Pertanyaan yang diajukan Katherine malah membuat William mengeluarkan tawa cukup keras.
Melihat hal itu Katherine langsung manyun. "Kenapa Papa tertawa?" Katherine bertanya tanpa mengubah ekspresi wajah. Saat ini ada kerutan sedikit di keningnya. Tatapannya nampak sangat serius membuat tawa William pun terhenti. "Ya bagaimana papa tidak tertawa, kau bertanya sesuatu yang tidak masuk diakal." William menangkup kedua pipi Katherine seketika. "Dear, papa tidak akan pernah menamparmu, meskipun kau membuat papa kesal tadi," ujarnya lalu memeluk Katherine. Katherine terdiam. Untuk kesekian kalinya, merasakan kehangatan pelukan William. Sebuah pelukan yang begitu hangat, mengalahkan sinar mentari di luar jendela sana. 'Jadi aku belum mati?' Katherine pun bertanya-tanya dalam benaknya tentang keadaannya saat ini. Detik selanjutnya, William mengurai pelukan. "Sebaiknya kau beristirahat, papa sudah menghubungi dokter untuk datang kemari, besok atau lusa kita kembali ke rumah." Katherine hanya membalas dengan anggukan singkat. Dia masih berusaha memahami apa yang telah terjadi padanya saat ini. "Nanti sempatkan waktu untuk meminta maaf pada mamamu ya," ungkap William. 'Tidak akan, enak saja, setelah dia membuat aku kesakitan semalam!' Katherine hanya dapat membalas ucapan papanya di dalam hati. Agar tak membuat William mengulangi perkataan, dia pun melempar senyum kaku. "Hmm, iya Pa." "Ya sudah kalau begitu papa keluar dulu, kalau sudah diperiksa dan diberi obat, langsung tidur, tubuhmu pasti masih kedinginan." Sebelum keluar, William memperingati anak kandungnya tersebut. Lagi dan lagi Katherine balas dengan tersenyum. "Oh ya papa hampir lupa, tadi Karl menghubungimu tapi tidak kau angkat-angkat, sepertinya calon menantu papa itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu," sambung William lagi dengan sudut bibir terangkat sedikit. Mendengar nama Karl disebut, bayangan percintaan Lea dan suaminya itu berputar-putar di benaknya kembali. Mulai mendidih darah Katherine. Tangannya langsung terkepal erat, menahan amarah yang meluap-luap di dalam dadanya sekarang. Hal itu membuat senyum William memudar. Dengan kening berkerut dia pun kembali berkata. "Katherine, kau akan menelepon Karl 'kan? Tadi dia meminta papa menyuruhmu untuk menghubungi balik." "Iya Pa," balas Katherine pada akhirnya sambil mengubah ekspresi wajah. "Baiklah, kalau begitu papa keluar dulu," ujar William lalu memutar tumit. Namun, pergerakkan kakinya terhenti tatkala Katherine menahan tangannya tiba-tiba. "Tunggu Pa, ada yang mau aku sampaikan sebentar sama Papa." William merekahkan senyum sesaat."Iya sampaikanlah Sayang." "Pa mungkin ini kedengarannya sedikit gila, tapi Pa aku perlu menyampaikannya. Semalam aku dibunuh sama Zara, Lea dan Karl. Mereka juga membunuh anakku yang baru saja lahir lalu ...." Perkataan Katherine terjeda saat ingin memberitahu kematian papanya tersebut. Tapi, dia sangat tak tega. Demi menetralisir rasa canggung yang mendera, Katherine mengeluarkan dehaman cukup kuat kemudian menatap William lekat-lekat, yang saat ini memandangnya dengan raut wajah serius. "Pokoknya Zara, Lea dan Karl orang jahat Pa, hehe," balasnya diiringi cekikikan rendah di akhir kalimat. Tak ada tanggapan, William bungkam sambil memandangi wajah Katherine dengan seksama. "Pa?" panggil Katherine. William tiba-tiba menempelkan telapak tangan ke kening Katherine. "Astaga, anakku ini kepalanya mungkin terbentur bebatuan. Baiklah sekarang kau berbaring, Dokter sebentar lagi akan datang." Sontak dahi Katherine mengerynit. Secepat kilat ia menurunkan tangan William. "Tapi Pa, aku tidak berbohong," protes Katherine dengan bibir merengut. "Shft, sudah, kau berbaring ya." Secepat kilat William menuntun Katherine naik ke atas tempat tidur. Katherine hanya dapat pasrah. Usai itu, William bergegas pergi keluar. Grace pun mulai mendekati Katherine. Tak sampai lima menit, seorang dokter melenggang masuk ke dalam kamar, memeriksa keadaan Katherine. Setelah selesai dokter pamit undur diri. Katherine pun menyantap makanan yang disajikan Grace di tempat tidur dan tak lupa meminum obat yang diberikan sang dokter. "Nona, sepertinya ini telepon dari Tuan Karl." Grace menghampiri sembari membawa ponsel mini milik Katherine. Katherine meletakkan perlahan gelas ke nampan lalu melirik ponsel tersebut sekilas. "Matikan saja." Perintah yang diberikan Katherine membuat Grace keheranan. "Tapi Nona—" "Turuti saja kemauanku Grace, aku malas berbicara dengan pria gila itu," balas Katherine sambil memutar mata ke atas sejenak. Kebingungan Grace bertambah dua kali lipat hingga menciptakan kerutan di dahinya. Meskipun begitu dia patuhi juga kemauan sang majikan. "Tumben, biasanya Nona akan menelepon Tuan Karl setiap jam, setiap menit dan setiap detik." Setelah ponsel dimatikan dan ditaruh ke tempat semula, Grace langsung memberi tanggapan. Katherine menoleh, mulai teringat sikapnya dahulu kepada Karl, yang kalau dipikir-pikir sangat bucin. Bucin tingkat dewa. Katherine bergedik ngeri dan sedikit geli akan kelakuannya itu. "Oh my God, bodoh sekali aku dulu," balas Katherine kemudian membuat Grace melonggo. Grace ingin bertanya namun Katherine terlebih dahulu membuka suara. "Sudah jangan banyak bertanya, kau tidak akan mengerti, siapkan perahu kecil, sekarang kita pergi ke istana, aku ingin bertemu Pangeran Frederick." "Jangan banyak membantah dan jangan sampai orang tahu kita ke istana!" sambung Katherine kembali saat melihat raut muka Grace seolah-olah akan memarahinya. Sebelum keluar, Grace menghentak-hentakkan kaki ke lantai sejenak, melampiaskan kekesalannya pada Katherine. Dia takut akan dimarahi William nanti. Katherine menanggapi sikap Grace dengan terkekeh-kekeh pelan. Sesudah itu Grace pun bergegas keluar dari kamar, melaksanakan perintah Katherine. "Terima kasih Tuhan." Setelah melihat punggung Grace menghilang di balik pintu, Katherine langsung mengucap syukur. Tadi, ketika sedang diperiksa dokter, Katherine baru sadar jika dirinya tidak mati atau bermimpi. Melainkan kembali ke masa lampau. Entah apa yang terjadi, tetapi Katherine sangat senang. Dia pun berencana akan membalaskan dendam pada Zara, Lea dan Karl. Dia pun sangat bersyukur dapat melihat papanya dalam keadaan sehat. Kemarin kepergian William menyisakan trauma mendalam bagi Katherine. "Nona, perahu sudah siap." Tak berselang lama Grace masuk ke kamar. Katherine mengangguk, kemudian secara diam-diam pergi ke istana bersama Grace menaiki perahu kecil. Sesampainya di sana, Katherine meminta Grace menuntunnya ke tempat biasa pangeran Frederick bersantai. Selama ini Katherine jarang pergi ke istana meskipun dia memiliki hak karena status papanya lumayan tinggi. Lea dan Zara yang selalu menemani William ke istana. Sementara Grace kadang kala pergi ke istana saat disuruh Zara untuk menemani Lea. "Akhirnya dapat, luas juga istana ini." Katherine menghentikan langkah kaki. Melihat Frederick di ujung sana menunggangi kuda putih. Dengan cepat dia mendekati Frederick. "Pangeran maaf menganggu waktumu, maukah kau menikah denganku?"Benda berbahan kaca itu langsung pecah, mengenai punggung Victor. Victor tak peduli malah makin mempercepat langkah kaki sambil tersenyum puas. Meninggalkan Larisa menjerit-jerit histeris. ...Keesokan harinya, pagi-pagi sekali istana gempar dengan kabar gembira dari Grace. Grace ternyata tengah mengandung. Bukan hanya Grace, Katherine pun juga, mengandung anak kedua. Keduanya sama-sama muntah tadi pagi. Sukacita menyelimuti hati Xavier, Frederick dan Victor. Saat ini mereka tengah sarapan bersama di ruang makan, ada Logan dan Robert juga terlihat duduk bersama. Sementara Larisa memilih sarapan di kamar karena hatinya dalam keadaan buruk sekarang. "Aku tidak sabar dengan kedatangan anakku, Grace. Semoga saja anakku perempuan dan anakmu laki-laki, jadi kalau sudah besar kita bisa menjodohkan mereka," celetuk Katherine setelah selesai menyantap roti. "Iya, amin, semoga saja anakku laki-laki, pasti lucu jika mereka sudah besar nanti," balas Grace tak kalah senang. "Aku setuju, maka
"Apa kau lupa aku menikahimu karena terpaksa, sampai kapan pun nama Clara tidak akan hilang, kaulah yang membuat aku dan Clara tidak bisa bersama, aku muak dengan sikapmu Larisa!" seru Victor dengan mata berkobar-kobar. Larisa mendekat. "Oh ya? Tapi wanita itu sudah mati sekarang dan kau tidak bisa memilikinya! Akulah yang memilikimu sekarang Victor!" Victor menyeringai tipis. "Kau hanya memiliki ragaku tapi tidak dengan jiwaku!"serunya dengan lantang. Membuat Larisa mengepalkan kedua tangan. Meski Clara sudah meninggal tapi di hati Victor nama Clara masih terus terukir dan tak pernah memudar sekali pun. Dulu, sebelum menikah dengan Larisa. Victor dan Clara sudah terlebih dahulu menjalin hubungan. Kala itu status Victor masih menjadi pangeran, belum menjadi raja. Sementara Clara baru bekerja di istana dan menjadi pelayan pribadi Victor. Karena sering bertatap muka Victor mulai jatuh cinta dengan Clara. Keduanya pun menjalin hubungan tanpa sepengetahuan anggota kerajaan. Akan
"Diam kau! Kau juga sama seperti mamaku! Bedanya mamaku pelayan istana! Sementara kau jadi anak angkat bangsawan baik hati! Asal-usulmu juga tidak jelas. Jadi jangan menghina mamaku, wanita jalang!" seru Xavier dengan muka Xavier semakin memerah. Dia sudah tidak memikirkan lagi adab dan sopan santunnya di istana. Larisa masih saja menghina mendiang mamanya. Padahal mamanya sudah tidak ada lagi di dunia, Larisa berhati ular dan tidak pantas disebut manusia!"Xavier, cukup! Kau tidak boleh menghina Mamamu!" teriak Victor menggelegar tiba-tiba. Membuat kumpulan manusia di ruangan tertegun. Mereka tak berani membuka suara di antara ayah dan anak itu, memilih diam dan mendengarkan dengan seksama pertikaian yang terjadi di depan mata.Pemegang tinggi di istana, saat ini wajahnya sangat tak bersahabat. Kemarahannya membuat sebagian orang ketakutan, termasuk Grace yang saat ini meneguk ludah berkali-kali. Berbeda dengan Xavier tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari bola matanya.
Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica
"Ayolah Pangeran, keluarlah kami tidak akan mengigit!" Lagi pria itu berseru sambil mengeluarkan tawa keras hingga teman-temannya pun ikut tertawa. Xavier menahan geram. Dadanya bergemuruh kuat seakan-akan meledak juga saat ini. Sampai-sampai Grace menggerakkan sedikit kepalanya ke samping dan membuat salah satu rumput bergerak. Alhasil salah seorang pria yang tak sengaja melihat adanya pergerakkan dari salah satu rumput yang memanjang, mengalihkan pandangan. Dalam sepersekian detik dia pun langsung meloncat tepat di hadapan Grace dan Xavier. "Bah! Dapat kalian!" pekiknya sambil menodongkan pistol ke kepala Grace. Grace langsung memekik histeris,"Tolong!!!" Xavier tak diam, ikut juga menodongkan pistol ke arah kepala si pelaku. Kelima pria lainnya serempak mengarahkan mata ke arah pasangan suami istri itu sambil mengangkat pistol masing-masing. Suasana mendadak tegang. Baik Xavier maupun keenam pria lainnya tak ada yang mau mengalah. "Jangan bunuh kami!" pekik Grace,
Grace terbelalak ketika melihat enam orang pria keluar dari mobil sambil menodongkan pistol ke arah mereka sekarang. Pria-pria asing itu tampangnya sangat menyeramkan, seperti preman pasar, ada tato-tato di tangan dan muka, bahkan terlihat tindik pula di hidung. "Keluar kalian!" teriak salah seorang pria dari luar lalu melempar senyum smirk. Grace makin panik. Dengan cepat menoleh ke samping kembali. "Xavier, bagaimana ini?" Dia sedikit heran mengapa Xavier sama sekali tak panik. Suaminya itu hanya menampilkan ekspresi datar namun tanpa sepengetahuan Grace, mata elang Xavier memandang ke arah kumpulan pria tersebut dengan sorot mata tajam. Tanpa menoleh ke samping, Xavier pun berkata,"Jangan lepas sabuk pengamanmu."Grace hendak bertanya namun belum juga lidahnya bergerak, Xavier melajukan mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. Alhasil enam orang pria tersebut melesatkan timah ke arah mereka. Akan tetapi, Xavier berhasil mengelak dan menabrak pula kedua mobil yang menjadi pengha