Liburan ke Bali sudah usai. Saatnya kembali menjalani rutinitas seperti sebelumnya. Dan tentang permintaan bapak, aku belum terlalu memikirkannya. Biar saja mengalir sesuai takdir yang Allah gariskan.
Dan malam ini, kami baru pulang dari mal. Anak-anak puas bermain di sana.
“Mbak, makan di alun-alun, yuk?” ajak Fani yang duduk bersama Dinta di belakang.
“Boleh, tuh.” Aku mengangguk setuju. “Fan, kamu gak ingin belajar nyetir? Buat gantian kalau kita pergi bareng.”
“Iya, nih. Tante Fani kenapa gak bisa nyupir? Kan, ketinggalan jaman. Ibu aja, yang udah mau tua, bisa nyupir.”
Pertanyaan polos Danis mengundang tawa keras adik semata wayangku. Mendengar aku dikatakan mau tua, tentu saja gadis itu bahagia.
“Danis pinter banget, sih? Ibu udah mau tua, ya? Bener banget, tuh. Tapi, gak inget umur, dandannya suka heboh banget kalau keluar rumah.” Gadis yang duduk di sebelah Dinta tertawa terus. “Tapi, gak apa-apa. Ibu tinggal sendiri, jadi haru
Mohon maaf atas pemenggalan cerita yang beberapa ada yang kurang pas. Ini dikarenakan berdasarkan sumber informasi, jumlah koin yang dikeluarkan dalam tiap bab akan lebih mahal bila kata-katanya panjang. Oleh karenanya, saya berusaha memotong dalam jumlah kata 800-900. Karena di aplikasi yang sudah tamat, cerita ini per bab-nya berisi seribu kata lebih. Cerita ini menduduki posisi best seller berbulan-bulan di sebuah aplikasi.
Tak ada pilihan lain. Aku sangat lelah, pasti tidak bisa konsen menyupir. Demi keselamatan bersama, aku menyetujui juga. Perihal bapak, diurus belakangan.Pak Irsya menggendong Danis yang mulai mengantuk. Kami berjalan beriringan menuju parkir mobil. Pria itu juga menelpon seseorang. Tak lama, datang sesosok pemuda dan segera menerima kunci mobil yang terulur dari Pak Irsya.“Dinta di depan, ya?” pintanya.Si kakak mengangguk saja, dirinya juga pasti kelelahan.Setelah kami masuk semua, mobil mulai berjalan pelan, tanpa ada obrolan di antara kita. Hanya suara Fani yang terdengar tertawa sendiri. Kadang, gadis itu berkata tidak jelas. Sepertinya, sedang bertukar pesan dengan seseorang. Danis juga sudah tertidur di pangkuanku.Di tengah perjalanan, Pak Irsya menepikan mobil. Pria itu sedikit membungkuk ke arah Dinta yang duduk di jok depan. Setelahnya, sandaran kursi anak gadisku dimiringkan ke belakang. Ternyata, Pak Irsya melakukan itu
Siang itu, aku baru selesai mengurus pesanan bersama Sinta, pekerja khusus produk kecantikan. Tiba-tiba aku dan Fani dipanggil ke ruang makan oleh bapak. Perasaanku mengatakan, ada sebuah masalah serius. Jangan-jangan, perihal tadi malam. Diriku sudah pasrah kalau harus dimarahi.Aku dan Fani duduk berdampingan, berhadapan dengan Bapak. Sedangkan ibu, berada di depan pintu belakang sembari membersihkan beras di tampah.“Nia, jawab jujur. Semalam, kamudiantar pulang sama siapa?”Dugaanku tepat. Pasti Dinta dan Danis sudah menceritakan semua yang terjadi tadi malam. “Diantar Pak Irsya, Pak,” jawabku dengan nada takut.Lelaki yang duduk di hadapanku itu terdengar mengambil napas dalam. “Kamu sudah tahu bapak tidak ingin kamu dekat dengannya, kan? Bapak ingin yang terbaik untuk kamu, Nia. Makanya, bapak tidak mau kamu mengulangi kesalahan yang sama. Bapak kecewa, kamu berani melanggar perintah bapak.”Kalimatnya terh
Pria itu-pun mengangguk sebagai jawaban. “Mari, kita ngobrol di sana sambil minum,” ajaknya sambil terus menatap ke layar gawai.Kami mengambil tempat di salah satu gardu taman. Umar bersandar di pojok belakang, sedangkan aku bersisihan dengan Fani.“Jadi, kamu yang berniat menjadi istriku?” tanyanya, masih terus menatap benda pipih miliknya.“Maksudnya?”Aku mengernyitkan dahi, tapi yang kutatap Fani. Aku aneh, kan? Yang ditanya Umar, tapi pandangan ini terarah pada adikku. Itu karena lawan bicaraku sepertinya enggan melihat wajah ini.Umar memasukkan benda pipihnya ke saku baju. Menatap sekilas padaku, lalu berpaling ke arah lain. “Kamu sudah siap jadi istriku?”Aku semakin bingung dengan arah pembicaraan pemuda itu. Dari perilakunya, dia tidak seperti orang yang mondok lama. “Maaf Mas Umar, kenapa dari tadi bertanya terus, ya?” tanyaku, penasaran.“Kamu juga
Ucapannya terdengar berapi-api. Sepertinya, dia akan jadi juru kampanye kalau ada pemilu. Aku hanya menatapnya sinis. Bingung mau menjawab apa.“Tadi itu, kamu sudah menghina aku, tahu? Harga diriku kamu injak-injak dengan mengatakan penolakan di depan mata ini. Dasar wanita tak beradab!”“Terserah kamu mau ngomong apa. Saya permisi, takut ketularan anehmya kamu.” Aku mencolek lengan Fani untuk segera mengikutiku bangkit.“Maaf, Mas Umar. Anda lulusan pesantren atau rumah sakit jiwa, ya?” ejek Fani sebelum pergi.Wajah pria itu terlihat merah. Tak kuhiraukan lagi dirinya, gegas kulangkahkan kaki menuju tempat parkir.Sepulangnya dari taman, bapak sudah siap menginterogasi diriku kami. Beliau seperti tidak suka dengan caraku memutuskan perjodohan secara sepihak tadi.Fani sangat lantang membelaku. Dia sudah terbiasa debat dengan bapak. Dia berterus terang, merasa tidak suka dengan cara bapak mencarikan jodo
“Tapi, jangan khawatir Pak Rahman, anak saya ini mau bila yang dinikahinya adalah adik dari Nia.”Aku sangat ingin tertawa kencang. Untuk saat ini, aku hanya bisa tersenyum lebar. Bagaimana reaksi anak itu bila tahu? Saat tahu Umar dijodohkan denganku saja, dia marah-marah. Apalagi saat menerima kabar Umar mau dengannya nanti? Ah, pasti akan sangat lucu.“Kenapa kamu tertawa Nia? Seharusnya, kamu sedih, karena batal menikah denganku.”Baru beberapa saat Umar buka mulut, dia langsung terdiam saat menerima senggolan keras dari bapaknya.“Saya tahu, mungkin harapan Pak Rahman untuk bisa segera menikahkan puteri Anda yang janda ini sangat besar. Tapi, mau bagaimana lagi, anak saya memilih adiknya yang masih gadis.”Gak bapak, gak anak, keduanya sama saja! Apa jadinya kalau aku punya mertua seperti ini?“Nia, kamu harus menerima keputusanku. Aku memilih adikmu karena dia lebih cocok dalam kriteria calon p
“Sebelumnya, Pak Haji juga sudah tahu anak saya yang sudah menjadi janda beranak dua. Harusnya, hal ini jangan sampai menjadi sebuah pembahasan kurang menyenangkan. Sekalipun anak saya janda, betul apa yang dikatakan NIa, dia tengah didekati seseorang tapi saya tidak menyetujuinya.”Bapak berhenti sebentar untuk mengatur napas. Suaranya terdengar bergetar, entah menahan marah atau tangis.“Saya sangat kecewa dengan Mas Umar. Anda orang yang sangat paham agama, ditambah katanya berkedudukan. Harusnya Anda tahu bagaimana cara berbicara yang tidak menyakiti orang.”Aku tidak tahu jelas, bagaimana raut muka mereka. Karena dari tempatku sekarang, orang-orang itu hanya terlihat dari arah samping.“Saya minta maaf atas ketidaksopanan anak saya, Pak Rahman. Tolong hal ini dimaklumi. Manusia tempatnya salah dan khilaf. Anak saya juga memiliki kekurangan,” jawab bapak Umar, setelah sekian lama diam. “Anggap saja, hal ini se
Tumben, Fani diam tak menjawab. Dia hanya terpekur di kursi sambil memasang muka jutek.“Bapak kenal di mana sama orang aneh itu, sih?” Dia malah bertanya sebal sama Bapak.“Kan, sudah dijelaskan, Fani. Udah, jangan menyalahkan bapak terus! Maklum, setiap orang pasti pernah salah melangkah. Yang penting kalian tidak ada yang menikah dengan anak Pak Haji.” Bapak terdengar membela diri.“Kok, bisa-bisanya Nia dihina separah itu, ya, Pak? Cara dia melihat Nia, ibu sangat sakit hati.” ibu ikut berbicara dan sukses membuat bapak menunjukkan muka penuh penyesalan. “Untung sekali, dia menolak perjodohona ini. Coba kalau dia mau sama Nia, bapak pasti akan memaksa Nia, dan tidak peduli sama persaannya.” Wanita itu terlihat kecewa. Lalu, bangkit dari duduknya menuju ke belakang.Aku sudah tidak ada selera untuk melanjutkan aktivitas tadi. Iseng kubuka story pada kontak HP. Jari ini berhenti pada unggahan seseorang yan
“Waktu naik delman sama om itu, aku seneng banget, Mbah. Kita diajak muter-muter. Omnya juga baik banget sama aku, sama Kakak.” Danis tiba-tiba bersuara. “Kenapa adek sama Kakak gak punya ayah, sih? Ayah kami sudah diminta Aira.”Hening, tidak ada yang menjawab. Bapak juga, dari bertemu Pak Irsya tadi, jadi pendiam.“Kan, Danis sama Kakak punya banyak orang yang menyayangi. Ada Mbah Uti, Mbah Kakung, Ibu, juga Tante Fani. Jadi, gak ada ayah juga gak apa-apa.” Ibu berusaha menghibur.Aku tahu, walaupun telah berkata demikian, pasti ada luka dalam hati wanita. Karena tidak bisa dipungkiri, perkataan Danis menyayangi hati semua orang terluka.“Tapi pengin kayak teman-teman, Mbah .…” Dinta ikut menyahut.Aku dan Fani kompak melihat ke arah Bapak. Beliau masih terdiam. Syukurnya, tak berapa lama, kedua anak itu tidur.“Nia, kamu tadi janjian?” Akhirnya, setelah ribuan detik