Home / Romansa / Istri Kontrak Sang Hafidz / Dalam Diam, Aku Menjagamu

Share

Dalam Diam, Aku Menjagamu

Author: Zie - SONURA
last update Last Updated: 2025-11-16 08:08:02

Hujan turun sejak pagi. Rintiknya jatuh lembut, membasahi pekarangan kecil rumah kontrakan kami. Suasana seperti ini biasanya membawa ketenangan, tapi hari ini justru membuatku sedikit gelisah. Rayyan belum juga pulang dari kajian subuh di luar kota, dan aku belum menerima kabar darinya.

Aku mencoba tidak panik. Mungkin sinyal buruk, atau ia sedang sibuk.

Tapi sebagai istri—meski hanya di atas kertas—kekhawatiran itu tetap ada.

Kupandangi layar ponsel. Tak ada pesan. Aku membuka jurnal, mencoba mengalihkan perhatian. Tapi pikiranku tetap berputar pada satu hal: keselamatan Rayyan.

---

Menjelang siang, suara motor terdengar di depan rumah. Aku berlari kecil ke jendela dan melihat sosoknya menurunkan tas dari motor sambil kehujanan.

Aku buru-buru membukakan pintu. “Kak Rayyan? Kok nggak pakai jas hujan?”

Ia tersenyum lelah. “Lupa bawa. Tadi hujannya kecil pas berangkat, jadi gak kepikiran.”

Aku segera mengambil handuk dan menyodorkannya. “Cepet ganti baju, Kak. Nanti masuk angin.”

Ia hanya mengangguk. Setelah berganti pakaian dan menghangatkan diri, ia duduk di meja makan. Aku menyajikan teh jahe dan semangkuk mie rebus hangat.

Rayyan menatapku sejenak. “Kamu selalu tahu caranya bikin orang merasa pulang.”

Aku diam. Kalimat itu sederhana, tapi terasa menyentuh hatiku yang tadi gelisah.

---

Beberapa hari setelah itu, kami kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Namun ada yang berubah. Rayyan mulai lebih sering berada di rumah. Ia tak segan mengajak ngobrol, bertanya tentang kegiatanku, bahkan terkadang mengomentari masakanku dengan candaan kecil.

Aku tahu… ini bukan cinta dalam pengakuan. Tapi ini perhatian. Dan bagiku, itu sudah cukup untuk saat ini.

Sore itu, aku melihatnya duduk di teras dengan buku tafsir di tangannya. Ia terlihat tenang, damai.

Aku membawa dua gelas air putih dan duduk di sampingnya.

“Capek, Kak?” tanyaku pelan.

“Tidak juga. Hanya sedang merenung.”

“Renungin apa?”

Rayyan menutup bukunya dan menatap lurus ke halaman. “Kadang aku berpikir… seandainya waktu bisa mundur, apakah aku akan tetap mengambil keputusan menikah denganmu, Alya?”

Aku tercekat. Jantungku tiba-tiba berdegup lebih cepat. Tapi ia melanjutkan sebelum aku menjawab.

“Dan aku sadar… mungkin jawabanku tetap sama. Karena di balik semua ini, aku belajar banyak.”

Aku menarik napas lega. “Aku juga belajar banyak, Kak. Tentang ikhlas… sabar… dan batas.”

Ia menoleh padaku. “Kamu perempuan kuat, Alya. Tapi kamu gak harus selalu kuat. Kalau suatu hari kamu merasa lelah… kamu bisa cerita.”

Aku tersenyum tipis. “Kita ini aneh ya, Kak. Saling menjaga, tapi gak pernah bicara soal hati.”

Rayyan tertawa kecil. “Mungkin karena hati itu terlalu rumit. Dan kita sama-sama takut merusaknya.”

---

Malam itu, aku salat tahajud lebih lama dari biasanya. Dalam sujud, aku menangis. Bukan karena sedih… tapi karena bersyukur. Perasaan yang selama ini kusembunyikan, ternyata tak sepenuhnya sepihak. Meski belum ada janji, setidaknya ada penghargaan.

Dan itu cukup… untuk membuatku bertahan.

---

Keesokan harinya, Rayyan meminta izin keluar kota selama dua hari.

“Ada undangan daurah. Menginap semalam. Kamu gak apa-apa sendirian?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Insya Allah aman. Rumah kita juga cukup tenang.”

Ia mengambil tas ranselnya, lalu berdiri di depan pintu. Sebelum keluar, ia berkata pelan, “Doakan aku, ya.”

Aku menatapnya. “Setiap hari, Kak. Bahkan sebelum diminta.”

Ia tersenyum, lalu pergi.

---

Selama ia pergi, rumah terasa kosong. Aku tetap mengurus rumah seperti biasa, tapi ada yang hilang. Diam-diam, aku merindukan kehadirannya. Bukan hanya suara pintu dibuka, atau aroma kopinya di pagi hari, tapi… kehadirannya sebagai teman diamku.

Aku menyibukkan diri dengan menulis. Kali ini, aku mulai mencoba membuat cerpen islami. Rayyan pernah bilang, menulis yang menginspirasi itu salah satu bentuk dakwah. Maka aku mencobanya.

---

Malam itu, hujan kembali turun. Aku duduk di lantai, menatap jendela, sambil memeluk sajadah yang baru kugunakan salat. Hatiku tenang… meski rindu mulai mengetuk pelan.

Lalu aku menulis di jurnal:

_"Jika suatu hari Kak Rayyan membaca semua ini, aku ingin dia tahu… aku menjaganya, bahkan saat dia tak menyadarinya. Dalam diam, aku berdoa untuknya. Dalam sunyi, aku berharap… jika dia memang bukan untukku, semoga aku tetap bisa mencintainya tanpa harus memilikinya."_

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Masa Depan Yang Terukir

    Senja mulai merona di ufuk barat, menebar keemasan yang hangat menyelimuti kota kecil itu. Damar berdiri di depan jendela, memandangi langit yang mulai gelap. Hari-hari penuh tantangan telah dilalui, namun kini ada rasa tenang yang perlahan mengisi hatinya. Alya, istrinya, duduk di sofa dengan senyum manis menghias wajahnya. “Damar, kau lihat? Semua yang kita lewati, akhirnya membawa kita ke sini.” Damar mengangguk, lalu meraih tangan Alya. “Iya, aku bersyukur kau selalu ada di sampingku. Masa depan ini bukan hanya milikku, tapi milik kita bersama.” Alya tersenyum lebih lebar, matanya berkilat haru. “Aku percaya, apa pun yang terjadi nanti, selama kita bersama, semuanya akan baik-baik saja.” Di sudut ruangan, Damar membuka album foto. Terlihat foto-foto mereka dari awal pernikahan sampai sekarang. Ada tawa, ada air mata, tapi semuanya adalah kisah yang membentuk masa depan mereka.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Dari Segalanya

    Pagi itu, cahaya mentari perlahan menyusup melalui jendela kamar, mengusir sisa gelap malam yang enggan pergi. Damar membuka matanya, menyadari bahwa semua yang telah terjadi bukan sekadar mimpi—melainkan perjalanan hidup yang nyata dan penuh makna. Segala luka, perjuangan, dan harapan yang terjalin erat di antara dirinya dan Alya kini menjadi fondasi kuat yang tak tergoyahkan. Ia tahu, masa depan bukan sekadar harapan kosong, tapi lukisan indah yang harus mereka ukir bersama dengan kesabaran dan cinta. Alya, di sisi lain, menatap Damar dengan penuh keyakinan. Perempuan yang dulu pernah ragu kini telah berubah menjadi sosok yang tegar dan penuh harapan. Mereka berdua berdiri di ambang babak baru, siap menghadapi segala tantangan yang datang dengan kepala tegak dan hati yang terbuka. “Dari segalanya yang telah kita lalui,” ucap Damar pelan, “aku yakin kita bisa melangkah ke depan tanpa rasa takut.” Alya menggenggam tanga

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Harapan di Ujung Senja

    Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, seolah memberi harapan baru di ujung hari. Alya duduk di teras rumah, memandang jauh ke arah cakrawala yang mulai gelap. Hatinya campur aduk, antara harap dan ragu. Damar datang menghampiri, wajahnya penuh kelelahan tapi mata itu tetap lembut melihat Alya. "Alya, aku tahu semua ini berat buat kita. Tapi aku janji, aku akan berusaha jadi suami yang lebih baik." Alya menatapnya, ada getir yang mencoba disembunyikan, "Damar, aku nggak mau terus-terusan jadi istri kontrak yang cuma numpang lewat di hidupmu. Aku ingin ada masa depan." Damar menghela napas panjang, "Aku paham. Kita harus bicarakan semuanya dengan jujur, tanpa ada rahasia." Mata Alya mulai berkaca-kaca. "Aku ingin percaya, Damar. Tapi hati ini juga pernah terluka." Damar meraih tangan Alya, menggenggamnya erat, "Percayalah, aku ingin kita bisa mulai ulang. Aku mau kamu jadi istriku yang sah, bukan cuma kont

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Gelombang Perubahan (Part 2)

    Seiring pagi menyapa, Arif menatap langit dari jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, antara harap dan ragu. Semua yang terjadi belakangan ini seolah memaksanya untuk berubah, untuk mengambil langkah yang selama ini ia tunda. Pintu kamar diketuk pelan. Zila masuk dengan senyum tipis, membawa secangkir teh hangat. “Arif, kamu sudah sarapan? Aku buat teh hangat, biar kamu kuat menjalani hari,” ucap Zila lembut. Arif mengangguk, menerima teh itu. “Terima kasih, Zila. Aku cuma bingung… tentang semua ini.” Zila duduk di sampingnya, menggenggam tangan Arif. “Kita tidak sendiri, Arif. Kita hadapi bersama. Perubahan memang sulit, tapi aku yakin kamu bisa.” Senyum tipis kembali muncul di wajah Arif. “Kalau kamu selalu di sini, aku yakin bisa.” Tiba-tiba ponsel Arif bergetar. Pesan dari Alya masuk: *“Ada kabar penting. Kita perlu bertemu malam ini.”* Arif dan Zila saling pandang. Ada sesuat

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Janji Yang Tak Diucap

    Pagi itu, suasana toko tenang. Alya duduk di kasir sambil menata beberapa struk. Damar datang membawa dua gelas kopi. Damar: "Tumben nggak sibuk?" Alya: "Lagi sepi… dan aku jadi kepikiran sesuatu." Damar duduk di sampingnya, menatap lekat. Damar: "Apa?" Alya ragu sejenak. "Tentang kamu." Damar tertawa kecil. "Tentang aku? Serius amat." Alya menunduk. "Kamu selalu ada dari awal. Tapi… aku belum pernah benar-benar bilang makasih." Damar menatap Alya. Tak ada kata, hanya tatapan yang tenang dan hangat. Alya melanjutkan, pelan. "Aku nggak tahu apa arti semua ini buatmu. Tapi untukku… kehadiranmu itu lebih dari cukup." Damar tersenyum. "Aku nggak nunggu kamu bilang makasih, Alya. Aku ada di sini bukan karena kamu minta… tapi karena aku mau." Alya terdiam. Ada banyak kata dalam hatinya, tapi ia memilih menyimpannya.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Baru

    Pagi itu, suasana di rumah Alya berbeda. Cahaya matahari masuk hangat lewat jendela, menandai permulaan baru. Damar masuk membawa dua gelas teh. Damar: "Selamat pagi, calon pengusaha besar." Alya tertawa kecil. "Aamiin. Tapi pelan-pelan dulu, ya. Satu langkah satu waktu." Mereka duduk bersama, membuka laptop yang berisi rencana ekspansi: toko offline pertama di kota sebelah. Zila masuk sambil membawa map tebal. Zila: "Ini proposal kerja sama dari investor lokal. Katanya tertarik karena branding kita makin kuat." Alya membaca pelan-pelan, lalu menatap keduanya. Alya: "Aku gak nyangka… semua ini mulai dari nol. Sekarang kita mulai babak baru." Damar: "Dan kita mulai bukan karena keberuntungan, tapi karena keberanian kamu buat bangkit." Alya tersenyum. "Mari kita buka lembar baru. Semoga jalan ini berkah." ---

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status