Share

Bab 3

Tujuh tahun yang lalu, saat Arion diajak oleh ayah dan ibunya pergi berlibur ke sebuah resort di dekat pantai, sebuah insiden mengerikan terjadi. Arion, yang saat itu masih berusia 17 tahun, merasa bosan setelah dua hari terjebak di resort itu bersama kedua orangtuanya.

Sore itu, dia lebih memilih menghabiskan waktu untuk berbaring di kamar mewah yang merupakan fasilitas yang diberikan oleh resort tersebut, daripada harus berpanas-panasan di luar menikmati cahaya matahari sore di tepi pantai.

Sore itu, Arion ditemani alunan musik yang terhubung melalui earphone-nya sambil membaca buku kesukaannya. Hampir satu jam Arion melakukan hal tersebut, sebelum akhirnya ia jatuh tertidur karena kelelahan, dengan earphone yang masih menyangkut di telinganya.

Sialnya, saat itu terjadi korsleting listrik yang disebabkan hubungan arus pendek. Tak ada yang menyadari kebakaran itu, sebab kebanyakan tamu sedang bersantai, menikmati pemandangan langit yang perlahan memeluk senja. Sensor pendeteksi asap yang tiba-tiba tak berfungsi juga semakin memperparah keadaan.

Ketika kobaran api itu semakin besar, barulah salah satu tamu melihat dan langsung berteriak, membuat orang-orang itu seketika panik. Begitu juga dengan orang tua Arion. Ayahnya, Raditya Ravindra, langsung berlari menerjang kobaran api yang sudah membakar hampir 30 persen bangunan resort. Para karyawan yang berusaha menghalanginya tak kuasa menghentikan niat Raditya untuk menolong putra semata wayangnya.

Ditengah panasnya api dan kabut asap yang semakin tebal, dia mencoba mencari jalan untuk bisa sampai pada putranya. Susah payah, ia menaiki tangga darurat hingga akhirnya Raditya tiba di kamar yang ia sewa untuk menikmati liburan mereka.

Raditya menggedor pintu dengan sekuat tenaga dan berteriak memanggil nama Arion, putranya.

Namun, Arion yang terlelap dengan telinga yang tertutup dentuman musik, tak bisa mendengar segala kegaduhan yang ada di luar kamarnya.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Raditya akhirnya mendobrak pintu tersebut. Ia mencari keseluruh ruangan yang perlahan dipenuhi asap. Ketika akhirnya ia menemukan putranya, Raditya segera membangunkan Arion dan menarik tangan pemuda itu untuk keluar.

Arion yang baru saja bangun terlihat terkejut dengan keadaan genting yang telah terjadi di kamarnya. Padahal rasanya baru sebentar ia memejamkan mata, namun keadaan langsung berubah 180 derajat saat ini.

Dengan susah payah, mereka berusaha keluar dari jilatan api yang perlahan menjalar ke seluruh penjuru ruangan. Arion berteriak ketika terdengar suara bergemeretak dari atas kepalanya. Tepat setelahnya, plafon di atas mereka jatuh dan menimpa tubuh Raditya dan Arion.

Dengan sekuat tenaga, Arion berusaha meloloskan diri. Jelaga hitam telah memenuhi wajah dan juga anggota tubuhnya yang lain. Ia merasa senang berhasil keluar dari runtuhan tersebut. Namun, ayahnya tidak bernasib sama sepertinya. Tubuh Raditya tak bisa keluar lantaran sebuah balok kayu besar menjepit pinggangnya. Arion mati-matian berusaha mengangkat balok tersebut.

Namun, kondisinya yang sudah lemah dan juga kobaran api disekitarnya membuatnya terus gagal melepaskan tubuh Ayahnya dari perangkap mengerikan itu.

"Pergilah, Arion!! Kau harus selamat...." Itulah kalimat terakhir yang Arion dengar dari Ayahnya, sebelum Ayahnya tak sadarkan diri.

Putus asa dan merasa terpukul, membuat Arion tak bisa berpikir apalagi bergerak. Kini, ia meringkuk di sudut ruangan, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tubuh Ayahnya perlahan dilahap api. Rasa ketakutan dan rasa bersalah pada Ayahnya membuatnya tak bergeming. Perlahan air mata mengalir dari sudut matanya. Ia tak menyangka liburan kali ini akan menjadi mimpi buruk baginya.

Sebuah tangan tiba-tiba menjangkaunya. Ia mendongakkan kepala dan melihat sepasang mata kelabu yang menatapnya penuh rasa khawatir. Seorang gadis dengan kondisi yang tak kalah berantakan darinya berdiri di hadapan Arion. Gadis itu menutupi separuh wajahnya menggunakan kain yang ia lilitkan hingga ke lehernya.

"Ayo, kita harus keluar sebelum api semakin besar dan menutup jalan keluar kita!!" seru gadis bermata kelabu tersebut.

Arion bergeming, tetap pada posisinya saat ini. Gadis itu menarik napas kasar dan menarik tangan Arion dengan paksa. Namun, Arion dengan kasar menghempaskan tangan nya dari genggaman gadis itu. "Aku tidak akan pergi. Aku akan menemani Ayahku di sini!" Arion menatap lurus pada jasad Ayahnya, "Ayahku meninggal karena menyelamatkanku!! Mana mungkin aku meninggalkannya sekarang!!" Ucap Arion yang diiringi dengan isakan.

"Dengarkan aku!!" ucap gadis itu sambil menangkup pipi Arion yang dibasahi air mata, "Kau harus keluar hidup-hidup dari sini. Kalau kau mati di sini, sama saja kau membuat Ayahmu mati sia-sia!! Dia mengorbankan dirinya agar kau bisa hidup, tapi kau malah ingin mati dan meratapi nasib!!”

Arion sedikit terhentak dengan ucapan gadis dihadapannya. Ia menyadari apa yang dikatakan gadis itu benar. Ia harus hidup, tapi bagaimana dengan ayahnya?

"Ayo, cepatlah!!! Kita harus keluar sekarang!!" Gadis itu kembali menarik tangan Arion, dan pemuda itu perlahan mengikuti langkahnya.

Mereka nyaris putus asa, karena semua pintu darurat telah dipenuhi asap tebal. Tak ada jalan lagi bagi mereka untuk keluar, sedangkan tangga utama dan lantai satu sudah dipenuhi kobaran api.

Di tengah kecemasan yang mereka alami, terdengar suara sirine dari mobil pemadam kebakaran. Seutas senyum terlukis di wajah gadis itu. "Kita akan selamat!!" ucapnya pada pemuda di belakangnya.

Gadis muda itu menarik tubuh Arion mendekati jendela, dan berteriak sekuat-kuatnya. Teriakannya berhasil didengar oleh petugas pemadam yang sedang bersiap memadamkan api.

Dengan sigap, salah satu petugas berbicara menggunakan pengeras suara. Petugas tersebut meminta agar mereka bertahan sebentar. Petugas lain sedang menyiapkan matras untuk alas mereka melompat.

Gadis itu bersorak kegirangan, namun Arion, pemuda itu masih terlihat murung.

"Hei, kau! Kau harus melanjutkan hidup dengan baik, jangan sampai membuat ayahmu sedih di sana!!"

Arion hanya menanggapi ucapan dari gadis itu dengan sebuah tatapan tajam. Tahu apa gadis ini, ia jelas tak tahu apa yang Arion rasakan saat ini, pikirnya.

Arion sudah mulai sesak napas, karena sejak tadi ia tidak menutupi hidungnya seperti yang dilakukan gadis itu. Ia terbatuk untuk kesekian kalinya. Dan tiba-tiba saja gadis itu melepaskan kain dari wajahnya dan memberikannya kepada Arion.

Arion terkejut, tapi ia menerima kain basah yang terasa hangat itu. Arion menatap tak berkedip pada gadis di hadapannya, usianya masih sangat muda seperti dirinya. Tapi sikapnya sangat tenang dalam menghadapi keadaan ini.

Suara pengeras suara kembali terdengar. Petugas memberikan aba-aba agar mereka melompat ke bawah. Tepat pada hitungan ketiga, Arion dan gadis itu menjatuhkan diri mereka di atas matras evakuasi.

Petugas medis berlarian ke arah mereka. Maria, yang sudah cemas sejak tadi, tak kuasa menahan air mata ketika melihat putranya selamat, namun separuh hatinya seperti mati ketika ia menyadari suaminya tak ada di sana.

Ia tak sempat bertanya lebih lanjut kepada putranya, karena petugas medis telah membawa Arion dan gadis di sebelahnya untuk melakukan pemeriksaan.

Sebelum mereka berpisah, gadis bermata kelabu itu memberikan sebuah gelang dengan liontin kerang berwarna putih dengan bercak keemasan.

"Untuk apa?" tanya Arion dengan kening yang berkerut dalam.

"Anggap saja itu sebuah jimat. Jika setelah ini kau merasa hancur, ingatlah untuk menjadi kuat seperti kerang itu."

Itulah saat terakhir Arion melihat gadis itu. Setelah sore yang menegangkan bagi Arion, pemuda tersebut menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari.

Dan siapa sangka, kali ini gadis itu kembali menjadi penolongnya. Di tengah desakan ibunya yang meminta Arion agar segera mencari pendamping hidup.

Keesokan harinya...

Pagi ini, Arion sedang duduk di kantornya memeriksa beberapa dokumen yang harus ia tandatangani, ketika tiba-tiba dari luar terdengar seorang wanita yang berteriak-teriak memanggil namanya. Siapa lagi ini, pikirnya, pagi-pagi sudah merusak suasana hatinya.

Tak lama kemudian, Fariz, asisten pribadinya, masuk ke ruangan. Di belakangnya, seorang perempuan menggunakan dress dengan motif bunga-bunga setinggi lutut tersenyum ke arah Arion. Siapa lagi kalau bukan Aretha.

"Maaf, Tuan. Saya sudah bilang Anda tidak ingin bertemu dengan siapapun saat ini. Namun, Nona Aretha tetap memaksa dan membuat kegaduhan di luar," ucap Fariz, yang merasa tidak enak hati pada bosnya karena gagal menjalankan tugasnya dengan baik.

Arion tersenyum kecut, malas sekali melihat wanita ini pagi-pagi sudah ada di kantor. Ia tahu dengan pasti bahwa Aretha menaruh hati padanya. Namun bagi Arion, Aretha hanyalah sebatas teman kuliahnya saja. Pria itu tidak pernah menganggapnya lebih dari itu.

"Tidak apa, pergilah!" ucap Arion kepada Fariz.

Aretha memang cantik, ia memiliki bentuk tubuh yang membuat pria manapun akan langsung meliriknya, ditambah pakaian yang ia kenakan selalu saja mempertontonkan bagian tubuhnya.

Namun, ada satu hal yang Arion tidak suka dari Aretha. Gadis ini selalu bersikap semena-mena pada orang yang jauh di bawahnya. Belum lagi sifat borosnya itu. Benar-benar membuat Arion geleng-geleng kepala setiap kali melihat gadis ini menghabiskan uang untuk membeli sesuatu yang tidak penting.

"Arioonnn!!" sapa Aretha dengan manja. Gadis itu tanpa malu langsung menabrakkan tubuhnya pada Arion yang saat itu masih dalam kondisi duduk, dan Aretha tanpa ragu memeluk tubuh pria itu. Namun, Arion dengan halus mendorong tubuh Aretha agar menjauh darinya.

"Ada apa, Aretha? Aku sedang sibuk! Jadi tak ada waktu untuk meladenimu," ucap Arion yang terlihat jengkel dengan kehadiran Aretha.

"Kamu ini kenapa sih? Seperti tidak suka melihat kehadiranku?" tanya Aretha penuh selidik. "Jangan-jangan yang dibilang Nino itu benar ya, bahwa kau sudah menikah, Arion?" Akhirnya, pertanyaan itu terlontar dari mulut Aretha. Memang itu sebenarnya yang ingin ia cari tahu, hingga membuatnya rela datang pagi-pagi begini ke kantor pria yang disukainya itu.

Sialan, si Nino, dasar mulut ember! umpat Arion dalam hatinya. "Nino ngomong apa sih, sebenarnya?"

"Kemarin di pesta Stela, Nino ngomong kalau kau baru saja menikah. Apa benar, Arion? Pasti si Nino lagi ngarang cerita kan?" tanya Aretha. Dari nada bicaranya, terlihat sekali ia mencoba menahan emosinya.

"Tidak, Nino tidak berbohong. Semuanya benar, aku memang sudah menikah kemarin," jawab Arion dengan santainya. Ia berharap setelah mengetahui kebenarannya, Aretha akan menjaga jarak darinya.

"Nggak mungkin, pasti kalian berdua sekongkol ya mau ngerjain aku?" Aretha tampak semakin kesal mendengar jawaban dari Arion.

"Aku serius, Aretha."

"Ta— tapi dengan siapa? Selama ini aku tidak pernah melihat kau dekat dengan perempuan mana pun. Apa kau dijodohkan dengan pilihan orang tuamu, Arion?" jelas sekali Aretha tidak dapat menerima kenyataan ini.

"Itu bukan urusanmu, Aretha. Yang jelas, aku sudah menikah. Jadi, aku harap kau bisa berhenti menggangguku! Sekarang silakan keluar!" Arion yang sudah tidak betah berlama-lama menghadapi Aretha akhirnya mengusir gadis itu agar segera keluar dari kantor nya.

Aretha pergi dari ruangan Arion dengan sakit hati. Aretha tidak terima ada wanita lain yang mendapatkan Arion. Baginya, Arion itu miliknya. Ia sudah lama mengincar Arion dan kekayaannya. Ia akan mencari tahu siapa wanita yang sudah dinikahi Arion. Siapa wanita itu hingga berani merebut Arion darinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status