“Kalau di pinggir jalan begitu, biasanya laku mahal, ya, Gun?” Pandangannya menoleh pada ojeknya.
Yang ditanya iya-iya saja. Posisi duduknya kembali ditegakkan. Tangan kanan lelaki itu meremas mulut dan hidung. Semakin terlihat wibawanya di mataku.
“Yawes, kamu saya maafkan. Ya, kan, saya itu tidak akan marah sama kamu? Asalkan kamu itu jujur. Sudah, tidak apa-apa. Tak doakan Gusti Allah mengampuni dosamu, Nia.”
“Nggeh, Mbah. Aamiin yaa robbal alamiin.” Kuusapkan kedua telapak tangan ke muka untuk mengaminkan doanya.
Ya Rabb, semoga Engkau benar-benar memberikan ampunan padaku.
“Tak ke sana, ya? Sebelah mana? Bisa jalan kaki atau harus naik motor?”
“Naik motor saja, Mbah. Soalnya agak jauh,” jawabku. “Sebenarnya saya ingin membuatkan bengkel untuk sampingan Mas Agam. Rencananya mau buat kejutan.”
Kami berdua bangkit bersamaan. Kupersilahkan kakek Mas Agam me
AntiAku dan Mas Agam adalah sepasang kekasih sejak masih berseragam abu-abu. Kami berdua dijuluki pasangan paling serasi pada masanya. Tak ada hari tanpa kami lewati bersama, kecuali saat salah satunya harus izin karena sesuatu hal.Uang sakuku berarti uang saku Mas Agam, begitupun sebaliknya. Tidak ada rahasia antara satu sama lain. Banyak impian yang kami rangkai bersama, membayangkan indahnya maghligai rumah tangga yang kelak akan kami arungi bersama.Gaya pacaran kami, sudah lebih dari batas normal cinta remaja kala itu. Aku dan Mas Agam sering melewati waktu hanya berdua, di saat rumahku atau rumah Mas Agam dalam keadaan sepi.Selepas lulus SMA, hubungan kami masih dekat. Jarak yang ditempuh dari rumahnya menuju tempat tinggalku hanya tiga puluh menit. Saat itu, baik aku maupun Mas Agam, belum memiliki arah maupun tujuan dalam hidup.Beberapa bulan kemudian, dirinya berpamitan untuk merantau ke Jakarta untuk mengais rezeki dengan membantu pam
Januari menjadi masa hujan selalu turun sepanjang hari. Namun, kami tetap berangkat, karena sepatutnya menjalankan tugas sebagai abdi negara. Rintik hujan yang turun sepulang mengajar itu, menciptakan hawa dingin. Berada di atas kendaraan dan memakai satu mantel bersama orang yang dicintai mengundang tubuh ini untuk merapat pada punggung Mas Agam. Aroma parfum menguar, laksana magnet untuk semakin menempel. Tanpa malu, kulingkarkan lengan pada perut lelaki yang masih berstatus bujangan ini.“Anti, jangan nakal!” ucapanya, malah emakin membangkitkan hasrat untuk mendekat.“Kangen,” jawabku, manja.Aku paham apa yang dirasakan mantan kekasihku saat itu. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untukku mengenal pribadinya, termasuk juga perihal itu.“Kita jangan pulang dulu, ya, Mas,” pintaku masih dengan nada manja.Tanpa kusadari, Mas Agam berkendara sangat lama. Kita berhenti di sebuah villa. Di sanalah, untuk pe
Mas Tohir sampai membatalkan jadwal berlayar dan memilih pulang. Semua ATM disita. Aku sudah tidak punya apa-apa, karena gajiku selalu habis untuk menunjang penampilan. Keluargaku juga berada di pihak Mas Tohir. Ditambah lagi, anak semata wayangku dibawa Mas Tohir ke rumah orang tuanya, sampai saat ini aku tdak boleh menemui.Hendak dilaporkan ke polisi, Pak Hanif membayar denda sejumlah dua puluh juta, menggunakan uang yang akan digunakan untuk beribadah umroh.Singkat cerita, kami digugat cerai oleh pasangan masing-masing, tanpa diberikan harta gono-gini. Diperparah dengan turunnya surat mutasi kerja menjadi staff TU di salah satu kecamatan, sanksi atas perbuatan amoral yang telah kami lakukan. Sedangkan Mas Agam menjadi staf UPT di kecamatan lain.Sedikit penyesalan hadir dalam relung hati ini, manakala mengingat kehidupanku yang dulu bergelimang harta, kini harus serba menghemat pengeluaran. Mas Agam berjanji langsung menikahiku, setelah masa idah sele
Liburan ke Bali sudah usai. Saatnya kembali menjalani rutinitas seperti sebelumnya. Dan tentang permintaan bapak, aku belum terlalu memikirkannya. Biar saja mengalir sesuai takdir yang Allah gariskan. Dan malam ini, kami baru pulang dari mal. Anak-anak puas bermain di sana. “Mbak, makan di alun-alun, yuk?” ajak Fani yang duduk bersama Dinta di belakang. “Boleh, tuh.” Aku mengangguk setuju. “Fan, kamu gak ingin belajar nyetir? Buat gantian kalau kita pergi bareng.” “Iya, nih. Tante Fani kenapa gak bisa nyupir? Kan, ketinggalan jaman. Ibu aja, yang udah mau tua, bisa nyupir.” Pertanyaan polos Danis mengundang tawa keras adik semata wayangku. Mendengar aku dikatakan mau tua, tentu saja gadis itu bahagia. “Danis pinter banget, sih? Ibu udah mau tua, ya? Bener banget, tuh. Tapi, gak inget umur, dandannya suka heboh banget kalau keluar rumah.” Gadis yang duduk di sebelah Dinta tertawa terus. “Tapi, gak apa-apa. Ibu tinggal sendiri, jadi haru
Tak ada pilihan lain. Aku sangat lelah, pasti tidak bisa konsen menyupir. Demi keselamatan bersama, aku menyetujui juga. Perihal bapak, diurus belakangan.Pak Irsya menggendong Danis yang mulai mengantuk. Kami berjalan beriringan menuju parkir mobil. Pria itu juga menelpon seseorang. Tak lama, datang sesosok pemuda dan segera menerima kunci mobil yang terulur dari Pak Irsya.“Dinta di depan, ya?” pintanya.Si kakak mengangguk saja, dirinya juga pasti kelelahan.Setelah kami masuk semua, mobil mulai berjalan pelan, tanpa ada obrolan di antara kita. Hanya suara Fani yang terdengar tertawa sendiri. Kadang, gadis itu berkata tidak jelas. Sepertinya, sedang bertukar pesan dengan seseorang. Danis juga sudah tertidur di pangkuanku.Di tengah perjalanan, Pak Irsya menepikan mobil. Pria itu sedikit membungkuk ke arah Dinta yang duduk di jok depan. Setelahnya, sandaran kursi anak gadisku dimiringkan ke belakang. Ternyata, Pak Irsya melakukan itu
Siang itu, aku baru selesai mengurus pesanan bersama Sinta, pekerja khusus produk kecantikan. Tiba-tiba aku dan Fani dipanggil ke ruang makan oleh bapak. Perasaanku mengatakan, ada sebuah masalah serius. Jangan-jangan, perihal tadi malam. Diriku sudah pasrah kalau harus dimarahi.Aku dan Fani duduk berdampingan, berhadapan dengan Bapak. Sedangkan ibu, berada di depan pintu belakang sembari membersihkan beras di tampah.“Nia, jawab jujur. Semalam, kamudiantar pulang sama siapa?”Dugaanku tepat. Pasti Dinta dan Danis sudah menceritakan semua yang terjadi tadi malam. “Diantar Pak Irsya, Pak,” jawabku dengan nada takut.Lelaki yang duduk di hadapanku itu terdengar mengambil napas dalam. “Kamu sudah tahu bapak tidak ingin kamu dekat dengannya, kan? Bapak ingin yang terbaik untuk kamu, Nia. Makanya, bapak tidak mau kamu mengulangi kesalahan yang sama. Bapak kecewa, kamu berani melanggar perintah bapak.”Kalimatnya terh
Pria itu-pun mengangguk sebagai jawaban. “Mari, kita ngobrol di sana sambil minum,” ajaknya sambil terus menatap ke layar gawai.Kami mengambil tempat di salah satu gardu taman. Umar bersandar di pojok belakang, sedangkan aku bersisihan dengan Fani.“Jadi, kamu yang berniat menjadi istriku?” tanyanya, masih terus menatap benda pipih miliknya.“Maksudnya?”Aku mengernyitkan dahi, tapi yang kutatap Fani. Aku aneh, kan? Yang ditanya Umar, tapi pandangan ini terarah pada adikku. Itu karena lawan bicaraku sepertinya enggan melihat wajah ini.Umar memasukkan benda pipihnya ke saku baju. Menatap sekilas padaku, lalu berpaling ke arah lain. “Kamu sudah siap jadi istriku?”Aku semakin bingung dengan arah pembicaraan pemuda itu. Dari perilakunya, dia tidak seperti orang yang mondok lama. “Maaf Mas Umar, kenapa dari tadi bertanya terus, ya?” tanyaku, penasaran.“Kamu juga
Ucapannya terdengar berapi-api. Sepertinya, dia akan jadi juru kampanye kalau ada pemilu. Aku hanya menatapnya sinis. Bingung mau menjawab apa.“Tadi itu, kamu sudah menghina aku, tahu? Harga diriku kamu injak-injak dengan mengatakan penolakan di depan mata ini. Dasar wanita tak beradab!”“Terserah kamu mau ngomong apa. Saya permisi, takut ketularan anehmya kamu.” Aku mencolek lengan Fani untuk segera mengikutiku bangkit.“Maaf, Mas Umar. Anda lulusan pesantren atau rumah sakit jiwa, ya?” ejek Fani sebelum pergi.Wajah pria itu terlihat merah. Tak kuhiraukan lagi dirinya, gegas kulangkahkan kaki menuju tempat parkir.Sepulangnya dari taman, bapak sudah siap menginterogasi diriku kami. Beliau seperti tidak suka dengan caraku memutuskan perjodohan secara sepihak tadi.Fani sangat lantang membelaku. Dia sudah terbiasa debat dengan bapak. Dia berterus terang, merasa tidak suka dengan cara bapak mencarikan jodo