"Dila sudah makan?"Nia tampak begitu perhatian terhadap Dila, menanyakan apa saja yang dilakukan oleh putri seharian ini tanpa dirinya.Terutama, menanyakan makan dan minum obat yang tak boleh terlambat. Ini adalah hal utama!"Udah, Mami...." Dila pun memeluk Nia, layaknya anak kandung yang sangat merindukan ibunya.Begitu juga, dengan Nia yang sangat merindukan Dila.Terdengar aneh, tetapi itulah yang terjadi. Keduanya seperti memiliki ikatan layaknya ibu dan anak kandung."Mami, besok kalau ke rumah Nenek lagi Dila ikut, ya.""Dila mau ikut?""Iya.""Nanti, Mami minta izin sama Papi. Terus, kita jenguk Nenek.""Asik!" Dila berlompatan kegirangan saat Nia menjanjikannya untuk ikut menjenguk Farah walaupun entah kapan.Saat Nia dan Dila sedang sibuk dengan pembicaraan mereka, tiba-tiba Dion muncul, hingga membuat Nia diam dan tak berani berbicara dengan Dila."Papi, Dila ikut, ya! Kalau Mami pergi ke rumah Nenek lagi, oke?!" seru Dila dengan riangnya."Mamimu itu jalan-jalan bersama
Dion masih betah berlama-lama di ruang kerjanya. Padahal, dia hanya duduk diam saja di sana--tanpa berganti pakaian sama sekali.Meskipun malam semakin larut, tetapi tetap tidak ada keinginan dalam dirinya untuk melakukan apa pun.Sesaat kemudian, Dion pun mengacak rambutnya. Sungguh, pria itu bingung dengan dirinya sendiri.Hingga akhirnya, Dion memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Beristirahat mungkin bisa membuat dirinya lebih baik.Namun, sesampainya di kamar, Dion malah melihat Nia sedang duduk di sudut kamar sambil menangis.Sontak membuat Dion bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada wanita tersebut? Bahkan, sampai Nia tak menyadari kehadirannya sama sekali.Mungkinkah karena dirinya yang terlalu kasar tadi, hingga membuat wanita itu bersedih?"Ehem...." Dion pun berdehem.Mendengar suara pria itu, Nia pun tersadar. Segera Nia mengusap air matanya dengan gerakan cepat."Tuan...." Nia pun bangkit, sambil meremas pakaiannya.Masih dengan wajah sembab dan mata yang ber
Nia dan Dila sudah siap untuk pergi, tetapi sampai saat ini, Dion belum juga datang.Hal ini membuat Dila menarik Nia menuju ruang kerjanya. Benar saja tebakan Dila, papinya itu memang berada di sana."Papi!"Dion pun menoleh ke asal suara. Tampak, Dila di sana. Selain itu, ada Nia yang berdiri di belakang tubuh mungil itu dengan menggendong bayinya."Papi, Dila udah siap-siap. Kok, belum berangkat? Katanya ke mall?" "Tidak jadi!""Papi!" seru Dila dengan suara melenting karena dirinya sudah bersiap-siap sejak tadi. Tetapi, malah dibatalkan sepihak.Seketika Dion menunjukkan wajah masamnya, kesal tentunya dengan apa yang terjadi pagi ini. Bahkan, merasa dipermalukan."Hay!" Niko tiba-tiba muncul. Bibirnya tersenyum saat melihat Nia kebetulan ada di depan pintu ruang kerja Dion.Tujuannya ke sana memang Nia--tentu saja. Jika tidak, mana mungkin dirinya setiap hari mengunjungi kediaman Dion?"Mas Niko." Nia tersenyum melihat wajah Niko. Menurutnya, pria itu adalah orang baik dan Nia sa
"Tuan Dion, jalan!" titah Niko dengan senyuman manisnya yang terus saja melihat Nia tanpa jeda."Papi, ayo!" Dila juga ikut kesal pada Dion yang hanya diam saja tanpa melakukan apa pun.Melirik putrinya itu sejenak, kemudian kembali melihat kaca spion.Tampak Niko juga tersenyum bahagia menatapnya di sana."Kenapa? Jangan bilang kau cemburu? Atau menyukai...." Niko memicingkan matanya, seakan menatap Dion penuh intimidasi dari pantulan kaca spion yang membuat kedua pria itu saling menatap dingin."Cemburu itu apa, Om?" Kini, Dila melihat ke belakang dan bertanya. Bocah cerewet itu mudah bertanya akan sesuatu yang tidak dimengerti olehnya.Niko pun tersenyum pada Dila. "Itu pembicaraan orang dewasa. Dila, masih kecil," jawab Niko.Dila pun tak lagi bertanya. Kini, dirinya hanya ingin segera sampai di mall."Ayo Tuan Dion, jalan!" Niko pun menepuk pundak Dion, kemudian tersenyum kembali menatap Nia seakan menggodanya.Dengan menahan segala kemarahan di dalam hati, Dion pun memutuskan u
Sesampainya di rumah, Dion langsung memarkir mobilnya. Kemudian, pria itu segera masuk ke dalam rumah dengan langkah kaki yang lebar."Kenapa cepat sekali pulangnya, bukannya baru pergi?" tanya Bunga yang berpapasan dengan Dion saat memasuki rumah."Papi, aneh. Dila lagi belanja sama Om Niko, sama Mami juga. Tapi, mendadak disuruh pulang," kata Dila yang tiba-tiba muncul."Om Niko?" Bunga mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang disebut oleh cucunya, tetapi tak terlihat membuatnya kebingungan."Tadi, Dila pergi bareng, Mami, Papi dan Om Niko Oma. Sekarang Om Niko ketinggalan di mall," jelas Dila, kemudian menghentakkan kakinya sebelum akhirnya melengos pergi menuju kamarnya."Permisi, Nyonya." Nia pun ikut menyusul masuk, kemudian segera pergi menuju dapur.Dion terus menatap punggung Nia. Pakaian biasa tanpa ada benda mahal yang melekat di tubuh wanita itu sama sekali. Rambutnya hanya dikuncir kuda, dengan warna hitam pekat. Sungguh sederhana, tetapi Dion sulit melepaskan pand
"Nia, tunggu. Aku ingin bicara!" Reza langsung menarik tangan Nia.Nia yang baru saja menginjakkan kakinya di dapur terkejut melihat Reza yang tiba-tiba muncul, bahkan memegang tangannya dengan erat hingga membuatnya tak dapat menghindar seperti biasanya.Walaupun demikian, Nia tetap berusaha untuk melepaskan dirinya, tetapi percuma saja. Sebab, tenaganya tak seberapa itu tak akan bisa melawan Reza."Lepas, kita tidak ada urusan!""Nia, Zaki anakku. Sampai kapan pun, kita tak akan bisa terpisahkan. Setelah kau pergi, aku sadar ternyata aku membutuhkanmu."Nia pun terdiam sejenak sesaat mendengar apa yang di katakan oleh Reza."Kamu membutuhkan aku saat kamu terluka, tapi kamu lupa saat kamu sudah kembali pulih dari semua lukamu itu. Cukup sudah, semuanya sudah berlalu, biarkan aku sendiri jangan lagi mengungkit masa lalu," kata Nia menolak dengan tegas."Nia, aku membutuhkanmu.""Reza, cukup!""Nia.""Cukup!" "Nia bangun!" Asih mencoba untuk membuat Nia tersadar, dengan menepuk-nepuk
"Kau!" Dion memanggil Asih yang kebetulan berpapasan tepat saat Dion akan menaiki anak tangga.Hal itu membuat Asih pun menoleh setelah menyadari bahwa majikannya memanggil dirinya.Dengan langkah kaki yang cepat, Asih pun berjalan ke arah Dion."Ya, Tuan." Asih menunduk, menanti perintah yang akan diberikan oleh sang majikan."Apa dia sudah makan?""Dia?" Asih tidak mengerti apa yang dimaksud boleh Dion. Mau bertanya lebih jelas pun, dirinya tak memiliki keberanian.Mungkin jika dirinya saja ataupun hanya pekerja yang segan, itu wajar. Tetapi, ini berbeda. Bahkan, Bunga saja cukup sulit jika berbicara dengan Dion--yang padahal adalah anaknya sendiri.Dion memang begitu dingin pada siapa pun. Jadi, Asih sadar diri posisinya yang hanya debu di mata pria itu."Nia!" Asih seketika mengerti ternyata yang dimaksud oleh Dion adalah Nia."Belum, Tuan. Saya dari tadi sibuk membujuk Neng Dila. Soalnya, dari tadi, sulit sekali untuk menyuapinya," jawab Asih."Ambilkan nasi untuknya!" Dion pun
Sesuai dengan keinginannya, akhirnya Dion mendapatkan hasil rekaman cctv rumahnya beberapa bulan yang lalu. Namun, dia ingin memastikan semua tepat dan tidak bermasalah."Kau yakin?" tanya Dion."Ya, Bos. Setelah beberapa hari ini, akhirnya aku mendapatkan rekaman ini," jawab Tora, seorang asisten yang selama ini selalu bekerja untuk Dion."Bagus."Dion pun memutar rekaman tersebut, kemudian menyaksikan sebuah tayangan yang sedang berlangsung.Semua kilas balik itu seakan berputar. Tampak seorang pria sedang memohon pertanggungjawaban atas janin yang ada pada rahim putrinya.Tak lama, wajah Nia terlihat di sana dengan jelas. Bahkan, Dion dapat melihat Liana melayangkan tangannya dengan kasar tepat di wajah Nia.Cekcok pun tak dapat dihindarkan, suasana begitu tegang seiring dengan perdebatan yang berlangsung.Hingga pada puncaknya, tampak sebuah mobil melintas dan menabrak seorang pria paruh baya. Yang menabrak adalah Chandra sendiri!Beberapa hari yang lalu, Dion memang meminta Tor