"Lyd, aku mau mandi pinjam handuk!" Wisnu tanpa basa basi langsung berdiri dan menuju ke kamar mandi Lydia.
"Eeh pak, jangan kesitu kran airnya belum jalan masih diperbaiki sama tukang!" cegah Lydia."Laah terus?""Pake kamar mandi saya aja di dalam!" Lydia sedikit ragu tapi apa boleh buat, ia tidak mungkin melarang Wisnu mandi."Ini handuknya, emang bapak bawa baju ganti?" tanya Lydia yang sedikit kebingungan."Broto!" Suara Wisnu memanggil sopir pribadinya dengan keras membuat Lydia menutup telinganya."Cck, pak nggak bisa apa nggak pake teriak?" gerutu Lydia."Nggak!"Pak Broto dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar Lydia dengan paper bag berisi pakaian Wisnu. "Ini pak sudah siap semua!""Eeh udah bawa baju segala?" Lydia keheranan."Pak Wisnu selalu bawa pakaian ganti di mobil mbak, buat acara darurat. Ada jas, sepatu, dasi, juga Daleman, komplit udah bagasinya!" sahut pak Broto dengan senyam senyum nggak jelas."Nggak sekalian satu lemari dibawa aja?" Lydia tersenyum masam.Wisnu melenggang ke kamar mandi, tak peduli dengan ocehan Lydia lagi. Lydia memilih berganti pakaian di kamar lain, bersiap diri karena hari sudah siang.Ia mengabarkan bagian sekretariat untuk memastikan jadwal Wisnu hari ini. Kembali ke toko barang antik itu adalah agenda utama. Mereka harus mengembalikan cincin mengerikan yang melekat kuat di jari keduanya.Tepat pukul 10 pagi keduanya siap pergi, entah mengapa Pak Broto merasa ada yang janggal. Ia melihat keduanya benar-benar serasi sebagai pasangan bukan sebagai bos dan sekretarisnya.Kok lebih cocok sama mbak Lydia ya ketimbang Bu Shella. Auranya dapet nih, cocok!Pak Broto buru-buru membukakan pintu sebelum Wisnu mendekat. Mereka berdua duduk di kursi belakang."Kita ke kantor pak?" tanya Pak Broto kemudian."Nggak kita kembali ke kawasan pedestrian kemarin!" sahut Wisnu.Lydia melirik ke arah Wisnu sejenak sebelum akhirnya menatap layar ponsel canggihnya. Aroma maskulin dari tubuh Wisnu kembali membuai dan meracuni seluruh sel tubuhnya. Lydia mulai resah, merasakan getaran halus yang mengganggu kewarasan otaknya.Boleh aku menciumnya sekali saja?! What the hell!Lydia merutuki pikiran kotor yang terus berbicara diotak nya. Rasanya ingin memaki Wisnu yang terlihat begitu tampan dan wangi dimatanya saat ini. Tiba-tiba saja Lydia merasa aneh dan jantungnya terus berdetak tak karuan. Bahkan kini tangannya pun basah oleh keringat.Jalanan kota pagi itu terasa sedikit padat, meski tidak sampai menimbulkan kemacetan tapi cukup membuang waktu bagi Wisnu. Ia terdengar beberapa kali berdecak kesal dan sesekali melirik jam tangan mahalnya."Pak Broto apa nggak ada jalan pintas? Lama banget sih nggak nyampe-nyampe!" keluh Wisnu"Ini sudah jalan terdekat pak, kalo mau lewat jalan lain bisa muter-muter malah tambah lama lagi dijalan," jawab Pak Broto tenang."Jadwal kita juga kosong kan pak hari ini? Bapak sudah minta untuk dikosongkan sampai sore," Lydia menimpali perkataan pak Broto berusaha menenangkan Wisnu."Iyakah? Saya lupa bagian itu," sahut Wisnu berkerut dahi.Lydia hanya menjawab dengan anggukan kepala. Wisnu kembali terdiam tapi pikirannya was-was. Cincin yang dikenakannya berkilau terkena pantulan cahaya matahari pagi dan tepat mengenai matanya.Sebuah memori seketika muncul. Lelaki dengan pakaian bangsawan era Victorian terlihat bergandengan tangan dengan bahagia bersama seorang wanita berambut merah. Mereka berjalan di padang rumput indah, sang pria menyematkan sekuntum bunga liar berwarna putih di rambut sang gadis. Keduanya nampak sangat bahagia, bergandengan tangan dan menaiki kuda bersama menyusuri padang rumput."Gadis berambut merah dan lelaki itu lagi," gumamnya dengan mata kosong."Apa? Bapak bilang apa tadi?" Lydia memastikan apa yang digunakan Wisnu.Ia jelas mendengar Wisnu mengatakan gadis berambut merah, Lydia ingin memastikan apakah yang dimaksud Wisnu adalah gadis yang sama dalam mimpinya."Hmm, saya bilang apa emang barusan?" Wisnu balik bertanya pada Lydia, ia bingung dengan yang terjadi."Entah saya yang salah dengar atau gimana, bapak bilang gadis rambut merah?" Lydia menatap manik hitam Wisnu dengan tanda tanya."Ah, ya gadis rambut merah,"Wisnu diam sejenak awalnya ia ragu untuk mengatakan mimpi aneh yang mengganggunya dari semalam tapi sejurus kemudian,"Lyd, something weird is happening to me!" Tubuhnya sedikit mendekati Lydia untuk berbisik.(sesuatu yang aneh sedang terjadi padaku!)"Weird? Maksudnya gimana pak?" Dalam hati Lydia sedikit takut jika apa yang ia pikirkan sama dengan Wisnu. (aneh?)"Apa kamu nggak mimpi aneh? Sesuatu yang berkaitan dengan gadis berambut merah?" Wisnu menjawab dengan hati-hati dan mata menyelidik.Lydia menatap Wisnu yang kini hanya berjarak beberapa centimeter saja. "Pak Wisnu juga mimpi gadis berambut merah dan lelaki aneh?" Lydia kembali bertanya tentu saja dengan berhati-hati pula. Ia tidak ingin terdengar aneh di mata pak Broto. Lydia yakin pak Broto diam-diam juga mendengar obrolan mereka. Wisnu mengangguk samar, matanya juga melirik ke arah pak Broto.Lydia terbelalak, kini mereka berdua yakin mimpi aneh itu benar adanya dan semua itu berhubungan dengan cincin yang melekat di jari manis mereka."Ini nggak bener, saya ngeri kalo gini ceritanya!" Wisnu kembali menjauhkan tubuhnya."Kita harus gimana pak?" tanya Lydia setengah berbisik."Ya kembali ke toko itu dan kembalikan cincin sialan ini!" Wisnu gamang, ia tak yakin dengan ucapannya sendiri.Kenyataan bahwa cincin itu tidak bisa lepas dari jarinya kemarin dan ucapan si pemilik toko yang mengatakan jika cincin itu memilih sendiri pemiliknya membuat Wisnu ragu."Pak, kita sudah sampai. Saya tunggu disini apa ikut aja pak?" tanya pak Broto."Disini aja, ngapain juga kamu ikut?!" jawab Wisnu "Ya kali aja, bapak sama mbak Lydia pingsan lagi kan bisa saya tolongin segera pak," sahut pak Broto kalem."Kali ini kita nggak bakalan pingsan lagi pak. Udah tunggu kita disini aja!" Wisnu mengatakan seraya keluar dari mobil.Ia menunggu Lydia turun lalu mereka berjalan berdampingan menyusuri kembali pedestrian yang masih lengang."Semoga pemiliknya ada di toko biar urusan kita cepat selesai," kata Wisnu dengan penuh harap.Lydia terdiam ia juga berharap yang sama tapi seperti halnya Wisnu, Lydia juga meragukan hal itu terjadi. Dengan langkah pasti mereka berjalan dan berjalan menuju lokasi toko souvenir antik itu. Detik, menit mereka lalui tapi waktu seolah berjalan lambat sekali."Pak, ini perasaan saya aja apa kita muter-muter aja disini sih?" Lydia kebingungan dengan apa yang mereka alami."Iya juga ya, perasaa
Karyawan dengan tag name Agus di dadanya itu juga menyapa Lydia dengan senyum. Wisnu belum menjawab, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling toko.Sekali lagi Wisnu hanya bisa tersenyum masam, sejauh mata memandang yang terlihat hanya berbagai contoh model keramik, wastafel, alat-alat pelengkap rumah tangga, kebutuhan alat dapur, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pernak pernik pelengkap rumah.Wisnu menggaruk kepalanya dan bertanya pada Agus, yang masih setia berdiri menemani Lydia dan Wisnu."Mas, mau nanya ini toko berdiri dari kapan ya?""Dari tahun kemarin bapak, tepatnya di bulan November. Apa bapak baru datang kesini? Ada special offer bagi member baru, mau coba?" jawabnya ramah seraya memberikan brosur penawaran toko pada Wisnu."Eeh, tahun kemarin?" Lydia terperanjat."Apa ada toko perhiasan di dekat sini mas, ehm sejenis toko suvenir antik?" Wisnu menyambung pertanyaan Lydia.Agus mengernyit mencoba untuk mengingat. Ia kemudian meng
"Pak Wisnu sudah berangkat Bu, dari jam lima pagi,""Hah, jam lima? Pagi bener! Kemana dia?!" Shella terkejut dengan jawaban Bi Inah."Tadi sih mau mengurus sesuatu sama mbak Lydia, penting! Jadi buru-buru,""Lydia? Sekretarisnya? Sepagi itu, aneh?!""Saya kurang paham Bu, maaf saya tinggal dulu ke dapur Bu," pamit bi Inah.Shella berpikir dan mengetuk ngetuk jemarinya diatas meja makan. Shella sedikit terganggu dengan tingkah tak biasa Wisnu."Tumben, ada apa Wisnu pergi ke rumah Lydia?"Rasa penasarannya menuntun Shella untuk mencari tahu jadwal Wisnu melalui staff yang lain. "Apa pak Wisnu ada?" tanya Shella saat terdengar suara Budi di seberang sana."Pak Wisnu belum datang ke kantor hari ini Bu," jawab Budi sedikit bingung."Belum datang? Lydia?" tanya Shella mulai curiga."Belum datang juga Bu, tadi mbak Lydia minta kami untuk mengosongkan jadwal pak Wisnu hari ini," jawab Budi lagi."Kamu tahu mereka kemana?" "Maaf Bu
"Jalan pak!" Wisnu memberi perintah pada pak Broto."Siap pak, mau kemana kita?""Balik ke kantor aja,""Yakin pak? Nggak mau cari toko suvenir lagi nih?" tanya pak Broto lagi."Iya, yakin! Udah jangan bawel nyopir aja yang bener!" Wisnu menjawab seraya merapikan jasnya dengan serba salah. Matanya sesekali melirik Lydia yang juga kikuk dan mencuri pandang padanya. Desiran aneh terasa begitu kuat di dada Wisnu. Rasa yang tak bisa ia hindari, rasa yang perlahan tapi pasti membelenggunya dalam ikatan cinta tabu.Mereka tiba di kawasan perkantoran mega bussines milik keluarga Dhanuaji. Satpam dengan sigap membuka pintu mobil menyambut kedatangan sang presdir muda. Lydia menyusul setelah pak Broto membukakan pintu untuknya."Lyd, saya butuh …,""Kopi? Baik pak, saya ke sana dulu sebentar!" Lydia dengan sigap berjalan mendahului Wisnu."Sandwich too?" Lydia kembali bertanya pada Wisnu.Wisnu heran k
Wisnu menghabiskan cemilan siangnya dengan lahap. Ia tak menyadari tuan besar Dhanuaji yang sedari tadi memperhatikan dirinya."Kamu lapar? Nggak sarapan di rumah?" Tuan besar Dhanuaji bertanya, ia ingin memastikan kebenaran informasi dari orang sewaannya.Wisnu tersedak dan segera meminum kopi yang dipesannya tadi. Setelah sedikit melegakan tenggorokannya dari sumbatan makanan, Wisnu menjawab."Ehm, nggak sempat tadi ada keperluan mendadak.""Kalian nggak pernah sarapan sama-sama?" Tuan besar Dhanuaji masih memperhatikan perubahan ekspresi putra kesayangannya itu. Ia ingin memastikan Wisnu menjawabnya dengan jujur."Ehm, itu … sarapan kok, kita sering sarapan sama-sama. Cuma memang pagi tadi aja kita belum ketemu,"Wisnu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia bingung harus menjawab apa karena memang pada kenyataannya mereka tidak pernah bertegur sapa di pagi hari. Apalagi untuk sarapan bersama. Tuan besar Dhanuaji su
Lutut Lydia lemas, pertanyaan tuan besar bak petir yang menyambarnya. Bayangan pemecatan dengan tidak hormat tiba-tiba saja terbayang di pelupuk mata. Dalam pikirannya pasti tuan besar Dhanuaji sudah berpikir macam-macam tentang dirinya dan Wisnu.Duh Gusti mimpi apa aku semalam!Lydia merutuki nasib sial yang menimpanya kini. Cincin itu benar-benar membawanya dalam situasi rumit yang tak berujung."Aku tidak mungkin salah mengenali cincin ini,""Tuan besar tahu tentang cincin ini?"Tuan besar Dhanuaji tersenyum getir dan menurunkan tangan Lydia. Ia tidak menjawab dan masuk ke dalam lift, meninggalkan Lydia yang bingung dan dipenuhi rasa penasaran. *********Tuan besar Dhanuaji duduk dengan gelisah di seat mobilnya, kelebatan bayangan masa lalu menghantuinya lagi. "Marisa, bukankah urusan kita sudah selesai?" Wajah tuanya nampak muram membayangkan Marisa wanita pemilik toko souvenir."Apa yang harus a
"Ada apa ini rame-rame? Pembagian sembako?" Suara Wisnu terdengar dengan nada sedikit tinggi membuat para staf tak terkecuali Lydia terkejut. "Eh, pak Wisnu! Ini tadi kak Lydia sedikit … ehm, masuk angin!" Budi yang panik mencolek Lusi untuk membantunya. Lusi dengan tergagap segera merespon."Ah, iya pak masuk angin! Kak Lydia agak nggak enak badan! Iya kan kak?" Lusi kembali mengerjapkan matanya memohon pada Lydia untuk membantu mereka.Wisnu selalu bisa tunduk pada kata-kata Lydia, jadi keduanya meminta Lydia ikut menjawab."Ehm, iya pak mereka mau nolongin saya tadi buat … ehm, ngecilin AC!" sambung Lydia sedikit ragu karena memberikan alasan yang agak tidak masuk akal.Wisnu mengernyit dan menatap stafnya bergantian, ia ingin mengeluarkan kalimat panjang dari mulutnya tapi kemudian matanya tertuju pada berkas yang masih berserakan di lantai. Ia berjongkok dan mengambil salah satu kertas terdekat, membacanya sejenak lalu,"Lh
Wisnu masih asik meneliti laporan yang diserahkan Lydia, tapi ia tidak tuli. Telinganya menangkap jelas suara laknat dari mulut Lydia. Wisnu semakin tidak bisa mengendalikan dirinya. Pikirannya kacau seketika. Ia merindukan sentuhan wanita untuk melepaskan ketegangan yang tanpa permisi datang saat bersentuhan dengan Lydia.Nyeri kepala melanda Wisnu, ia gamang antara ingin menuntaskan hasratnya atau menjaga image sebagai bos di depan Lydia. Pesona sang sekertaris yang kini duduk di sofa itu membiusnya. Wisnu melirik ke arah Lydia yang menggigit bibir bawahnya, terasa sensual di mata Wisnu.Ya Tuhan, kenapa kamu berpose begitu Lydia!Wisnu menahan debaran di dada yang semakin menyesakkan. Sulit baginya untuk berkonsentrasi memeriksa lembaran-lembaran kertas di depannya. Nafasnya terasa berburu dengan waktu, seperti pelari maraton yang hendak memasuki garis finish.Yah, menahan gejolak hasrat yang tanpa permisi datang memang sangat merepotkan. Membuat nyeri kepala