"Aku seperti pernah bertemu denganmu, ya?" tanya Annie curiga.
Fiona berusaha untuk tetap tegar. Dia berdiri kokoh, tak ingin merasa terintimidasi oleh wanita berhati iblis ini."Mungkin Bu Annie pernah melihat saya di rumah Bu Ajeng?" tebak Fiona, bersikap datar.Annie masih memicingkan mata menatapnya. Tapi dia detik kemudian, ketegangan itu mencair. Annie mengangguk, dan tampak setuju.'Hampir saja,' batik Gina, dengan setitik eluh dingin yang turun dari keningnya.***“Fiona?” tegur Annie, ketika Fiona sudah mulai menyiapkan sarapan di jam 5 pagi.Fiona yang tak paham dengan kebiasaan Annie, tentu setengah terjerembab kaget saat mendengar seseorang tiba-tiba memanggilnya. Setahu Fiona, baru dia saja yang bangun sepagi ini. Namun ketika dia memutar tubuh ke belakang, dan mendapati Annie yang bersandar di meja island sambil meminum segelas air putih, Fiona menghela nafas lega.“Kamu kenapa sudah bangun sepagi ini?”“Saya menyiapkan sarapan, Bu.”Lirikannya dingin ke arah Fiona. “Aku mau mandi, tolong siapkan air hangat dan baju. Ini daftar pakaianku setiap hari yang musti kamu siapkan,” Annie menyerahkan secarik kertas, yang berisi daftar pakaian seminggu untuk Annie bekerja.Karena hari ini adalah hari Rabu, maka Fiona perlu menyiapkan kemeja berwarna ungu dan bawahan rok maxi warna abu-abu gelap. Dia pun bergegas menuju kloset milik Annie yang seluas satu kamar tidur, setelah itu cepat-cepat mengisi bathtub dengan air hangat. Setelah semua selesai, Fiona kembali menghadap Annie yang sibuk di depan laptop sambil duduk di ruang makan.“Bu Annie, semua sudah siap,” ucap Fiona patuh.Annie mengangguk cepat, seraya membereskan keperluannya. Sedangkan Fiona, dia kembali menyiapkan sarapan untuk Damian dan Tasya.“Fiona!!!” teriak Annie sangat kencang.Spontan Fiona membanting pisaunya karena panik, dan berlari tergopoh menghampiri Annie yang sedang berada di dalam kloset. Tampak Annie membuang kemeja dan rok yang sudah disiapkan Fiona sedemikian rupa. Fiona yang tak paham tentu hanya bisa menunduk sambil memunguti pakaian bersih itu.“Kamu nggak bisa baca, ya?! Aku bilang ungu gelap, bukan ungu muda kayak gitu! Aku mau ketemu klien penting, petinggi negara, mana mungkin pakai baju seterang itu!” maki Annie, tak peduli meski teriakannya di subuh hari bisa membangunkan siapa saja.Fiona lagi-lagi menunduk, pura-pura ketakutan, kemudian mulai memilah-milah lagi kemeja warna ungu gelap yang tergantung bersama puluhan kemeja. Lalu dia dengan sangat hati-hati memberikan kemeja warna ungu tua sesuai permintaan Annie.“Kalau kerja yang becus, ya! Aku nggak bisa mentolerir orang ceroboh untuk kedua kalinya!”Fiona tak menjawab, selain mengangguk ketakutan. Annie lalu mengusir Fiona karena dia harus segera mandi dan siap-siap. Maka Fiona tak ingin berlarut dalam suasana tegang itu, karena sarapan harus segera matang sebelum Damian dan Tasya bangun.'Sialan', batin Fiona. 'Dia memang pantas menjadi bawahan Wijaya. Sama-sama berhati kejam,"Dengan hati dongkol, Fiona bergegas menyiapkan sarapan untuk Tasya dan Damian.“Silahkan sarapan, Pak Damian,” Fiona meletakkan sepiring toast ke meja makan, untuk Damian dan Tasya.Damian yang seumur-umur tak pernah disajikan sarapan oleh wanita manapun selain ibunya, tentu sangat bersemangat. Kedatangan Fiona ke dalam rumahnya sungguh merupakan berkah bagi Damian, yang setiap hari harus kelabakan bangun pagi demi menyiapkan sarapan untuk Tasya.Tak lama, Annie keluar dari kamarnya dengan dandanan yang rapi dan harum, seperti biasa. Wanita itu selalu tampil cantik, bahkan di usianya yang sudah tak muda lagi, Annie tetaplah wanita cantik yang selalu dikagumi siapapun. Damian hendak merengkuh tubuh Annie, namun lagi-lagi istrinya itu menolak tegas.“Aku sudah rapi, jangan cium,” larang Annie tegas.Damian merengut kecewa, namun dia tak ingin berdebat di pagi hari dengan Annie. Dia memilih kembali fokus pada sarapannya dan menunggu Tasya bersiap ke sekolah.“Sayang, kamu nggak mau cobain masakan Fiona?” tawar Damian.Annie menggeleng tak selera, kemudian pamit pergi sebelum jalanan begitu macet dan menyebabkan dia telat masuk kantor. Sepeninggal Annie, kini tinggallah mereka bertiga, dengan Tasya yang sedang mengunyah sarapannya secepat yang ia bisa. Damian buru-buru memanaskan mesin mobil, sementara Fiona memasukkan bekal Tasya dan membantu anak itu bersiap ke sekolah.Setelah ada Fiona, Damian lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja untuk menulis, karena dia merasa kikuk jika harus berdua saja di rumah bersama Fiona. Meski, ketika Damian perhatikan, Fiona jarang sekali berada di rumah. Wanita itu selalu ijin pergi ke suatu tempat, dan akan pulang satu jam sebelum makan siang. Selalu seperti itu setiap hari, kecuali saat Annie dan Tasya libur dan berada di rumah.Ingin sekali rasanya bertanya apa yang Fiona lakukan dan kemana dia pergi, namun Damian merasa itu sama sekali tak perlu. Alih-alih dianggap peduli, bisa-bisa Fiona menganggap Damian majikan yang kurang sopan karena mempertanyakan hal pribadinya. Jadi Damian hanya bisa memendam rasa penasarannya.* * *Setelah Tasya berangkat sekolah, Gina akan menyelesaikan tugasnya membersihkan rumah. Namun, perempuan itu selalu izin untuk keluar tanpa menyebutkan tujuannya pada Damian. Dia berjalan beberapa ratus meter jauhnya dari rumah Annie, untuk menemui Emma yang sudah menunggunya. Lalu, keduanya akan pergi ke makam Sean, yang terletak sedikit jauh dari rumah Annie.Sesampainya di sana, Gina mengganti bunga mawar putih yang kemarin dia berikan di atas makam Sean dengan bunga mawar baru yang dia bawa hari ini.Dia mengelus batu nisan Sean, dan selalu menangis tiap kali melakukannya.
"Em, kurasa aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Gina. Dia lalu berdiri, berhadapan dengan Emma.
"Tinggal menunggu waktu sampai Damian mengetahui makam ini. Jadi, kurasa untuk sementara kita perlu menghapus nama Sean dari batu nisan.""Tapi Nyonya ... "Gina menggeleng. "Meskipun pria itu menyedihkan karena selalu diremehkan Annie, tapi aku tahu, dia bukanlah pria bodoh seperti Wijaya,"Gina menatap nanar ke arah makan Sean. "Aku tidak perlu mengerahkan tenagaku untuk menghancurkan rumah tangga Annie karena dia sendiri yang hampir merobohkannya.""Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka