Share

Bab 5 Sebuah Rencana

Deg!

Meski terkejut, Fiona dengan cepat menormalkan diri. Sudah sepantasnya mereka menanyakan hal ini.

Tersenyum tipis sambil menundukkan pandangannya, Fiona kemudian berbicara, “Nyonya Ajeng … saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah beliau yang sempat terkena stroke.”

Damian terlihat mengangguk dan mengelus bagian belakang kepalanya–tampak kikuk. 

Sebenarnya, pria itu terpesona dengan kecantikan Gina yang sedang menyamar jadi Fiona ini. Namun, “Fiona” masih belum menyadari itu.

Dia justru merasa Damian begitu lucu.

‘Bagaimana orang sekejam Annie memiliki suami seperti ini?’ Fiona membatin sebelum sadar bahwa sudah terlalu lama keduanya terdiam di ruangan itu.

“Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona pada akhirnya karena sejak tadi Damian tak bersuara. 

“Oh, iya,” Damian menegakkan duduknya. “Kamu wajib memasak untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Tapi kalau Annie pulang telat, kamu harus menyiapkan makanan yang siap dihangatkan untuknya. Dan segala keperluan anakku, Tasya serta menjaga kebersihan rumah ini,” terang Damian panjang lebar.

“Baik, Tuan,” sahut Fiona masih dengan kepala menunduk.

Dia berusaha sebisa mungkin menyatu dengan identitas barunya.

“Kamu cukup panggil Pak Damian dan Bu Annie saja, Fiona,” tambah Damian.

Fiona sekali lagi mengangguk patuh.

Melihat itu, Damian tampak tersenyum. “Mari kutunjukkan kamarmu.” 

Segera, keduanya berjalan menuju sebuah kamar kosong yang terletak di pojok belakang rumah.

Sebuah ruangan berukuran 4x4 yang hanya terdiri dari sebuah kasur kecil serta lemari minimalis. 

Ruangan itu dulunya adalah sebuah gudang, yang entah kapan, telah disulap Annie menjadi sebuah kamar yang layak ditempati.

“Terima kasih, Pak.”

Fiona pun meminta izin untuk masuk dan meletakkan tas jinjing besarnya di pojok ruang. Dari belakang, dia dapat menyadari bahwa Damian menatapnya intens.

“Semangat. Kamu bisa, Gina!” gumamnya menyemangati diri.

* * * *

Meski lahir di keluarga konglomerat, Gina tak pernah menjadi anak yang manja. Justru, dia menyadari bahwa beban berat ada di pundaknya. 

Jadi, sekadar memasak atau merapikan rumah bukanlah hal yang sulit.

Sekarang, Gina merasa bersyukur orang tuanya juga selalu mendukung pilihannya untuk mandiri.

Dengan cepat, Gina alias Fiona menyiapkan makanan, serta menatanya di meja makan.

Aromanya begitu mengundang siapapun yang mencium, termasuk Damian.

Pria itu bahkan terbangun dari tidur siang panjangnya setelah mencium aroma wangi masakan rumah–yang sudah sangat lama tak pernah dia hirup.  

Menyadari itu, Gina lantas menunduk patuh–tak berani menatap langsung majikannya itu.

“Pak, makan siangnya sudah siap,” ucapnya mempersilahkan Damian untuk segera makan.

Damian mengangguk tipis, terlihat fokus pada aneka masakan rumah yang tampak lezat. 

Tanpa basa-basi, Damian langsung mengambil piring, menyantap dengan tak sabar makanan itu. 

Hatinya bahagia luar biasa. Sudah sangat lama Damian tak merasakan masakan rumahan yang sederhana namun nikmat seperti ini. 

Annie tak bisa masak sama sekali. Dulu ketika Damian masih menjadi penulis best-seller, mereka memakai jasa pembantu yang menyiapkan semua makanan sekeluarga. 

Namun, semenjak Damian tak lagi populer dan tak menghasilkan uang, Annie justru memutuskan untuk mempekerjakan Damian dengan dalih agar Damian punya kesibukan di rumah.

Fiona tersenyum bangga–berhasil membuat bosnya ini menyukai hasil pekerjaannya.

Namun, itu tak lama. Seketika, dia teringat misi selanjutnya: mendekati anak Annie!

“Pak Damian … “ panggil Fiona cepat, “Bolehkah saya mencatat jadwal pergi dan pulang sekolahnya Tasya?”

“Untuk apa?” tanya Damian di sela-sela mengunyah.

“Saya yang akan mengantar jemput Tasya, Pak.”

“Kenapa? Nggak usah, Fi. Itu sudah jadi tugasku. Tugasmu sesuai yang kubilang tadi,” larang Damian seketika.

Fiona mungkin tak tahu bahwa mengantar jemput Tasya menjadi hal paling ditunggu Damian. Hanya saat itulah dia bisa menyegarkan otak kala jenuh dengan kondisi rumah.

Fiona terdiam. Namun, dia sekali lagi mengangguk. “Baik, Pak.”

Tak lama, ia  kemudian kembali bekerja membersihkan dapur–meninggalkan Damian yang menyantap masakan rumahan sambil berharap ide-ide bagus mengalir kembali di kepalanya.

* * * *

Tet!

Bel rumah berbunyi. Sekarang, sudah pukul 15:00. Pastilah itu Tasya–anak Annie dan Damian.

Gegas, Fiona membuka pintu rumah–menyambutnya pulang sekolah setelah dijemput Damian. 

Seperti dugaannya, Tasya pasti terkejut dengan keberadaan perempuan asing ini.

“Pa, dia siapa?” tanya Tasya keheranan.

“Dia pembantu baru kita. Kamu panggil dia Mbak Fiona, ya,” jawab Damian.

Tasya, gadis berusia 10 tahun itu menganga takjub dengan penampilan Fiona yang sangat cantik, dengan rambut coklat panjang nan tebal. 

Bahkan bagi Tasya, penampilan Fiona lebih cocok menjadi pekerja kantoran daripada pembantu.

“Kamu suka, Tas?”

“MAMA!!” seru Tasya, karena Annie tiba-tiba datang. Damian kaget bukan main, namun senang karena istrinya tak jadi pulang tengah malam.

Damian juga segera menyambut dan memeluk hangat istrinya itu.

“Kok sudah pulang?” tanya Damian heran.

“Aku sengaja pulang cepat, ingin bertemu dengan Fiona,” ucap Annie, mengamati Fiona dari atas sampai bawah.

Fiona memperhatikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Perempuan yang membunuh anaknya–tampak bahagia dan tidak merasa bersalah. Dia punya keluarga. Anaknya masih bisa memeluknya … tidak seperti dirinya.

Tangan Fiona sontak mengepal. 

Namun, ia lepas begitu menyadari Annie menatapnya tak senang–cenderung mengintimidasi.

“Kau Fiona?” celetuknya, “Kenapa aku tak asing denganmu, ya?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status