Oliv membuka matanya perlahan, ia menguap pelan dan melihat ke sekitarnya. “Aku, di mana?” gumamnya.
Perempuan itu segera bangkit dari tidurnya dan melirik ke sampingnya yang tak ada siapapun di sana. “Bukannya aku di sofa semalam?” gumamnya.
Oliv terdiam sejenak, mengingat kejadian semalam. “Nick? Apa Nick yang membawa aku ke sini?” gumamnya.
Perempuan itu segera bangkit dari duduknya, kemudian mengikat rambutnya asal. Dia bergegas untuk keluar dari kamarnya itu dan segera ke arah dapur.
Oliv menghentikan langkahnya ketika melihat Nick yang sedang memasak di sana. Keningnya mengkerur seketika. “Tu–an? Kenapa kamu masak sih? Kan aku belum bangun? Kalau nggak ada yang masak kan bisa dimasakin bibi,” kata Oliv dengan nada cepat.
Nick menoleh ke belakang sekilas. “Sudah bangun kamu? Kalau mau makan, makan saja.”
Oliv menghela napas pelan, kemudian mendekat ke arah pria itu. Tepatnya ia berdiri di samping Nick dan melihat pria itu yang kini sedang membuat nasi goreng. “Nasi goreng?” tanyanya.
“Ya, kenapa? Kalau kamu tidak suka, kamu bisa masak sendiri. Lagian, Bibi juga pulang kampung supir juga pulang kampung. Tinggal kita saja yang ada di sini.”
Oliv mengangguk kecil. “Yasudah, aku buatkan telur sama nuget saja kalau begitu. Biar ada lauknya,” katanya, kemudian ia mengambil telur dan sisa nuget yang masih tersisa tiga butir dari kulkas.
“Sudah habis bahan di kulkas?”
“Menurut kamu?” ucap Nick dengan nada datar. Pria itu meletakkan nasi itu di dua porsi piring yang sudah di sediakan di meja makan tersebut.
“Kenapa nggak beli?”
“Bukannya kamu yang harus beli untuk saat ini?”
Oliv terdiam sejenak. Benar juga yang dikatakan oleh Nick barusan. “Yaudah, nanti aku beliin sekalian pas mau ke stand aku.”
Nick hanya berdehem pelan seakan tidak peduli apa yang dikatakan oleh Oliv barusan.
Oliv segera menghidupkan kompor itu dan memasak telur dan nuget itu sampai matang. “Kamu nggak ke kantor?”
“Nanti, mending kamu diam deh, tidak usah banyak tanya.”
Oliv melirik dari sudut mata sambil menggembungkan pipinya. “Kan aku tanya, apa salahnya?”
Setelah matang, Oliv meletakkan piring itu di meja. “Nih makan, jangan lupa lauknya.”
Nick melirik ke Oliv dan mengambil lauk yang dibuatkan olehnya.
Oliv mengulas senyuman kecil dan segera duduk di kursi. Kemudian mengambil porsi nasi goreng dan tak lupa dengan lauknya juga.
“Nanti saya pulang malam. Kamu bersihkan rumah ya, jangan lupa buatkan saya makanan malam. Ah ya, nanti saya transfer setengah dulu,” ucap Nick disela-sela makan.
Oliv mengunyah pelan dan menatap pria itu. Kemudian ia mengangguk kecil. “Oke, aku kirim rekening aku.”
Setelah beberapa menit kemudian. Oliv langsung bangkit dan mengambil beberapa sisa piring untuk di cuci diwastsfel sana. Nick? Pria itu sudah ke kamar untuk bersiap-siap ke kantor.
“Saya mau berangkat, tolong kamu beneran bersihkan rumah dan jaga rumah. Saya tidak mau kalau saya balik rumah berantakan.”
Oliv melirik pria itu dari sudut mata dan mendesis pelan. “Yasudah, pergi sana. Tidak usah banyak bicara.”
Nick berdecak pelan. “Jangan sampai lupa, saya tidak akan masuk ke rumah jika kamu tidak membersihkan rumah ya,” kata pria itu sambil membenarkan dasinya itu.
Oliv mengelap tangannya. Dia melihat pria itu nampak kuwalahan. Tanpa di suruh ia mendekat ke arah pria itu dan membantu untuk membenarkan dasi. “Biar aku bantu, kalau kesusahan lebih baik kamu minta bantuan bisa?”
Nick terdiam dan menatap ke Oliv. “Biasanya saya minta bantuan mama atau tidak asisten saya pas di kantor.”
“Makanya lain kali belajar! Bukan memanfaatkan orang lain untuk membantu kamu,” desisnya. “Sudah. Masa kamu kalah sama anak muda kayak aku?”
Nick melihat hasil dasi yang dibantu oleh Oliv dan menatap ke arahnya sambil menautkan alis. “Muda? Emangnya kamu umur berapa? Tiga puluh?” kata pria itu sambil mendesis pelan, kemudian berjalan ke kulkas untuk mengambil minuman di sana.
Mata Oliv membulat, sungguh dirinya ingin menjambak rambut Nick saat ini. “Enak aja! Kamu aja kali yang tiga puluh tahun!”
“Memang, saya umur tiga puluh tahun. Jadi ... kita seumuran kan?”
“Dih! Nggak ya! Aku masih umur dua puluh dua tahun!” kata Oliv dengan nada tidak terima.
Nick hampir menyemburkan minuman yang diminum tadi dan menatap ke arah Oliv tidak percaya.
“Are you serious?”
Oliv menganggukkan kepala polos. “Serius, makanya kalau kontrak sama aku tanya kebiasaan aku data diri sampai ke dalam. Bukan asal kontrak. Dasar om-om,” desisnya.
Nick meringis kecil dan menutup pintu kulkas itu kembali. “Saya tidak peduli apapun. Yang penting mereka tau kalau kita sudah menikah dan dia tidak akan pusing mencari pendamping buatku.”
“Itu salah kamu sendiri. Sudah tua kenapa belum nikah-nikah? Nunggu apa lagi? Nunggu punya rambut putih?”
Oliv menghentikan langkah di ambang pintu. Kapalnya ternyata sudah jalan di tengah laut. Spontan dirinya menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak seimbang. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang menahan tubuhnya itu dari belakang. “Are you okay?” Suara serak itu, membuat Oliv menoleh ke samping. Dia menatap pria itu yang nampak khawatir. “Aku, nggak papa kok,” ucapnya, kemudian dia menjajarkan tubuhnya. Nick tertawa miris. “Oliv, jangan bodohi saya bisa? Saya juga pernah melihat orang seperti kamu. Orang itu takut menaiki kapal, tapi tidak tau dengan kamu. Apa kamu juga begitu, heum?” Perempuan itu terdiam sambil menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya di bawah sana. Nick berjalan dan berdiri di hadapan perempuan tersebut. Pria itu menggenggam kedua tangannya lembut. “Tanganmu yang sangat dingin dan wajah kamu sangat pucat. Sudah pasti kamu tidak terbiasa menggunakan kapal.” Oliv menghembuskan napas pelan. “Ya, aku ... takut sama laut.” Pria itu terdiam se
Besoknya, Oliv sudah siap dengan memakai pakaian santai, tidak lupa juga memakai cardigan panjang untuk menutupi tubuhnya. “Sudah siap? Saya menyuruh Mark menjemput kita ke sini. Mumpung dia punya waktu,” ucap Nick yang kini masih memakai jam tangan di sana.Oliv menoleh ke pria itu, kemudian ia mengangguk kecil. “Kopernya aku bawa ke luar ya?”Baru saja perempuan itu menyeret koper itu. Namun sebuah tangan menahan koper itu juga. Oliv menatap ke tangan itu, kemudian menatap ke arah pria itu. “Kamu keluar saja dulu. Biar saya yang membawanya. Kamu bawa tas selempang kamu saja.”Oliv menelan salivanya, jujur saja degup jantungnya saat ini tidak bisa dikendalikan. Perempuan itu mengangguk dan segera mengambil tas selempangnya. Kemudian bergegas untuk keluar dari apartemen itu.“Astaga, jantung aku kenapa nggak bisa diatur sih?” gumamnya sambil memegang dadanya sendiri. Oliv menghela napas kasar dan masuk ke dalam lift. Kemudian memencet tombol untuk membawanya pergi ke lantai bawah.
Setelah selesai, mereka memutuskan keluar dari tempat itu. Dan ya, Oliv menggenggam bingkisan pakaian itu dengan erat sambil melihat ke sana kemari. Melihat itu, Nick nampak bingung. “Are you okay? Apa ada yang ketinggalan?” tanya pria itu sambil melihat ke belakang. Perempuan itu menatap ke pria itu, kemudian menggelengkan kepala cepat. “Nggak, cuma–” ucapannya tergantung. Di menggigit bibirnya sendiri. ”Cuma apa?” Nick nampak menghentikan langkahnya. Oliv-pun ikut berhenti. “Aku nggak nyaman aja sama orang-orang yang bilang aku perebut pacar orang?”Pria itu nampak mengkerutkan, tak lama tertawa miris. “Hei? Tumben sekali kamu peduli sama ucapan orang disana?”Nick memegang pundak perempuan itu. “Kamu tau semuanya kan? Dan mereka tidak tau bagaimana otak Kimberly? Jadi, kamu tidak perlu memikirkan ucapan mereka, oke?”Oliv menghembuskan napas kasar, kemudian mengangguk kecil dan tersenyum lebar. “Okey, thanksyou.”Pira tersebut mengulas senyuman dan mengaitkan jari-jemari ke jar
Sebulan lebih lamanya, Oliv bertahan di kontrak ini. Tapi, untuk saat ini Nick memutuskan membawa Oliv ke apartemen pribadi sendiri. Seperti janji pria itu dari awal. Oliv melihat ke sekeliling apartemen tersebut. Dia nampak terkesima melihatnya. “Ini apartemen kamu sendiri?” Nick mengangguk kecil dan meletakkan dua koper di sana. “Iya, sebelumnya saya minta maaf kalau sudah memisahkan kamu dengan mama kamu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Mama kamu akan aman di sana. Bibi sama supir di sana bakalan menjaganya di sana.” Perempuan itu menatap pria yang sedang membuka jaket di sana. Dia mengangguk pelan dan mengulas senyuman kecilnya. “No problem, aku percaya sama kamu.” “Oh, ya. Kalau mau berendam, kamu berendam saja. Pasti perjalanan tadi sangat lama dan tubuh kamu berkeringat kan?” Oliv menerjapkan mata pelan. “Engh–okay.” “Besok kita bulan madu, kamu siapkan semuanya.” Nick menghempaskan tubuh ke kasur empuk itu sambil menutup mata untuk menghilangkan rasa lelah. Oliv terd
Oliv segera mengalihkan pandangan, kemudian menjajarkan duduknya kembali. “Ng–nggak, aku kaget aja. Tadi musiknya terlalu keras.” Nick mendesis pelan. “Dih, bilang saja takut.” Perempuan itu hanya diam dan mencoba fokus dengan film yang terpampang di layar besar tersebut. Mereka menonton film layar lebar dengan menikmati popcorn dan juga minuman yang dibeli tadi. Ternyata film-nya semakin seram, sehingga membuat Oliv semakin mendekat ke Nick sambil meremas lengan pria tersebut. “Astaga, apa itu!” “Teman kamu tadi, cepat agak geseran sedikit bisa? Saya tidak muat di sini.” Oliv menerjapkan matanya pelan, dia melihat posisinya kembali. Kemudian bergeser sedikit. “Maaf, tadi ... reflek,” ucapnya. Setelah itu. Mereka kembali menonton dengan serius. Meskipun Oliv sangat ketakutan, perempuan itu terus menahan rasa takutnya dengan menutup matanya sendiri. Oliv mengambil popcorn dan memakannya sesekali untuk menghilangkan rasa takutnya. Tak lama, dia mengambil lagi. Namun, ternyata d
“Jangan banyak omong.” ucap pria itu menyuruhnya untuk ke belakang. Oliv melirik ke pria itu sesekali melihat dua pasangan kekasih yang sedang mencari meja makan di sana. “Are you okay?” tanyanya pelan. Nick menoleh ke samping. “Menurutmu? Kamu bawa kacamata hitam? Buat kita ke sana?”Oliv menggelengkan kepala pelan. “Nggak bawa.”Nick menghela napas pelan, sesekali memastikan dua orang tersebut masih berada di sana. “Kita beli terlebih dahulu, habis itu kita ikuti mereka,” ucap pria itu, kemudian menarik lembut tangan Oliv untuk pergi dari tempat itu. Di dalam salah satu toko. Oliv mencari dua kacamata dan juga Nick yang masih mencari topi. “Lama banget sih? Kamu ini nyari topi atau nyari istri lagi?”Pria itu meliriknya dengan datar. “Apa kamu keberatan?” ucap Nick, kemudian menuju ke kasir untuk membayar beberapa barang yang berada di sana. “Kita cari pakaian santai dan sekalian beli sepatu buatmu.”Oliv melirik ke bawah sekilas. “Hmm, yaudah. Aku juga udah nggak betah lagi pa