Wajah Dara terlihat cemberut sebab Endara tidak mengizinkannya untuk mandi. Padahal Dara ingin sekali membersihkan tubuhnya yang cukup lengket dan aroma yang tidak sedap akibat minyak angin yang menempel di tubuhnya.
“Jangan bandel, kamu tidak mau demamnya semakin parah kan?” dari kejauhan Endara melihat Dara yang sedang berada di atas kasur. Lelaki itu menahan tawanya ketika melihat wajah istri ketiganya itu cemberut.
“Tapi Dara pengen mandi, Mas.” Gadis itu tetap keras kepala ingin mandi, padahal kepalanya masih terasa pusing.
“Ayo saya mandikan.” Endara berdiri bersiap menghampiri Dara tanpa senyum, padahal di dalam hati Endara tertawa geli melihat wajah Dara terlihat panik. Entah mengapa sejak saat melihat wajah Dara tidur pulas semalam membuat Endara candu untuk terus menatap wajah gadis itu.
“Tidak, Dara tidak jadi mandi.” Gadis itu kembali berbaring, membungkus seluruh tubuhnya menggunakan selimut.
Dara merasakan kasurnya bergoyang, karena penasaran dia pun membuka selimut, ternyata Endara sudah berada di sampingnya.
“Bukannya Mas Endara sedang bekerja, ya?” tanya Dara, kedua matanya tidak lepas menatap Endara. Padahal tadi Endara terlihat sibuk berada di depan laptop.
“Terserah saya, kan saya ini pemimpin perusahaan,” jawab Endara.
“Iya juga sih,” gumam Dara, gadis itu kembali menutup seluruh tubuhnya menggunakan selimut.
“Dara, bisakah kita bicara?” tanya Endara, mengutarakan niat yang sesungguhnya.
“Mau bicara apa, Mas?” Dara mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Endara. Mencoba untuk kontak mata langsung dengan lelaki itu.
“Tidak terlalu penting, hanya saja saya ingin kita mengenal satu sama lain,” jelas Endara. Posisi lelaki itu juga menghadap Dara, jadi keduanya sedang berada di posisi yang saling berhadapan.
Dara diam karena gadis itu menunggu Endara membuka pembicaraan yang kata lelaki itu ingin mengenal satu sama lain.
“Apa yang membuatmu bisa setenang ini menikah dengan lelaki yang tidak kamu cintai yang umurnya saja terpaut jauh dengan kamu?” tanya Endara, tatapannya berubah serius.
Dara tersenyum, apakah gadis itu terlihat setenang itu? Itu lah yang ada di dalam pikiran Dara.
“Semua yang terjadi membuat Dara tidak baik-baik saja, Mas. Apa lagi perasaan tidak enak ini masih ada sampai detik ini. Kebaikan Ibu malah Dara balas dengan cara seperti ini. Meskipun pernikahan ini Ibu sendiri yang mau, tapi tetap saja membuat Dara tidak enak hati,” jelas Dara.
“Apa perasaan kamu setelah menikah dengan saya?” tanya Endara, memulai pembicaraan yang mulai serius.
“Dara tidak bisa menjelaskannya, Mas. Tapi yang jelas, pernikahan ini membuat Dara tertekan.” Gadis itu mengatakan yang sebenarnya, karena mau bagaimanapun juga Endara harus tahu perasaannya.
“Maaf.” Endara berucap lirih, wajahnya penuh penyesalan.
“Kenapa Mas Endara minta maaf?” tanya Dara, menatap lelaki di depannya bingung.
“Karena saya sudah membawa kamu masuk ke dalam masalah besar ini,” jawab Endara, wajahnya semakin terlihat bersalah.
Dara tersenyum tipis, gadis itu memberanikan diri menyentuh punggung tangan suaminya. Hanya sekedar menyentuh saja, tidak ada niatan lebih. Sentuhan itu yang membuat Endara menatap gadis di depannya.
“Dara tahu Mas Endara terpaksa melakukan ini padahal niat hati Mas Endara tidak mau menikah lagi.” Dara mencoba memahami dan masuk ke dalam alur cerita yang sudah Endara ciptakan.
“Saya mau kita jalani rumah tangga ini seperti yang lainnya. Tapi, hanya kamu dan saya saja yang tahu. Saya tidak mau Vega melihat kemesraan kita di dalam rumah, kamu boleh menyentuh dan memperlakukan saya layaknya seorang suami jika kita sedang berdua di dalam kamar.” Tatapan Endara penuh keseriusan, tetapi mampu membuat Dara dilema.
“Dara tidak bisa, Mas.” Gadis itu langsung membantah keras.
“Kenapa?” wajah Endara terlihat tidak terima dengan penolakan Dara.
“Dara tidak mau membuat hati Mbak Vega dan Mbak Afifa sakit,” jawab Dara, menundukkan kepalanya penuh rasa takut.
“Kenapa kamu harus merasa bersalah? Mereka berdua sendiri yang meminta saya untuk menikahi kamu, sekarang posisi kamu sama seperti Vega dan Afifa.” Endara tetap memaksa, karena entah kenapa ia sangat nyaman berada di dekat Dara.
“Jika Mbak Vega dan Mbak Afifa tahu bagaimana?” tanya Dara.
Endara memajukan tubuhnya, menangkup pipi Dara menggunakan ke dua tangannya. Sorot mata lelaki itu terlihat lembut penuh keseriusan.
“Biar kedekatan ini menjadi rahasia kita berdua, Dara,” bisik Endara, tepat di wajah Dara.
“Kamu mau ‘kan?” tanya Endara, nadanya semakin terdengar lembut.
Mendapat tatapan itu membuat Dara hanyut di dalamnya. Dara pun mengangguk tanpa gadis itu sadari. Seketika senyum Endara terpancar jelas menghiasi wajahnya yang tampan meskipun usianya hampir lima puluh tahun.
“Kamu harus bersedia menjadi tempat saya pulang. Berjanjilah.” Tubuh Endara dan Dara semakin dekat, dan tatapan lelaki itu semakin dalam untuk menguasai kewarasan Dara.
Dara mengangguk tanpa suara, karena gadis itu hanyut ke dalam tatapan Endara yang sangat tedih dan lembut. Seorang gadis yang tumbuh kurang kasih sayang ososk ayah pasti akan luluh dengan perlakuan Endara. Terlebih lagi sekarang lelaki itu sudah menjadi suaminya.
“Bicaralah!” perintah Endara, dengan nada lirih.
“Dara berjanji,” jawab Dara, cepat. Kedua matanya tidak lepas menatap wajah tampan Endara.
Endara semakin mendekatkan tubuhnya, mendorong tubuh mungil Dara sampai berbaring di atas kasur. Tidak ada perlawanan sedikit pun dari Dara, karena Endara sudah berhasil menguasai kewarasan gadis itu.
Ke dua bibir mereka menempel dengan sempurna, Dara sedikit terkejut, tetapi lagi-lagi Endara berhasil menguasai seluruh pikiran Dara.
Awalnya bibir mereka hanya menempel, tetapi sekarang berubah menjadi kecupan dan sesekali Endara melumatnya. Dara yang belum pernah berciuman sebelumnya hanya bisa diam saja dengan mata terpejam menikmati semua permainan yang Endara ciptakan.
Tangan Endara yang semula menangkup ke dua pipi Dara, kini sudah meraba seluruh tubuh Dara tanpa terkecuali. Endara sukses membuat tubuh Dara meliuk liuk di bawahnya merasakan semua sentuhan dan perlakuan lembut yang diberikan Endara. Namun, pada saat Endara sedang menjalankan aksinya, tiba-tiba saja Dara menjambak rambut bagian belakang Endara, membuat lelaki itu langsung melepaskan ciumannya.
“Kenapa?” Endara bertanya dengan napas terengah akibat permainan tadi.
“Dara kehabisan napas, Mas,” jawab Dara, dengan pipi yang merah sempurna.
Endara terkekeh geli, pernyataan Dara tadi membuatnya semakin yakin gadis itu belum disentuh sedikitpun oleh laki-laki lain.
“Belum pernah seperti itu sebelumnya?” tanya Endara, jari jempolnya mengusap bibir Dara yang basah akibat ulahnya.
Dara menggeleng dengan napas masih terengah. Kejadian beberapa detik yang lalu masih membuat Dara linglung, sebab baru pertama kali ia melakukannya.
“Terima kasih sudah menjaga semuanya,” bisik Endara.
“Mas, malu.” Dara menyembunyikan wajahnya yang merah di balik telapak tangannya yang mungil.
“Kenapa harus malu?” tanya Endara, mencoba menyingkirkan tangan itu agar tidak menutupi wajah Dara.
“Dara malu, karena belum bisa mengimbangi.” Dara berucap lirih, menahan malu yang sangat luar biasa.
“Hey, tatap mata ini.” Endara kembali menangkup pipi Dara menggunakan ke dua tangannya. Gadis itu hanya bisa menuruti perintah suaminya.
“Saya ini suami kamu, tubuh kamu sudah menjadi hak milik saya,” ujar Endara.
“Mengerti?” tanya lelaki itu.
Dara mengangguk paham tanpa bersuara. Tatapan mata Endara benar-benar membuat Dara seakan terhipnotis.
“Jadi saya bebas untuk menikmatinya.”
Endara kembali mencium bibir Dara, kali ini permainannya sedikit kasar dari sebelumnya. Tentu saja yang di bawah sana sudah meronta ingin di keluarkan. Dara juga merasa ada sesuatu yang keras menekan pahanya, tetapi gadis itu tidak berani bertanya.
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-