Share

Bab 9 Pertikaian

Mata Annie sudah diliputi kilauan kemarahan. “Kamu, mulai sekarang nggak usah dekat-dekat sama Sita lagi!” ancam Annie. “Kamu juga, kalau sampai ngomong yang aneh-aneh ke teman-temanmu soal keluarga kita, Mama bakal hukum kamu!”

“Ngomong aneh apa sih, Ma? Tasya kan cuman bilang kalau di rumah ada pembantu baru, makanya sekarang Tasya jarang telat dianter Papa. Apa salahnya, sih, Ma?” protes Tasya.

Batin Annie bergejolak mendengar pembelaan dari anak tunggalnya itu. Namun egonya yang sangat tinggi enggan untuk merendah. Dia harus selalu tampak menang di depan semua orang, apalagi anaknya.

“Pokoknya, sekali lagi kamu ngomong yang aneh-aneh, Mama bakal cut uang jajanmu!” ancam Annie sekali lagi, lalu menyuruh Tasya balik ke kamarnya.

Sekarang giliran Fiona. Wanita muda itu diam di pojokan dapur, tak berani bergerak setelah kesalahan fatalnya yang tiba-tiba keluar untuk membuang sampah. Dia tahu Annie akan muntab padanya, maka sebelum hal itu terjadi, Fiona sudah bersiap-siap membangun tamengnya di pojok dapur.

“Dan kamu, Fiona!” Telunjuk Annie mengarah tepat ke muka Fiona. “Aku kan tadi sudah bilang, jangan keluar dari kamar, kenapa kamu keluar? Sengaja ya, mau nunjukin ke Lusi kalau kamulah yang dia maksud, gitu?” tuduh Annie tanpa henti. Matanya melotot dengan kilatan kemarahan pada Fiona.

“Maaf, Bu Annie. Saya tidak pernah bermaksud seperti itu.”

“Terus ngapain kamu keluar?”

“Saya kira, orangnya nggak mampir ke rumah,” bela Fiona. “Saya kira, dia hanya akan mengantar Tasya, lalu pulang,”

Annie tersenyum sinis, tampak tak percaya. “Saya kira, saya kira! Kamu pikir aku nggak tahu motifmu? Kamu senang, kan, dipuji-puji cantik sama Lusi? Dasar wanita kampungan, tak tahu diri! Emang susah ya, nyuruh orang yang pendidikannya nggak tinggi kayak kamu!”

Makian Annie sudah kelewat keterlaluan. Bahkan Damian yang sejak tadi menguping dari ruang keluarga, seketika ternganga. Dengan cepat, pria itu berjalan cepat untuk melerai pertikaian Annie dan Fiona.

Damian pun mendekap tubuh istrinya itu, sambil bergerak mundur agar Fiona tak lagi merasa terintimidasi oleh Annie. Meski berontak, tubuh kecil Annie tak sanggup melawan dekapan tubuh tegap Damian. Dia membawa istrinya masuk ke dalam kamar, agar baik Tasya maupun Fiona tak mendengar perdebatan mereka.

“Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu bela wanita itu?” protes Annie masih dengan nada tinggi.

“Aku nggak bela dia, An,” bantah Damian, “aku cuman nggak suka kamu maki-maki dia sekasar itu. Gimana kalau Tasya sampe denger?”

“Dia emang pantas dimaki! Udah jelas-jelas aku ngasih perintah buat nggak keluar kamar, eh dia malah keluar rumah! Kan kalau bukan wanita bodoh, mana mungkin?”

“An, cukup! Aku nggak suka kamu ngata-ngatain orang kayak gitu!” tegas Damian dengan mata tajam serius.

Bukannya diam dan takut, Annie justru makin kalap.

“Oh, jadi kamu belain dia? Kenapa? Kamu belain dia karena cantik? Atau karena dia setiap hari masakin kamu? Atau bahkan, dia udah pernah kamu tiduri?”

Plak!

Tamparan seketika mendarat di pipi Annie yang sudah kelewat batas. Pria itu tak punya pilihan untuk mendiamkan istrinya. Sayang, meskipun pelan, Annie tak menyangka akan mendapat tamparan itu. Seketika pengacara berhati dingin itu menatap nyalang sang suami.

"Kamu?!"

“Jaga mulutmu, Annie,” suruh Damian, dengan tatapan mata tajam seakan menghunus Annie.

“Aku anggap kejadian ini nggak pernah ada,” imbuh Damian, “kamu segera ganti baju dan istirahat, karena besok kamu masih kerja,”

Damian hendak pergi dari kamarnya untuk memberi ruang pada Annie--namun yang terjadi Annie justru tertawa cekikikan dengan wajah menantang Damian.

“Kamu pikir, pengangguran kayak kamu, bisa seenaknya nampar aku?”

Deg!

Damian tercengang dengan apa yang dia dengar.

Apakah Annie sedang mabuk?

Tidak, ini masih sore, dan Annie tak pernah bau alkohol saat pulang ke rumah. Lalu, kenapa ucapan sejahat itu bisa keluar dari mulutnya? Pertikaian batin dalam otak Damian terus sahut-menyahut.

“Kalau kamu macem-macem sama aku, maka aku nggak segan buat ngusir kamu dari sini,” ancam Annie lirih, “ingat, rumah ini adalah rumah pemberian orang tuaku.”

Dengan emosi, Annie kemudian berjalan pergi dari kamar. Tak lupa membanting pintunya keras--meninggalkan Damian yang masih mematung di tempatnya berdiri. Pria itu berusaha mencerna semuanya.

Sikap Annie memang tak pernah ramah. Selalu culas dan sinis dalam bicara. Namun, dia masih menghromati Damian sebagai suami.

Hanya saja, sejak Damian tak lagi menghasilkan uang dari bukunya dan karir Annie makin melejit--rasa hormat itu telah menguap jauh tak meninggalkan bekas.

Terlebih hari ini. Damian merasa bagaikan pakaian lusuh yang terinjak-injak. Harga dirinya ternodai. 

"Arrgh!" Damian mengusap rambutnya kasar.

******

Meski sudah berdiam diri untuk meredakan emosi, Damian masih saja merasa tidak tenang.

Gontai, pria itu pun memutuskan untuk mencari angin segar dengan berkeliling di halaman belakang rumahnya.

Hanya saja, ketika dia sedang mengitari kolam ikan, Damian melihat sosok Fiona yang tersorot temaram lampu taman, sedang menabur pakan ikan beberapa kali.

Damian sontak bergerak pelan--agak bersembunyi untuk mengamati Fiona dari jauh. Wanita itu berjongkok di pinggir kolam ikan yang luas, dengan mata terpejam dan kepala yang ditumpukan pada lengannya. Dia tampak kelelahan.

"FIONA!"

Tiba-tiba suara teriakan Annie yang memanggil Fiona terdengar. 

Damian bahkan terkejut dalam persembunyian dan kembali memerhatikan Fiona. 

Dilihatnya wanita muda itu spontan bangkit--berlari tunggang-langgang menghampiri majikannya.

Hati Damian seketika terenyuh, sekaligus marah di saat bersamaan. Dia terenyuh akan dedukasi Fiona pada keluarganya, dan marah akan perlakuan Annie pada para pekerja rumah yang tak pernah baik.

“Pak Damian?” tegur Fiona yang tiba-tiba sudah di belakang punggung Damian.

Damian yang terkaget hampir saja jatuh, andai Fiona tak segera menarik lengannya. Dua manusia itu seketika kikuk, dan otomatis menjauh.

“Bapak sedang apa di sini?” tanya Fiona heran.

Damian mengelus tengkuknya, gugup. “Nggak ngapa-ngapain, sih. Cuman lagi cari udara segar.”

“Ini, Pak.” Fiona menyerahkan sebotol minuman pada Damian.

Melihat itu, kening Damian berkerut.

Seolah mengerti, Fiona pun tersenyum--menjelaskan minuman yang diberikannya barusan, “Ini ramuan sereh, baik untuk daya tahan tubuh. Tadi pagi, saya buat ini untuk Tasya. Katanya, lagi banyak temennya yang sakit di sekolah.” 

Damian masih diam. Sebenarnya, dia tertegun karena ini adalah momen langka. Biasanya, Fiona selalu irit bicara pada Damian, tetapi wanita itu lebih banyak membuka percakapan. Terlebih, dia melihat Fiona yang sedikit mengulaskan senyum.

'Indah,' batin Damian.

"Pak?" ucap Fiona menyadarkan Damian.

"Ah .. i--ya. Makasih, Gin,” gugup Damian yang langsung meneguk botol kecil itu sampai habis.

Rasa hangat seketika mengalir di tubuh Damian. Meski banyak rempah, rasanya tidak pekat dan masih bisa dinikmati.

“Kok kamu bisa bikin kayak gini?” tanya Damian heran.

“Resep turun-temurun, Pak.”

Damian pun mengangguk kecil, hingga Fiona terlihat ingin undur diri.

Melihat itu, otak Damian berjalan cepat untuk menahan Fiona. Seketika tangan Fiona telah digenggamnya.

“Fiona,” panggil Damian pelan. 

Kini, Fiona lah yang mengerutkan dahi.

Apalagi, Damian tiba-tiba memeluk tubuh Fiona sangat erat tanpa berbicara sepatah kata pun.

Tubuh Fiona membeku, tak berani dan tak sanggup bergerak dengan gerakan mendadak dari Damian.

"P--pak?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status