlepas setelah melihat sang suami tercinta tiba dengan selamat di pelukannya.“Kamu sudah bikin Mas khawtair sayang,” bisik Endara, pada saat lelaki itu masih memeluk tubuh Vega yang terlihat sedikit kurus.“Aku rindu sama kamu Mas, makanya sakit kaya gini,” ujar Vega, dengan suara serak karena wanita itu sedang menahan tangisnya.Endara melepaskan pelukannya, menangkup pipi Vega menggunakan kedua tangannya. Tatapan yang diberikan Endara penuh cinta yang tidak pernah berubah sejak dulu sampai sekarang.“Maafkan Mas yang sudah mengabaikan kamu,” bisik Endara, kening keduanya saling menyatu. Tanpa mereka sadari ada dua perempuan yang sedang menyaksikan kero
Tidak membutuhkan waktu seminggu di rumah sakit akhirnya Vega berhasil pulang dengan kondisi yang semakin membaik. Bukan hanya Endara yang bahagia melihat kondisi Vega yang semakin membaik, tetapi Dara dan Afifa juga merasakan hal yang sama.“Dara, Afifa, hari ini kalian yang siapkan makan malam,” ujar Endara, sebelum lelaki itu mengantarkan Vega ke kamar mereka.Dara dan Afifa hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu dua perempuan itu menaruh koper di depan pintu kamar Vega, kemudian baru mereka ke dapur untuk membuat makan malam.“Mbak, malam ini kita mau masak apa?” tanya Dara, saat ke duanya sudah berada di dalam dapur.“Mbak juga bingung. Kamu ada usul tidak mau bikin menu makan malam apa hari ini?” Afifa menopang dagunya sedang berpikir keras menu apa yang harus dia sajikan malam ini.“Mbak Afifa masih memikirkan ….”Senyum Afifa muncul meskipun Dara belum selesai berucap. Wanita itu sudah tahu apa kelanjutan dari ucapan tersebut.“Aku tidak boleh lemah, Dara. Meskipun aku mengaku
Endara menyeret Dara membawa gadis itu ke dalam kamar. Setelah Vega ditangani oleh dokter dan gejala alergi sudah tidak lagi Vega rasakan, Endara ingin memberi pelajaran Dara agar tidak ceroboh lagi.“Tapi Dara benar-benar tidak ada niatan untuk mencelakai Mbak Vega, Mas.” Di saat derai air matanya mengalir, Dara berusaha untuk membuat Endara yakin dengan ucapannya. Namun, sayangnya amarah itu masih menguasai Endara sehingga kebenaran yang nampak di depan mata pun tidak terlihat.“Dengar ya.” Endara mencengkram rahang Dara membuat kepala gadis itu mendongak. Air mata Dara semakin deras mengalir, perlakuan kasar itu membuat Dara sangat sakit hati kepada suaminya sendiri.“Kamu itu hanya istri ketiga yang tidak akan pernah aku nggak di rumah ini. Jadi, jangan berharap kamu bisa menjadi ratu di dalam hati saya.” Endara melepaskan cengraman di rahang Dara sangat kasar membuat semua rambut menutupi wajah gadis itu.“Dara juga tidak ada niatan untuk menggeser posisi Mbak Vega di hati Mas En
Dara langsung ditangani oleh dokter dan mendapatkan beberapa jahitan di kepala akibat benturan yang cukup keras di kepala bagian belakangnya. Saat ini Dara masih berada di dalam ruangan bersama dengan dokter dan tim medis lainnya. Sementara Endara, lelaki itu setia berada di depan pintu menunggu kabar selanjutnya. Jelas sekali terlihat di wajah Endara, lelaki itu sedang menyesali perbuatannya.“Mas.”Suara dari belakang tubuhnya membuat Endara menoleh ke belakang. Dilihatnya Afifa sedang berdiri di sana menatapnya dengan mata sayu.“Baju Mas Endara dipenuhi darah, lebih baik ganti dengan yang baru.” Afifa memberikan Endara kaos pendek. Melihat kondisi suaminya yang berlumuran Darah membuat Afifa tidak tega melihatnya. Apa lagi banyak pasang mata yang menatap Endara heran.“Aku terlalu jahat,” ucap Endara, dengan suara lirih. Lelaki itu seolah lupa dengan sikapnya tadi yang persis seperti manusia tidak punya hati saat sedang menghajar Dara tanpa ampun.“Seharusnya aku tidak menyakitiny