Share

Bab 10 Kesepian

"Good job!" Gina aka Fiona tersenyum licik ketika dia mengingat kejadian kemarin sore. Saat ibu salah seorang teman Tasya memergokinya berada di rumah Annie, sebenarnya Fiona memang sengaja keluar rumah demi membuat Annie terpancing emosi.

Namun, yang tidak dia duga adalah pertikaian antara Damian dan Annie ternyata cukup kencang, hingga dirinya dapat mendengarnya dari balik pintu.

Gina tidak menyangka jika Damian akan terang-terangan membelanya di depan sang istri yang sedang murka. Hal yang tak pernah Gina dapatkan dari sosok Wijaya. Bahkan, Damian rela dihina-dina oleh Annie, tanpa berniat untuk membalas.

Semakin Gina coba pahami, semakin Gina tak bisa mengerti jalan pikiran Damian. Mengapa ada pria seperti itu?

Drrrt!

Ponsel Gina bergetar ketika dia sedang memikirkan sikap Damian sambil merebahkan diri di kamar kecilnya. Nama Emma terlihat muncul dari sana.

"Nyonya," sapa Emma dari seberang.

Gina mengecilkan volume suaranya. "Apa ada berita baru, Em?"

"Tuan Wijaya, memerintahkan Annie untuk mencari dan membunuh Anda, Nyonya,"

"Apa?" Gina spontan bangun. "Dia bahkan meminta wanita itu untuk membunuhku?"

"Benar Nyonya. Ini terkait klausa warisan almarhum Sean yang akan diberikan pada Nyonya jika dia meninggal sebelum 17 tahun."

"Sebaiknya, Nyonya harus waspada. Jangan sampai Annie menyadari siapa Nyonya," tambah Emma sebelum sambungan telepon keduanya ditutup. 

* * *

Di sisi lain, suasana tegang juga menyelimuti ruang tamu di rumah besar kediaman Wijaya, dengan Annie yang berdiri tepat di depan meja kerja Wijaya.

Pria itu tampak menatap tajam ke arah Annie.

“Bagaimana? Kau sudah menemukan Gina?” tanya Wijaya mendominasi.

“M-maafkan aku, Tuan … “

“Kandungan Andrea makin lama makin besar. Dan dia sudah menuntutku untuk segera memberikan warisan Sean padanya,” potong Wijaya tegas.

Annie mengangguk ragu, dengan mata terpaku pada foto Gina, mantan istri Wijaya itu. Entah di mana wanita itu sekarang ... sungguh merepotkan!

“Aku memberimu waktu selama enam bulan. Jika kamu belum membunuh Gina, maka aku yang akan memasukkanmu ke penjara” tambah Wijaya dengan wajahnya yang kejam.

Setiap pria tua itu mengeluarkan suara, tak ada seorang pun yang berani menyela. Semua menunduk hormat, penuh ketakutan dan pengabdian--termasuk Annie.

“Tuan, sepertinya aku … mual,” Andrea mendadak limbung, dan para asisten mereka dengan sigap mencegah tubuh Adrea ambruk.

Wijaya kemudian mengelus perut datar Andrea penuh sayang. Tak lama, pria itu juga menyuruh para asisten untuk mengantar Andrea kembali ke kamar.

Sedangkan Annie, memasang muka muak melihat akting amatir Andrea.

Seorang selebritis kelas B tetaplah kelas B, tak bisa naik. Kalau saja bukan perempuan itulah yang sering mencarikan klien penting untuknya dan mengenalkan Wijaya padanya, pasti Annie tidak ingin terlibat drama ini. Terlebih, bayi di kandungan Andrea bukanlah milik Wijaya ....

Tangan Annie sontak mengepal kesal.

“Annie, aku memegang kartu keluargamu. Aku tahu siapa anak dan suamimu. Aku bisa saja menghancurkan mereka kalau kau sampai gagal,” ancam Wijaya tiba-tiba ketika semua orang mulai pergi dan tinggal Annie dan Wijaya saja di dalam ruangan itu.

Annie menggigit bibir, tak berdaya. Dia tahu kekuatan Wijaya terlalu besar untuk bisa dia atasi. Bahkan, dia tak mampu meminta bantuan orang lain untuk melepasnya dari belenggu Wijaya, yang meskipun mematikan, namun juga memberi banyak keberuntungan baik di hidup Annie. Selama Annie tunduk akan perintah Wijaya, karirnya sebagai pengacara akan terus meroket naik.

“Baik, Tuan. Aku akan menemukan Gina secepatnya … “ janji Annie, "dan membunuhnya."

Wanita dengan segala ambisi mengerikan untuk karirnya itu terlihat mengerikan. Dia seolah menyangka semua sesuai kehendaknya. 

Padahal ... roda permainan mulai berputar dan semua dimulai dari hubungannya dengan sang suami yang sering direndahkannya.

Pria itu kesepian selama ini. Namun, Damian berusaha menghibur dirinya seorang diri.

Pertengkarannya dengan Annie terus mengganggu pikirannya. Terlebih, sosok Fiona juga mulai masuk ke dalam hatinya ....

Jadi, Damian pun pergi hampir dua jam untuk mengobrol dan minum bersama teman-temannya.

Setelah dua jam, barulah Damian kembali dalam keadaan sempoyongan. Dia ingin menelpon istrinya itu, tetapi dia takut justru akan bertengkar lagi. Jadi, dia menitipkan mobilnya di tempat yang dia kunjungi bersama teman-temannya dan memanggil taksi.

Prang!

Sesampainya di rumah, Damian tak sengaja memecahkan salah satu vas--membuat kebisingan di tengah malam yang sepi.

Fiona yang kala itu sedang berada di dalam kamar pun, buru-buru keluar untuk mengecek keadaan.

Melihat Damian yang sempoyongan, Fiona segera meraih tubuh Damian agar tak terjatuh, dan meskipun berat, wanita itu berusaha membopong Damian masuk ke dalam kamar.

Fiona langsung merobohkan tubuh Damian begitu saja di atas kasur, dan hendak pergi sebelum pria itu menahan tangan kanannya erat.

“Jangan pergi, Fi. Temani aku, aku sangat kesepian,” rengek Damian dalam pengaruh minuman.

Fiona hanya diam, karena percuma juga meski dia menanggapi, Damian tetap tak sadarkan diri.

Sungguh pria yang malang. Setelah tak lagi menghasilkan banyak uang, dia diremehkan begitu saja oleh sang istri, bagai mobil bekas pakai yang tak bernilai. Fiona terus memandangi wajah Damian, dengan rasa iba yang mengingatkannya pada luka batinnya sendiri.

Fiona tahu, dia tidak bisa terus terbawa suasana. Jadi, yang dia lakukan adalah melepas sepatu Damian satu persatu, bahkan kaos kakinya. Kemudian dia berniat melonggarkan kerah baju Damian, ketika dia terperanjat dengan dekapan spontan dari Damian.

Fiona memandangi wajah kemerahan Damian yang terpejam, menelusuri tiap tekstur kasar yang ada di kulitnya. Pria itu, tampak sangat sedih dan kesepian dalam satu waktu. 

Hati Fiona berdesir hebat, dan jari-jemarinya bergerak pelan menyentuh bibir tipis Damian.

“Fiona,” panggil Damian, “aku mencintaimu....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status