Kai sangat mencemaskan kondisi Anna, apalagi wajah Anna memang sangat pucat.“Ayo ke rumah sakit,” ajak Kai sambil menggenggam telapak tangan Anna.Anna menatap Kai yang panik, dia mencoba tersenyum untuk menenangkan.“Tidak usah, lagian ini pusing biasa. IGD tidak menerima pasien yang hanya masuk angin,” seloroh Anna diakhiri tawa kecil meski wajahnya pucat.Kai menatap tak senang karena Anna menyepelekan kondisi kesehatan.“Masuk angin pun, kalau salah penanganan, bisa membahayakan, paham.” Kai kukuh ingin membawa Anna ke rumah sakit.Anna menatap dalam pada suaminya, dia mencoba memahami kecemasan yang sedang Kai rasakan.Anna tersenyum kecil. “Begini saja, kalau besok pagi kondisiku masih kurang baik, kita ke rumah sakit, ya.”Kai menatap ragu, tapi karena Anna tidak mau pergi sekarang, dia akhirnya mengalah,“Baiklah, kalau nanti malam kamu merasa sakit, kita harus pergi memeriksakannya,” ucap Kai mengalah.Anna mengangguk-anggukkan kepala.“Aku mau mandi dulu,” kata Anna siap be
Keesokan harinya. Anna dan Kai naik pesawat penerbangan pagi menuju kota tempat Stefanie tinggal. Anna duduk di dekat jendela sambil memandang ke luar pesawat yang masih menunggu lepas landas.Kai melihat Anna yang hanya diam. Dia meraih telapak tangan Anna, lalu meletakkannya di pangkuan.“Memikirkan apa?” tanya Kai saat Anna menoleh padanya.Anna menggeleng pelan. “Entahlah, banyak sekali yang memenuhi kepalaku sekarang. Rasanya seperti mau meledak.”Kai mengusap lembut rambut Anna. Menghadapi masalah keluarga memang lebih berat daripada masalah perusahaan, tentu Kai memahami posisi Anna saat ini.“Kita berusaha menemui mamamu, tapi apa pun hasilnya nanti, kuharap kamu jangan bersedih berkepanjangan,” kata Kai tidak ingin Anna terlalu kecewa.Anna mengangguk pelan. “Aku hanya mau memastikan Mama baik-baik saja, bisa melihatnya sekali saja untuk mengobati rindu, setelahnya aku pasrah walau aku masih berharap bisa bersama Mama lagi.”“Aku tahu,” balas Kai, “tapi semua di luar kehendak
Saat siang hari. Pelayan Fransisca memanggil Anna dan Kai untuk bergabung di ruang makan.Anna dan Kai mengikuti langkah pelayan itu sampai mereka tiba di ruang makan. Fransisca sudah menunggu mereka dan tersenyum melihat kedatangan Anna dan Kai.“Ayo, duduklah. Kita makan siang dulu,” ajak Fransisca mempersilakan.Anna mengangguk. Dia duduk bersama Kai lalu pelayan mulai melayani mereka.“Aku tidak tahu makanan kesukaanmu, jadi aku harap kamu tidak kecewa dengan menu yang disajikan,” ucap Fransisca sebelum memulai makan siang.Anna menggeleng pelan. “Aku tidak pilih-pilih makanan, Bi.”“Baguslah.” Fransisca terlihat senang.Mereka makan siang bersama, tidak ada pembahasan apa pun saat di meja makan. Anna juga tidak berani membuka pertanyaan karena takut menyinggung.Setelah makan, Fransisca mengajak Anna dan Kai duduk di ruang keluarga.Anna masih menunggu sampai Fransisca memulai pembicaraan.“Aku bertemu mamamu sekali saja setelah dia dipindah ke sini. Setelahnya aku tidak tahu bag
Anna dan Kai pergi ke perusahaan milik Reino. Mereka di mobil yang terparkir di seberang jalan perusahaan, mengamati aktivitas yang terjadi di luar perusahaan itu.“Kamu benar-benar mau menemui Alex?” tanya Kai memastikan. Dia menatap Anna yang duduk di kursi samping kemudi.Anna tak langsung menjawab. Dia masih mengamati tempat itu.“Mau tidak mau, aku harus menemuinya, Kai.” Anna akhirnya bicara, tatapannya sudah beralih ke suaminya itu. “Aku tidak mau harta mereka, aku hanya ingin hakku sebagai anak.”Kai selalu yakin kalau Anna tidak matrealistis. Kai mendukung keinginan Anna itu.“Aku akan menemanimu menemuinya,” kata Kai.Anna menggeleng. “Ini urusan keluarga, aku akan menghadapinya sendiri.”“Kamu yakin?” tanya Kai memastikan. Takut kalau terjadi sesuatu pada Anna jika tak berada dalam pengawasannya.Anna mengangguk mantap. “Aku bisa mengatasinya.”Kai ragu, tapi karena Anna memaksa pergi sendiri, akhirnya Kai mengizinkan tapi tetap mengawasi.Anna turun dari mobil. Dia berjala
Anna keluar dari lift dan berjalan di koridor menuju ruangan Alex. Kedatangan Anna di sana menarik perhatian para staff yang ada di lantai itu.Anna berjalan dengan gaya anggun meski sebenarnya gugup. Dia tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian seperti ini.“Silakan, ini ruang kerja Pak Alex,” kata office boy yang mengantar.Anna mengangguk. Dia ingin meraih gagang pintu, tapi lebih dulu ada staff yang mencegah.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji dengan Pak Alex?” tanya staff itu yang ternyata sekretaris Alex.Anna ingin menjawab tapi office boy yang bersamanya sudah lebih dulu menjawab.“Pak Alex sudah mengizinkan Nona ini ke ruangannya, lebih baik jangan dipermasalahkan lagi,” kata office boy itu.Sekretaris itu memerhatikan penampilan Anna, lalu akhirnya mengizinkan Anna masuk.Anna akhirnya masuk ke ruangan Alex. Dia melihat adiknya itu berdiri di dekat jendela memunggungi pintu. Anna berjalan perlahan menghampiri Alex, hanya terdengar suara langkah kaki sepatunya menggema di
Anna diam mendengar ucapan Alex. Benar, mungkin dia masih bisa mengatasi Alex, tapi tidak yakin bisa mengatasi kakek mereka. Jika Stefanie saja tak bisa melawan kakeknya itu, apalagi Anna.Namun, meski begitu apa Anna harus mundur? Tidak, dia takkan mundur. Dia harus mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan, ibunya!“Kenapa diam? Kamu gemetar? Lebih baik urungkan niatmu itu dan pergilah, kembali ke suamimu. Bukankah kamu sudah punya suami kaya yang bisa memberimu segalanya, untuk apa lagi kamu masih berharap pada mamaku, apa harta yang suamimu beri masih kurang?”Anna mengepalkan erat telapak tangannya. Apa Alex sedang menghinanya? Menganggapnya hanya menginginkan harta sang mama. Menebak apa yang ada di pikiran sang adik, Anna tersenyum miring.“Apa? Kenapa kamu tersenyum seperti itu?” tanya Alex mendadak ngeri melihat senyum Anna yang berbeda.Anna menarik tangannya dari tepian meja, tatapannya begitu tajam pada Alex.“Sepertinya pikiranmu memang selalu buruk, Alex. Bagaimana kal
Anna dan Kai kembali ke rumah Fransisca untuk memikirkan bagaimana cara agar bisa menemui Stefanie karena menurut Fransisca, sekarang Stefanie ada di rumah Abraham.“Kamu sudah mencoba menghubungi Papa Reino?” tanya Kai saat dia dan Anna duduk di ruang tamu paviliun.“Sudah, tapi tidak aktif,” jawab Anna lalu mengembuskan napas frustasi.Kai diam berpikir, apa seberpengaruh itu keluarga Abraham, bahkan Reino pun sampai menonaktifkan telepon.“Aku malah cemas, apa Papa Reino juga ikut disekap?” Anna bertanya-tanya dengan tatapan sendu.Kai menggeleng pelan. “Aku juga tidak tahu, tapi aku berharap kita segera mendapat jalan keluar.”Anna mengangguk-angguk.“Aku mau menemui Bibi dulu dan membahas masalah ini, siapa tahu Bibi punya solusi.”Anna izin keluar paviliun. Dia berjalan masuk rumah Fransisca untuk menemui wanita itu.“Siapa kamu?”Anna menghentikan langkah. Dia membalikkan badan saat mendengar suara menegur. Dia melihat pria muda yang memakai setelan jas kini sedang menatapnya.
“Maafkan sikap Keano. Dia itu memang kalau bicara kadang suka asal dan tidak melihat situasi. Bahkan mencari tahu saja tidak, asal bicara saja,” ucap Fransisca sambil mengajak duduk Anna di ruang keluarga.“Aku tadi mau menjelaskan, tapi dia terus bicara, jadi akhirnya makin salah paham,” balas Anna.Fransisca menghela napas kasar. “Ya, begitulah Keano. Aku juga pusing memikirkan anak itu.”Anna hanya tersenyum. “Bibi, aku sudah menemui Alex tapi dia susah sekali dibujuk. Bahkan dia sepertinya takut kalau aku benar-benar membawa Mama. Apa Bibi punya solusi? Mungkin bagaimana caranya aku bisa masuk ke rumah kakekku dan menemui Mama?” tanya Anna mencari tahu.Fransisca diam berpikir.“Sulit masuk rumah itu tanpa izin kakekmu, bahkan yang sudah di dalam pun akan sulit keluar jika tak mendapat izin,” imbuh Fransisca.Anna lemas, bagaimana caranya agar bisa menemui sang mama.“Sama seperti dulu, mamamu benar-benar bisa bebas setelah setuju menikah dengan Reino. Jika saat itu mamamu masih
Alex menipiskan senyum.“Apa kamu sedang besar kepala?”Rania mengerutkan alis. Dia melihat Alex mengulurkan tangan, Rania pikir Alex hendak menyentuhnya, tapi ternyata pria itu mencolek meja, lalu mengusap telunjuk dengan jempol.“Belum bersih,” kata Alex lalu melirik tajam pada Rania, “bersihkan ulang,” perintahnya kemudian.Setelahnya, Alex sedikit mundur dari Rania tapi tatapannya terus tertuju pada wanita itu. Dia lagi-lagi tersenyum miring, lalu pergi ke sofa.Rania menghela napas lega. Dia melirik pada Alex yang sekarang berjalan santai menuju sofa. Pria ini, benar-benar ingin mengerjainya setiap hari.**Saat jam istirahat, Rania pergi ke rooftop lagi untuk melepas beban yang dipikulnya. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan kasar berulang kali.“Kamu di sini lagi.”Rania terkejut. Dia menoleh dan melihat Arion datang menghampirinya.“Tidak makan siang lagi?” tanya Arion sambil menatap pada Rania.Rania tidak menjawab, lalu melihat Arion mengulurkan roti.“Makanlah,
Setelah selesai memilah jagung dan memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal. Rania mendorong tempat makan ke hadapan Alex lagi.“Itu sudah semua saya pisah, apa ada lagi yang Anda perlukan?” tanya Rania dengan nada malas.Rania melirik pada Alex, pria itu membuat gerakan mengusir menggunakan tangan. Ekspresi wajah Rania begitu masam, pria di depannya ini benar-benar sombong.Rania segera bangun, lalu dia pergi dari ruangan itu sebelum semakin kesal melihat sikap Alex.Alex tersenyum tipis melihat Rania kesal. Dia memandang salad yang ada di meja, lalu mengambil alat makan dan mulai menyantap salad miliknya.Dia juga mengambil jagung yang tadi dipisah oleh Rania. Bukannya Alex tak suka, dia hanya ingin mengerjai wanita itu.“Dasar terlalu lugu,” gumam Alex lalu kembali memasukkan suapan ke mulut.**Saat sore hari. Rania membuat patahan leher dan memijat pundaknya. Akhirnya sehari ini bisa dia lalui dengan baik meskipun harus ada drama mengurus atasannya yang memberi perintah tak
Setelah jam istirahat usai. Rania kembali ke divisi untuk mulai bekerja lagi. Saat baru saja sampai di pantry, Rania terkejut melihat lampu merah menyala.“Sepertinya hari ini Pak Alex berulang kali memanggil,” gumam Herman.Rania menatap lampu itu terus berkedip. Mau tidak mau dia harus pergi ke ruangan Alex untuk melihat, apalagi yang pria itu inginkan.Rania mengetuk pintu ruangan Alex, lalu dia masuk dan melihat Alex duduk di sofa sambil menyapukan jari di atas tablet pintar.“Anda butuh sesuatu, Pak?” tanya Rania tetap sopan meski jiwanya ingin memberontak.“Bersihkan mejaku!” perintah Alex.Rania menoleh ke meja Alex, alangkah terkejutnya dia melihat meja Alex yang sangat berantakan.Berkas-berkas dibiarkan tergeletak begitu saja tak tertatap rapi, lalu ada tumpangan kopi yang dibiarkan sampai agak mengering.Rania benar-benar harus bersabar. Dia berjalan ke arah meja untuk mulai membersihkan, tetapi Alex kembali berkata.“Bersihkan sampai benar-benar bersih. Jika tidak, kamu ti
Rania memandang pada Alex, lalu tatapannya tertuju pada kertas dan pulpen yang berserakan di lantai.“Pungut semua!” perintah Alex.Rania tidak bisa mengelak karena sekarang bekerja untuk Alex. Dia berjalan mendekat lalu berjongkok di sisi kertas-kertas berserakan dan meletakkan nampan di lantai, setelahnya dia memunguti satu persatu kertas itu.Tanpa diduga, Alex ikut berjongkok, tapi bukan untuk membantu Rania memunguti kertas itu, melainkan untuk memberikan senyum ejekan pada wanita yang sudah menolaknya.“Tidak disangka, kamu menolak kerja di rumahku tapi malah bekerja di perusahaanku,” cibir Alex.Rania terdiam sesaat. Dia tak membalas atau menatap pada Alex. Rania fokus memunguti kertas-kertas itu, setelah selesai dia segera berdiri lalu meletakkan semua kertas itu di meja.“Apa kamu pikir harimu akan tenang dengan bekerja di sini?” Alex sudah berdiri dan kini menatap tajam pada Rania.Rania masih menurunkan pandangan, lalu berkata, “Jika sudah tidak ada yang perlu saya lakukan,
Rania benar-benar panik luar biasa melihat pria yang kini menatapnya dengan ekspresi wajah dingin. Dia masih mematung di tempatnya, sampai salah satu teman OB-nya menarik lengan Rania agar menyingkir dari jalan.“Selamat pagi, Pak.” Dua OB lain langsung membungkuk pada Alex dan Arion yang baru saja keluar dari lift.Alex berjalan dengan ekspresi wajah dingin tanpa menoleh Rania sama sekali, sedangkan Arion melirik pada Rania. Jadi, ini OB baru yang kemarin dipermasalahkan oleh atasannya itu.Rania masih bergeming dengan perasaan campur aduk. Di hari pertamanya bekerja, kenapa dia bertemu dengan pria yang membuat hidupnya kacau.“Siapa dia?” tanya Rania menoleh pada teman kerjanya.“Itu tuh, Pak Alex. Dia cucu pemilik perusahaan ini dan direktur di sini. Ya, meski dia masih direktur, tapi katanya sebentar lagi akan diangkat jadi presdir karena kemampuannya memimpin perusahaan,” jawab Herman–OB teman Rania.Rania merasakan jantungnya berdegup sangat cepat. Jadi, dia bekerja untuk pria b
Rania pergi ke rumah sakit dengan perasaan lega. Dengan bekerja di perusahaan itu, Rania bisa mendapatkan uang lebih banyak di siang hari dan bisa menjaga Abi saat malam hari.Rania berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang inap Abi. Saat hampir sampai di kamar sang putra, Rania melihat dokter dan perawat masuk ke ruangan sang putra dengan sangat terburu-buru.Tentu saja hal itu membuat Rania sangat panik. Dia segera berlari ke kamar Abi, saat masuk sudah melihat dokter sedang menangani putranya.“Apa yang terjadi pada anakku?” tanya Rania sangat panik.“Kondisi Abi baru saja drop, Bu. Dokter sedang mengecek dan memberikan penanganan yang tepat,” jawab perawat.Rania menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Dia benar-benar ketakutan dan panik jika terjadi sesuatu dengan Abi.“Kumohon, Abi. Mama akan mengusahakan kesembuhanmu, tolong jangan terjadi apa-apa padamu, Sayang.”Rania terus memandang dokter yang sedang mengecek kondisi Abi. Bola matanya sudah berkaca-kaca, ketakutan memb
Hari berikutnya. Rania pergi ke perusahaan tempat Silvi bekerja. Dia datang lebih awal dan bertemu dengan Silvi yang ternyata menunggunya di depan perusahaan.“Syukurlah kamu datang awal,” ucap Silvi lalu menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan.“Aku tidak mungkin mengecewakanmu. Kamu sudah sejauh ini mau membantuku, jadi aku harus berjuang,” balas Rania.Silvi tersenyum lebar, lalu dia mengajak Anna segera masuk ke perusahaan karena kepala HRD ternyata sudah datang.Mereka masuk ke ruang HRD, lalu Silvi meninggalkan Rania bersama kepala HRD agar bisa diwawancarai.Rania memberikan surat lamarannya. Dia berdiri di depan meja kepala HRD sambil menunggu wanita itu membaca surat lamarannya.“Ternyata kamu sudah banyak pengalaman kerja di usiamu sekarang,” kata kepala HRD.Rania tersenyum dan mengangguk. “Iya, dan saya ahli menjadi cleaning service.”Kepala HRD tersenyum. “Terakhir kali kamu menjadi petugas kebersihan di klub malam, kenapa kamu keluar? Apa gajinya tidak mu
Alex berada di ruangannya menandatangani berkas-berkas yang bertumpuk di meja. Dia tidak fokus dalam bekerja, sampai beberapa kali membaca ulang berkas yang diserahkan padanya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya Arion–sekretaris Alex.Alex melirik pada Arion, tapi tidak menjawab pertanyaan sekretarisnya itu. Dia segera membubuhkan tanda tangan, lalu menyerahkan berkas yang ditunggu oleh sekretarisnya itu.“Mana lagi yang butuh diserahkan hari ini?” tanya Alex sambil menatap satu persatu berkas yang ada di meja.“Stopmap merah, Pak,” jawab Arion sambil menunjuk ke stopmap yang dimaksud.Alex segera mengambil lalu membuka stopmap itu dan menandatangani berkas di dalamnya.Arion mengamati atasannya itu, sikap Alex beberapa hari ini memang sangat aneh. Jika mudah emosi itu sudah biasa, yang tak biasa itu karena Alex sering sekali melamun bahkan tidak fokus saat menghadiri rapat.Setelah Arion pergi dari ruangan Alex. Alex meletakkan pulpen yang dipegang lalu sedikit melonggarkan dasi yang tera
Saat sore hari. Anna duduk di teras sedang makan camilan bersama Stefanie. Dia terlihat sangat bahagia, di masa kehamilan bisa bersama orang-orang yang menyayangi dan memberinya banyak perhatian.“Suamimu pulang,” ucap Stefanie saat melihat mobil Kai memasuki halaman rumah.Anna tersenyum lebar, dia kembali memasukkan potongan semangka ke mulut lalu berdiri untuk menghampiri suaminya.Kai turun dari mobil yang baru saja terparkir sempurna di depan garasi mobil. Dia membuka bagasi mobil, lalu mengambil sesuatu dari dalam sana.Anna mengamati apa yang Kai bawa, suaminya membawa satu kantong plastik besar.“Itu apa?” tanya Anna penasaran.“Pesananmu,” jawab Kai lalu membuka plastik itu agar Anna melihat isinya.Mata Anna berbinar. Dia langsung mengambil kantong plastik berisi banyak mangga muda itu dari tangan Kai.“Terima kasih.” Anna mencium pipi Kai, lalu pergi meninggalkan suaminya tanpa mengajaknya masuk.Kai terkejut, bisa-bisanya dia diabaikan karena mangga muda.“Anna! Hati-hati