‘Yasudah kalau begitu, kamu baik-baik di sana ya?’
Oliv mengulas senyuman kecilnya dibibirnya. “Pasti Ma, Mama jaga diri baik-baik ya di sana. Kalau ada apa-apa bilang sama Oliv, ngerti?”
‘Iya, Sayang. Mama tutup dulu ya, kapan-kapan Mama main ke sana, sampai ketemu nanti, princes.’
Oliv tersenyum lembut dan melihat ke layar ponselnya. “Tunggu Oliv ya, Ma. Pokoknya mama harus terus cek kondisi Mama biar nggak makin parah,” ucapnya lirih.
Setelah sampai. Oliv segera membayar dengan memakai tapcash dan turun dari halte. Dia melihat ke sekitar, ternyata kantor milik Nick sangatlah luas.
Tak mau berlama, akhirnya Oliv segera masuk ke dalam kantor tersebut. Dia mengedarkan pandangannya dan menatap kagum.
“Ehm! Mau ngapain di sini? Lihat pakaian kamu, apa pantas, hah?”
Langkah kaki Oliv terhenti seketika ketika melihat seorang wanita yang mencegatnya. “O–oh, ya. Saya mau ketemu Tuan Nick, apa dia ada di kantor?”
“Nick? Emang kamu sudah janji sama dia?” kata wanita itu sambil menatapnya dari bawah ke atas.
Oliv nampak bingung dengan tatapan wanita itu. Dia ikut menatap ke dirinya sendiri. “Sudah, apa ada yang salah dari pakaian saya?”
“Tidak pantas saja. Mending kamu keluar dari sini sebelum ada yang datang untuk mengusirmu,” ucap wanita itu.
Kening Oliv mengkerut. Bisa-bisanya mulut wanita itu sangat tidak sopan. “Coba bilang sekali lagi? Baru jadi karyawan aja bangga?!” kata Oliv dengan nada terima.
“Heh! Berani ya kamu sama aku! Kamu tidak tau aku itu siapa?” kata wanita itu tidak terima.
Oliv mendecih pelan. “Aku nggak peduli ya, harusnya kamu punya antitude kalau kamu udah bekerja di kantor besar ini.”
”Kamu yak!” Wanita itu hampir saja menjambak Oliv. Namun ada suara pria yang mencegah mereka.
“Stop! Apa-apaansih kalian bertengkar di sini!”
Kedua perempuan itu menoleh ke sumber suara. Dan ternyata Nick yang sudah berada di sana dan melihat kegaduhan mereka.
“Engh– ma–maaf, Tuan. Dia duluan yang membuat saya emosi,” kata wanita itu dengan menundukkan kepala.
Oliv meringis pelan.
“Yasudah, Audrey. Kamu kembali bekerja, jangan urusin dia.”
Audrey mengangguk kecil dan segera bergegas pergi dari sana.
Oliv mendesis pelan. “Dasar, cari muka itu sama Nick,” gumamnya terus memandangi punggung Audrey.
“Kamu, ikut saya,” kata Nick sebelum berjalan terlebih dahulu.
Oliv melirik ke Nick. Kemudian ia mengikuti pria itu dari belakang. Dia terdiam saat pintu lift tertutup rapat di sana.
Tidak ada suara apapun di sana. Oliv melirik dari samping, ia melihat Nick nampak memasang wajah datarnya sedari tadi.
“Baru saja kamu ke sini, sudah membuat ulah saja,” kata Nick.
“Ulah? Enak aja! Yang bikin ulah itu karyawan kamu duluan, aku cuma tanya keberadaan kamu itu aja nggak lebih!”
Nick mendecih pelan. Mata Oliv membulat saat melihat respon pria itu yang acuh. “Sialan banget, nyesel aku hormat sama orang kayak kulkas dan juga nyebelin kayak kamu. Pantes aja mereka kayak gitu ternyata suhunya juga begini modelannya,” ucapnya sambil mendesis.
“Tutup mulutmu, atau saya yang akan menutup mulutmu itu.”
Oliv sontak menutup mulut dan melihat Nick yang keluar dari sana. Ia mengikuti pria itu dari belakang, ternyata pandangan karyawan yang berada di sana mengarah ke arahnya.
Banyak bisikan kecil yang masih masuk ke telinganya. “Nick, itu mulut karyawan kamu bisa disumpel sedikit nggak?” kata Oliv pelan.
“Mending kamu sumpel sendiri,” ucap pria itu sebelum masuk ke dalam ruangan.
Oliv menerjapkan mata pelan. Seharusnya sebagai istri pria itu mengikut permintaannya bukan? Kenapa ini malah sebaliknya?
Oliv segera masuk ke dalam sana dan menutup pintunya kembali. “Kenapa harus ke sini sih? Kan aku cuma nganterin hp kamu doang.”
“Biar kamu nggak rusuh lagi seperti tadi. Saya sangat malu serius,” ucap Nick sambil membuka jas dan meletakkan di kursi khusus untuk boss.
Oliv menggerutu pelan, ia melihat nama Nick yang terpampang di papan nama di meja. “Keren banget ya udah duduk di kursi CEO. Pantes uangnya banyak,” ucapnya.
Nick melirik ke arahnya, kening pria itu mengkerut. “Mulutmu bisa diam tidak?”
“Kamu yang harusnya diam. Mentang-mentang kamu bos bisa seenaknya sama aku, dih!”
“Percuma bicara sama kamu. Mana hp-ku jangan bikin rusuh di sini.”
“Kamu belum ngirim uang ke rekeningku, kirim dulu.”
Nick menghela napas pelan. “Kamu belum mengirim rekeningnya ke saya, jangan bikin saya emosi ya,” kata pria itu seakan menahan emosinya di sana.
Oliv mendesis pelan, kemudian ia mengambil hp Nick di tas dan memberikan ke Nick. “Nih!”
Nick mengambil ponsel itu dari tangan Oliv. “Sudah sana!”
Oliv mendesis pelan. “Awas aja ya kamu, kalau nyuruh-nyuruh aku seenaknya lagi,” katanya sambil menunjuk-nunjuk wajah Nick.
Nick menyunggingkan senyuman miris dan mencekal pergelangan tangan Oliv. Kemudian menyondongkan wajah ke arahnya. Sehingga membuat Oliv membulatkan mata shock.
“Saya tidak takut ya. Lagipula, kamu istri saya bukan?”
“Tuan saya mau–”
Suara itu membuka Oliv dan Nick menoleh ke ambang pintu di mana ada seorang sekretaris di sana.
“M–maaf, Bos. Saya cuma–”
Oliv segera menepis tangan pria itu dan mendorong untuk menjauh darinya.
Oliv menghentikan langkah di ambang pintu. Kapalnya ternyata sudah jalan di tengah laut. Spontan dirinya menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak seimbang. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang menahan tubuhnya itu dari belakang. “Are you okay?” Suara serak itu, membuat Oliv menoleh ke samping. Dia menatap pria itu yang nampak khawatir. “Aku, nggak papa kok,” ucapnya, kemudian dia menjajarkan tubuhnya. Nick tertawa miris. “Oliv, jangan bodohi saya bisa? Saya juga pernah melihat orang seperti kamu. Orang itu takut menaiki kapal, tapi tidak tau dengan kamu. Apa kamu juga begitu, heum?” Perempuan itu terdiam sambil menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya di bawah sana. Nick berjalan dan berdiri di hadapan perempuan tersebut. Pria itu menggenggam kedua tangannya lembut. “Tanganmu yang sangat dingin dan wajah kamu sangat pucat. Sudah pasti kamu tidak terbiasa menggunakan kapal.” Oliv menghembuskan napas pelan. “Ya, aku ... takut sama laut.” Pria itu terdiam se
Besoknya, Oliv sudah siap dengan memakai pakaian santai, tidak lupa juga memakai cardigan panjang untuk menutupi tubuhnya. “Sudah siap? Saya menyuruh Mark menjemput kita ke sini. Mumpung dia punya waktu,” ucap Nick yang kini masih memakai jam tangan di sana.Oliv menoleh ke pria itu, kemudian ia mengangguk kecil. “Kopernya aku bawa ke luar ya?”Baru saja perempuan itu menyeret koper itu. Namun sebuah tangan menahan koper itu juga. Oliv menatap ke tangan itu, kemudian menatap ke arah pria itu. “Kamu keluar saja dulu. Biar saya yang membawanya. Kamu bawa tas selempang kamu saja.”Oliv menelan salivanya, jujur saja degup jantungnya saat ini tidak bisa dikendalikan. Perempuan itu mengangguk dan segera mengambil tas selempangnya. Kemudian bergegas untuk keluar dari apartemen itu.“Astaga, jantung aku kenapa nggak bisa diatur sih?” gumamnya sambil memegang dadanya sendiri. Oliv menghela napas kasar dan masuk ke dalam lift. Kemudian memencet tombol untuk membawanya pergi ke lantai bawah.
Setelah selesai, mereka memutuskan keluar dari tempat itu. Dan ya, Oliv menggenggam bingkisan pakaian itu dengan erat sambil melihat ke sana kemari. Melihat itu, Nick nampak bingung. “Are you okay? Apa ada yang ketinggalan?” tanya pria itu sambil melihat ke belakang. Perempuan itu menatap ke pria itu, kemudian menggelengkan kepala cepat. “Nggak, cuma–” ucapannya tergantung. Di menggigit bibirnya sendiri. ”Cuma apa?” Nick nampak menghentikan langkahnya. Oliv-pun ikut berhenti. “Aku nggak nyaman aja sama orang-orang yang bilang aku perebut pacar orang?”Pria itu nampak mengkerutkan, tak lama tertawa miris. “Hei? Tumben sekali kamu peduli sama ucapan orang disana?”Nick memegang pundak perempuan itu. “Kamu tau semuanya kan? Dan mereka tidak tau bagaimana otak Kimberly? Jadi, kamu tidak perlu memikirkan ucapan mereka, oke?”Oliv menghembuskan napas kasar, kemudian mengangguk kecil dan tersenyum lebar. “Okey, thanksyou.”Pira tersebut mengulas senyuman dan mengaitkan jari-jemari ke jar
Sebulan lebih lamanya, Oliv bertahan di kontrak ini. Tapi, untuk saat ini Nick memutuskan membawa Oliv ke apartemen pribadi sendiri. Seperti janji pria itu dari awal. Oliv melihat ke sekeliling apartemen tersebut. Dia nampak terkesima melihatnya. “Ini apartemen kamu sendiri?” Nick mengangguk kecil dan meletakkan dua koper di sana. “Iya, sebelumnya saya minta maaf kalau sudah memisahkan kamu dengan mama kamu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Mama kamu akan aman di sana. Bibi sama supir di sana bakalan menjaganya di sana.” Perempuan itu menatap pria yang sedang membuka jaket di sana. Dia mengangguk pelan dan mengulas senyuman kecilnya. “No problem, aku percaya sama kamu.” “Oh, ya. Kalau mau berendam, kamu berendam saja. Pasti perjalanan tadi sangat lama dan tubuh kamu berkeringat kan?” Oliv menerjapkan mata pelan. “Engh–okay.” “Besok kita bulan madu, kamu siapkan semuanya.” Nick menghempaskan tubuh ke kasur empuk itu sambil menutup mata untuk menghilangkan rasa lelah. Oliv terd
Oliv segera mengalihkan pandangan, kemudian menjajarkan duduknya kembali. “Ng–nggak, aku kaget aja. Tadi musiknya terlalu keras.” Nick mendesis pelan. “Dih, bilang saja takut.” Perempuan itu hanya diam dan mencoba fokus dengan film yang terpampang di layar besar tersebut. Mereka menonton film layar lebar dengan menikmati popcorn dan juga minuman yang dibeli tadi. Ternyata film-nya semakin seram, sehingga membuat Oliv semakin mendekat ke Nick sambil meremas lengan pria tersebut. “Astaga, apa itu!” “Teman kamu tadi, cepat agak geseran sedikit bisa? Saya tidak muat di sini.” Oliv menerjapkan matanya pelan, dia melihat posisinya kembali. Kemudian bergeser sedikit. “Maaf, tadi ... reflek,” ucapnya. Setelah itu. Mereka kembali menonton dengan serius. Meskipun Oliv sangat ketakutan, perempuan itu terus menahan rasa takutnya dengan menutup matanya sendiri. Oliv mengambil popcorn dan memakannya sesekali untuk menghilangkan rasa takutnya. Tak lama, dia mengambil lagi. Namun, ternyata d
“Jangan banyak omong.” ucap pria itu menyuruhnya untuk ke belakang. Oliv melirik ke pria itu sesekali melihat dua pasangan kekasih yang sedang mencari meja makan di sana. “Are you okay?” tanyanya pelan. Nick menoleh ke samping. “Menurutmu? Kamu bawa kacamata hitam? Buat kita ke sana?”Oliv menggelengkan kepala pelan. “Nggak bawa.”Nick menghela napas pelan, sesekali memastikan dua orang tersebut masih berada di sana. “Kita beli terlebih dahulu, habis itu kita ikuti mereka,” ucap pria itu, kemudian menarik lembut tangan Oliv untuk pergi dari tempat itu. Di dalam salah satu toko. Oliv mencari dua kacamata dan juga Nick yang masih mencari topi. “Lama banget sih? Kamu ini nyari topi atau nyari istri lagi?”Pria itu meliriknya dengan datar. “Apa kamu keberatan?” ucap Nick, kemudian menuju ke kasir untuk membayar beberapa barang yang berada di sana. “Kita cari pakaian santai dan sekalian beli sepatu buatmu.”Oliv melirik ke bawah sekilas. “Hmm, yaudah. Aku juga udah nggak betah lagi pa