"Good job!" Gina aka Fiona tersenyum licik ketika dia mengingat kejadian kemarin sore. Saat ibu salah seorang teman Tasya memergokinya berada di rumah Annie, sebenarnya Fiona memang sengaja keluar rumah demi membuat Annie terpancing emosi.
Namun, yang tidak dia duga adalah pertikaian antara Damian dan Annie ternyata cukup kencang, hingga dirinya dapat mendengarnya dari balik pintu.Gina tidak menyangka jika Damian akan terang-terangan membelanya di depan sang istri yang sedang murka. Hal yang tak pernah Gina dapatkan dari sosok Wijaya. Bahkan, Damian rela dihina-dina oleh Annie, tanpa berniat untuk membalas.Semakin Gina coba pahami, semakin Gina tak bisa mengerti jalan pikiran Damian. Mengapa ada pria seperti itu?Drrrt!Ponsel Gina bergetar ketika dia sedang memikirkan sikap Damian sambil merebahkan diri di kamar kecilnya. Nama Emma terlihat muncul dari sana."Nyonya," sapa Emma dari seberang.Gina mengecilkan volume suaranya. "Apa ada berita baru, Em?""Tuan Wijaya, memerintahkan Annie untuk mencari dan membunuh Anda, Nyonya,""Apa?" Gina spontan bangun. "Dia bahkan meminta wanita itu untuk membunuhku?""Benar Nyonya. Ini terkait klausa warisan almarhum Sean yang akan diberikan pada Nyonya jika dia meninggal sebelum 17 tahun."
"Sebaiknya, Nyonya harus waspada. Jangan sampai Annie menyadari siapa Nyonya," tambah Emma sebelum sambungan telepon keduanya ditutup.
* * *
Di sisi lain, suasana tegang juga menyelimuti ruang tamu di rumah besar kediaman Wijaya, dengan Annie yang berdiri tepat di depan meja kerja Wijaya.Pria itu tampak menatap tajam ke arah Annie.
“Bagaimana? Kau sudah menemukan Gina?” tanya Wijaya mendominasi.“M-maafkan aku, Tuan … ““Kandungan Andrea makin lama makin besar. Dan dia sudah menuntutku untuk segera memberikan warisan Sean padanya,” potong Wijaya tegas.Annie mengangguk ragu, dengan mata terpaku pada foto Gina, mantan istri Wijaya itu. Entah di mana wanita itu sekarang ... sungguh merepotkan!“Aku memberimu waktu selama enam bulan. Jika kamu belum membunuh Gina, maka aku yang akan memasukkanmu ke penjara” tambah Wijaya dengan wajahnya yang kejam.Setiap pria tua itu mengeluarkan suara, tak ada seorang pun yang berani menyela. Semua menunduk hormat, penuh ketakutan dan pengabdian--termasuk Annie.“Tuan, sepertinya aku … mual,” Andrea mendadak limbung, dan para asisten mereka dengan sigap mencegah tubuh Adrea ambruk.Wijaya kemudian mengelus perut datar Andrea penuh sayang. Tak lama, pria itu juga menyuruh para asisten untuk mengantar Andrea kembali ke kamar.Sedangkan Annie, memasang muka muak melihat akting amatir Andrea.
Seorang selebritis kelas B tetaplah kelas B, tak bisa naik. Kalau saja bukan perempuan itulah yang sering mencarikan klien penting untuknya dan mengenalkan Wijaya padanya, pasti Annie tidak ingin terlibat drama ini. Terlebih, bayi di kandungan Andrea bukanlah milik Wijaya ....
Tangan Annie sontak mengepal kesal.
“Annie, aku memegang kartu keluargamu. Aku tahu siapa anak dan suamimu. Aku bisa saja menghancurkan mereka kalau kau sampai gagal,” ancam Wijaya tiba-tiba ketika semua orang mulai pergi dan tinggal Annie dan Wijaya saja di dalam ruangan itu.
Annie menggigit bibir, tak berdaya. Dia tahu kekuatan Wijaya terlalu besar untuk bisa dia atasi. Bahkan, dia tak mampu meminta bantuan orang lain untuk melepasnya dari belenggu Wijaya, yang meskipun mematikan, namun juga memberi banyak keberuntungan baik di hidup Annie. Selama Annie tunduk akan perintah Wijaya, karirnya sebagai pengacara akan terus meroket naik.“Baik, Tuan. Aku akan menemukan Gina secepatnya … “ janji Annie, "dan membunuhnya."Wanita dengan segala ambisi mengerikan untuk karirnya itu terlihat mengerikan. Dia seolah menyangka semua sesuai kehendaknya.Padahal ... roda permainan mulai berputar dan semua dimulai dari hubungannya dengan sang suami yang sering direndahkannya.
Pria itu kesepian selama ini. Namun, Damian berusaha menghibur dirinya seorang diri.
Pertengkarannya dengan Annie terus mengganggu pikirannya. Terlebih, sosok Fiona juga mulai masuk ke dalam hatinya ....
Jadi, Damian pun pergi hampir dua jam untuk mengobrol dan minum bersama teman-temannya.
Setelah dua jam, barulah Damian kembali dalam keadaan sempoyongan. Dia ingin menelpon istrinya itu, tetapi dia takut justru akan bertengkar lagi. Jadi, dia menitipkan mobilnya di tempat yang dia kunjungi bersama teman-temannya dan memanggil taksi.
Prang!
Sesampainya di rumah, Damian tak sengaja memecahkan salah satu vas--membuat kebisingan di tengah malam yang sepi.
Fiona yang kala itu sedang berada di dalam kamar pun, buru-buru keluar untuk mengecek keadaan.Melihat Damian yang sempoyongan, Fiona segera meraih tubuh Damian agar tak terjatuh, dan meskipun berat, wanita itu berusaha membopong Damian masuk ke dalam kamar.
Fiona langsung merobohkan tubuh Damian begitu saja di atas kasur, dan hendak pergi sebelum pria itu menahan tangan kanannya erat.“Jangan pergi, Fi. Temani aku, aku sangat kesepian,” rengek Damian dalam pengaruh minuman.Fiona hanya diam, karena percuma juga meski dia menanggapi, Damian tetap tak sadarkan diri.Sungguh pria yang malang. Setelah tak lagi menghasilkan banyak uang, dia diremehkan begitu saja oleh sang istri, bagai mobil bekas pakai yang tak bernilai. Fiona terus memandangi wajah Damian, dengan rasa iba yang mengingatkannya pada luka batinnya sendiri.Fiona tahu, dia tidak bisa terus terbawa suasana. Jadi, yang dia lakukan adalah melepas sepatu Damian satu persatu, bahkan kaos kakinya. Kemudian dia berniat melonggarkan kerah baju Damian, ketika dia terperanjat dengan dekapan spontan dari Damian.Fiona memandangi wajah kemerahan Damian yang terpejam, menelusuri tiap tekstur kasar yang ada di kulitnya. Pria itu, tampak sangat sedih dan kesepian dalam satu waktu. Hati Fiona berdesir hebat, dan jari-jemarinya bergerak pelan menyentuh bibir tipis Damian.“Fiona,” panggil Damian, “aku mencintaimu....”"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka