LOGINDi ruang kerja Arthur.Begitu mendapat pesan dari Kian, tangannya bergerak cepat mendial nomor HRD untuk mempertanyakan jadwal wawancara yang sudah diatur sebelumnya.“Selamat pagi, Pak Hadwin.”“Rekrutan yang aku ajukan, kenapa tidak ada jadwal wawancara formalitasnya hari ini?” Nada suara Arthur dingin dan dalam ketika bicara.“Ada, Pak. Saya sudah menjadwalkannya hari ini. Bahkan, saya sekarang ini sedang menunggu kedatangannya.”Kening Arthur berkerut dalam mendengar penjelasan Kepala HRD, jadi siapa yang salah?“Dia tidak diizinkan masuk untuk wawancara oleh bagian resepsionis. Jika ada sedikit saja kesalahan yang kalian lakukan padanya, maka tanggung sendiri resikonya.” Ucapan bernada ancaman yang keluar dari bibir Arthur, terdengar penuh penekanan dan tak terbantahkan.“Saya akan segera mengeceknya langsung, Pak. Anda jangan khawatir, hari ini juga saya pastikan Anda menerima laporan penerimaannya.”Setelah mendengar balasan memuaskan itu, Arthur mengakhiri panggilan itu begitu
Kedua kaki Kian bergerak secepat dia bisa. Tangannya terulur meraih lengan kakek yang diteriakinya, dengan cepat Kian membawa kakek itu ke bahu jalan.“Kakek, itu sangat berbahaya,” spontan Kian sedikit membentak pria tua itu.Pria tua yang tak lain Arron, terkesiap menatap Kian yang bernapas terengah sambil menatap panik padanya.Kian melihat kakek tua ini diam. Sadar jika sudah membentak, Kian mengatur napasnya agar stabil, sebelum kemudian berkata, “Maaf Kakek kalau aku membuat Kakek terkejut. Tapi apa yang Kakek lakukan tadi sangat berbahaya. Apa Kakek tidak lihat, lampu untuk pejalan kaki berwarna merah, Kek.”Kian menunjuk ke lampu lalu lintas, setelah tadi merah, kini lampu lalu lintas berwarna hijau untuk pejalan kaki.Arron menatap ke lampu yang Kian tunjuk. Saat menatap kembali pada gadis muda yang berani menyentuhnya ini, Arron berkata, “Bukankah tadi berwarna hijau? Sekarang ini merah.”Kian terkesiap. Dia menatap bingung, sampai akhirnya menyadari sesuatu. “Kakek buta warn
Setelah makan.Kian mengambil piring dari hadapan Arthur sambil berucap, “Jangan langsung tidur, tunggulah minimal tiga puluh menit.”Tanpa menunggu balasan dari Arthur, Kian melangkah menuju washbak. Dia lebih dulu mencuci piring kotor sebelum meninggalkan dapur.Arthur masih duduk di tempatnya, pandangannya tertuju pada Kian yang sibuk sendiri.“Besok, jangan lupa datang ke HW. Company untuk melakukan wawancara.”Kian menoleh cepat mendengar ucapan Arthur, buru-buru membasuh kedua tangan dengan air bersih, lalu mengusapkan ke kaus bagian pinggang begitu saja, Kian lantas bertanya, “Harus besok? Bukankah kamu bilang baru mau merekomendasikanku?”Bola mata Arthur bergerak liar menghindari tatapan Kian, sampai dia kembali menatap Kian sambil membuat alasan. “Tadi aku sudah mengirim pesan padanya, dan dia berkata kalau tinggal bawa lamaran saja ke sana besok ke bagian HRD.”Kian membentuk huruf O dengan bibir sambil mengangguk-angguk kecil.Tatapan Arthur masih tertuju pada Kian yang ki
Arthur terkesiap menyadari mata Kian terbuka dan kini menatap curiga padanya, dia sampai menegakkan tubuhnya dengan cepat, kedua kakinya secara tak sengaja mundur ke belakang membentur kaki meja yang membuat Arthur limbung dan hampir terjatuh.Kian sangat terkejut melihat Arthur terhuyung ke belakang, dia sampai bangun ingin menolong, tapi untungnya Arthur bisa menyeimbangkan tubuh dan tidak sampai jatuh.Syok karena hampir jatuh, Arthur menatap kesal ke Kian sambil berkata, “Kenapa tiba-tiba kamu membuka mata? Mengejutkan.”Kian melongo karena disalahkan, dia berdiri sambil menekuk kedua tangan di pinggang, dengan sedikit mengangkat dagu untuk mengimbangi tinggi wajah Arthur, Kian lalu balik bertanya, “Kamu sendiri ngapain? Kenapa menatapku begitu? Kamu mau berbuat mesum, ya? Ngaku.”Arthur terperangah mendengar tuduhan Kian sampai bibirnya tersenyum tak percaya. Dia mencoba tenang meski masih begitu panik, Arthur lantas berkata, “Siapa yang mau berbuat mesum? Aku hanya ingin ….”Art
Dengan paksaan Kian, akhirnya Arthur mau berbaring di sofa. Tangannya meremas tepian sofa ketika Kian membuka kemejanya.Melirik ke wajah Kian, Arthur melihat gadis ini begitu serius memperhatikan lukanya.“Ada bercak darah, sepertinya aku tadi terlalu kuat menekannya,” ucap Kian.Kian mengangkat pandangannya ke wajah Arthur, tatapannya begitu menyesal karena tak sengaja menekan luka pria ini.Kedua pipi Arthur tiba-tiba memanas, untuk menutupi kepanikan yang tidak diketahui penyebabnya ini, Arthur segera berkata, “Sudah tidak apa-apa, biar aku obati nanti.” Saat tangan Arthur hendak menutup kemejanya kembali, Kian dengan cepat mencegahnya.“Kalau lukanya berdarah lagi seperti ini, apa kamu bisa membersihkannya lalu mengobati dan menutupnya lagi sendirian? Sudah, biar aku bantu obati,” paksa Kian.Arthur tiba-tiba meneguk ludah kasar, bahkan pandangannya langsung terarah ke tempat lain.Kotak obat sudah ada di atas meja, Kian lebih dulu melepas perban yang menutup luka Arthur, sebelu
Arthur benar-benar terkejut melihat Kian yang duduk begitu dekat dengannya, sambil menatap dengan binar yang membuatnya tak mengerti.Sesenang ini, Kian ditawari pekerjaan? Apa benar, sesulit ini mencari pekerjaan?“Tapi, apa boleh begitu? Apa ini termasuk nepotisme?” Kian bertanya sambil mengedip-ngedipkan kelopak matanya beberapa kali.Menyadari jarak mereka yang begitu dekat, kepala Arthur sedikit mundur, bahkan tanpa sadar dia meneguk ludah kasar menyadari gadis di depannya ini sangat … menggemaskan.Melihat Arthur masih diam tak menjawab pertanyaannya, masih dengan jarak begitu dekat dengan Arthur, Kian kembali bertanya untuk memastikan. “Apa ini tidak masalah? Bagaimana kalau ada yang tahu aku masuk atas rekomendasimu?” Sejenak, Arthur merasakan oksigen di sekitarnya menghilang, membuatnya sesak napas karena tak ada udara yang bisa dihirupnya untuk mengisi stok di paru-parunya.Mengarahkan telunjuk ke lengan Kian, Arthur mendorong pelan agar Kian sedikit memberi jarak di antara







