Share

Bab 9 Pertikaian

Penulis: Dama Mei
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-24 06:35:01

Mata Annie sudah diliputi kilauan kemarahan. “Kamu, mulai sekarang nggak usah dekat-dekat sama Sita lagi!” ancam Annie. “Kamu juga, kalau sampai ngomong yang aneh-aneh ke teman-temanmu soal keluarga kita, Mama bakal hukum kamu!”

“Ngomong aneh apa sih, Ma? Tasya kan cuman bilang kalau di rumah ada pembantu baru, makanya sekarang Tasya jarang telat dianter Papa. Apa salahnya, sih, Ma?” protes Tasya.

Batin Annie bergejolak mendengar pembelaan dari anak tunggalnya itu. Namun egonya yang sangat tinggi enggan untuk merendah. Dia harus selalu tampak menang di depan semua orang, apalagi anaknya.

“Pokoknya, sekali lagi kamu ngomong yang aneh-aneh, Mama bakal cut uang jajanmu!” ancam Annie sekali lagi, lalu menyuruh Tasya balik ke kamarnya.

Sekarang giliran Fiona. Wanita muda itu diam di pojokan dapur, tak berani bergerak setelah kesalahan fatalnya yang tiba-tiba keluar untuk membuang sampah. Dia tahu Annie akan muntab padanya, maka sebelum hal itu terjadi, Fiona sudah bersiap-siap membangun tamengnya di pojok dapur.

“Dan kamu, Fiona!” Telunjuk Annie mengarah tepat ke muka Fiona. “Aku kan tadi sudah bilang, jangan keluar dari kamar, kenapa kamu keluar? Sengaja ya, mau nunjukin ke Lusi kalau kamulah yang dia maksud, gitu?” tuduh Annie tanpa henti. Matanya melotot dengan kilatan kemarahan pada Fiona.

“Maaf, Bu Annie. Saya tidak pernah bermaksud seperti itu.”

“Terus ngapain kamu keluar?”

“Saya kira, orangnya nggak mampir ke rumah,” bela Fiona. “Saya kira, dia hanya akan mengantar Tasya, lalu pulang,”

Annie tersenyum sinis, tampak tak percaya. “Saya kira, saya kira! Kamu pikir aku nggak tahu motifmu? Kamu senang, kan, dipuji-puji cantik sama Lusi? Dasar wanita kampungan, tak tahu diri! Emang susah ya, nyuruh orang yang pendidikannya nggak tinggi kayak kamu!”

Makian Annie sudah kelewat keterlaluan. Bahkan Damian yang sejak tadi menguping dari ruang keluarga, seketika ternganga. Dengan cepat, pria itu berjalan cepat untuk melerai pertikaian Annie dan Fiona.

Damian pun mendekap tubuh istrinya itu, sambil bergerak mundur agar Fiona tak lagi merasa terintimidasi oleh Annie. Meski berontak, tubuh kecil Annie tak sanggup melawan dekapan tubuh tegap Damian. Dia membawa istrinya masuk ke dalam kamar, agar baik Tasya maupun Fiona tak mendengar perdebatan mereka.

“Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu bela wanita itu?” protes Annie masih dengan nada tinggi.

“Aku nggak bela dia, An,” bantah Damian, “aku cuman nggak suka kamu maki-maki dia sekasar itu. Gimana kalau Tasya sampe denger?”

“Dia emang pantas dimaki! Udah jelas-jelas aku ngasih perintah buat nggak keluar kamar, eh dia malah keluar rumah! Kan kalau bukan wanita bodoh, mana mungkin?”

“An, cukup! Aku nggak suka kamu ngata-ngatain orang kayak gitu!” tegas Damian dengan mata tajam serius.

Bukannya diam dan takut, Annie justru makin kalap.

“Oh, jadi kamu belain dia? Kenapa? Kamu belain dia karena cantik? Atau karena dia setiap hari masakin kamu? Atau bahkan, dia udah pernah kamu tiduri?”

Plak!

Tamparan seketika mendarat di pipi Annie yang sudah kelewat batas. Pria itu tak punya pilihan untuk mendiamkan istrinya. Sayang, meskipun pelan, Annie tak menyangka akan mendapat tamparan itu. Seketika pengacara berhati dingin itu menatap nyalang sang suami.

"Kamu?!"

“Jaga mulutmu, Annie,” suruh Damian, dengan tatapan mata tajam seakan menghunus Annie.

“Aku anggap kejadian ini nggak pernah ada,” imbuh Damian, “kamu segera ganti baju dan istirahat, karena besok kamu masih kerja,”

Damian hendak pergi dari kamarnya untuk memberi ruang pada Annie--namun yang terjadi Annie justru tertawa cekikikan dengan wajah menantang Damian.

“Kamu pikir, pengangguran kayak kamu, bisa seenaknya nampar aku?”

Deg!

Damian tercengang dengan apa yang dia dengar.

Apakah Annie sedang mabuk?

Tidak, ini masih sore, dan Annie tak pernah bau alkohol saat pulang ke rumah. Lalu, kenapa ucapan sejahat itu bisa keluar dari mulutnya? Pertikaian batin dalam otak Damian terus sahut-menyahut.

“Kalau kamu macem-macem sama aku, maka aku nggak segan buat ngusir kamu dari sini,” ancam Annie lirih, “ingat, rumah ini adalah rumah pemberian orang tuaku.”

Dengan emosi, Annie kemudian berjalan pergi dari kamar. Tak lupa membanting pintunya keras--meninggalkan Damian yang masih mematung di tempatnya berdiri. Pria itu berusaha mencerna semuanya.

Sikap Annie memang tak pernah ramah. Selalu culas dan sinis dalam bicara. Namun, dia masih menghromati Damian sebagai suami.

Hanya saja, sejak Damian tak lagi menghasilkan uang dari bukunya dan karir Annie makin melejit--rasa hormat itu telah menguap jauh tak meninggalkan bekas.

Terlebih hari ini. Damian merasa bagaikan pakaian lusuh yang terinjak-injak. Harga dirinya ternodai. 

"Arrgh!" Damian mengusap rambutnya kasar.

******

Meski sudah berdiam diri untuk meredakan emosi, Damian masih saja merasa tidak tenang.

Gontai, pria itu pun memutuskan untuk mencari angin segar dengan berkeliling di halaman belakang rumahnya.

Hanya saja, ketika dia sedang mengitari kolam ikan, Damian melihat sosok Fiona yang tersorot temaram lampu taman, sedang menabur pakan ikan beberapa kali.

Damian sontak bergerak pelan--agak bersembunyi untuk mengamati Fiona dari jauh. Wanita itu berjongkok di pinggir kolam ikan yang luas, dengan mata terpejam dan kepala yang ditumpukan pada lengannya. Dia tampak kelelahan.

"FIONA!"

Tiba-tiba suara teriakan Annie yang memanggil Fiona terdengar. 

Damian bahkan terkejut dalam persembunyian dan kembali memerhatikan Fiona. 

Dilihatnya wanita muda itu spontan bangkit--berlari tunggang-langgang menghampiri majikannya.

Hati Damian seketika terenyuh, sekaligus marah di saat bersamaan. Dia terenyuh akan dedukasi Fiona pada keluarganya, dan marah akan perlakuan Annie pada para pekerja rumah yang tak pernah baik.

“Pak Damian?” tegur Fiona yang tiba-tiba sudah di belakang punggung Damian.

Damian yang terkaget hampir saja jatuh, andai Fiona tak segera menarik lengannya. Dua manusia itu seketika kikuk, dan otomatis menjauh.

“Bapak sedang apa di sini?” tanya Fiona heran.

Damian mengelus tengkuknya, gugup. “Nggak ngapa-ngapain, sih. Cuman lagi cari udara segar.”

“Ini, Pak.” Fiona menyerahkan sebotol minuman pada Damian.

Melihat itu, kening Damian berkerut.

Seolah mengerti, Fiona pun tersenyum--menjelaskan minuman yang diberikannya barusan, “Ini ramuan sereh, baik untuk daya tahan tubuh. Tadi pagi, saya buat ini untuk Tasya. Katanya, lagi banyak temennya yang sakit di sekolah.” 

Damian masih diam. Sebenarnya, dia tertegun karena ini adalah momen langka. Biasanya, Fiona selalu irit bicara pada Damian, tetapi wanita itu lebih banyak membuka percakapan. Terlebih, dia melihat Fiona yang sedikit mengulaskan senyum.

'Indah,' batin Damian.

"Pak?" ucap Fiona menyadarkan Damian.

"Ah .. i--ya. Makasih, Gin,” gugup Damian yang langsung meneguk botol kecil itu sampai habis.

Rasa hangat seketika mengalir di tubuh Damian. Meski banyak rempah, rasanya tidak pekat dan masih bisa dinikmati.

“Kok kamu bisa bikin kayak gini?” tanya Damian heran.

“Resep turun-temurun, Pak.”

Damian pun mengangguk kecil, hingga Fiona terlihat ingin undur diri.

Melihat itu, otak Damian berjalan cepat untuk menahan Fiona. Seketika tangan Fiona telah digenggamnya.

“Fiona,” panggil Damian pelan. 

Kini, Fiona lah yang mengerutkan dahi.

Apalagi, Damian tiba-tiba memeluk tubuh Fiona sangat erat tanpa berbicara sepatah kata pun.

Tubuh Fiona membeku, tak berani dan tak sanggup bergerak dengan gerakan mendadak dari Damian.

"P--pak?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Konglomerat yang Dicampakkan   Bab 160 Kebahagiaan Selamanya

    "Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang

  • Istri Konglomerat yang Dicampakkan   Bab 159 Kesempatan Terakhir

    "Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be

  • Istri Konglomerat yang Dicampakkan   Bab 158 Mimpi Buruk

    Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya

  • Istri Konglomerat yang Dicampakkan   Bab 157 Mengejar Kebahagiaan

    Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w

  • Istri Konglomerat yang Dicampakkan   Bab 156 Mempertahankan Hubungan

    Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg

  • Istri Konglomerat yang Dicampakkan   Bab 155 Salah Paham

    “Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka

  • Istri Konglomerat yang Dicampakkan   Bab 154 Memikirkan Diri Sendiri

    Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak

  • Istri Konglomerat yang Dicampakkan   Bab 153 Bahaya Datang

    “Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni

  • Istri Konglomerat yang Dicampakkan   Bab 152 Dipaksa Berpisah

    “Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status