“Hallo, Ma. Ini Oliv. Ma, tenangin pikiran Mama dulu. Nick akan menjelaskan semuanya di rumah, okay.”‘Cepat balik. Bawa Nick ke rumah!’ ucap mama Nick sebelum mematikan telepon dari sana. Oliv terdiam, dia menghela napas pelan dan memberikan ponselnya kembali ke pria yang berada di sampingnya itu. “Kamu harus menjelaskan dengan benar. Jangan ditutupi.”Nick hanya diam. Setelah sampai di kediaman rumah Nick. Mereka segera masuk ke dalam sana. Dan ya, benar sana mama Nick mendekat ke arah mereka. Satu tamparan keras mengenai pipi Nick. Mulut Oliv spontan ditutup karena shock. “Bilang sama Mama, kalau berita itu tidak benar, Nick!”Nick nampak memalingkan wajah dan hanya diam di tempat. Oliv tidak bisa diam, dia harus bicara yang sebenarnya. “Ma–”“Stop, bicara, Oliv. Ini salah Nick, harusnya dia yang menjelaskan apa yang terjadi sama dia.”Oliv terdiam sejenak dan menghela napas pelan. Dia menoleh ke samping sambil memegang lengan pria itu. “Nick?”Nick mendongakkan kepala, tangan
Oliv membuka mata perlahan. Dia memincingkan matanya karena pancaran sinar matahari mengenai matanya. “Jam berapa ini?” gumamnya. Ia melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Perempuan itu menguap pelan dan baru menyadari posisinya sekarang berada di dekapan pria yang masih tidur itu. Kening Oliv mengkerut, dia terus memandangi wajah tampan pria tersebut. Sangat damai, seakan tidak ada satupun permasalahan yang dipikirkan saat ini. “Lebih baik dia seperti ini daripada seperti kemarin. Aku nggak tega kalau lihatnya,” gumamnya.Oliv melihat ke tangan pria itu yang masih stay memeluk tubuh kecilnya. Senyuman kecil lolos keluar dari mulutnya. “Pantas saja hangat,” gumamnya. “Tapi, nggak mungkin juga aku mengganggu dia bangun.”Oliv menatap pria itu kembali. Dengan perlahan, perempuan itu melepaskan pelukan pria itu. “Jangan pergi, temani saya,” ucap pria itu lirih. Perempuan itu sempat diam dan menatap pria itu yang ternyata masih tidur. “Aku di sini. Kamu lanjutkan ti
“Nick?”“Heumm?”“Kita mau ke mana? Bukannya ke kantor?” tanya Oliv memastikan. Dia menoleh ke samping.“Kan saya bilang ke suatu tempat.”“Nggak ke kantor?”“Lupakan masalah kantor, saya sudah menyuruh seseorang menhandle kantor saya.”“Terus? Kenapa kamu nyuruh aku pakai pakaian rapi kayak gini?”“Apa kamu tidak suka?”Oliv terdiam sejenak, kemudian menghela napas pelan. “Humm, sekali lagi aku tanya ke kamu. Kita mau ke mana?”Nick tidak menjawabnya. Alhasil, Oliv menyerah untuk bertanya kepada Nick. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dengan santainya sembari menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan. “Kamu suka film horor kan?”Kening Oliv mengkerut, dia menoleh ke Nick kembali. “Suka, tapi tergantung film-nya sih.”“Berani?”“Berani, mau nonton?”Nick menoleh ke samping, kemudian mengangguk kecil. “Mau temani saya nonton film horor?”Oliv menggembungkan pipinya. Tak mau menolak, akhirnya dia mengangguk kecil. “Boleh, nanti kita lihat jam tayangnya dulu. Nggak mungkin juga kan
“Jangan banyak omong.” ucap pria itu menyuruhnya untuk ke belakang. Oliv melirik ke pria itu sesekali melihat dua pasangan kekasih yang sedang mencari meja makan di sana. “Are you okay?” tanyanya pelan. Nick menoleh ke samping. “Menurutmu? Kamu bawa kacamata hitam? Buat kita ke sana?”Oliv menggelengkan kepala pelan. “Nggak bawa.”Nick menghela napas pelan, sesekali memastikan dua orang tersebut masih berada di sana. “Kita beli terlebih dahulu, habis itu kita ikuti mereka,” ucap pria itu, kemudian menarik lembut tangan Oliv untuk pergi dari tempat itu. Di dalam salah satu toko. Oliv mencari dua kacamata dan juga Nick yang masih mencari topi. “Lama banget sih? Kamu ini nyari topi atau nyari istri lagi?”Pria itu meliriknya dengan datar. “Apa kamu keberatan?” ucap Nick, kemudian menuju ke kasir untuk membayar beberapa barang yang berada di sana. “Kita cari pakaian santai dan sekalian beli sepatu buatmu.”Oliv melirik ke bawah sekilas. “Hmm, yaudah. Aku juga udah nggak betah lagi pa
Oliv segera mengalihkan pandangan, kemudian menjajarkan duduknya kembali. “Ng–nggak, aku kaget aja. Tadi musiknya terlalu keras.” Nick mendesis pelan. “Dih, bilang saja takut.” Perempuan itu hanya diam dan mencoba fokus dengan film yang terpampang di layar besar tersebut. Mereka menonton film layar lebar dengan menikmati popcorn dan juga minuman yang dibeli tadi. Ternyata film-nya semakin seram, sehingga membuat Oliv semakin mendekat ke Nick sambil meremas lengan pria tersebut. “Astaga, apa itu!” “Teman kamu tadi, cepat agak geseran sedikit bisa? Saya tidak muat di sini.” Oliv menerjapkan matanya pelan, dia melihat posisinya kembali. Kemudian bergeser sedikit. “Maaf, tadi ... reflek,” ucapnya. Setelah itu. Mereka kembali menonton dengan serius. Meskipun Oliv sangat ketakutan, perempuan itu terus menahan rasa takutnya dengan menutup matanya sendiri. Oliv mengambil popcorn dan memakannya sesekali untuk menghilangkan rasa takutnya. Tak lama, dia mengambil lagi. Namun, ternyata d
“Nona, tunggu!” Sebuah genggaman tangan itu membuat Oliv menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Keningnya mengkerut ketika mendapati tangan pria yang memakai jas dengan setelan celana itu seperti sedang meminta bantuan. Kening Oliv mengkerut. “Ya, kenapa ya?” “Jadilah istri pura-pura saya. Saya akan memberikan kamu tiga miliyar jika menerima tawaran saya,” kata pria itu. Perempuan itu hanya diam sambil membawa tas orderan makanan di sana. Dia melihat dari bawa ke atas penampilan pria tersebut. “A–aku?” tanya Oliv menunjuk diri sendiri untuk memastikannya. “Ya,” jawab pria itu dengan enteng. “Maksudnya gimana ya? Kamu kira aku cewe murahan gitu? Makanya kami nawarin aku jadi istri pura-pura kamu?” kata Oliv dengan nada tidak terima. “Gila ya kamu! Kenal aja nggak!” Pria itu tersenyum evil. “Saya tau semuanya dan seharusnya kamu menerima tawaranku barusan.” Oliv menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya Pria tersebut kini memberikan kartu nama di hadapannya. “Be
Pagi ini sangat cerah. Seorang perempuan itu masih saja tertidur pulas di atas ranjang empuknya itu. Tiba-tiba terbangun karena ada seseorang yang menelponnya, “Astaga, siapa sih,” lirihnya. Dengan mata terpejam, Oliv segera mengambil ponsel yang kini berada di meja dan mengangkatnya tanpa melihat nama. “Hallo, siapa?” ‘Maaf Nona Oliv. Saya asisten pribadinya Tuan Nick. Saya sudah di depan rumah Nona untuk menjemput Noona.’ Oliv terdiam sejenak. Sedetik pula ia membulatkan matanya dan bangun dari tidurnya. “Bentar, Pak? Di depan rumah saya?” tanyanya kembali untuk memastikan. ‘Iya, Nona.’ Oliv segera bangkit dari kasur dan mengintip dari sela horden. Ternyata benar, ada sebuah mobil mewah di depan rumahnya. “Astaga, kenapa mendadak sih? Kan bisa kirim pesan dulu si Nick,” batinnya. “Engh–baik, Pak. Tunggu di depan ya. Saya siap-sial dulu,” katanya sebelum mematikan panggilan di sana. Oliv merasa bingung. Kemudian ia buru-buru untuk mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar
Oliv masih shock di tempat dan menatap pria itu dengan lekat. “Nick?” gumamnya. Sesekali ia melihat orang itu dibawa oleh orang-orang yang berada di sana. Sungguh dia sangat lega saat ini. Bukan karena dirinya takut akan kehilangan ponselnya itu. Namun, di dalam ponselnya itu terdapat dokumen yang penting, bahkan kontak-kontak penting juga. Pria itu melangkah ke arahnya dan memberikan ponselnya kepadanya. “Lain kali bisa hati-hati tidak?” kata Nick dengan nada datar. Oliv segera mengambil ponselnya di tangan Nick dan mengangguk kikuk. “Y–ya, makasih, Tuan Nick,” katanya sambil menundukkan kepala sekilas. Nick berdehem pelan. “Panggil saya dengan sebutan Nick bisa? Jangan sampai keluarga saya mendengarkan ucapan kamu barusan.” Oliv menghela napas pelan. “B–baik, Nick. Ah ya, aku mau buka stand, kalau kamu mau. Aku akan memasakkan kamu makanan. Sebagai pertanda terimakasih aku ke kamu,” katanya. “Saya sebenarnya harus meeting, tapi kalau kamu memaksa saya. Saya akan meneriman