Diriku berada di toilet lumayan lama. Sekitar seperempat jam, baru kembali ke saung. Sesampainya di sana, Pak Irsya sudah tidak ada. Aku bernapas lega. Segera kuinterogasi Rena.
“Kenal, Mbak. Dulu, pas awal nikah, aku ngontrak di perumahan yang sama dengan Pak Irsya. Waktu beliau masih punya istri.”
“Kalian pernah membicarakanku?”
“Kira-kira?” Rena malah balik bertanya.
Aku mendengkus kesal. “Ren, kamu yang kasih tahu Pak Irsya, kalau aku di sini?”
“Tidak, Bos. Tuh, Pak Irsya ada di saung sana, lagi ada acara makan-makan juga sama kepala sekolah yang lain.” Rena menunjuk salah stau saung di sana. “Itu namanya jodoh, Mbak. Di mana-mana selalu ajq ketemu.”
“Mbak, itu siapa, sih?” tanya Fani, yang memang tidak pernah tahu siapa Pak Irsya.
“Calon. Calon suaminya Mbak Nia, Fan. Ingat, ya, calon. Kamu paham, kan?”
“Maksud Mbak Rena?&
Teleponku berdering saat aku memasak di dapur. nomor baru. Kuangkat segera dan mengucap salam pada orang di seberang sana.“Mbak, ini Dina.”“Ya, Din, ada apa?” tanyaku malas.“Aku disuruh bude untuk ngabarin sama Mbak, kalau Aira sakit.”“Terus, apa hubungannya sama aku?”“Kali aja, Mbak mau jenguk.”“Maaf, Dina. Aku tidak punya hubungan lagi dengan keluarga mereka, apalagi Aira.”“Nanti aku kirim nama ruangannya, ya, Mbak?”“Gak perlu, Dina,” tolakku, tanpa ampun. “Dengar, apa pun yang terjadi sama anak kecil itu, aku tidak mau tahu.”“Mbak, jahat banget, sih? Aira itu anak kecil, Mbak. Jangan dibawa-bawa untuk melampiaskan kemarahan Mbak sama Mas Agam. Mbak terima saja takdir kalau Mas Agam tidak cinta lagi sama Mbak,” cerocos anak itu, dengan penuh emosi. “Tapi, sekarang Aira sakit
“Buat comblangin ke Mbak, kali, bukan buat aku. Kalau aku, sih, mau gebet dosen bujang pembimbing skripsi aja. Tapi dia mau sama aku, gak, ya?”“Pasti enggak, lah, Fani! Sadar diri, otak pas-pasan begitu.” Kali ini, aku balik mengejeknya.“Eh, Mbak, kalau Pak Irsya masih bujangan, aku mau sama dia. Sayang, udah duda.”Aku diam saja.“Dia sama kamu aja, deh, Mbak. Sama-sama kesepian.”“Hentikan bercandamu, Fani! Kamu maupun Nia, tidak boleh ada yang menikah dengan PNS lagi. Cukup sekali bapak punya menantu berpangkat. Bapak tidak ingin lagi dianggap orang yang tidak punya harga diri.”Seketika, bibir Fani mengatup sempurna saat melihat bapak berdiri di ambang pintu tengah. Muka adikku pucat, antara menahan takut juga malu.Setelah kepergian lelaki yang telah banyak berjasa dalam hidup kami, Fani terdiam. Menatap benda berlayar besar di meja dengan pandangan yang nanar.
Menjalin kerjasama tidak hanya tentang mencari keuntungan. Lebih dari itu, di antara kedua pihak harus terbangun sebuah hubungan pertemanan dan kekeluargaan.Begitulah yang kuterapkan antara diriku dengan para reseller produk kecantikan yang kupasarkan. Sehingga, di antara kami sudah saling mengenal pribadi dan latar belakang masing-masing. Dan bila salah satu di antara reseller mengadakan sebuah acara, kami akan menghadiri secara bersama-sama.Seperti kali ini, salah satu dari mereka ada yang akan melangsungkan resepsi pernikahan. Sudah menjadi langganan, aku dan yang lainnya akan menghadiri secara bersama-sama. Fani sudah berangkat kuliah, jadi kali ini aku akan berangkat sendiri dari rumah.Memakai sebuah seragam gamis dengan outfit brokat berwarna mocca menjadi pilihan busana untuk menghadiri resepsi Weni. Karena anggotaku itu mengadakan pesta di gedung, jadi aku pakai jasa rias supaya penampilanku lebih baik. Selain itu, kami diminta menjadi pengiring penga
Anti dan Agam menjadi salah satu di antara tamu yang hadir. Mereka duduk di belakang dan ikut berdiri menyambut kedatangan mempelai. Tak sengaja, pandangan ini bersitatap dengan ayah dari anak-anakku. Dirinya tak berkedip. Segera kupalingkan muka, takut menghilangkan selera makan untuk nanti. Melewati tubuh kedua pasangan tak halal itu, sudut mata ini tak sekalipun ada keinginan melirik.Lagi, untuk kedua kalinya, netra ini menatap pada orang yang tidak kuinginkan untuk berjumpa. Bedanya, kali kedua ini, menimbulkan debar syahdu dalam hati. Sesosok tampan dan rupawan dengan penampilan sederhana hari ini. Hanya mengenakan kemeja batik lengan panjang. Dia memandang diriku tanpa kedip.Akupun sama dengannya. Hingga sebuah senggolan dari tangan Rena menyadarkan diriku dari kegiatan saling tatap.“Udah, Mbak. Nanti kesandung, lho!” bisik Rena.“Dia kenal juga sama Weni, Ren?”“Aku yang suruh Weni buat ngundang,” jawab
Mata ini sedikit mengantuk. Selain lelah, mungkin efek bulu mata palsu yang kupakai. Kutundukkan kepala sebentar dan bersandar pada kursi kosong di depanku. Dan ketika hampir terlelap, kudengar orang bercakap-cakap di depanku.Rupanya, Mas Agam belum pulang dari sini. Mereka pasti tidak tahu, bahwa yang berada di salah satu kursi deret belakang adalah aku.“Mas, aku pulang aja, ya? Gak usah ke rumah sakit. Aku lelah kalau tiap hari harus bolak-balik ke sana. Uangku juga habis, Mas. Kalau di rumah, kan, bisa masak,” ucap Anti.Mas Agam diam saja, tidak menjawab sama sekali.“Kenapa kamu bisa begitu sayang sama Aira, sih, Mas? Sepertinya, sama anak juga, kamu gak segitunya.” Perempuan itu berdecak. “Ingat, Mas, anak-anakku saja ikut sama bapak mereka. Kenapa aku malah harus ngurus keponakan kamu? Bahkan, sebelum kita menikah.”Mas Agam membuang napas kasar. “Aku capek bahas ini, Anti. Berhentilah protes tenta
Penilaian akhir semester untuk anak sekolah jenjang Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak dilaksanakan secara serempak. Aku sudah meminta Fani untuk booking hotel di Bali. Rencananya, kami akan membawa mobil ke Pulau Dewata itu, agar tidak harus menyewa transportasi di sana. Sudah bisa dipastikan, tarifnya sangat tinggi. Dinta dan Danis sangat bahagia mengetahui hal itu. Aku tidak memberi syarat khusus untuk piknik kali ini. Kurasa, apa yang dialami mereka sangatlah berat. Tak perlu menambah beban dengan menuntut agar mendapat nilai terbaik saat tes nanti. Biarlah hidup anak-anak memgalir begitu saja. Yang penting aku terus memberikan pemahaman etika dalam bertingkah laku. Siang itu, selepas pulang mengajar, aku mengoreksi hasil tes anak-anak didikku. Sengaja kubawa ke rumah agar bisa mengerjakannya sambil bersantai. Di tengah kesibukanku, bel rumah berbunyi. Dengan malas, kuberanjak untuk membuka pintu. Sesosok laki-laki baya bersama dengan pria yang seumuran
Telunjuknya selalu diarahkan padaku saat berbicara. Menandakan diri ini begitu salah dan rendah di hadapannya.“Terus, Mbah inginnya bagaimana? Mbah ke sini maunya apa?” tanyaku sengaja mengalah, tapi bukan berarti aku akan mengabulkan keinginannya.“Ya, minta supaya kamu itu memberikan Agam bagian dari harta yang dikumpulkannya di sini.” Intonasi yang keluar dari mulut pria ini, selalu palan dan terarah, tapi menusuk.“Mbah, kalau ada yang Mas Agam kumpulkan di sini, pasti saya kasih. Tapi, memang tidak ada yang Mas Agam beli, Mbah. Yang dikatakan Pak Hanif, itu bohong. Masa iya, Simbah tidak malu, minta-minta barang yang bukan miliknya?”“Kok, aku bingung? Kata Hanif, Agam yang beli. Kata kamu, kamu yang beli. Yang benar itu yang mana? Wong kok senenge minta bener semua. Siapa yang salah kalau seperti ini?”“Memang kenyataannya seperti itu. Yang ada, Mas Agam beli tanah juga yang di sana
“Kalau di pinggir jalan begitu, biasanya laku mahal, ya, Gun?” Pandangannya menoleh pada ojeknya.Yang ditanya iya-iya saja. Posisi duduknya kembali ditegakkan. Tangan kanan lelaki itu meremas mulut dan hidung. Semakin terlihat wibawanya di mataku.“Yawes, kamu saya maafkan. Ya, kan, saya itu tidak akan marah sama kamu? Asalkan kamu itu jujur. Sudah, tidak apa-apa. Tak doakan Gusti Allah mengampuni dosamu, Nia.”“Nggeh, Mbah. Aamiin yaa robbal alamiin.” Kuusapkan kedua telapak tangan ke muka untuk mengaminkan doanya.Ya Rabb, semoga Engkau benar-benar memberikan ampunan padaku.“Tak ke sana, ya? Sebelah mana? Bisa jalan kaki atau harus naik motor?”“Naik motor saja, Mbah. Soalnya agak jauh,” jawabku. “Sebenarnya saya ingin membuatkan bengkel untuk sampingan Mas Agam. Rencananya mau buat kejutan.”Kami berdua bangkit bersamaan. Kupersilahkan kakek Mas Agam me