“Oh iya, kamu Fiona Gage? Bagaimana Ajeng bisa kenal denganmu?” tanya Damian.
Fiona tersenyum tipis, menundukkan pandangannya. “Saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah Nyonya Ajeng yang sempat terkena stroke,”Damian manggut-manggut. Dia mengelus bagian belakang kepalanya, tampak kikuk dengan pesona Fiona yang luar biasa cantik.“Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona, karena sejak tadi Damian tak bersuara. Mungkin dia ingin mencairkan suasana yang canggung antara mereka berdua.“Oh, iya,” Damian menegakkan posisi. "Mari kita masuk dulu ke dalam rumah,"Dengan isyarat tangan, Damian mempersilakan Fiona untuk masuk ke dalam rumah. Pandangan Fiona mengitari setiap sudut rumah Annie, yang meskipun membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah, nyatanya rumah itu sangatlah rapi."Kamu pasti tahu, istriku sangatlah sibuk," ujar Damian. "Dan aku hanyalah suami yang menganggur di sini," Damian justru merendahkan dirinya sendiri di depan Fiona.Lewat ekor matanya, Fiona bisa melihat ruang kerja Damian yang terletak di semi lantai 2. Susunan buku yang banyak dan rapi, komputer versi terbaru, bahkan kursi kerja paling mahal. Membuat Fiona yakin, Damian bisa melebihi Annie andaikan dia tidak merendahkan kemampuannya sendiri."Kamu wajib memasak untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Tapi kalau Annie pulang telat, kamu harus menyiapkan makanan yang siap dihangatkan untuknya. Dan segala keperluan anakku, Tasya serta menjaga kebersihan rumah ini,” terang Damian panjang lebar.“Baik, Tuan,” sahut Fiona masih dengan kepala menunduk.“Kamu cukup panggil Pak Damian dan Bu Annie saja, Fiona,”Fiona sekali lagi mengangguk patuh.“Mari kutunjukkan kamarmu,” Damian menunjukkan arah pada sebuah kamar kosong yang terletak di pojok belakang rumah.Sebuah ruangan berukuran 4x4 yang hanya terdiri dari sebuah kasur kecil serta lemari minimalis. Ruangan itu dulunya adalah sebuah gudang, yang entah kapan, telah disulap Annie menjadi sebuah kamar yang layak ditempati.Fiona meminta ijin untuk masuk dan meletakkan tas jinjing besarnya di pojok ruang. Mulanya Damian masih berdiri di ambang pintu, tanpa sadar matanya terpusat pada setiap gerak-gerik Fiona. Namun setelah Fiona berkata sopan untuk ijin berganti pakaian, Damian seketika berjalan cepat menjauhi kamar Fiona.Damian menuju ruang kerjanya di semi lantai 2, sambil menampar pelan kedua pipinya. Dia harus mulai sadar, Fiona disini niat bekerja membantu membereskan rumah, maka tak seharusnya dia terpesona oleh pembantunya sendiri. Begitulah pergolakan batin yang sedang dialami Damian.* * *Damian terbangun dari tidur siang panjangnya setelah mencium aroma wangi masakan rumah, yang sudah sangat lama tak pernah dia hirup aromanya. Dia seketika beranjak berdiri, berjalan cepat ke arah sumber aroma. Di sana sedang berdiri Fiona, yang sibuk menata meja makan dan meletakkan sayur beserta lauk pauk di atasnya. Saat melihat Damian, Fiona kembali menunduk patuh, tak berani menatap langsung majikannya itu.Bagi Fiona, memasak bukanlah hal baru baginya. Meski berasal dari keluarga konglomerat, namu Fiona alias Gina pernah mengikuti kursus memasak dari koki bintang lima.“Pak, makan siangnya sudah siap,” ucap Fiona, mempersilahkan Damian untuk segera makan.Damian mengangguk tipis, dengan pikiran yang hanya fokus pada aneka masakan rumah yang tampak lezat. Dia langsung mengambil piring, menyantap dengan tak sabar. Hatinya bagai disiram air terjun yang dingin nan segar, bahagia luar biasa. Sudah sangat lama dia tak merasakan masakan rumahan yang sederhana namun nikmat seperti ini.Annie tak bisa masak sama sekali, dan dulu ketika Damian masih menjadi penulis best seller, mereka memakai jasa pembantu yang menyiapkan semua makanan sekeluarga. Namun semenjak Damian tak lagi populer dan tak menghasilkan uang, Annie memutuskan untuk mempekerjakan Damian dengan dalih agar Damian punya kesibukan di rumah.“Pak Damian … “ panggil Fiona. “Bolehkah saya mencatat jadwal sekolahnya Tasya?”“Untuk apa?” tanya Damian di sela-sela mengunyah.“Saya yang akan mengantar jemput Tasya,”“Kenapa? Nggak usah, Fi. Itu sudah jadi tugasku. Tugasmu sesuai yang kubilang tadi,” larang Damian.Mengantar jemput Tasya menjadi hal paling ditunggu Damian, karena dia bisa sambil menyegarkan otak, kala jenuh dengan kondisi rumah.Fiona sekali lagi mengangguk, kemudian kembali bekerja membersihkan dapur. Damian melanjutkan makannya dengan hati bahagia luar biasa. Dia berharap setelah menyantap masakan rumahan yang lezat ini, ide-ide bagus mengalir kembali di kepalanya.* * *“Pa, dia siapa?” tanya Tasya keheranan saat melihat Fiona yang menyambutnya di depan pintu, ketika dia pulang sekolah.“Dia pembantu baru kita. Kamu panggil dia Mbak Fiona, ya,” jawab Damian.Tasya, gadis berusia 10 tahun itu menganga takjub dengan penampilan Fiona yang sangat cantik, dengan rambut coklat panjang nan tebal. Bahkan bagi Tasya, penampilan Fiona lebih cocok menjadi pekerja kantoran daripada pembantu.Memandang Tasya terlalu lama membuat Fiona teringat akan Sean, dan membayangkan jika Sean telah berusia sama dengan Tasya. Betapa bahagianya Fiona, meski harus disibukkan dengan segala persiapan sekolah Sean.Tidak. Fiona buru-buru menepis lamunannya, dan berusaha bersikap normal karena hampir saja air matanya jatuh.“Kamu suka, Tas?”“MAMA!!” seru Tasya, karena Annie tiba-tiba datang. Damian kaget bukan main, namun senang karena istrinya tak jadi pulang tengah malam.Damian segera menyambut dan memeluk hangat istrinya itu.Dari respon Annie yang tampak jengah saat dipeluk, Fiona yakin jika Annie sudah cukup muak dengan keberadaan Damian di dekatnya. Andai bukan karena Tasya, mungkin Annie sudah meninggalkan Damian yang bagai mobil bekas itu.“Kok sudah pulang?” tanya Damian heran.“Aku sengaja pulang cepat, ingin bertemu dengan Fiona,” ucap Annie, mengamati Fiona dari atas sampai bawah.Meski Fiona sudah merubah penampilan sedemikian rupa, namun mendapatkan tatapan menyelidik bak tim interogasi, tentu membuat Fiona sedikit tegang.“Kenapa aku tak asing denganmu, ya?” celetuknya. Tatapan matanya pada Fiona tampak tak senang, seakan terintimidasi."Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m